Anda di halaman 1dari 11

Hubungan hukum pajak dan hukum perdata dan hukum piodana

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Dalam tia-tiap masyarakat, ada hubungan antara manusia dengan manusia, dan selalu ada
peraturan yang mengikatnya yaitu hukum. Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban manusia.
Hak untuk memperoleh gaji / upah dari pekerjaan membawa kewajiban untuk menghasilkan atau
untuk bekerja.
Demikian juga dengan pajak, hak untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-
banyaknya membawa kewajiban menyerahkan sebagian kepada negara dalam bentuk untuk
membantu negara dalam meninggikan kesejahteraan umum. Begitu pula hak untuk memperoleh
dan memiliki gedung, mobil dan barang lain membawa kewajiban untuk menyumbang kepada
negara.
Cort Van der Linden berpendapat bahwa pajak adalah kewajiban penduduk negara untuk
dapat menetap serta berusaha dalam negara itu dan memperoleh perlindungan. Jadi penduduk
negara berhak untuk memperoleh perlindungan (hukum dan sosial ekonomi). Untuk itu
penduduk negara berkewajiban membayar pajak kepada Negara.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian Pajak Menurut Ahli ?
2.      Apa Pengertian hukum Pajak ?
3.      Bagaimana Dasar Pemungutan Pajak ?
4.      Apa saja Fungsi Pajak ?
5.      Jelaskan Asas-asas Hukum Pajak ?
6.      Bagaimana Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata dan Pidana ?
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Pajak Menurut Para Ahli

Menurut definisi dari para sarjana, pengertian Pajak antara lain ;


1.      Prof. DR. Rachmat Soemitro, S.H.
Pajak adalah Iuran rakyat kepada kas negara (peralihan kekeyaan dari sector swasta ke
sector pemerintah) berdasarkan Undang-undang (dapat dipaksakan( dengan tidak mendapat jasa
timbal (Tegen Prestasi) yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai
pengeluaran umum (Publiekeuit Gaven)
2.      DR. P. J. A. Andriani (Guru Besar Hukum Pajak Universitas Amsterdam)
Pajak adalah Iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh wajib
pajak untuk membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi
kembali, yang lasngsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintah.
3.      Adolph Wagner (1876)

Pajak adalah Pungutan yang dapat dipaksakan kepada masyarakat yang sebagian


ditunjukkan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bersifat umum dan
sebagian lagi untuk menyesuaikan perubahan pembagian pendapatan masyarakat.
4.      Leroy Beaulieu (1906)

Pajak merupakan pungutan baik yang bersifat langsung atau tidak langsung yang
dipungut oleh pemerintah dari penduduk atau barang, untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

5.      Prof. Edwin R. A. Seligman (1910)

Pajak adalah Pungutan yang dapat dipaksakan oleh pemerintah kepada seseorang untuk
membiayai pengeluaran-pengeluaran yang timbul untuk kepentingan umum, tanpa dapat
ditunjukkan adanya jasa timbal yang dapat ditunjuk secara khusus.
6.      Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (R. A. O. 1919)
Pajak adalah Bantuan uang (pungutan) secara insidental atau secara periodic yang
dipungut oleh badan yang bersifat umum (negara) untuk memperoleh pendapatan dimana terjadi
suatu Tabestand (sasaran pemajkan) yang karena Undang-undang telah menimbulkan hutang
pajak.

B.     Pengertian Hukum Pajak

Menurut beberapa orang ahli, yaitu ;


1.      Prof. DR. Rachmat Soemitro, S. H.

Hukum Pajak adalah Suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan


antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak.
2.      Bohari

Hukum Pajak adalah suatu kumpulan peraturan-peraturan yang mengatur hubungan


antara pemerintah sebagai pemungut pajak dan rakyat sebagai pembayar pajak
3.      Santoso Brotodihardjo

Dalam bukunya yang berjudul ”Pengantar Ilmu Hukum Pajak”, beliau mengatakan


bahwa Hukum Pajak atau hukum Fiskal adalah Keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkannya
kembali kepada masyrakat dengan melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari
hukum publik, yang mengatur hubungan-hubunganhukn antara negara dengan orang-orang atau
badan-badan (hukum) yang berkewajiban membayar pajak (yang disebut wjib pajak.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari ketiga definisi tersebut adalah Bahwa Hukum Pajak
adalah Keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan (hak dan kewajiban) antara negara dan
pemerintah sebagai pemungut pajak (fiscus) dengan rakyat sebagai pembayar pajak wajib pajak.

C.    DASAR HUKUM PEMUNGUTAN PAJAK


Setiap Pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan Undang-undang, maka
ketentuan konstitusionalnya adalah ;
a.       Pasal 23 ayat 2 UUD 1945 dan falsafah pajak yang tersirat didalamnya.
Bunyinya : Segala pajak dan kegunaan kas negara berdasarkan Undang-undang.
b.      Pasal 16 dan 17 ICW (Indische Comtabiliteits Wet)
Dalam pasal ini ditentukan bahwa Undang-undang tentang pungutan tentang pajak baru,
penambahan atua pengurangan pajak tidak mungkin berlaku sebelum hasil penambahan atau
hasil perubahan Undang-undang pajak dimasukkan ke dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja
Negara tahun yang bersnagkutan (Pasal 16 ICW).
Semua penghapusan dan pengurangan pajak harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
formal Undang-undang (Pasal 17 ICW).
Ketentuan-ketentuan perpajakan positif ;
a.       Undang-undang No. 6 Tahun 1983
Tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan, diubah dengan Undang-undang No. 9
Tahun 1994 dan Undang-undang No. 16 Tahun 2000.

b.      Undang-undang No. 7 Tahun 1983


Tentang Pajak Penghasilan, diubah dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1991, Undang-
undang No. 11 Tahun 1994, Undang-undang No. 17 Tahun 2000.

c.       Undang-undang No. 8 Tahun 1983


Tentang Pajak Pertambahan nilai barang dan jasa dan Pajak Penjualan atas barang
mewah, diubah dengan keluarnya Undang-undang No. 18 Tahun 2000.

d.      Undang-undang No. 12 Tahun 1985


Tentang Pajak Bumi dan Bangunan, diubah dengan keluarnya Undang-undang No. 12
Tahun 1994.

e.       Undang-undang No. 13 Tahun 1985


Tentang aturan Bea Materai baru.

D.    FUNGSI PAJAK
Pajak dalam masyarakat mempunyai 2 fungsi ;
1.      Fungsi Budgeter atau Fungsi Finansial
Adalah Fungsi Pajak untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya kedalam kas negara,
dengan maaksud untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara.
Fungsi Budgeter adalah fungsi pajak sebagai sumber penerimaan negara dan digunakan
untuk membiayai pengeluaran negara, baik pengeluaran rutin maupun pengeluaran untuk
pembangunan.
2.      Fungsi Regulerend (fungsi mengatur)
Adalah Fungsi Pajak untuk menhatur suatu keadaan dalam masyarakat dibidang social,
ekonomi, maupun politik sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah. Pajak merupakan suatu alat
untuk mencapai tujuan tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan.

E.     Asas-Asas Pajak
Di dalam pajak, dikenal adanya beberapa asas yang menjadi pokok dasar atau tumpuan
berpikir, dan dalam kamus umum bahasa Indonesian kata ”asas” diartikan sebagai ”sesuatu
kebenaran yang menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir”
Adapun yang menjadi asas-asas daripada pajak tersebut, adalah; asas rechtsfilosofis, asas
pengenaan pajak, asas pemungutan pajak, asas pembagian beban pajak, dan asas dalam
pembuatan Undang-Undang Pajak.
1.      Asas rechtsfilosofis
Asas ini mencari alasan pembenar terhadap pengenaan pajak oleh negara. Sehingga asas
ini mempertanyakan ”Mengapa dan atas dasar apa negara mempunyai kewenangan memungut
pajak dari rakyat??
Terhadap pertanyaan dari permasalahan tersebut terdapat beberapa teori yang dapat
menjawabnya, yaitu;
a.       Teori asuransi, yang menyatakan bahwa pajak diibaratkan sebagai suatu premi asuransi yang
harus dibayar oleh setiap orang karena orang mendapatkan perlindungan atas hak-haknya dari
pemerintah, yang mana dalam hal ini pembayar premi asuransi dipersamakan dengan pembayar
pajak, yakni pihak tertanggung. Sementara itu negara disamakan dengan pihak penanggung
b.      Teori kepentingan, yang mengatakan bahwa negara mengenakan pajak terhadap rakyat, karena
negara telah melindungi kepentingan rakyat. Teori ini mengukur besarnya pajak sesuai dengan
besarnya kepentingan wajib pajak yang dilindungi. Teori ini menegaskan bahwa dasar pembenar
mengapa negara mengenakna pajak adalah karena negara telah berjasa kepada rakyat elaku wajib
pajak, di mana pembayaran pajak itu besarnya setara dengan besarnya jasa yang telah diberikan
oleh negara kepadanya.
c.       Teori kewajiban pajak mutlak, yang didasarkan kepada teori Organ dari Otto von Gierke,yang
menyatakan bahwa negara itu merupakan suatu kesatuan yang di dalamnya setiap warga negara
terikat. Lembaga tersebut yang dalam hal ini adalah negara, karena telah memberi hidup kepada
warganya, dapat membebani setiap anggota masyarakatnya dengan kewajiban-kewajiban,
termasuk kewajiban membayar pajak
d.      Teori daya beli, yang mengibaratkan pajak sebagai pompa yang menyedot dayabeli
seseorang/anggota masyarakat, yang kemudian dikembalikan lagi kepada masyarakat. Jadi,
sebenarnya uang yang berasal dari rakyat dikembalikan lagi kepada masyarakat melalui saluran
lain, untuk keejahteraan masyarakat, sehingga pada hakekatnya pajak tidak merugikan rakyat.
e.       Teori pembenaran pajak menurut Pancasila, yang bersifat kekeluargaan dan gotongroyong,
memandang pajak tidak lain daripada bentuk sebuah pengorbanan setiap anggota keluarga
(anggota masyarakat) untuk kepentingan keluarga (bersama) tanpa mendapatkan imbalan. Jadi
teori ini memandang bahwa pungutan pajak dapat dibenarkan karena pembayaran pajak
dipandang sebagai uang yang tidak keluar dari lingkungan masyarakat tempat wajib pajak hidup.

2.      Asas Pembagian Beban Pajak


Pada asas ini memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana agar beban pajak itu
dikenakan kepada rakyat secara adil, jawaban atas permasalahan tersebut didukung pula oleh
beberapa teori yaitu;
a.       Teori daya pikul, yang menyatakan bahwa setiap orang wajib membayar pajak denga daya pikul
masing-masing. Daya pikul menurut Prof. De Langen, yang dikutip oleh Rochmat Soemitro
adalah merupakan kekuatan seseorang untuk memikul suatu beban dari apa yang tersisa, setelah
seluruh penghasilannya dikurangi dengan pengeluaran-pengeluaran yang mutlak untuk
kehidupan primer diri sendiri beserta keluarga.
b.      Prinsip benefit, yang oleh Santoso Brotodihardjo menyebutnya sebagai asas kenikmatan.
Menurut asas kenikmatan ini, pengenaan pajak seimbang dengan benefit yang diperoleh wajib
pajak dari jasa-jasa publik yang diberikan oleh pemerintah. Berdasarkan kriteria ini, maka pajak
dikatakan adil apabila seseorang yang memperoleh kenikmatan lebih besar dari jasa-jasa publik
yang dihasilkan oleh pemerintah dikenakan proporsi beban pajak yag lebih besar.

3.      Asas Pengenaan Pajak


Asas pengenaan pajak ini mencari jawaban atas permasalahan siapa/ pemerintah negara
mana yang berwenang atau berkempetensi memungut pajak terhadap suatu sasaran pajak
tertentu. Terhadap permasalahan tersebut ada beberapa teori sebagai berikut;
a.       Asas negara tempat tinggal/ asas domisili, yang mengandung arti bahwa negara di mana
seseorang bertempat tinggal, tanpa memandang kewarganegaraannya, mempunyai hak yang
tidak terbatas untuk mengenak pajak terhadap orang-orang itu dari semua pendapatan yang
diperoleh orang itu dengan tidak menghiraukan di mana pendapatan itu diperoleh.
b.      Asas negara asal, yang mendasarkan pemajakan pada tempat dimana sumber itu berada, seperti
adanya suatu perusahaan, kekayaan atau tempat kegiatan di suatu negara. Negara di mana
sumber itu berada mempunyai wewenang untuk mengenakan pajak atas hasil yang keluar dari
sumber itu.
c.       Asas kebangsaan, yang mendasarkan pengenaan pajak seseorang pada status
kewarganegaraannya. Jadi pemajakan dilakukan oleh negara asal wajib pajak dan yang
dikenakan pajak adalah semua orang yang mempunyai kewarganegaraan negara tersebut, tanpa
memandang tempat tinggalnya.

4.      Asas Pelaksanaan Pemungutan Pajak


Yang termasuk ke dalam asas ini yakni; asas yuridis, asas ekonomi dan asas finansial.
a.       Asas yuridis, yang mana mengatakan hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum
yang perlu untuk menyatakan keadilan yang tegas baik untuk negara maupun warganya. Oleh
karenanya mengenai pemungutan pajak di Negara hukum, segala seuatunya haruslah ditetapkan
dalam undang-undang. Dengan kata lain, hukum pajak harus dapat memberikan jaminan hukum
bagi tercapainya keadilan dan jaminan ini diberikan kepada pihak-pihak yang tersangkut di
dalam pemungutan pajak, yakni pihak wajib pajak.
b.      Asas ekonomis, yang mana menurut asas ini, pemungutan pajak haruslah berfungsi selain dari
pada fungsi budgeter juga harus berfungsi mengatur, yakni ; harus diusahakan supaya jangan
sampai menghambat lancarnya produksi dan perdagangan, harus diusahakan supaya jangan
menghalang-halangi rakyat dalam usahanya mencapai kebahagiaan serta jangan sampai
merugikan kepentingan umum.

c.       Asas finansial yang berkaitan erat dengan fungsi budgeter yaitu untuk memasukkan uang
sebanyak-banyak ke dalam kas negara. Sehubungan dengan itu, agar hasil yang diperoleh besar,
maka biaya pemungutan harus seecil-kecilnya.

5.      Menurut Miyatso,
Pajak merupakan pungutan paksa yang dilakukan oleh pemerintah terhadap wajib pajak
yang tidak ada kontraprestasinya secara langsung, maka suat pungutan pajak harus
memenuhi asas-asas sebagai berikut;
a.       Asas legal, yang mana mendasarkan pajak kepada undang-undang. Oleh karena itu, setiap
peraturan perpajakan, baik yang terdapat dalam peraturan pemerintah, maupun peraturan yang
lebih rendah tingkatannya harus ada referensinya dalam undang-undang. Di Indonesia, sistem
perpajakan secara eksplisit diatur dalam Pasal 23 A UUD 1945.

b.      Asas kepastian hukum, dimana ketentuan-ketentuan perpajakan tidak boleh menimbulkan


keragu-raguan, kebingungan harus jelas dan mempunyai satu pengertian sehingga tidak bersifat
ambigius

c.       Asas efesien, dimana pajak yang dipungut dari masyarakat kemudian digunakan untuk
membiayai kegiatan-kegiatan administrasi pemerintahan dan pembangunan

d.      Asas non distorsi, yakni bahwa pajak harus tidak menimbulkan distorsi atau kelesuan di dalam
masyarakat, terutama distorsi ekonomi.

e.       Asas kesederhanaan, dalam hal ini bararti bahwa aturan-aturan pajak harus dibuat secara
sederhana sehingga mudah dimengerti baik oleh fiscus, maupun oleh wajib pajak sebagai pihak-
pihak yang terkait dalam hubungan pajak.
f.       Asas adil, hal tersebut terutama berarti bahwa alokasi beban pajak pada berbagai golongan
masyarakat harus mencerminkan keadilan.

F.     HUBUNGAN HUKUM PAJAK DENGAN CABANG HUKUM LAINNYA.


1.      Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata.
Menurut Rochmat Soemitro hubungan antaran keduanya adalah timbal balik, yang
berarti bahwa; (1) disatu sisi hukum pajak banyak mennggunakan istilah yang kazim dipakai
dalam hukum perdata namun artinya berlainan dengan istilah hukum perdata tersebut. Misalnya,
istilah domisili yang pada hukum perdata dikenal sebagai pusat temmpat kediaman seseorang,
namun dalam hukum perpajakan domisili berarti hukum pajak ditentukan menurut keadaan. (2)
Hukum pajak menjadikan peristiwa-peristiwa (kematian, kelahiran ), keadaan ( kekayaan,
bengasa asing), kejadian (jual beli, sewa-menyewa) dalam hukum perdata sebagai sasaran pajak.
Sedangkan menurut Prof. Mr. W.F. Prins hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul
karena banyak dipergunakan istilah-istilah hokum perdata dalam perundang-undangan pajak,
walaupun sebagai prinsip harus dipegang teguh bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh
hokum perdata tidak selalu dianut hukm pajak. Hubungan erat dngan hokum perdata dapat pula
disebabkan oleh kenyataan bahwa bilaman diperlukan suatu kupasan mengenai persoalan yang
tidak dijelaskan dalam undang-undangnya, dalam hal demikian seringkali hastus
dipertimbangkan secara matang, interpretasi yang manakah yang harus dipergunakan, yang
yuridis atau yang menurut kenyataannya (ekonomis).
Sebaliknya juga ada pengaruh dari hukum pajak terhadap hukum perdata, karena hukum pajak
sebagai lex spesialis (aturan khusus) mendapat perlakuan utama mengenai sesuatu hal daripada
hukum perdata sebagai lex generalis.

2.      Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana


Sebagaimana diketahui bahwa hukum pidana tidak hanya terdapat di dalam KUHP tetapi
di luar itu juga terdapat ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang lainnya yang meliputi
bermacam-macam bidang yang salah satunya adalah hukum pajak. KUHP dan yang terdapat di
luarnya yaitu ketentuan-ketentuan UU yang khusus untuk mengadakan peraturan-peraturan
dalam segala lapangan merupakan suatu keseluruhan yang sistematis karena ketentuan-
ketentuan dalam Buku I dari KUHP kecuali jika ditentukan lain juga berlaku untuk peristiwa-
peristiwa pidana yang diuraikan di luar KUHP (Pasal 103 KUHP). Namun demikian, di dalam
hukum pajak dijumpai penyimpangan-penyimpangan terhadap ketentuan umum yang biasanya
berlaku dalam KUHP.

Adapun penyimpangan-penyimpangan yang terdapat dalam lapangan hukum perpajalan


yang dapat dijatuhi pidana adalah dalam hal;

1.      bilamana terjadi pemakaian ulang materai (upah, tmpel, dagang) yang telah dipergunakan
terlebih dahulu (Pasal 260 KUHP)
2.      kewajiban untuk menyimpan rahasia yang diberikan oleh wajib pajak kepada fiskus, diancam
pada pasal 260 KUHP dan Pasal 25 Ordonansi Pajak Pendapatan
3.      Pasal 367 ayat (2) HIR menyatakan : tuntutan untuk membayar denda atau perampasan barang-
barang tertentu dalam perkara pelanggaran tentang suat penghasilan negara, dilakukan kepda ahli
warisnya.

BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Hukum Pajak
mempunyai hubungan dengan cabang-cabang hukum lain. Seperti Hukum Pajak dengan Hukum
Perdata dan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana.
1.      Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Perdata
Menurut Rochmat Soemitro hubungan antaran keduanya adalah timbal balik, yang
berarti bahwa; (1) disatu sisi hukum pajak banyak mennggunakan istilah yang kazim dipakai
dalam hukum perdata namun artinya berlainan dengan istilah hukum perdata tersebut. Misalnya,
istilah domisili yang pada hukum perdata dikenal sebagai pusat temmpat kediaman seseorang,
namun dalam hukum perpajakan domisili berarti hukum pajak ditentukan menurut keadaan. (2)
Hukum pajak menjadikan peristiwa-peristiwa (kematian, kelahiran ), keadaan ( kekayaan,
bengasa asing), kejadian (jual beli, sewa-menyewa) dalam hukum perdata sebagai sasaran pajak.
Sedangkan menurut Prof. Mr. W.F. Prins hubungan erat ini sangat mungkin sekali timbul
karena banyak dipergunakan istilah-istilah hokum perdata dalam perundang-undangan pajak,
walaupun sebagai prinsip harus dipegang teguh bahwa pengertian-pengertian yang dianut oleh
hokum perdata tidak selalu dianut hukm pajak

2.      Hubungan Hukum Pajak dengan Hukum Pidana\


Sebagaimana diketahui bahwa hukum pidana tidak hanya terdapat di dalam KUHP tetapi
di luar itu juga terdapat ketentuan-ketentuan pidana dalam undang-undang lainnya yang meliputi
bermacam-macam bidang yang salah satunya adalah hukum pajak.

DAFTAR PUSTAKA
H. Bohari, SH., M.S.,  Pengantar Hukum Pajak, Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada, 2002.
Drs. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1989.
Prof. H. A. M. Effendy, SH., Pengantar Tata Hukum Indonesia, Semarang : 1994.

13Jun2016
Diposkan oleh Unknown
Label: hukum, Hukum Indonesia, Hukum Pajak, Makalah, pidana
Email This

Anda mungkin juga menyukai