Anda di halaman 1dari 11

Walaupun para perantauan Tiongkok terdiri dari berbagai asal, namun dalam pandangan orang

Indonesia mereka hanya dikategorikan ke dalam dua golongan :

♦ Tionghoa – Peranakan : Hasil perkawinan campur antara orang Tionghoa dan orang asli Indonesia
(pribumi) yang sudah beranak-pinak, lahir, besar dan tinggal di Indonsia.

♦ Tionghoa – Totok : Orang Tiongkok yang lahir di Negara asalnya.

Awalnya daerah yang pertama didatangi oleh para perantau Hokkian pada abad ke 16 adalah wilayah
Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kebanyakan dari mereka berjenis kelamin laki-laki; dan karena hanya ada
sedikit wanita Tiongkok yang ikut pada waktu itu, maka perkawinan campur dengan wanita pribumi
banyak terjadi setelahnya.
1. Sejarah Etnis Tionghoa sampai ke Indonesia

Orang Cina yang pertama kali datang di Indonesia adalah seorang pendeta

agama Buddha bernama Fa Hien. Ia singgah di Pulau Jawa pada tahun 413. Daerah

yang pertama kali didatangi adalah Palembang. Pada masa itu Palembang merupakan

pusat perdagangan kerajaan Sriwijaya (Hidayat, 1977).

Orang Cina yang merantau saat itu kemudian menetap secara tersebar di

daerah-daerah yang merupakan tempat penting dalam perdagangan di Indonesia.

Objek perdagangan pada masa itu adalah beras, lada dan gula (Hidayat, 1977).

Belanda dan bangsa-bangsa Barat lainnya seperti Inggris dan Portugis masuk

ke Indonesia dan melakukan penjajahan politik dan ekonomi. Pemerintah Hindia

Belanda berusaha meningkatkan perdagangan antar pulau dan mulailah terjadi

perdagangan besar-besaran antar pulau di seluruh Indonesia oleh VOC. Berhubung

orang Cina umumnya merantau sebagai pedagang maka kesempatan ini digunakan
oleh orang Cina untuk migrasi secara besar-besaran ke indonesia.

Pada abad ke-19 dengan berkembangnya perdagangan antar pulau, kedatangan

para migran asal Cina ini makin besar, bahkan bila semula yang datang hanya lakilaki sehingga
menyebabkan sering terjadinya perkawinan dengan penduduk Pribumi,

maka sekarang mereka datang berbondong-bondong membawa anak isteri dan

membentuk perkampungan sendiri yang umumnya terdiri dari penduduk dari ras Cina

(pe'Cina'n).

Kedatangan rombongan orang Cina ini lebih-lebih terjadi dengan pembukaan

perkebunan-perkebunan yang luas di Sumatera oleh pemerintah Hindia Belanda.

Banyak orang Cina yang terdiri dari kaum buruh, hijrah ke Indonesia dan bermukim

di sepanjang pantai Timur Sumatera, pulau Bangka dan Belitung. Pengelompokan

penduduk ras tertentu secara demikian menghasilkan kelompok-kelompok ras Cina

yang hidup secara eksklusif dan menyuburkan tradisi budaya pre mordial Cina. Ini

menghalangi proses asimilasi selanjutnya.


Situasi eksklusivisme Cina/Tionghoa bukan hanya terjadi secara alamiah,

sebab pemerintah Cina demi alasan ekonomi ikut mendorong pelestarian budaya Cina

dimana masyarakat Cina yang merantau dapat membantu pemerintah Cina dalam hal ekonomi. Situasi
ini bertambah parah lagi karena pemerintah kolonial ikut pula

melestarikan budaya eksklusif ini dengan politik adu-dombanya. Pemerintah kolonial

menginginkan agar orang Cina tidak terlalu dekat dengan orang Pribumi sehingga

orang Cina tidak menjadi pesaing bagi pemerintah kolonial tetapi dapat dijadikan

pelaku dagang yang menguntungkan Belanda .

Potensi dagang orang Cina mengkhawatirkan pemerintahan kolonial Belanda

yang berada di Indonesia. Bila orang-orang Cina yang sangat berbakat dagang itu

bersatu dengan orang-orang Pribumi maka kedudukan pemerintah kolonial pasti

terancam. Itulah sebabnya oleh Belanda orang-orang Cina diadu dan dijadikan perisai

dalam menghadapi orang-orang Pribumi khususnya dalam hal perdagangan.


Tuduhan eksklusivisme orang Cina menebal dengan adanya kerinduan

sebagian besar orang Cina untuk mencari uang sebanyak-banyaknya di tanah seberang

dan mengirimkan kepada keluarga mereka di Cina.

Memasuki abad ke-XX dimana-mana timbul kesadaran nasionalisme, baik di

Cina maupun Indonesia. Situasi ini dihadapi oleh pemerintah Belanda dengan

mempertajam politik adu-dombanya, lebih-lebih jumlah orang Cina di Indonesia pada

awal abad itu sudah mencapai lebih dari satu juta jiwa. Orang Cina memang

merupakan dilema bagi orang Belanda. Disatu pihak mereka merupakan pesaing

dagang, di pihak lain mereka diperlukan sebagai perantara bahkan perisai untuk

menghadapi orang Pribumi (Koentjaraningrat, 2002).

Banyak orang Cina dijadikan sebagai penarik pajak dari orang Pribumi dan

banyak diantaranya menggunakan tugas itu untuk keuntungan diri sendiri pula. Itulah

sebabnya kemudian orang Cina dianggap warga negara kelas-2 oleh Belanda, dan
Belanda menganggap dirinya sebagai warga negara kelas-1 bersama orang Barat lainnya. Ini untuk
menghadapi orang Pribumi yang dianggap sebagai warga negara

kelas-3 (Herlianto, 2001).

Sekalipun demikian banyak orang Cina yang memang pada dasarnya adalah

pedagang bebas tidak mau begitu saja direndahkan sekedar menjadi pedagang

perantara. Banyak diantaranya kemudian menjadi penyelundup dan berdagang

langsung dengan penduduk Pribumi.

Makin besarnya jumlah orang Cina, membuat kesadaran nasionalisme pada

orang-orang Cina meningkat, hal ini dapat dilihat dengan didirikannya sekolahsekolah Cina di Indonesia.
Perkembangan tersebut membuat orang Cina lebih senang

menyebut diri mereka sebagai 'Tionghoa' untuk mengaitkan diri dengan tanah leluhur

'Tiongkok.

Pemerintah Hindia Belanda juga mendirikan sekolah-sekolah eksklusif yang

dinamakan Holandse Chinese School dengan status subsidi pada tahun 1908 yang
dibedakan dengan Holandse Indische School untuk orang-orang Pribumi. Sekolah

Cina/Tionghoa memiliki kurikulum yang disamakan dengan sekolah-sekolah Belanda

dan dengan bahasa pengantar Belanda. Pada tahun 1917 pemerintah Belanda

menyamakan hukum orang Cina dengan Belanda dan meninggikan status orang Cina

daripada Pribumi. Sejak itu orang Cina mendapat tiga kursi wakil dalam Volksraad

(DPR) (Herlianto, 2001).

Kedekatan orang Cina dengan Belanda juga dipicu oleh banyaknya orangorang Cina yang kemudian
masuk agama Kristen dan Katolik yang sama dengan

agama orang-orang Belanda. Pada tahun 1920 orang-orang Cina yang berpendidikan

Belanda mendirikan organisasi Chung Hua Hui yang mendapat perwakilan di

Volksraad pada tahun 1939. Pada tahun 1940 banyak orang Cina belajar ke negeri

Belanda sehingga menambah jumlah golongan orang Cina yang berorientasi keBelanda. Pada tahun
1932 juga berdiri Partai Tionghoa Indonesia dan diberi kursi di

Volksraad tahun 1939 yang bertujuan agar orang-orang Cina perantauan menjadi
warga negara Indonesia dan melepaskan diri dari kewarga-negaraan negeri Cina

(Herlianto, 2001).

Tumbuhnya kesadaran nasionalisme di kalangan orang Indonesia pribumi

memang dilandasi sikap antipati kepada kolonialis Belanda tetapi juga kepada orangorang Tionghoa
yang hidupnya secara ekonomis lebih maju dari mereka. Dalam

kenyataannya memang orang-orang Indonesia Pribumi sangat tertinggal dari mereka

baik dalam bidang sosial, ekonomi, pendidikan maupun politik. Ini disebabkan karena

politik ekonomi pemerintah kolonial yang berat sebelah (Herlianto, 2001).

Pada waktu penjajahan Jepang di tahun 1941-1945, kemelut ekonomi

menjadikan ekonomi rakyat Pribumi makin terpuruk dan menjadikan orang-orang

Cina memonopoli ekonomi dan menjadi tukang kredit. Di masa itu ada banyak orang

Cina yang memihak rakyat pribumi dan melawan Belanda, tetapi banyak juga yang

membela Belanda dimana selama ini mereka telah mendapat keuntungan dari
Belanda. Disisi lain, banyak yang berusaha menyelamatkan diri dan hanya mencari

keuntungan di pemerintahan manapun yang ada pada masa tersebut (Herlianto, 2001).

Setelah kemerdekaan RI di tahun 1945 dan Belanda meninggalkan RI di tahun

1950, kekosongan ekonomi yang ditinggalkan oleh monopoli Belanda dengan segera

diisi oleh para pedagang Cina. Dengan demikian di awal kemerdekaan RI, sebagian

perusahaan dan usaha dagang dikuasi orang-orang Cina baik di kota maupun di desadesa (Herlianto,
2001).

Sementara itu, pemerintah Cina meniupkan politik Nasionalisme Tiongkok,

sehingga pemerintah Tiongkok mulai memperhatikan Hoa-Kio (Tionghoa

perantauan). Pada masa itu, pemerintahan Tiongkok menerapkan undang-undangkewarganegaraan RRC


dengan menganut prinsip ius sanguinis, yaitu semua anak

yang lahir dari ayah atau ibu etnis Tionghoa adalah warga negara Cina tanpa

memandang tempat kelahirannya. Sebaliknya, Indonesia menganut prinsip ius soli,

dimana semua anak yang lahir di Indonesia adalah warga negara Indonesia tanpa
memandang kewarganegaraan orang tuanya (Herlianto, 2001).

Di Indonesia, peristiwa anti etnis Tionghoa terlihat dengan adanya peristiwa

G30S PKI. Pemerintah Indonesia curiga bahwa orang Tionghoa ikut terlibat pada

peristiwa ini. Akibatnya, pemerintah orde baru segera mengambil tindakan dengan

menutup konsulat dan kedutaan RRC (Soekisman, 1975).

Di tahun 1967, orang-orang etnis Tionghoa dianjurkan untuk mengganti

namanya dengan nama Indonesia untuk memperkecil perbedaan antara WNI

keturunan Cina dengan WNI asli. Sekalipun demikian, memang tidak mudah bagi

orang-orang Cina yang secara tradisi budaya memiliki perasaan eksklusif dan

superioritas untuk bisa menempatkan diri dalam konteks kemerdekaan. Apalagi ketika

di jaman Belanda warganegara Indonesia memiliki tingkatan yang sama dengan

orang-orang Belanda dan dibuat lebih tinggi statusnya dari orang-orang Pribumi.

Keunggulan dalam perdagangan dan pendidikan waktu itu menyebabkan program


ganti nama seakan-akan mudah layaknya berganti baju dengan badan yang sama

(Soekisman, 1975).

Untuk mengikis sikap eksklusivisme itu, pemerintah melarang penggunaan

simbol-simbol Cina, baik berupa surat kabar maupun penggunaan bahasa Cina di

muka umum. Pada tahun itu pula dikeluarkan peraturan untuk tidak menggunakan

nama 'Tionghoa' karena konotasi keterkaitannya dengan 'Tiongkok' negeri leluhur ras

ini. Untuk meredam konflik lebih besar pemerintah Orde Baru memandang orangorang Cina yang
menjadi WNI sebagai berhak dan berkewajiban sama dengan yang Pribumi, dan menganjurkan agar WNI
keturunan Cina dapat membuka usaha bersama

orang Pribumi (Soekisman, 1975).

Anda mungkin juga menyukai