Anda di halaman 1dari 8

222

FUNGSI LEMBAGA PEMASYARAKATAN


SEBAGAI TEMPAT UNTUK MELAKSANAKAN PEMBINAAN DAN
PELAYANAN TERPIDANA MATI SEBELUM DIEKSEKUSI

Oleh:
Budiyono
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Abstract

Penitentiary was a place to conduct coaching Educate Prisoners and Child Socialization. There are
pro-death penalty views (Retensionist) and cons of death penalty (abolitionist) on the existence of
death penalty and execution. This issue is causing problems from the aspect of regulation that is the
basis of service provision on death row since capital punishment on all the services there are no
specific rules. The problem is the placement and service must be performed by the prisons before
the execution on death row, before it is executed on death row man alive who is naturally still have
rights that must be protected as a right to physical care and health until the corresponding
executable , including also get their rights, as for the rights referred to was referring to the
provisions of Article 14 of Act No.12/1995 about Correctional.

Kata kunci : Lembaga Pemasyarakatan, Pidana mati, Peraturan khusus

A. Pendahuluan yang melebihi dari fungsi yang utama yaitu


Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun melaksanakan pembinaan Narapidana. Persoal-
1995 tentang Pemasyarakatan disebutkan bah- an ini menimbulkan permasalahan dari aspek
wa Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya peraturan yang menjadi dasar terhadap pe-
disebut LAPAS adalah tempat untuk melaksa- layanan terpidana mati karena ketentuan
nakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik tentang pelayanan pidana mati belum ada
Pemasyarakatan. Sedangkan yang dimaksud aturan secara khusus, sedangkan ketentuan
dengan Narapidana adalah Terpidana yang terhadap pelayanan Tahanan sudah ada
menjalani pidana hilang kemeredekaan di peraturannya yaitu diatur dalam Peraturan
LAPAS, sementara yang dimaksud dengan Menteri Kehakiman Republik Indonesia Nomor
Terpidana adalah seseorang yang dipidana M. 04. UM.01.06 Tahun 1983 tentang Tata Cara
berdasarkan putusan pengadilan yang telah Penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata
memperoleh kekuatan hukum tetap. Tertib Rumah Tahanan Negara.
Dengan demikian LAPAS berarti hanya Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat
berfungsi untuk melaksanakan pembinaan bagi untuk melaksanakan pembinaan Narapidana
Terpidana yang menjalani pidana hilang ke- dan anak didik Pemasyarakatan. Narapidana
merdekaan. Sedangkan dalam sistem KUHP adalah terpidana yang menjalani pidana hilang
jenis pidana hilang kemerdekaan (Pasal 10 kemerdekaan di LAPAS. Namun demikian dalam
KUHP) adalah meliputi pidana penjara (baik praktiknya LAPAS antara lain juga dihuni oleh
pidana penjara seumur hidup maupun pidana terpidana yang dijatuhi pidana mati sebelum
penjara sementara) dan pidana kurungan. mereka dieksekusi oleh Jaksa.
Namun dalam kenyataannya LAPAS juga dihuni Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-
oleh Terpidana yang dijatuhi pidana mati undang Nomor: 12 Tahun 1995 tentang Pe-
dan/atau yang berstatus tahanan rumah ta- masyarakatan disebutkan bahwa: Lembaga Pe-
hanan negara. Sehingga dengan kenyataan masyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS
tersebut berarti LAPAS telah melakukan fungsi
Fungsi Lembaga Pemasyarakat sebagai Tempat untuk Melaksanakan 223
Pembinaan dan Pelayanan Terpidana Mati sebelum Dieksekusi

adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Resolusi ACOSOC 1984/50 yang mengatur ”the
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Safeguards Guaranteeintg Protection of the
Pengertian pembinaan secara umum ada- Rights of Those Facing the Death Panelty” yang
lah suatu proses penggunaan manusia, per- menegaskan berlakunya pidana mati pada ”the
alatan, uang, waktu, metode, dan sistem yang most serious, intentional crimes with lethal or
didasarkan pada prinsip tertentu untuk usaha other extremely grave consequences”. Dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan hal ini apabila ada gugatan pidana mati untuk
daya guna dan hasil guna yang sebesar- melakukan ”judicial review” MK hendaknya
besarnya. Pengertian lain daripada “pembina- dapat menggunakan Pancasila sebagai ”margin
an” adalah segala usaha atau tindakan yang of appreceation” mengingat beberapa agama
berhubungan langsung dengan perencanaan, besar di Indonesia juga menghalalkan pidana
penyusunan, pembangunan atau pengembang- 2
mati (memperoleh dukungan kultural).
an, pengarahan, penggunaan serta pengendali- Dalam perspektif global, masih terdapat
an sesuatu secara berdaya guna dan berhasil pandangan pro pidana mati (Retensionis) dan
1
guna. kontra pidana mati (Abolisionis) mengenai
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis eksistensi pidana mati dan eksekusinya. Tidak
akan membahas mengenai fungsi Lembaga Pe- terkecuali di Indonesia yang masih mencantum-
masyarakatan dalam konteks sistem pemasya- kan pidana mati dalam hukum positifnya secara
rakatan sebagai tempat untuk melaksanakan formal dalam Pasal 10 KUHP. Ancaman hukum-
pembinaan dan pelayanan terhadap terpidana an mati di dalam KUHP ditujukan terhadap
mati yang dititipkan di LAPAS sebelum yang tindak pidana yang dianggap sangat berbahaya,
bersangkutan dieksekusi. yaitu dalam Pasal 104, 110 ayat (1), ayat (2),
111 ayat (2), 112, 113, 124 ayat (1), 124 bis,
B. Pembahasan
125, 127, 129, 140 ayat (3), 185, 340, 444, 479
Dikemukakan oleh Muladi, sekalipun hal
ayat (1) dan Pasal 479 ayat (2). Selain itu
untuk hidup (the right to life) juga merupakan
ancaman pidana mati masih diancamkan dalam
”non derograble rights” yang dijamin oleh UUD
berbagai Undang-undang tentang tindak pidana
1945, namun tampak bahwa negara-negara di
khusus, seperti tindak pidana terorisme, nar-
dunia masih menunjukkan ambivalensi terhadap 3
pengaturan pidana mati. Ada yang masuk kotika, korupsi dan dalam KUHPidana Militer.
ketegori ”abolisionis” adapula yang masuk Mengutip penyataan Mardjono Reksodi-
kategori ”retentionis”, di samping yang masuk putro pada saat didengar pendapatnya sebagai
kategori ”abolisionis de facto (in paractice)”. ahli pada sidang di Mahkamah Konstitusi bahwa
Ada juga yang semula menghapuskan, tetapi hukuman mati masih diperlukan tapi bukan
mengaktifkan kembali (reistated). PBB sendiri pada pidana pokoknya ”Ia harus menjadi pidana
bersifat ”doble standart”, karena di samping khusus yang diterapkan secara hati-hati,
menegaskan larangan pengaturan dan pen- selektif khusus pada kasus-kasus berbahaya dan
jatuhan pidana mati dalam ”Second Optimal ditetapkan secara bulat oleh Majelis Hakim.
Protocol to the ICCP (1966)”, namun masih Dengan demikian hukuman mati dalam pe-
mengijinkannya dalam masa perang kaitannya nerapannya dilaksanakan di Indonesia dengan
dengan kejahatan perang. prinsip kehati-hatian (prudential principle) dan
Bahkan dalam Article 6 (2) ICCP dinyata-
2
kan agar pidana mati sebaiknya dibatasi hanya Muladi, 2008. Pancasila Sebagai Margin of Appreciation
dalam Hukum yang Hidup di Indonesia. dalam : Ahmad
untuk ”the most serious crimes”. Begitu pula Gunawan, BS dan Mu’ammar Ramadhan (Penyunting),
Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Semarang :
Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo Semarang dan Program
1
Tim Peneliti BPHN dan FISIP UI, 1988, Aspek-aspek yang Doktor Ilmu Hukum UNDIP, hlm. 214
3
Mempengaruhi Penerimaan Bekas Narapidana dalam Departemen Hukum dan HAM RI, 2007, Jurnal
Masyarakat. Laporan Penelitian, Jakarta: Badan Legislasi Indonesia. Vol. 4 No. 4 Desember 2007.
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
hlm. 16 Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, hlm. iii
224 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 9 No. 3 September 2009

tidak sewenang-wenang dengan memperhatikan ternyata tidaklah mudah untuk memper-


perubahan dan perkembangan (trend) penerap- baikinya;
an pidana mati di berbagai negara yang cen- 2. berdasarkan landasan Pancasila yang dikait-
derung menurun/berkurang. Penerapan hukum- kan dengan perkembangan ilmu pengetahu-
an mati yang dijatuhkan terhadap kejahatan an hukum harus ditarik garis pemikiran
yang sifatnya serius (the most serious crimes) kemanfaatannya demi kepentingan umum
adalah merupakan alternatif yang menjadi bagi masyarakat lebih didahulukan baru
4 kemudian bagi kepentingan individu. Mana-
pilihan terakhir bagi upaya penegakan hukum.
Berkenaan dengan masalah pidana mati kala ada pertentangan atas dua pola ke-
J.E. Sahetapy mempunyai pendapat sebagai pentingan, maka memakai sandaran cara
berikut : Tepat sekali kiranya rumusan “for the berfikir bahwa bekerjanya tertib hukum
achievement of the policy of the government yang efficient lebih baik mulai bertikik
of the day”. “Policy of the government” bukan- tolak kepada kepentingan masyarakat yang
lah kebijaksanaan program pemerintahan kare- menjadi dasar di atas kepentingan-ke-
na badan ini setiap waktu dapat diganti. pentingan lain, dalam arti tidak terdapat
Dengan demikian, “policy of the government” ketertiban hukum, maka kepantingan yang
harus diartikan “policy” untuk melaksanakan lain tidak dapat dilaksanakan. Di samping itu
pokok kaidah negara, yaitu Pancasila. dasar pembenaran untuk pencegahan ke-
Bahwa pidana mati kiranya kelak akan tidakadilan yang ditimbulkan oleh kejahatan
dipatahkan batang lehernya, adalah betul-betul adalah alasan subsociale merupakan suatu
suatu harapan mulia karena tak boleh jemu kepentingan umum bagi masyarakat yang
berusaha agar “de straf daarbij bovenal de mempunyai sifat lebih tinggi;
functie moet hebben, de crimineel geworden 3. dalam hal berbicara tentang budaya dan
mens in de teokomst zo veel mogelijk van peradaban bangsa Indonesia tidaklah mung-
criminaliteit te weerhoudem”. Selanjutnya kin berslogan melambung tinggi melampaui
harapan mulia itu dipantulkan dari sila kedua kenyataan dari peradaban bangsa-bangsa
dari Pancasila, dicerminkan oleh eks pasal 11 lain, tertama terhadap negara tetangga yang
UUDS, yaitu ”tiada seorang jua pun akan disiksa dalam kenyataannya tidak menjadi rendah
atau diperlakukan atau di hukum secara ganas, karena masih mengancam menjatuhkan hu-
tidak mengenal perikemanusiaan atau meng- kuman mati;
hina”.
5 4. ilmu pengetahuan tentang tujuan hukum
Bambang Purnomo setuju dengan pidana pidana dan pemidanaan tidak dapat me-
mati: ”Pidana mati dapat dipertanggungjawab- lepaskan sama sekali sikap alternatif pidana
kan dalam negara Pancasila yang diwujudkan dan unsur-unsur yang berupa pembalasan,
sebagai perlindungan individu sekaligus juga tujuan umum, tujuan khusus, pendidikan,
melindungi masyarakat demi terciptanya ke- menakutkan, dan membinasakan bagi ke-
adilan dan kebenaran hukum berdasarkan Ke- jahatan-kejahatan tertentu di mana masing-
6 masing tujuan itu dipergunakan secara
Tuhanan Yang Maha Esa”.
selektif dan effektif menurut keperluan
Menurut Bambang Purnomo, bahwa pida- 7
sesuai dengan peristiwanya.
na mati masih perlu dengan alasan:
1. baik dalam hal pelaksanaan pidana mati
maupun pidana penjara, apabila terjadi ke- Terkait dengan persoalan pidana mati
keliruan putusan hakim, menurut kenyatan sebagaimana dikemukakan oleh Bambang
Pornomo yang menyetujui adanya hukuman
4
mati, Roeslan Saleh dan Sudarto justru tidak
Ibid., hlm. iv
5
J.E. Sahetapy, 2007, Pidana Mati dalam Negara setuju dengan pidana mati, dengan alasan :
Pancasila. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm. 65.
6
Departemen Hukum dan HAM RI. 2007. op.cit, hlm.
7
28 Ibid., hlm. 30
Fungsi Lembaga Pemasyarakat sebagai Tempat untuk Melaksanakan 225
Pembinaan dan Pelayanan Terpidana Mati sebelum Dieksekusi

Pendapat Roeslan Saleh : 5. Pendekatan dilakukan secara individual dan


1. Kalau ada keleliruan putusan hakim tidak kelompok.9
dapat diperbaiki lagi ; Terlepas dari pro dan kontra masalah
2. Mendasarkan kepada falsafah Negara Pan- pidana mati, namun kenyataannya dalam sis-
casila, maka pidana mati itu dipandang ber- tem hukum pidana di Indonesia ini masih
tentangan dengan perikemanusiaan. menganut hukum pidana mati. Satjipto Rahar-
Pendapat Sudarto : djo mengemukakan, marilah dengan semangat
1. Karena manusia tidak berhak mencabut bangun dari keterpurukan hukum sekarang ini,
nyawa orang lain, apalagi bila diingat bahwa kita membangun kembali hukum Indonesia
Hakim bisa salah menjatuhkan hukuman; dengan suatu penegasan filsafat baru, bahwa
2. Tidak benar hukuman mati untuk menakut- hukum hendaknya memberikan kebahagiaan
nakuti agar orang tidak berbuat jahat, kepada rakyat. Memang, untuk bisa bergaul
karena nafsu tidak dapat dibendung dengan dalam komunitas internasional, kita perlu
ancaman. mengunakan hukum modern yang umum dipakai
Sementara sarjana yang tidak setuju di dunia. Tetapi apa pun pilihan yang dilakukan
dengan hukuman pidana mati adalah Yap Thian oleh bangsa Indonesia, tidak ada yang melarang
Hien, dengan mengemukakan bahwa: bangsa ini untuk menjadi bahagia. Bahkan, itu
”Saya gembira kalau hukuman mati di- yang jauh lebih penting. Sekarang kita
keluarkan dari semua Undang-undang mengalami bagaimana terpuruknya sistem
baik KUHP maupun Pidana Khusus. Allah hukum kita dan lebih daripada itu kita menjadi
melarang membunuh manusia. Dan 10
tidak bahagia.
hukuman mati tidak lain pembunuhan
yang dilegalisir. Pemidanaan, menurut Arti penting pelaksanaan pidana penjara
falsafah hukum modern, tidak untuk dengan Sistem Pemasyarakatan diuraikan oleh
membalas dendam. Tapi untuk mendidik Romli Atmasasmita, yaitu sebagai berikut:
dan memperbaiki manusia yang rusak. Memasyarakatkan kembali narapidana
Kalau sudah mati tidak lagi bisa tobat, itu sehingga menjadi warga yang baik dan
tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. berguna (heatlhy reentry into the com-
Hukuman mati hanya menunjukan ke- munity) pada hakikatnya adalah resosiali-
8
tidakmampuan mendidik narapidana”. sasi dan tidak terdapat pembedaan yang
fundamental antara pengertian resosiali-
Pembinaan narapidana di dalam Lembaga sasi menurut ukuran pemasayarakatan
Pemasyarakatan menurut Tim Peneliti Puslit- dan menurut ukuran teori-teori kepen-
bang Departemen Kehakiman dan HAM RI. 2003 jaraan (correction) yang berlaku di ne-
gara-negara Barat terutama Amerika.
dilaksanakan dengan metode atau cara sebagai
Sebelum sampai pada pengertian reso-
berikut: sialisasi terlebih dahulu kita tinjau
1. Pembinaan interaksi langsung yang bersifat konsep sosialisasi. Sosialisasi adalah suatu
kekeluargaaan antara petugas pembina dan proses interaksi bagi seseorang untuk
narapidana. menjadi warga yang baik dan patuh pada
hukum, dengan tujuan untuk memberikan
2. Pembinaan yang bersifat persuasif yang di-
seorang narapidana pengetahuan, ke-
tujukan untuk memperbaiki pola tingkah la- mampuan dan motivasi. Dalam konteks
ku melalui contoh-contoh dan keteladanan. strategi kepenjaraan tujuan resosialisai
3. Menempatkan narapidana sebagai manusia me-ngandung implikasi perubahan dalam
yang memiliki potensi dan harga diri dengan kesadaran kelompok.11
hak dan kewajiban yang sama dengan
manusia lainnya. 9
Tim Peneliti Puslitbang Departemen Kehakiman dan
4. Pembinaan dilaksanakan berencana, terus- 10
HAM RI. 2003, hlm. 108
Satjipto Rahardjo, 2006, Membedah Hukum Progresif.
menerus dan sistematis. Joni Emirzon (Eds), Jakarta: PT Kompas Media
Nusantara, hlm. 15
11
Romli Atmasasmita, 1995, Kapita Selekta Hukum
8
Loc. cit. Pidana, Bandung: CV. Mandar Maju, hlm. 44-47
226 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 9 No. 3 September 2009

Proses pelaksanaan pidana penjara kan hak-haknya, adapun hak-hak dimaksud


dengan Sistem Pemasyarakatan menurut adalah mengacu pada ketentuan Pasal 14 UU
Bambang Poernomo di dalamnya terdapat 3 No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
(tiga) perangkat unsur atau komponen yang yaitu :
saling berkaitan, yaitu : 1. melakukan ibadah sesuai dengan agama atau
a. Narapidana : kepercayaannya;
Narapidana merupakan komponen masukan 2. mendapat perawatan, baik perawatan
sistem (raw input) yang telah memenuhi rohani maupun jasmani;
persyaratan seleksi dan kualifikai tertentu 3. mendapatkan pelayanan kesehatan dan
yang hendak diproses menjadi bahan makanan yang layak;
keluaran (output) sesuai dengan tujuan 4. menyampaikan keluhan;
sistem, yaitu menjadi orang yang baik dan 5. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti
taat pada hukum. siaran media massa lainnya yang tidak
b. Alat Negara, penegak hukum beserta dilarang;
masyarakat : 6. menerima kunjungan keluarga, penasihat
Setiap komponen pegawai pelaksana pidana hukum, atau orang tertentu lainnya;
penjara, hakim, jaksa dan polisi harus 7. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan
mampu menjalankan dan mampu memberi- peraturan perundang-undangan yang
kan makna peraturan hukum menganai berlaku.
pidana penjara, dan dengan bantuan masya- Namun demikian, ketentuan-ketentuan
rakat dapat menciptakan peranan bersama yang mengatur bagaimana melakukan pelayan-
untuk menunjang tugas-tugas memperlaku- an terhadap Terpidana mati selama menghuni
kan narapidana sesuai dengan pembaharuan LAPAS sebelum dieksekusi sampai saat ini
pidana penjara. belum ada peraturan yang jelas. Hal ini
c. Lingkungan hidup sosial dengan segala menimbulkan kebimbangan dan ketidakpastian
aspeknya : bagi aparat/petugas LAPAS dalam melakukan
Lingkungan hidup sosial dengan segala as- pelayanan terhadap Terpidana mati.
peknya, merupakan komponen yang dapat Pidana mati merupakan jenis pidana
menjadi faktor penunjang di dalam men- dalam usianya, setua usia kehidupan manusia
capai tujuan yang perlu diperhitungkan dan paling kontroversial dari semua sistem
dalam sistem proses. Faktor lingkungan yang pidana, baik di negara-negara yang menganut
demikian itu misalnya: instruksi penguasa, sistem Common Law, maupun di negara-negara
kebijaksanaan petuas setempat, adat yang menganut Civil Law. Terdapat dua arus
istiadat, daerah, pendidikan penduduk dan pemikiran utama menganai pidana mati ini,
kepadatan penduduk. 12 yaitu: pertama, adalah mereka yang ingin tetap
Persoalan terpidana mati adalah penem- mempertahankannya berdasarkan ketentuan-
patan dan pelayanan yang harus dilakukan oleh ketentuan yang berlaku, dan kedua, adalah
LAPAS sebelum Terpidana mati tersebut diekse- mereka yang ingin menghapuskan secara
kusi, karena sebelum terpidana mati dieksekusi keseluruhan. Kecenderungan masa kini adalah
berarti yang bersangkutan adalah manusia yang penghapusan pidana mati, seperti yang di-
masih hidup yang secara alamiah tetap mem- lakukan beberapa negara Amerika Serikat dan
punyai hak-hak yang harus dilindungi seperti Negara-negara Uni Eropa. Indonesia, termasuk
hak untuk mendapatkan pelayanan perawatan Negara yang masih mempertahankan pidana
secara fisik dan kesehatan sampai yang ber- mati dalam sistem hukum posistifnya. Hal ini
sangkutan dieksekusi, termasuk juga mendapat- terlihat baik di dalam Kitab Undang-undang

12
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana
Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta:
Liberty, hlm. 94
Fungsi Lembaga Pemasyarakat sebagai Tempat untuk Melaksanakan 227
Pembinaan dan Pelayanan Terpidana Mati sebelum Dieksekusi

Hukum Pidana (KUHP), di luar KUHP (undang- binaan terhadap narapidana dan mengembali-
13 kan kesatuan hidup dari narapidana, jadi lebih
undang pidana khusus).
Hukuman mati di Indonesia sudah lama dititik-beratkan kepada prevensi spesial. Oleh
berlangsung, yaitu sejak bangsa Indonesia di karena merupakan kenyataan, bahwa gagasan
jajah Belanda, hingga sampai sekarang masih pemasyarakatan itu telah menjadi dasar pem-
tetap diberlakukan walaupun di Negara Belanda binaan para narapidana yang dijatuhi pidana
17
telah menghapuskan pidana mati mulai tahun pancabutan kemerdekaan”.
1987. KUHP (Wetboek Van Strafrecht) disahkan Menurut Sudarto dinyatakan bahwa ru-
pada tanggal 1 Januari 1981. Menurut ahli-ahli musan dalam kedua Pasal tersebut lebih
pidana pada saat itu mempertahankan pidana menjelaskan konsepsi pemasyarakatan di Indo-
mati karena keadaan khusus di Indonesia nesia, dan perumusan konsep pemasyarakatan
menuntut supaya penjahat-penjahat yang ter- dalam Konsep RUU Pemasyarakatan tersebut
besar bisa dilawan dengan pidana mati. Dengan menurut Sudarto juga tidak berbeda jauh
wilayah yang begitu luas dengan penduduk yang dengan konsep pemasyarakatan yang
heterogen, alat Kepolisian Negara tidak bisa dikemukakan oleh Bahrudin Surjobroto yang
14 pada prinsipnya menyatakan, “Pemasyarakatan
menjamin keamanan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM- ialah “suatu proses pembinaan untuk
NASHAM) terbelah dua tentang hukuman mati, mengembalikan kesatuan hidup dari
18
ada yang pro dan ada juga yang kontra. Hukum- terpidana”.
an mati di Indonesia harus dipertahankan atau Undang-Undang tentang Pemasyarakat-an
dihapuskan. Bagi yang pro, hukuman terberat (UU No. 12 Tahun 1995) telah dirumuskan
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terpidana secara tegas tentang konsep pemasyarakatan
masih diperlukan terutama tindak pidana sebagaimana dimuat dalam “Bab I Ketentuan
kejam. Bagi yang kontra, hukuman mati Umum, Pasal 1 angka 1 dan angka 2, sebagai
inskonstitusional atau bertentangan dengan berikut :
konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 ter- Dalam undang-undang ini yang dimaksud
utama hak hidup.
15 dengan:
1. Pemasyarakatan adalah kegiatan un-
Pidana mati sebagaimana tercantum tuk melakukan pembinaan Warga
dalam KUHP berlaku di Indonesia sejak Januari Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
1998 dan diatur dalam Pasal 10. Dalam pasal ini sistem, kelembagaan, dan cara pem-
dimuat dua macam bentuk pidana, yaitu pidana binaan yang merupakan bagian akhir
pokok dan pidana tambahan. Pidana mati dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana.
adalah bagian dari pidana pokok, adapun 2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu
ketentuan di luar KUHP antara lain adalah tatanan mengenai arah dan batas
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 serta cara pembinaan Warga Binaan
tentang Norkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Pemasyarakatan berdasarkan Panca-
Tahun 1995 tentang Psikotropika, Undang- sila yang dilaksanakan secara terpadu
antara pembina, yang dibina, dan
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pem- masyarakat untuk meningkatkan kua-
berantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang- litas Warga Binaan Pemasyarakatan
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadil- agar menyadari kesalahan, memper-
an Hak Asasi Manusia.
16 baiki diri, dan tidak mengulangi tin-
dak pidana sehingga dapat diterima
Sistem pemasyarakatan memandang pi- kembali oleh lingkungan masyarakat,
dana sebagai sarana untuk mencapai tujuan dapat secara aktif berperan dalam
yang bermanfaat dengan mengadakan pem- pembangunan, dan dapat hidup

13 17
Departemen Hukum dan HAM RI. 2007. Op. cit. hlm. 44 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana: Masalah
14
Ibid., hlm. 62 Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan. Bandung :
15
Loc. cit. Alumni, hlm. 111
16 18
Loc. cit. Ibid. hlm. 98
228 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 9 No. 3 September 2009

secara wajar sebagai warga negara Oleh karena tidak adanya aturan khusus
yang baik dan bertanggung jawab. bagi pelayanan Terpidana mati yang di tempat-
kan di LAPAS adalah apabila terjadi pelanggar-
Kemudian dalam Undang-Undang Pemasya- an tata tertib di dalam Lapas yang dilakukan
rakatan Nomor: 12 Tahun 1995 tersebut diru- oleh Terpidana mati maka petugas LAPAS tidak
muskan pula tentang “tujuan” dan “fungsi” dapat mengenakan penjatuhan sanksi disiplin
Sistam Pemasyarakatan, seperti yang dirumus- baik yang bersifat internal maupun eksternal.
kan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 sebagai berikut: Terpidana mati tetap dititipkan di LAPAS
Pasal 2 : sebelum dieksekusi maka harus segera dibuat
Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dalam rangka membentuk Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi manusia menjadi dasar pelayanan Terpidana mati se-
seutuhnya, menyadari kesalahan, mem- lama di LAPAS. Segera dibentuk isntitusi khu-
perbaiki diri, dan tidak mengulangi tin- sus yang diperuntukkan bagi penempatan
dak pidana sehingga dapat diterima kem- Terpidana mati sebelum menjalani eksekusi,
bali oleh lingkungan masyarakat, dapat seperti halnya penempatan khusus yang
aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga diperuntukkan bagi Tahanan.
yang baik dan bertanggung jawab.
Pasal 3: Daftar Pustaka
Sistem pemasyarakatan berfungsi me- Arief, Barda Nawawi. 1994. Kebijakan Legis-
nyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan latif dalam Penanggulangan Kejahatan
agar dapat berintegrasi secara sehat Dengan Pidana Penjara. Semarang: CV.
dengan masyarakat, sehinga dapat ber- Ananta;
peran kembali sebagai anggota masya-
rakat yang bebas dan bertanggung jawab. ----------. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hu-
kum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti;
C. Penutup Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat Hukum Pidana. Bandung: CV. Mandar
disimpulkan beberapa hal berikut ini: Maju;
1. Peraturan perundang-undangan tentang pe- Departemen Hukum dan HAM RI. Jurnal
layanan bagi Terpidana mati yang ditempat- Legislasi Indonesia. Vol. 4 No. 4 – De-
kan di LAPAS belum ada dengan kata lain sember 2007. Jakarta: Direktorat Jen-
deral Peraturan Perundang-undangan
masih terdapat kekosongan hukum; Bahwa Departemen Hukum dan HAM;
Terpidana mati seyogyanya ditempatkan di
Gunawan, Ahmad BS dan Mu’ammar Ramadhan
tempat khusus di luar LAPAS dan memliki
(Penyunting). 2008. Menggagas Hukum
dasar peraturan tentang pelayanannya Progresif Indonesia. Semarang: Pustaka
seperti halnya penempatan Tahanan yang Pelajar, IAIN Walisongo Semarang dan
ditempatkan di tempat khusus yang disebut Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP;
Rumah Tahanan Negara (Rutan). Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan
2. Fungsi utamanya adalah melakukan pem- Pidana. Semarang: Badan Penerbit UN-
binaan terhadap Narapidana yaitu Terpidana DIP;
yang menjalani pidana hilang kemerdekaan Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan
di LAPAS. Dengan ditempatkannya Terpidana Pidana Penjara dengan Sistem
mati di dalam LAPAS hal ini menimbulkan Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty;
kesulitan bagi LAPAS. Sehingga dalam hal ini Rahardjo, Satjipto. 2006. Membedah Hukum
secara yuridis LAPAS dengan menerima Progresif. Joni Emirzon (Eds). Jakarta:
titipan Terpidana mati sebenarnya telah PT Kompas Media Nusantara;
melampaui tugas dan tanggung jawabnya Sahetapy, J.E. 2007. Pidana Mati dalam Negara
sebagai institusi pembinaan Narapidana Pancasila. Bandung: Citra Aditya Bakti;
berdaarkan Sistem Pemasyarakatan;
Fungsi Lembaga Pemasyarakat sebagai Tempat untuk Melaksanakan 229
Pembinaan dan Pelayanan Terpidana Mati sebelum Dieksekusi

Tim Peneliti BPHN dan FISIP UI. 1988. Aspek- Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 8
aspek yang Mempengaruhi Penerimaan Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Bekas Narapidana dalam Masyarakat. Hukum Pidana (KUHP)
Laporan Penelitian, Jakarta: Badan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 12
Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Kehakiman ;

Anda mungkin juga menyukai