233 372 1 PB PDF
233 372 1 PB PDF
Oleh:
Budiyono
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Abstract
Penitentiary was a place to conduct coaching Educate Prisoners and Child Socialization. There are
pro-death penalty views (Retensionist) and cons of death penalty (abolitionist) on the existence of
death penalty and execution. This issue is causing problems from the aspect of regulation that is the
basis of service provision on death row since capital punishment on all the services there are no
specific rules. The problem is the placement and service must be performed by the prisons before
the execution on death row, before it is executed on death row man alive who is naturally still have
rights that must be protected as a right to physical care and health until the corresponding
executable , including also get their rights, as for the rights referred to was referring to the
provisions of Article 14 of Act No.12/1995 about Correctional.
adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan Resolusi ACOSOC 1984/50 yang mengatur ”the
Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. Safeguards Guaranteeintg Protection of the
Pengertian pembinaan secara umum ada- Rights of Those Facing the Death Panelty” yang
lah suatu proses penggunaan manusia, per- menegaskan berlakunya pidana mati pada ”the
alatan, uang, waktu, metode, dan sistem yang most serious, intentional crimes with lethal or
didasarkan pada prinsip tertentu untuk usaha other extremely grave consequences”. Dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan dengan hal ini apabila ada gugatan pidana mati untuk
daya guna dan hasil guna yang sebesar- melakukan ”judicial review” MK hendaknya
besarnya. Pengertian lain daripada “pembina- dapat menggunakan Pancasila sebagai ”margin
an” adalah segala usaha atau tindakan yang of appreceation” mengingat beberapa agama
berhubungan langsung dengan perencanaan, besar di Indonesia juga menghalalkan pidana
penyusunan, pembangunan atau pengembang- 2
mati (memperoleh dukungan kultural).
an, pengarahan, penggunaan serta pengendali- Dalam perspektif global, masih terdapat
an sesuatu secara berdaya guna dan berhasil pandangan pro pidana mati (Retensionis) dan
1
guna. kontra pidana mati (Abolisionis) mengenai
Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis eksistensi pidana mati dan eksekusinya. Tidak
akan membahas mengenai fungsi Lembaga Pe- terkecuali di Indonesia yang masih mencantum-
masyarakatan dalam konteks sistem pemasya- kan pidana mati dalam hukum positifnya secara
rakatan sebagai tempat untuk melaksanakan formal dalam Pasal 10 KUHP. Ancaman hukum-
pembinaan dan pelayanan terhadap terpidana an mati di dalam KUHP ditujukan terhadap
mati yang dititipkan di LAPAS sebelum yang tindak pidana yang dianggap sangat berbahaya,
bersangkutan dieksekusi. yaitu dalam Pasal 104, 110 ayat (1), ayat (2),
111 ayat (2), 112, 113, 124 ayat (1), 124 bis,
B. Pembahasan
125, 127, 129, 140 ayat (3), 185, 340, 444, 479
Dikemukakan oleh Muladi, sekalipun hal
ayat (1) dan Pasal 479 ayat (2). Selain itu
untuk hidup (the right to life) juga merupakan
ancaman pidana mati masih diancamkan dalam
”non derograble rights” yang dijamin oleh UUD
berbagai Undang-undang tentang tindak pidana
1945, namun tampak bahwa negara-negara di
khusus, seperti tindak pidana terorisme, nar-
dunia masih menunjukkan ambivalensi terhadap 3
pengaturan pidana mati. Ada yang masuk kotika, korupsi dan dalam KUHPidana Militer.
ketegori ”abolisionis” adapula yang masuk Mengutip penyataan Mardjono Reksodi-
kategori ”retentionis”, di samping yang masuk putro pada saat didengar pendapatnya sebagai
kategori ”abolisionis de facto (in paractice)”. ahli pada sidang di Mahkamah Konstitusi bahwa
Ada juga yang semula menghapuskan, tetapi hukuman mati masih diperlukan tapi bukan
mengaktifkan kembali (reistated). PBB sendiri pada pidana pokoknya ”Ia harus menjadi pidana
bersifat ”doble standart”, karena di samping khusus yang diterapkan secara hati-hati,
menegaskan larangan pengaturan dan pen- selektif khusus pada kasus-kasus berbahaya dan
jatuhan pidana mati dalam ”Second Optimal ditetapkan secara bulat oleh Majelis Hakim.
Protocol to the ICCP (1966)”, namun masih Dengan demikian hukuman mati dalam pe-
mengijinkannya dalam masa perang kaitannya nerapannya dilaksanakan di Indonesia dengan
dengan kejahatan perang. prinsip kehati-hatian (prudential principle) dan
Bahkan dalam Article 6 (2) ICCP dinyata-
2
kan agar pidana mati sebaiknya dibatasi hanya Muladi, 2008. Pancasila Sebagai Margin of Appreciation
dalam Hukum yang Hidup di Indonesia. dalam : Ahmad
untuk ”the most serious crimes”. Begitu pula Gunawan, BS dan Mu’ammar Ramadhan (Penyunting),
Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Semarang :
Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo Semarang dan Program
1
Tim Peneliti BPHN dan FISIP UI, 1988, Aspek-aspek yang Doktor Ilmu Hukum UNDIP, hlm. 214
3
Mempengaruhi Penerimaan Bekas Narapidana dalam Departemen Hukum dan HAM RI, 2007, Jurnal
Masyarakat. Laporan Penelitian, Jakarta: Badan Legislasi Indonesia. Vol. 4 No. 4 Desember 2007.
Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
hlm. 16 Jakarta: Departemen Hukum dan HAM, hlm. iii
224 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 9 No. 3 September 2009
12
Bambang Poernomo, 1986, Pelaksanaan Pidana
Penjara dengan Sistem Pemasyarakatan, Yogyakarta:
Liberty, hlm. 94
Fungsi Lembaga Pemasyarakat sebagai Tempat untuk Melaksanakan 227
Pembinaan dan Pelayanan Terpidana Mati sebelum Dieksekusi
Hukum Pidana (KUHP), di luar KUHP (undang- binaan terhadap narapidana dan mengembali-
13 kan kesatuan hidup dari narapidana, jadi lebih
undang pidana khusus).
Hukuman mati di Indonesia sudah lama dititik-beratkan kepada prevensi spesial. Oleh
berlangsung, yaitu sejak bangsa Indonesia di karena merupakan kenyataan, bahwa gagasan
jajah Belanda, hingga sampai sekarang masih pemasyarakatan itu telah menjadi dasar pem-
tetap diberlakukan walaupun di Negara Belanda binaan para narapidana yang dijatuhi pidana
17
telah menghapuskan pidana mati mulai tahun pancabutan kemerdekaan”.
1987. KUHP (Wetboek Van Strafrecht) disahkan Menurut Sudarto dinyatakan bahwa ru-
pada tanggal 1 Januari 1981. Menurut ahli-ahli musan dalam kedua Pasal tersebut lebih
pidana pada saat itu mempertahankan pidana menjelaskan konsepsi pemasyarakatan di Indo-
mati karena keadaan khusus di Indonesia nesia, dan perumusan konsep pemasyarakatan
menuntut supaya penjahat-penjahat yang ter- dalam Konsep RUU Pemasyarakatan tersebut
besar bisa dilawan dengan pidana mati. Dengan menurut Sudarto juga tidak berbeda jauh
wilayah yang begitu luas dengan penduduk yang dengan konsep pemasyarakatan yang
heterogen, alat Kepolisian Negara tidak bisa dikemukakan oleh Bahrudin Surjobroto yang
14 pada prinsipnya menyatakan, “Pemasyarakatan
menjamin keamanan.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOM- ialah “suatu proses pembinaan untuk
NASHAM) terbelah dua tentang hukuman mati, mengembalikan kesatuan hidup dari
18
ada yang pro dan ada juga yang kontra. Hukum- terpidana”.
an mati di Indonesia harus dipertahankan atau Undang-Undang tentang Pemasyarakat-an
dihapuskan. Bagi yang pro, hukuman terberat (UU No. 12 Tahun 1995) telah dirumuskan
yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terpidana secara tegas tentang konsep pemasyarakatan
masih diperlukan terutama tindak pidana sebagaimana dimuat dalam “Bab I Ketentuan
kejam. Bagi yang kontra, hukuman mati Umum, Pasal 1 angka 1 dan angka 2, sebagai
inskonstitusional atau bertentangan dengan berikut :
konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 ter- Dalam undang-undang ini yang dimaksud
utama hak hidup.
15 dengan:
1. Pemasyarakatan adalah kegiatan un-
Pidana mati sebagaimana tercantum tuk melakukan pembinaan Warga
dalam KUHP berlaku di Indonesia sejak Januari Binaan Pemasyarakatan berdasarkan
1998 dan diatur dalam Pasal 10. Dalam pasal ini sistem, kelembagaan, dan cara pem-
dimuat dua macam bentuk pidana, yaitu pidana binaan yang merupakan bagian akhir
pokok dan pidana tambahan. Pidana mati dari sistem pemidanaan dalam tata
peradilan pidana.
adalah bagian dari pidana pokok, adapun 2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu
ketentuan di luar KUHP antara lain adalah tatanan mengenai arah dan batas
dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 serta cara pembinaan Warga Binaan
tentang Norkotika dan Undang-Undang Nomor 5 Pemasyarakatan berdasarkan Panca-
Tahun 1995 tentang Psikotropika, Undang- sila yang dilaksanakan secara terpadu
antara pembina, yang dibina, dan
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pem- masyarakat untuk meningkatkan kua-
berantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang- litas Warga Binaan Pemasyarakatan
Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadil- agar menyadari kesalahan, memper-
an Hak Asasi Manusia.
16 baiki diri, dan tidak mengulangi tin-
dak pidana sehingga dapat diterima
Sistem pemasyarakatan memandang pi- kembali oleh lingkungan masyarakat,
dana sebagai sarana untuk mencapai tujuan dapat secara aktif berperan dalam
yang bermanfaat dengan mengadakan pem- pembangunan, dan dapat hidup
13 17
Departemen Hukum dan HAM RI. 2007. Op. cit. hlm. 44 Sudarto, 1981, Kapita Selekta Hukum Pidana: Masalah
14
Ibid., hlm. 62 Penghukuman dan Gagasan Pemasyarakatan. Bandung :
15
Loc. cit. Alumni, hlm. 111
16 18
Loc. cit. Ibid. hlm. 98
228 Jurnal Dinamika Hukum
Vol. 9 No. 3 September 2009
secara wajar sebagai warga negara Oleh karena tidak adanya aturan khusus
yang baik dan bertanggung jawab. bagi pelayanan Terpidana mati yang di tempat-
kan di LAPAS adalah apabila terjadi pelanggar-
Kemudian dalam Undang-Undang Pemasya- an tata tertib di dalam Lapas yang dilakukan
rakatan Nomor: 12 Tahun 1995 tersebut diru- oleh Terpidana mati maka petugas LAPAS tidak
muskan pula tentang “tujuan” dan “fungsi” dapat mengenakan penjatuhan sanksi disiplin
Sistam Pemasyarakatan, seperti yang dirumus- baik yang bersifat internal maupun eksternal.
kan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 sebagai berikut: Terpidana mati tetap dititipkan di LAPAS
Pasal 2 : sebelum dieksekusi maka harus segera dibuat
Sistem Pemasyarakatan diselenggarakan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
dalam rangka membentuk Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menjadi manusia menjadi dasar pelayanan Terpidana mati se-
seutuhnya, menyadari kesalahan, mem- lama di LAPAS. Segera dibentuk isntitusi khu-
perbaiki diri, dan tidak mengulangi tin- sus yang diperuntukkan bagi penempatan
dak pidana sehingga dapat diterima kem- Terpidana mati sebelum menjalani eksekusi,
bali oleh lingkungan masyarakat, dapat seperti halnya penempatan khusus yang
aktif berperan dalam pembangunan, dan
dapat hidup secara wajar sebagai warga diperuntukkan bagi Tahanan.
yang baik dan bertanggung jawab.
Pasal 3: Daftar Pustaka
Sistem pemasyarakatan berfungsi me- Arief, Barda Nawawi. 1994. Kebijakan Legis-
nyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan latif dalam Penanggulangan Kejahatan
agar dapat berintegrasi secara sehat Dengan Pidana Penjara. Semarang: CV.
dengan masyarakat, sehinga dapat ber- Ananta;
peran kembali sebagai anggota masya-
rakat yang bebas dan bertanggung jawab. ----------. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hu-
kum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti;
C. Penutup Atmasasmita, Romli. 1995. Kapita Selekta
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat Hukum Pidana. Bandung: CV. Mandar
disimpulkan beberapa hal berikut ini: Maju;
1. Peraturan perundang-undangan tentang pe- Departemen Hukum dan HAM RI. Jurnal
layanan bagi Terpidana mati yang ditempat- Legislasi Indonesia. Vol. 4 No. 4 – De-
kan di LAPAS belum ada dengan kata lain sember 2007. Jakarta: Direktorat Jen-
deral Peraturan Perundang-undangan
masih terdapat kekosongan hukum; Bahwa Departemen Hukum dan HAM;
Terpidana mati seyogyanya ditempatkan di
Gunawan, Ahmad BS dan Mu’ammar Ramadhan
tempat khusus di luar LAPAS dan memliki
(Penyunting). 2008. Menggagas Hukum
dasar peraturan tentang pelayanannya Progresif Indonesia. Semarang: Pustaka
seperti halnya penempatan Tahanan yang Pelajar, IAIN Walisongo Semarang dan
ditempatkan di tempat khusus yang disebut Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP;
Rumah Tahanan Negara (Rutan). Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan
2. Fungsi utamanya adalah melakukan pem- Pidana. Semarang: Badan Penerbit UN-
binaan terhadap Narapidana yaitu Terpidana DIP;
yang menjalani pidana hilang kemerdekaan Poernomo, Bambang. 1986. Pelaksanaan
di LAPAS. Dengan ditempatkannya Terpidana Pidana Penjara dengan Sistem
mati di dalam LAPAS hal ini menimbulkan Pemasyarakatan. Yogyakarta: Liberty;
kesulitan bagi LAPAS. Sehingga dalam hal ini Rahardjo, Satjipto. 2006. Membedah Hukum
secara yuridis LAPAS dengan menerima Progresif. Joni Emirzon (Eds). Jakarta:
titipan Terpidana mati sebenarnya telah PT Kompas Media Nusantara;
melampaui tugas dan tanggung jawabnya Sahetapy, J.E. 2007. Pidana Mati dalam Negara
sebagai institusi pembinaan Narapidana Pancasila. Bandung: Citra Aditya Bakti;
berdaarkan Sistem Pemasyarakatan;
Fungsi Lembaga Pemasyarakat sebagai Tempat untuk Melaksanakan 229
Pembinaan dan Pelayanan Terpidana Mati sebelum Dieksekusi
Tim Peneliti BPHN dan FISIP UI. 1988. Aspek- Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 8
aspek yang Mempengaruhi Penerimaan Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Bekas Narapidana dalam Masyarakat. Hukum Pidana (KUHP)
Laporan Penelitian, Jakarta: Badan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 12
Pembinaan Hukum Nasional Departemen
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
Kehakiman ;