Anda di halaman 1dari 16

Nama : Galeh Cendani Kesumarani

NIM : 185211143
Kelas : MBS 6D
Mata Kuliah : Etika Bisnis Islam
Dosen Pengampu : Usnan, S.E.I., M.E.I.

PERILAKU BISNIS YANG BAIK DAN YANG DILARANG DALAM ISLAM

Kegiatan usaha dalam kaca mata Islam memiliki etika yang senantiasa memelihara
kejernihan aturan agama (syariat) yang jauh dari keserakahan dan egoisme. Ketika etika-etika ini
diimplikasikan secara baik dalam tiap kegiatan usaha (bisnis) maka usaha-usaha yang dijalankan
tersebut menjadi jalan yang membentuk sebuah masyarakat yang makmur dan sejahtera. Dan
memang itulah maksud Allah menurunkan agama Islam ini kepada manusia, yaitu sebagai
rahmat semesta alam. Dasar dari semua ini adalah sesuatu yang harus senantiasa dipegang oleh
setiap pengusaha muslim yaitu keyakinan bahwa harta adalah milik Allah dan manusia hanyalah
bertugas untuk mengelolanya. Orang yang bertugas dalam mengelola sudah pasti harus
mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh pemiliknya dan tidak boleh melanggarnya, dalam
hal ini pemiliknya adalah Allah. Dia memberikan pedoman-pedoman kepada kita melalui al
Quran dan sunnah Rasulullah SAW.
Etika yang paling pertama dalam Islam adalah niat yang tulus. Dengan niat yang tulus,
semua bentuk aktivitas keduniaan seperti bisnis berubah menjadi ibadah. Sebagaimana sabda
Rasulullah SAW, “sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung dengan niat, dan sesungguhnya
masing-masing orang mendapatkan balasan dari perbuatannya sesuai dengan niatnya”. Yang
dimaksud dengan niat dalam sabda Rasul tersebut adalah adanya keinginan baik terhadap diri
sendiri dan orang lain. Keinginan baik untuk diri sendiri adalah menjaga diri sendiri dari harta
yang haram dan bathil, memelihara diri dari kehinaan meminta-minta, menjaga kehormatan, dll.
Sementara keinginan yang baik terhadap orang lain contohnya adalah ikut andil dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat, memberi kesempatan kerja kepada orang lain, membebaskan
umat dari belenggu kebodohan dan kemiskinan, dan hal-hal lain yang banyak sekali caranya.
Etika yang kedua adalah budi pekerti yang luhur. Budi pekerti ini diartikan juga sebagai
akhlak yang baik. Di antara budi pekerti yang dimaksudkan dalam dunia bisnis adalah kejujuran,
sikap amanah dan legowo, menunaikan janji, bersikap konsekuen dalam membayar hutang,
bertoleransi dalam menagih hutang pada orang yang kesulitan, memahami kekurangan orang
lain, memenuhi hak-hak orang lain, tidak menahan hak orang lain, dan sebagainya.
Etika yang ketiga adalah usaha yang halal. Seorang pebisnis muslim diwajibkan untuk
selalu berada dalam bingkai aturan ini. Tidak layak bagi seorang muslim tergelincir dalam usaha
yang haram dan maksiat hanya untuk mengejar keuntungan yang berlimpah. Padahal Allah
menghalalkan yang baik-baik kepada manusia dan mengharamkan yang buruk-buruk kepada
manusia. Jadi apa yang didapatkan dari usaha yang halal adalah berkah dan kebaikan, sedangkan
yang didapatkan dari usaha haram adalah keburukan.
Etika yang keempat adalah menunaikan hak. Seorang pebisnis muslim akan
menyegerakan untuk menunaikan hak orang lain, baik itu berupa upah pekerjaan (gaji) ataupun
hutang terhadap pihak tertentu. Rasulullah SAW bersabda, “Berikanlah upah kepada pekerja
sebelum keringatnya kering” dan Nabi juga bersabda, “Sikap orang kaya yang memperlambat
pembayaran hutang adalah kezhaliman”.
Dari kedua hadits tersebut maka sebagai pebisnis muslim dalam membuat suatu usaha
diharuskan untuk menciptakan sebuah sistem yang berorientasi dalam menyegerakan penunaian
hak-hak pegawainya dan sistem pembayaran hutang yang tepat waktu tanpa adanya penundaan-
penundaan. Dan tidak lupa, hak yang paling utama yang harus ditunaikan adalah hak Allah
terhadap hambaNya yang mampu yaitu zakat, kemudian sedekah serta infak. Semua pengeluaran
itu akan menyucikan harta-harta kita dari segala kotoran syubhat dan menyucikan hati kita dari
penyakit hati seperti kikir dan egois.
Etika kelima yang tak kalah penting adalah menghindari riba dan segala sarana riba
seperti transaksi-transaksi yang kotor. Pebisnis muslim harus bersungguh-sungguh dalam
memegang aturan ini karena telah kita ketahui bersama bahwasanya riba termasuk satu dari tujuh
perbuatan yang membinasakan. Banyak sekali dalil-dalil dari al Quran dan as Sunnah yang
menunjukkan beratnya dosa akibat memakan harta riba, bahkan sampai-sampai laknat ditujukan
kepada mereka yang melakukan dosa riba.
Etika yang keenam adalah menghindari mengambil harta orang lain dengan cara yang
batil. Tidak halal harta seorang muslim untuk diambil kecuali dengan kerelaan hatinya. Contoh-
contoh memakan harta orang lain dengan cara yang batil adalah uang suap, penipuan,
manipulasi, perjudian, kamuflase harga, menimbun barang, dan memanfaatkan ketidaktahuan
orang lain terhadap barang-barang yang kita jual selaku pedagang. Hadits yang berkaitan dengan
larangan menipu dalam berdagang termaktub dalam shahih Muslim dalam kitaabul Imaan. Allah
berfirman dalam An Nisaa : 29, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka di antara kamu”. Ayat ini menjadi pedoman yang penting bagi para pebisnis
muslim dalam menjalankan usahanya. Sehingga pebisnis muslim senantiasa menjauhi cara-cara
yang batil dalam usahanya.
Etika bisnis nomor tujuh dalam Islam adalah tidak memudaratkan (membahayakan)
orang lain. Seorang pebisnis muslim harus menjadi kompetitor yang baik dan terhormat yang
menganut kaidah “tidak melakukan mudarat dan tidak membalas orang lain dengan
kemudaratan”. Kaidah ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW, “Tidak boleh memudaratkan
dan tidak pula membalas dengan memudaratkan orang lain”. Jadi pebisnis muslim tidak
melakukan hal-hal seperti memainkan harga barang, melakukan jual beli dengan memaksa
pembelinya, dan lain sebagainya.
Etika bisnis yang ke delapan, yang menjadi penutup dari etika-etika bisnis dalam Islam
adalah mempelajari hukum-hukum muamalah Islam. Hal ini sudah pasti menjadi penting karena
merupakan pedoman yang akan menuntun pebisnis-pebisnis muslim ke jalan yang telah Allah
syariatkan. Tidak mungkin seorang pebisnis muslim dapat melaksanakan etika-etika bisnis yang
telah disebutkan terlebih dahulu tanpa mempelajari hukum-hukum muamalah.
Itulah etika-etika bisnis yang terdapat dalam Islam, yang merupakan ketentuan mutlak
yang harus senantiasa dipatuhi demi tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan pada
masyarakat lewat bisnis-bisnis yang dijalankan.

ETIKA PADA KEGIATAN PENGELOLAAN SDM PERSPEKTIF ISLAM

Agama Islam merupakan agama yang Rahmatan lil Alamin, memberikan rahmat, berkah
dan kesejahteraan bagi semua umat di muka bumi ini. Oleh karena itu dasar pengelolaan
perusahaan sudah semestinya berdasar pada prinsip tersebut. Termasuk dalam mengelola SDM
atau karyawan. Hal yang harus diperhatikan dalam pengelolaan karyawan adalah
a. Bekerja adalah hal yang mulia. Rosulullah S.A.W suatu saat pernah mencium tangan
seorang sahabat ketika beliau mengetahui bahwa lelaki tersebut hitam (kasar) karena
bekerja menggunakan martil, dan beliau sangat simpati mengetahuinya. (Usad ul Ghabah
Takzirah Sa’ad Ansari)
b. Bekerja adalah untuk kesejahteraan bersama. Khalifah keempat Sayyidina Ali r.a. pernah
berkata dengan bangga bahwa dia pernah mengetahui Rosulullah s.a.w. sedang lapar dan
dia bekerja, supaya dapat membelikan makanan untuk beliau. Dia bekerja membersihkan
lumpur di kebun seorang Yahudi di luar Madinah, dan memperoleh 17 kurma, karena
mengangkat 17 ember air. Akhirnya mereka makan buah tersebut bersama – sama.
Kedua hal tersebut memberikan dasar yang kuat bagi seluruh karyawan bahwa perlunya
pemikiran kesejahteraan bersama dan kemulian bersama dihadapan Allah jika kita bekerja
dengan sungguh – sungguh.
Dalam proses recruitmen, seleksi, pelatihan dan pengembanga karyawan semuanya
memiliki dasar bahwa Allah merupakan tujuan utama. Oleh karena itu manajemen yang
memperlakukan karyawan hanya sebagai obyek perusahaan, dalam pandangan Ekonomi Islam
dianggap manajemen yang lalai dari sifat adil yang semestinya menjadi dasar manajemen.
Manajemen harus memanusiakan manusia dan menempatkan manusia sebagai fokus, tidak hanya
sebagai faktor produksi semata.
Keharusan memperhatikan tuntunan Allah dalam pengelolaan SDM perusahaan, didasari
adanya kenyataan, bahwa masih banyak dijumpai perusahaan yang dengan sengaja
mengeksploitasi karyawan sekedar untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Karyawan
dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga mereka benar – benar takut untuk menyampaikan ide,
gagasan, harapan terhadap perusahaan. Banyak praktik tersebut kita jumpai, misalnya : Jam kerja
yang sangat ketat, pemberian gaji yang belum dapat memberikan kesejahteraan, tekanan yang
kuat bagi karyawan untuk mencapai target yang telah di tentukan perusahaan.
Islam sangat tidak memuji perlakuan tersebut, karena dalam kenyataannya sistem
ekonomi Islam memang mendasarkan pada keselarasan atau keseimbangan yang dapat dilakukan
diantara kebutuhan material dan etika manusia. Sistem Ekonomi Islam tidak melupakan ciri
pokok kemajuan manusia, yang bergantung kepada sejauh mana lancarnya koordinasi dan
keharmonisan diantara aspek moral dan material dalam kehidupan manusia.
Dengan demikian praktik Manajemen SDM yang patut dilaksanakan adalah :
1. Pelaksanaan recruitment tenaga kerja atau SDM hendaknya dilakukan dengan
memperhatikan beberapa hal penting yaitu:
a. Kebaikan moral dan fisik
Hal ini menjadi syarat yang harus diupayakan untuk dilaksanakan karena kebaikan moral dan
kebaikan fisik akan mengakibatkan seorang calon tenaga kerja atau SDM mudah
mengembangkan gagasan, ide dan pemikiran yang baik, cerdas dan berkualitas.
Mengenai hal ini Allah telah menyampaikan tuntunannya didalam surat Al Qashash :
26, dan tuntunan dari rosulullah seperti tercantum dalam : Hadits riwayat : Tirmidzi
dan Ibnu Majah.
b. Kebaikan akal dan pikiran
Hal yang kedua tentang kebaikan akal dan pikiran. Kebaikan ini akan mengakibatkan
seseorang menjadi lebih cerdas, tidak mudah putus asa, dan bersemangat untuk tetap
maju dan berkembang menjadi lebih baik. Mengenai hal ini Allah telah meberikan
penjelasan di dalam QS Yusuf : 55.
2. Pemberian tugas dan kewajiban kepada setiap karyawan hendaknya dijalankan dengan
sebaik – baiknya, dan tidak dijadikan beban, sehingga mereka mampu menjalankan tugas
dan kewajibannya dengan baik, hal ini sesuai dengan firman Allah SWT, dalam surat Al
Maidah : 7, yang artinya sebagai berikut : “Kami tidak membebani seseorang melainkan
menurut kesanggupannya, dan pada sisi kami ada suatu kitab yang membicarakan
kebenaran, dan mereka tidak dianiaya” (Al Mu’minuun : 62) Dari ayat tersebut dijelaskan
bahwa Allah tidak membebani hidup manusia dengan hal – hal yang melampaui batas.
Allah memberikan prinsip – prinsip yang positif dan memperbolehkan manusia
memperoleh/mendapatkan kenikmatan.
3. Pelatihan dan pengembangan hendaknya mampu memberikan kemajuan pada
pelaksanaan tugas karyawan, oleh karena itu pelatihan dan pengembangan karyawan
hendaknya meliputi program yang berorientasi pada perbaikan moral dan pelaksanaan
kerja karyawan. Disamping itu, sebagai seorang karyawan, dalam pandangan ekonomi
Islam, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan diantaranya :
a. Setiap Individu atau karyawan harus memahami bahwa mereka tidak akan berubah
dan berkembang kecuali dia berupaya untuk mengembangkan diri mereka sendiri.
b. Keyakinan individu yang beruntung adalah mereka yang hari ini lebih baik dari hari
kemarin, dan individu yang celaka adalah mereka yang hari ini lebih buruk dari hari
kemarin.
c. Setiap individu bertanggung jawab atas apa yang dilakukan, jika berbuat baik akan
mendapatkan kebaikan, sedangkan apabila berbuat buruk maka akn mendapatkan
keburukan.
d. Adanya kesadaran untuk menghindari perbuatan yang buruk, dan selalu menjalankan
perbuatan yang baik (Amar ma’ruf nahi munkar) Dengan adanya keseimbangan
perilaku ini, yaitu antara perilaku karyawan dengan perilaku perusahaan maka,
keseimbangan yang diharapkan dalam Islam akan terwujud. Dan itulah sebenarnya
tujuan pengelolaan SDM dalm prespektif Islam.

ETIKA PADA KEGIATAN PRODUKSI PERSPEKTIF ISLAM

Konsep produksi dalam islam berasal dari status manusia sebagai ‘abd dan khalifah fi al-
ardh. Dengan status ini, kegiatan produksi menjadi perwujudan ketundukan manusia pada Allah
SWT (QS Hud: 61) sekaligus menjadi sarana untuk mengaktualisasikan kemampuannya (QS al-
An’am: 165). Kegiatan produksi tidak sekedar upaya memenuhi kebutuhan hidup sebagai homo
economicus tapi juga menjadi sarana untuk mengupayakan keadilan sosial dan menjaga
keluhuran martabat manusia. Al-Qur’an dan as-Sunnah menjadi kerangka acuan untuk
mengembalikan kegiatan produksi pada tujuan awalnya yaitu meningkatkan kesejahteraan
manusia secara total (dalam istilah as-Syaibani disebut ‘imaratul kaun). Seluruh proses dan
kegiatan produksi mengarah pada pemuliaan status manusia, peningkatan kesejahteraan hidup,
menghilangkan ketimpangan sosio-ekonomi, dan memberikan dampak positif bagi pertumbuhan
dan kemandirian ekonomi.
Pandangan umum al-Qur’an tentang kegiatan produksi dapat diidentifikasi pada beberapa
konteks:
1. Status manusia sebagai ‘abd (hamba Allah) dengan kewajiban beribadah pada-Nya dan
memakmurkan bumi (QS Hud: 61).
2. Status manusia sebagai wakil Allah SWT (khalifah fi al-Ardh) yang memiliki perbedaan
derajat, kemampuan, dan keahlian serta kewajibannya untuk saling tolong menolong dan
bekerja sama (QS al-An’am: 165; at-Taubah: 71; dan al-Maidah: 32) serta berlaku adil
(QS Shad: 26).
3. Kewajiban setiap manusia untuk bekerja dalam mencukupi kebutuhan hidup dan
mengaktualisasikan kemampuannya (QS at-Taubah: 105; Yunus: 61, 67; Hud: 121, 123).
4. Kewajiban manusia mengelola dan mengambil manfaat dari sumber daya alam yang telah
disediakan Allah SWT (QS al-Baqarah: 29; al-A’raf: 10; dan al-Qashash: 77).
5. Landasan moral dan pengetahuan yang terpatri dalam diri manusia (QS as-Syam: 710; al-
Baqarah: 31-32 dan an-Nur: 37-38).
6. Kewajiban mendistribusikan harta kekayaan bagi kemaslahatan masyarakat (QS
alMa’arij: 24-25; al-Hujarat: 10; at-Taubah: 103; dan al-Baqarah: 261-265).

Sebagai kegiatan yang menghasilkan barang dan jasa, produksi menekankan hubungan
antara input yang digunakan dan output yang dihasilkan. Posisi produsen adalah memenuhi
kebutuhan masyarakat. Tujuan ini memiliki implikasi yang luas. Selain untuk memenuhi skala
kebutuhan berdasarkan permintaan konsumen dan meningkatnya kesejahteraan produsen,
kegiatan produksi juga memiliki fungsi sosial yaitu mendistribusikan kesejahteraan masyarakat
sebagai tanggung jawab sosial produsen. Dengan kata lain, peningkatan kesejahteraan produsen
dibarengi dengan kewajiban mendistribusikan kekayaannya dalam bentuk zakat, sedekah, infak
atau dana CSR (corporate social responsibility). Tujuan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan
peningkatan kesejahteraan produsen dilakukan dalam bentuk syariah yaitu larangan menjalankan
bisnis yang bertentangan dengan Islam atau larangan menghasilkan barang dan jasa haram serta
dapat menghancurkan martabat manusia. Pemenuhan kebutuhan manusia dilakukan secara
rasional dengan asumsi menawarkan variasi produk secara inovatif, memperoleh keuntungan
dari aktivitas produksi, melakukan produksi secara efisien, memenuhi kebutuhan konsumen
dalam skala prioritasnya.
Tujuan penting untuk merumuskan etika produksi dalam Islam adalah:
1. Sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah mengandung dimensi moral yang
dominan melalui petunjuk pada manusia untuk bertindak dan berakhlak mulia. Hal ini
bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat manusia itu sendiri.
2. Dalam kegiatan produksi, peran moral bertujuan memberi arah yang jelas tentang
manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, mengelola sumber daya ekonomi,
meningkatkan taraf kesejahteraan hidup, serta menggagas kesejahteraan bagi masyarakat
luas.
3. Peran moral dalam kegiatan produksi adalah keberpihakan pada kehidupan manusia,
alam, dan Tuhan serta mendorongnya untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi sesuai
dengan tuntunan Allah SWT.
4. Dalam kegiatan produksi, aksioma etika menjadi dasar dalam memberi arah dengan
mempertimbangkan tatanan nilai dan norma Islam seperti hak dan kewajiban manusia
dalam hidup, kewajiban produsen/pemilik modal, hak dan kewajiban karyawan,
kewajiban menjaga kelestarian sumber alam, produksi barang yang mempromosi
keluhuran martabat manusia, serta mengembangkan mekanisme produksi yang efektif
dan efisien
Dengan adanya etika dalam kegiatan produksi maka akan memberikan pengaruh positif
bagi pertumbuhan ekonomi, pemerataan kesejahteraan, kelestarian lingkungan hidup, dan
tanggung jawab sosial perusahaan.
ETIKA PADA KEGIATAN PEMASARAN PERSPEKTIF ISLAM

Menurut Hermawan Kartajaya dan Muhammad Syakir Sula Pemasaran Syariah adalah
sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan proses penciptaan, penawaran dan perubahan
value dari suatu inisiator kepada stakeholdersnya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai
dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah (business) dalam Islam. Hal ini berarti bahwa dalam
pemasaran syariah, seluruh proses baik proses penciptaan, penawaran, maupun perubahan nilai
(value), tidak boleh ada hal-hal yang bertentangan dengan akad dan prinsip-prinsip muamalah
Islam. Sepanjang hal tersebut dapat dijamin, dan penyimpangan prinsip-prinsip muamalah Islami
tidak terjadi dalam suatu transaksi atau dalam proses suatu bisnis, maka bentuk transaksi apapun
dalam pemasaran dapat dibolehkan.
Sedangkan etika pemasaran Islam adalah prinsip-prinsip syariah marketer yang
menjalankan fungsi-fungsi pemasaran secara Islam, yaitu memiliki kepribadian spiritual (takwa),
jujur (transparan), berlaku adil dalam bisnis (Al-Adl), bersikap melayani, menepati janji, dan
jujur.
Ada sembilan etika pemasaran yang menjadi prinsip-prinsip Syariah Marketing dalam
menjalankan fungsi pemasaran, yaitu :
a. Memiliki Kepribadian Spiritual (Takwa)
Seorang pedagang dalam menjalankan bisnisnya harus di landasi sikap takwa dengan selalu
mengingat Allah, bahkan dalam suasana mereka sedang sibuk dalam aktifitas mereka
dalam melayani pembelinya, ia hendaknya sadar penuh dalam responsive terhadap
prioritas-prioritas yang telah ditentukan oleh sang maha pencipta. Kesadaran akan
Allah hendaknya menjadi sebuah kekuatan pemicu (driving force) dalam segala
tindakan. Sesuai dengan Al-Qur’an surat at-Taubah ayat 119.
b. Berlaku baik dan simpatik (Shidiq)
Berprilaku baik, sopan dan santun dalam pergaulan adalah fondasi dasar dan inti dari
kebaikan tingkah laku. Al-quran juga mengharuskan pengikutnya untuk berlaku
sopan disetiap hal, bahkan dalam meakukan transaksi bisnis dengan orang-orang yang
bodoh. Tetap harus bicara dengan ucapan dan ungkapan yang baik.
c. Berlaku Adil dalam Bisnis (Al-Adl)
Berbisnislah secara adil, demikian kata Allah. Sebagaimana firmanya, “Berusahalah secara
adil dan kamu tidak boleh bertindak tidak adil”. Allah mencintai orang orang berbuat
adil dan membenci orang-orang yang berbuat zalim, Islam telah mengharamkan
setiap hubungan bisnis yang mengandung kezaliman dan kewajibkan terpenuhinya
keadilan yang teraplikasi dalam hubungan dagang dan kontrak bisnis.
d. Bersikap Melayani dan Rendah Hati (Khidmah)
Suatu bisnis akan senantiasa berkembang dan sukses manakala ditunjang dengan adannya
pelayanan terbaik. Misalnya dengan keramahan, senyuman kepada para konsumen
akan semakin baik bisnisnya.
e. Menepati janji dan Tidak Curang
Sikap pebisnis yang selalu menepati janji baik kepada para pembeli maupun diantara sesama
pedagang lainnya, janji yang dimaksudkan dalam hal ini adalah janji dimana seorang
pedagang terhadap pembelinya dalam melakukan transaksi ketika menjanjikan barang
yang di jual itu barang yang baik, semisal seorang pedagang menjadi seorang
produsen, ataupun distributor harus senantiasa menepati janjinya dalam mengirimkan
barang kepada para konsumen atau pembeli misalnya tepat waktu pengiriman,
menyerahkan barang yang kualitasnya, kuantitas, warna, ukuran, atau spesifikasinya
sesuai dengan perjanjian semula, memberi garansi dan lain sebagainya. Sedangkan
janji yang harus ditepati kepada sesama para rekan pedagang misalnya, pembayaran
dengan jumlah dan waktu tepat dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan Al Qur’an
surat al-Maidah Ayat : 1
f. Jujur dan Terpercaya (Al-Amanah)
Dengan sikap kejujuran seorang pedagang akan dipercaya oleh para pembelinya akan tetapi
bila pedagang tidak jujur maka pembeli tidak akan memebeli barang dagangannya.
Tak diragukan bahwasannya ketidak jujuran adalah sikap bentuk kecurangan yang
paling jelek. Orang tidak jujur akan selalu berusaha melakukan penipuan pada orang
lain, Al-Qur’an dengan tegas melarang ketidak jujuran sebagaimana firmanya dalam
surat al-Anfal ayat 27.
g. Tidak berburuk sangka (Su’udz zhan)
Saling menghormati satu sama lain adalah ajaran Nabi Muhammad SAW yang harus di
Implementasikan dalam perilaku bisnis modern. Tidak boleh satu pengusaha
menjelekkan pengusaha lain hanya untuk persaingan bisnis.
h. Tidak suka menjelek-jelekkan (Ghibah)
Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, menodai harga diri, kemuliaan dan
kehormatan orang lain, sedangkan mereka itu tidak ada dihadapannya. Ini merupakan
kelicikan, sebab hal ini sama saja dengan menusuk dari belakang. Sikap semacam ini
merupakan salah satu bentuk penghancuran karakter, sebab pengumpatan dengan
model seperti ini berarti melawan orang lain yang tidak berdaya. Biasanya seorang
pemasar senang apabila telah mengetahui kelemahan, kejelekan dan kekurangan
lawan bisnisnya. Dan biasanya kelemahan dan kejelekan ini senjata untuk
memenangkan pertarungan dipasar dengan jalan menjelek-jelekan atau menfitnah
lawan bisnisnya.
i. Tidak melakukan suap/sogok (riswah)
Dalam syariah, menyuap (Riswah) hukumnya haram, dan menyuap termasuk kedalam
kategori memakan harta orang lain dengan cara bathil. Islam tidak saja
mengharamkan penyuapan melainkan juga mengancam kedua belah pihak yang
terlibat dengan neraka diakhirat. Suap adalah dosa besar dan kejahatan kriminal
didalam suatu Negara. Oleh karena itu mendapat kekayaan dengan cara penyuapan
jelas haram.
ETIKA PADA PERSAINGAN BISNIS PERSPEKTIF ISLAM

Strategi bersaing atau persaingan dalam pandangan Islam dibolehkan dengan kriteria
bersaing secara baik. Salah satunya dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 148 tentang
anjuran berlomba dalam kebaikan: Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia
menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja
kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya
Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. alBaqarah: 148)
Dalam kandungan ayat tersebut dijelaskan bahwa persaingan bertujuan untuk kebaikan
itu diperbolehkan, selama persaingan itu tidak melanggar prinsip syariah seperti yang
dicontohkan oleh Rasulullah Saw. Hal seperti itu ternyata dapat meningkatkan kualitas penjualan
dan menarik para pembeli tanpa menghancurkan pedagang lainnya. Hendaknya seorang muslim
tetap berusaha keras sebaik mungkin dengan penuh tawakkal mengharap ridha-Nya dan apa yang
dilakukan semata-mata untuk beribadah kepada-Nya. Ayat tersebut juga menjelaskan bahwa
sebagai seorang muslim perlu berlombalomba dalam mengerjakan kebaikan. Termasuk untuk
bertransaksi ekonomi berdasarkan syariah maka telah melakukan kebaikan yaitu menegakkan
kebenaran agama.
Didalam surat lain al-Qur’an juga memperingatkan kepada para pesaing untuk tidak
menjadikan dirinya serakah, dengan berlomba-lomba untuk mendapatkan keuntungan duniawi
sebanyak-banyaknya. Karena sikap demikian akan menjadikan manusia lalai dan lengah. Hal ini
Allah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Takathur ayat 1-5: Bermegah-megahan telah
melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan
mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. (QS. at-Takathur : 1-5)
Dalam ayat tersebut, Allah memperingatkan secara keras agar meninggalkan persaingan
semacam itu. Bahkan secara berulang-ulang Allah tegaskan untuk meninggalkan persaingan
tersebut.
Dari penjelasan tersebut jelaslah terlihat bahwa konsep persaingan bisnis berbasis
Qur’ani adalah sebuah konsep persaingan yang menganjurkan para pebisnis untuk bersaing
secara positif (fastabiqul khairat) dengan memberikan kontribusi yang baik dari bisnisnya bukan
untuk menjatuhkan pebisnis lainnya dan menganjurkan pebisnis untuk tidak merugikan dan
memudharatkan pebisnis lainnya. Selain itu, al-Qur’an juga memberikan konsep untuk tidak
melakukan persaingan dalam hal mendapatkan kekayaan sebanyak-banyaknya tanpa
menghiraukan nilai-nilai Islami.
Islam sebagai sebuah aturan hidup yang khas, telah memberikan aturan-aturannya yang
rinci untuk menghindarkan munculnya permasalahan akibat praktik persaingan yang tidak sehat.
Minimal ada tiga unsur yang perlu dicermati dalam membahas persaingan bisnis menurut Islam
yaitu:
a. Pihak-pihak yang bersaing
Manusia merupakan pusat pengendali persaingan bisnis. Ia akan menjalankan bisnisnya terkait
dengan pandangannya tentang bisnis yang digelutinya termasuk persaingan yang terjadi
didalamnya. Bagi seorang muslim, bisnis yang dilakukan adalah dalam rangka
memperoleh dan mengembangkan kepemilikan harta. Harta yang diperoleh adalah rezeki
yang merupakan karunia telah ditetapkan Allah Swt. Bagi seorang muslim persaingan
adalah berebut menjadi yang terbaik, terbaik dalam produk yang bermutu, harga bersaing
“tidak membanting harga, maupun merugikan konsumen”. Dengan hal tersebut
sebagaimana firman Allah Swt: Dan kami jadikan malam sebagai pakaian. Dan kami
jadikan siang untuk mencari penghidupan. (QS. An-Naba’: 10-11)
b. Cara bersaing
Rasulullah Saw telah memberikan contoh bagaiamana bersaing dengan baik. Ketika berdagang,
Rasul tidak pernah melakukan usaha untuk menghancurkan pesaing dagangnya. Itu
bukan berarti Rasulullah berdagang seadanya tanpa memperhatikan daya saingnya. Yang
beliau lakukan adalah dengan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya dan menyebut
spesifikasi barang yag dijual dengan jujur termasuk jika ada cacat pada barang tersebut.
Secara alami, hal seperti itu ternyata justru mampu meningkatkan kualitas penjualan dan
menarik para pembeli tanpa menghancurkan pedagang lainnya.
c. Produk (barang dan jasa) yang dipersaingkan
Islam sendiri memberikan penegasan bahwa barang atau produk yang dipersaingkan harus
mempunyai satu keunggulan. Dan beberapa keunggulan produk yang dapat digunakan
untuk meningkatkan daya saing adalah sebagai berikut:
1. Produk yakni produk usaha bisnis yang dipersaingkan baik barang maupun jasa harus
halal. Spesifikasinya harus sesuai dengan apa yang diharapkan konsumen untuk
menghindari penipuan, kualitas terjamin dan berdaya saing.
2. Harga yakni bila ingin memenangkan persaingan, maka harga harus kompetitif.
Dalam hal ini tidak dikenankan membanting harga dengan tujuan menjatuhkan
pesaing.
3. Tempat yakni tempat yang digunakan harus baik, bersih, sehat dan nyaman serta
harus dihindarkan dari hal-hal yang diharamkan seperti barang yang dianggap sakti
untuk menarik pelanggan.
4. Pelayanan yakni Islam juga sangat menekankan pentingnya sebuah pelayanan dalam
usaha bisnis. Suatu bisnis akan senantiasa berkembang dan sukses manakala
ditunjang dengan adanya pelayanan terbaik. Misalnya dengan keramahan, senyum
kepada para konsumen akan semakin baik dalam berbisnis.
ISLAMIC CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (I-CSR)

CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-
keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam
bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan
kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan
hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku Internasional; serta terintegrasi dengan
organisasi secara menyeluruh. Dengan demikian, CSR adalah kepedulian perusahaan yang
menyisihkan sebagian keuntungannya (profit) bagi kepentingan pembangunan manusia (people)
dan lingkungan (planet) secara berkelanjutan berdasarkan prosedur (procedure) yang tepat dan
profesional.
Allah berfirman : “bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu
kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian,
malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan
orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan
menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang
yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang
yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al Baqarah:177)
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Islam adalah agama yang
mengedepankan pentingnya nilai-nilai sosial di masyarakat ketimbang hanya sekedar
menghadapkan wajah kita ke barat dan ke timur dalam shalat. Tanpa mengesampingkan akan
pentingnya shalat dalam Islam, Al Quran mengintegrasikan makna dan tujuan shalat dengan
nilai-nilai sosial. Di samping memberikan nilai keimanan berupa iman kepada Allah SWT,
Kitab-Nya, dan Hari Kiamat, Al Quran menegaskan bahwa keimanan tersebut tidak sempurna
jika tidak disertai dengan amalan-amalan sosial berupa kepedulian dan pelayanan kepada
kerabat, anak yatim, orang miskin, dan musafir serta menjamin kesejahteraan mereka yang
membutuhkan.
Dalam konteks ini, maka CSR dalam perspektif Islam adalah praktik bisnis yang
memiliki tanggung jawab etis secara islami. Perusahaan memasukan norma-norma agama islam
yang ditandai dengan adanya komitmen ketulusan dalam menjaga kontrak sosial di dalam
operasinya. Dengan demikian, praktik bisnis dalam kerangka CSR Islami mencakup serangkaian
kegiatan bisnis dalam bentuknya. Meskipun tidak dibatasi jumlah kepemilikan barang, jasa serta
profitnya, namun cara-cara untuk memperoleh dan pendayagunaannya dibatasi oleh aturan halal
dan haram oleh syariah. CSR dalam perspektif Islam menurut AAOIFI yaitu segala kegiatan
yang dilakukan institusi finansial Islam untuk memenuhi kepentingan religius, ekonomi, hukum,
etika, dan discretionary responsibilities sebagai lembaga fianansial intermediari baik bagi
individu maupun institusi.
Menurut Islam, CSR yang dilakukan harus bertujuan untuk menciptakan kebajikan yang
dilakukan bukan melalui aktivitas-aktivitas yang mengandung unsur riba, melainkan dengan
praktik yang diperintahkan Allah berupa zakat, infak, sedekah, dan wakaf. CSR juga harus
mengedepankan nilai kedermawanan dan ketulusan hati. Perbuatan ini lebih Allah cintai dari
ibadah-ibadah mahdhah. Rasulullah SAW bersabda, “Memenuhi keperluan seorang mukmin
lebih Allah cintai dari pada melakukan dua puluh kali haji dan pada setiap hajinya menginfakan
ratusan ribu dirham dan dinar”. Dalam hadis lain, Rasulullah SAW juga bersabda, “Jika seorang
muslim berjalan memenuhi keperluan sesama muslim, itu lebih baik baginya daripada
melakukan tujuh puluh kali thawaf di Baitullah.”

Anda mungkin juga menyukai