Anda di halaman 1dari 12

‫‪1‬‬

‫‪Menjadi Pengajak yang Bijak‬‬

‫‪Khutbah I‬‬

‫ان َف ْت َر ٍة م َِن‬ ‫ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ الَّذِي امْ َتنَّ َع َلى ْال ِع َبا ِد ِبأَنْ َيجْ َع َل فِي ُك ِّل َز َم ِ‬
‫ض َّل إِ َلى ْال ُهدَى‪َ ،‬و َيصْ ِبر َ‬
‫ُون‬ ‫ُون َمنْ َ‬ ‫الرُّ س ُِل َب َقا َيا ِمنْ أَهْ ِل ْالع ِْل ِم‪َ ،‬ي ْدع َ‬
‫ب هَّللا ِ أَهْ َل ْال َع َمى‪ ،‬أَ ْش َه ُد أَنْ الَ إِ َل َه إِالَّ‬ ‫ِم ْن ُه ْم َع َلى األَ َذى‪َ ،‬ويُحْ ي َ‬
‫ُون ِب ِك َتا ِ‬
‫ك َلهُ‪َ ،‬ش َهادَ َة َمنْ ه َُو َخ ْي ٌر َّم َقامًا َوأَحْ َسنُ َن ِد ًّيا‪َ .‬وأَ ْش َه ُد‬ ‫هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي َ‬
‫َ‬
‫ص ِب ًّيا‪ .‬اَللَّ ُه َّم‬
‫ار ِم ِك َبارً ا َو َ‬ ‫أنَّ َسيِّدَ َنا َح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُ ُه ْال ُم َّتصِ فُ ِب ْال َم َك ِ‬
‫ان َرس ُْوالً َن ِب ًّيا‪،‬‬ ‫صاد َِق ْال َوعْ ِد َو َك َ‬ ‫ان َ‬ ‫ص ِّل َو َسلِّ ْم َع َلى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َك َ‬ ‫َ‬
‫صحْ ِب ِه الَّ ِذي َْن يُحْ سِ ُن ْو َن إِسْ الَ َم ُه ْم َو َل ْم َي ْف َعلُ ْوا َش ْي ًئا َف ِر ًّيا‪ ،‬أَمَّا‬ ‫َو َع َلى آلِ ِه َو َ‬
‫َبعْ ُد‪َ ،‬ف َيا أَ ُّي َها ْال َحاضِ ر ُْو َن َر ِح َم ُك ُم هللاُ‪ ،‬ا ُ ْوصِ ْي ِنيْ َن ْفسِ ىْ َوإِيَّا ُك ْم ِب َت ْق َوى‬
‫از ْال ُم َّتقُ ْو َن‬
‫هللا‪َ ،‬ف َق ْد َف َ‬
‫‪ِ .‬‬
‫َقا َل هللاُ َت َعا َلى ‪:‬أعوذ باهلل من الشيطان الرجيم ‪َ .‬و َمنْ أَحْ َسنُ َق ْوالً‬
‫ّممّن َد َعآ إِ َلى هّللا ِ َو َع ِم َل َ‬
‫صالِحا ً َو َقا َل إِ ّننِي م َِن ْالمُسْ لِم َ‬
‫ِين‬

‫‪Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,‬‬


‫‪Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam pernah bercerita‬‬
‫‪tentang dua orang bersaudara dari kalangan Bani Israil dengan‬‬
‫‪sifat yang sangat kontras: yang satu sering berbuat dosa,‬‬
‫‪sementara yang lain sangat rajin beribadah.‬‬
2

Rupanya si ahli ibadah yang selalu menyaksikan saudaranya


itu melakukan dosa tak betah untuk tidak menegur. Teguran
pertama pun terlontar. Seolah tak memberikan efek apa pun,
perbuatan dosa tetap berlanjut dan sekali lagi tak luput dari
pantauan si ahli ibadah.
“Berhentilah!” Sergahnya untuk kedua kali.
Si pendosa lantas berucap, “Tinggalkan aku bersama
Tuhanku. Apakah kau diutus untuk mengawasiku?”
Mungkin karena sangat kesal, lisan saudara yang rajin
beribadah itu tiba-tiba mengeluarkan semacam kecaman:

َ ُ‫ك أَ ْو اَل ي ُْد ِخل‬


‫ك هللاُ ْال َج َّن َة‬ َ ‫هللا اَل َي ْغ ِف ُر هللاُ َل‬
ِ ‫َو‬
“Demi Allah, Allah tidak akan mengampunimu. Allah tidak
akan memasukkanmu ke surga.”
Kisah ini terekam sangat jelas dalam sebuah hadits shahih
yang diriwayatkan Abu Dawud dan Ahmad. Di bagian akhir,
hadits tersebut memaparkan, tatkala masing-masing meninggal
dunia, keduanya pun dikumpulkan di hadapan Allah subhanahu
wa ta’ala.
Kepada yang tekun beribadah, Allah mengatakan, “Apakah
kau telah mengetahui tentang-Ku? Apakah kau sudah memiliki
kemampuan atas apa yang ada dalam genggaman-Ku?”
3

Drama keduanya pun berlanjut dengan akhir yang


mengejutkan.
“Pergi dan masuklah ke surga dengan rahmat-Ku,” kata Allah
kepada si pendosa. Sementara kepada ahli ibadah, Allah
mengatakan, “(Wahai malaikat) giringlah ia menuju neraka.”
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,
Cerita tersebut mengungkapkan fakta yang menarik dan
beberapa pelajaran bagi kita semua. Ahli ibadah yang sering
kita asosiasikan sebagai ahli surga ternyata kasus dalam hadits
itu justru sebaliknya. Sementara hamba lain yang terlihat sering
melakukan dosa justru mendapat kenikmatan surga.
Mengapa bisa demikian? Karena nasib kehidupan akhirat
sepenuhnya menjadi hak prerogatif Allah. Manusia tak memiliki
kewenangan sama sekali untuk memvonis orang atau kelompok
lain sebagai golongan kafir atau bukan, masuk neraka atau
surga, dilaknat atau dirahmati. Tak ada alat ukur apa pun yang
sanggup mendeteksi kualitas hati dan keimanan seseorang
secara pasti.

Jika diamati, ahli ibadah dalam kisah hadits di atas terjerumus


ke jurang neraka lantaran melakukan sejumlah kesalahan.
Pertama, ia lancang mengambil hak Allah dengan menghakimi
bahwa saudaranya “tak mendapat ampunan Allah dan tidak
4

akan masuk surga”. Mungkin ia berangkat dari niat baik, yakni


hasrat memperbaiki perilaku saudaranya yang sering berbuat
dosa. Namun ia ceroboh dengan bersikap selayak Tuhan:
menuding orang lain salah sembari memastikan balasan negatif
yang bakal diterimanya.
Dalam konteks etika dakwah, si ahli ibadah sedang melakukan
perbuatan di luar batas wewenangnya sebagai pengajak. Ia tak
hanya menjadi dâ‘i (tukang ajak) tapi sekaligus hâkim (tukang
vonis). Padahal, Al-Qur’an mengingatkan:

ُ‫ِي أَحْ َسن‬


َ ‫ة ْال َح َس َن ِة َو َجاد ِْل ُه ْم ِبالَّ ِتيْ ه‬Jِ ‫ِّك ِب ْالح ِْك َم ِة َو ْال َم ْوعِ َظ‬
َ ‫ا ُ ْد ُع إِ َلى َس ِبي ِْل َرب‬
“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana, peringatan
yang baik, dan bantulah mereka dengan yang lebih baik.
Sungguh Tuhanmulah yang mengetahui siapa yang sesat dari
jalan-Nya. Dan Dia Maha mengetahui orang-orang yang
mendapat hidayah.” (An-Nahl [16]: 125)

ْ‫َوقُ ِل ْال َح ُّق ِمنْ َر ِّب ُك ْم َف َمنْ َشا َء َف ْلي ُْؤ ِمنْ َو َمنْ َشا َء َف ْل َي ْكفُر‬
“Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu;
maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman,
dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”. (Al-Kahfi
[18]: 29)
Ayat ini tak hanya berpesan tentang keharusan seseorang
untuk berdakwah secara arif dan santun melainkan
menegaskan pula bahwa tugas seseorang hamba kepada
5

hamba lainnya adalah sebatas mengajak atau menyampaikan.


Mengajak tak sama dengan mendesak, mengajak juga bukan
melarang atau menyuruh. Mengajak adalah meminta orang lain
mengikuti kebaikan atau kebenaran yang kita yakini, dengan
cara memotivasi, mempersuasi, sembari menunjukkan alasan-
alasan yang meyakinkan. Urusan apakah ajakan itu diikuti atau
tidak, kita serahkan kepada Allah subhânahu wa ta‘âlâ
(tawakal).
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,
Kesalahan kedua yang dilakukan ahli ibadah dalam kisah
tersebut adalah ia terlena terhadap prestasi ibadah yang ia raih.
Hal itu dibuktikan dengan kesibukannya untuk mengawasi dan
menilai perilaku orang lain ketimbang dirinya sendiri. Dalam
tingkat yang lebih parah, sikap macam ini dapat membawa
seseorang pada salah satu akhlak tercela bernama tajassus,
yakni gemar mencari-cari keburukan orang lain. Apalagi, bila
orang yang menjadi sasaran belum tentu benar-benar berbuat
salah. Seringkali lataran kesalahmahaman dan perkara teknis,
sebuah perbuatan secara sekilas pandang tampak salah
padahal tidak. Di sinilah pentingnya tabayun (klarifikasi) dalam
ajaran Islam.
Tentu saja memperbanyak ibadah dan meyakini kebenaran
adalah hal yang utama. Tapi menjadi keliru tatkala sikap
tersebut dihinggapi ‘ujub (bangga diri). Ujub merupakan
6

penyakit hati yang cukup kronis. Ia bersembunyi di balik


kelebihan-kelebihan diri kemudian pelan-pelan mengotorinya.
Bisa saja seseorang selamat dari perbuatan dosa tapi ia
kemudian terjerumus ke dalam jurang yang lebih dalam, yakni
ujub. Mesti diingat, menghindari perbuatan dosa memang hal
yang amat penting, tapi yang lebih penting lagi bagi seseorang
yang terbebas dari dosa adalah menghindari sifat bangga diri.
Sebuah maqalah bijak berujar, “Perbuatan dosa yang
membuatmu menyesal jauh lebih baik ketimbang beribadah
yang disertai rasa ujub.”
Watak buruk dari kelanjutan sifat ujub biasanya adalah
merendahkan orang lain. Amal ibadah yang melimpah, apalagi
disertai pujian dan penghormatan dari masyarakat sekitar,
sering membuat orang lupa lalu dengan mudah menganggap
remeh orang lain. Orang-orang semacam ini umumnya terjebak
dengan penampilan luar. Mereka menilai sesuatu hanya dari
yang tampak secara kasat mata. Padahal, bisa saja orang yang
disangkanya buruk, di mata Allah justru lebih mulia karena
lebih banyak memiliki kebaikan namun lantaran bukan tipe
orang yang suka pamer amal itu pun luput dari pandangan
mata kita.
Jamaah shalat Jumat hadâkumullâh,
Dakwah berasal dari lafadh da‘â-yad‘û yang secara bahasa
semakna dengan an-nidâ’ dan ath-thalab. An-nidâ’ berarti
7

memanggil, menyeru, mengajak; sementara ath-thalab dapat


diterjemahkan dengan meminta atau mencari. Istilah dakwah
bisa didefinisikan sebagai upaya mengajak atau menyeru
kepada iman kepada Allah dan segenap syariat yang dibawa
Rasulullah serta nilai-nilai positif lainnya.
Dakwah sangat dianjurkan dalam Islam sebagai pelaksanaan
prinsip amar ma’ruf nahi (‘anil) munkar. Umat Islam diperintah
untuk menyebarkan pesan kebaikan (ma’ruf) dan tak boleh
berdiam diri ketika melihat kemunkaran. Hanya saja, dalam
praktiknya semua dijalankan dalam koridor yang bijaksana,
sehingga usaha amar ma’ruf terealisasi dengan baik dan
pencegahan kemungkaran pun tak menimbulkan kemungkaran
baru lantaran tidak dijalankan dengan cara-cara yang mungkar.
Karena itu, kita mengenal dalam proses dakwah dua hal, yaitu
isi dakwah dan cara dakwah. Terkait isi, dakwah memiliki
lingkup yang sangat luas, dari persoalan akidah, ibadah hingga
akhlak keseharian seperti ajakan untuk tidak menggunjing dan
membuang sampah sembarangan. Dakwah memang bukan
monopoli tugas seorang dai, siapa pun bisa menjadi pengajak,
namun dakwah menekankan pelakunya memiliki bekal ilmu
yang cukup tentang hal-hal yang ingin ia serukan. Hal ini
penting agar dakwah tak hanya meyakinkan tapi juga tidak
sepotong-sepotong.
8

Yang tak kalah penting adalah cara. Betapa banyak hal-hal


positif di dunia ini gagal menular karena disebarluaskan dengan
cara-cara yang keliru. Begitu pula dengan dakwah. Dalam hal ini
kita bisa berkaca kepada Rasulullah. Di tengah fanatisme suku-
suku yang parah, kebejatan moral yang luar biasa, dan
kendornya prinsip-prinsip tauhid, dalam jangka waktu hanya 23
tahun beliau sukses membuat perubahan besar-besaran di
tanah Arab. Bagaimana ini bisa dilakukan? Kunci dari
kesuksesan revolusi peradaban itu adalah da‘wah bil hikmah,
seruan yang digaungkan dengan cara-cara bijaksana. Akhlak
Nabi lebih menonjol ketimbang ceramah-ceramahnya. Beliau
tak hanya memerintah tapi juga meneladankan. Rasulullah juga
pribadi yang egaliter, memahami psikologi orang lain,
menghargai proses, membela orang-orang terzalimi, dan tentu
saja berperangai ramah dan welas asih.
Hadirin yang semoga dirahmati Allah,
Khatib kembali mengingatkan diri sendiri dan jamaah sekalian
bahwa ada rambu-rambu dakwah yang perlu diingat, yakni
jangan membenci dan merendahkan orang lain, apalagi
mencaci maki dan memojokkannya. Karena jika hal itu kita
lakukan maka keluarlah kita dari motivasi dakwah
sesungguhnya. Dakwah berangkat dari niat baik, untuk tujuan
yang baik, dan semestinya dilakukan dengan cara-cara yang
baik. Itulah makna sejati dakwah. Bila ada pendakwah gemar
9

menjelek-jelekan orang atau golongan lain, mungkin perlu


diingatkan lagi tentang bahasa Arab dasar bahwa da’wah
artinya mengajak bukan mengejek. Sehingga, dakwah mestinya
ramah bukan marah, merangkul bukan memukul.
Yang paling mengerikan tentu saja adalah dakwah dikuasai
amarah dan hawa nafsu sehingga menimbulkan pemaksaan dan
aksi-aksi kekerasan, hanya kerena menganggap orang lain
sebagai musyrik, musuh Allah, dan karenanya harus diperangi.
Jika sudah sampai pada level ini, pendakwah tak hanya sudah
melenceng jauh dari esensi dakwah, tapi juga pantas menjadi
sasaran dakwah itu sendiri. Al-Qur’an sudah sangat benderang
menegaskan bahwa tak ada paksaan dalam agama, dan oleh
sebab itu menggunakan pendekatan kekerasan sama dengan
mencampakkan pesan ayat suci.
Jamaah shalat Jumat as‘adakumullâh,
Tekun dalam beribadah kemudian mengajak sesamanya
untuk melakukan hal yang serupa merupakan sesuatu yang
dipuji dalam agama. Hanya saja, dakwah atau mengajak
memiliki batasan-batasan. Setidaknya ada dua tips yang bisa
dipegang agar seseorang tak melampaui batasan tugas sebagai
seorang pengajak. Pertama, muhâsabah (introspeksi). Meneliti
aib orang yang paling bagus adalah dimulai dari diri sendiri.
Muhasabah akan mengantarkan kita pada prioritas perbaikan
kualitas diri sendiri, yang secara otomatis akan membawa
10

pengaruh pada perbaikan lingkungan sekitarnya. Sebagaimana


dikatakan Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq, “Ashlih nafsaka
yashluh lakan nâs. Perbaikilah dirimu maka orang lain akan
berbuat baik kepadamu.”
Kedua, tawâdlu‘ (rendah hati). Sikap ini tidak sulit tapi
memang sangat berat. Rendah hati berbeda dari rendah diri.
Tawaduk adalah kemenangan jiwa dari keinginan ego yang
senantiasa merasa unggul: merasa paling benar, paling pintar,
paling saleh, dan seterusnya—yang ujungnya meremehkan
orang lain. Tawaduk membuahkan sikap menghargai orang lain,
sabar, dan menghormati proses. Dalam perjalanan dakwah,
tawaduk terbukti lebih menyedot banyak simpati dan menjadi
salah satu kunci suksesnya sebuah seruan kebaikan. Fakta ini
bisa kita lihat secara jelas dalam perjuangan Nabi dan
pendakwah generasi terdahulu yang tercatat sejarah hingga
kini. Wallâhu a‘lam bish-shwâb.

Dalam sebuah hadits dijelaskan:

‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬ َ ِ ‫ َقا َل َرسُو ُل هَّللا‬: ‫عن حذيفة رضي هللا عنه قال‬
‫ْت َبه َْج َت ُه‬ َ ‫ َح َّتى إِ َذا َرأَي‬، ‫آن‬ َ ْ‫ف َما أَ َخافُ َع َل ْي ُك ْم َر ُج ٌل َق َرأَ ْالقُر‬ َ ‫ إِنَّ أَ ْخ َو‬:
‫ َو َسعى‬، ‫ان ِر ْدءًا لِإْل ِ سْ اَل ِم ا ْن َس َل َخ ِم ْن ُه َو َن َب َذهُ َو َرا َء َظه ِْر ِه‬ َ ‫ َو َك‬، ‫َع َل ْي ِه‬
‫ َيا َن ِبيَّ هَّللا ِ ! أَ ُّي ُه َما‬: ‫ت‬ ُ ‫ قُ ْل‬. ” ِ‫ َو َر َماهُ ِبال ِّشرْ ك‬، ِ‫ار ِه ِبال َّس ْيف‬ِ ‫َع َلى َج‬
11

َ ‫أَ ْو َلى ِبال ِّشرْ كِ الرَّ امِي أَ ِو ْال َمرْ ِميِّ ؟ َقا َل‬
‫ ” َب ِل‬: ‫صلَّى هَّللا ُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‬
‫“ الرَّ امِي‬

Dari Hudzaifah radliyallâhu ‘anh, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi


wasallam bersabda, “Sungguh yang paling aku khawatirkan
pada kalian adalah orang yang membaca Al-Qur’an sampai
terlihat kegembiraannya dan menjadi benteng bagi Islam,
kemudian ia mencampakkannya dan membuangnya ke
belakang punggung, membawa pedang kepada tetangganya
dan menuduhnya syirik.” Saya (Hudzaifah) bertanya: “Wahai
Nabi, siapakah yang lebih pantas disifati syirik, yang menuduh
atau yang dituduh?” Rasulullah menjawab: “Yang menuduh.”
(HR Ibnu Hibban)
Na’ûdzubillâhi mindzâlik. Semoga kita semua dilindungi Allah
dari perbuatan buruk baik kepada diri sendiri maupun kepada
orang lain.

ِ ‫ َو َن َف َع ِنيْ َوإِيّا ُك ْم ِباآليا‬،‫آن ال َعظِ ي ِْم‬


‫ت‬ ِ ْ‫ك هللاُ لِيْ َولك ْم فِي القُر‬ َ ‫با َ َر‬
‫ك َبرٌّ َرؤُ ْوفٌ َر ِح ْي ٌم‬ ٌ ِ‫ إ ّن ُه َتعا َ َلى َجوّ ا ٌد َك ِر ْي ٌم َمل‬.‫الح ِكي ِْم‬ ِّ
َ ‫والذ ْك ِر‬

Khutbah II
‫‪12‬‬

‫ْن‪ .‬أَ ْش َه ُد أَنْ الَ‬ ‫ُ‬


‫هلل َربِّ ْال َعا َل ِمي َْن‪َ ،‬و ِب ِه َنسْ َت ِعيْنُ َع َلى أم ُْو ِر ال ُّد ْن َيا َوال ِّدي ِ‬
‫اَ ْل َحمْ ُد ِ‬
‫ص ِّل‬ ‫ْك َلهُ‪َ ،‬وأَ ْش َه ُد أَنَّ م َُح َّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُهُ‪ .‬اللّ ُه َّم َ‬ ‫إِل َه إِالَّ هللاُ َوحْ دَ هُ الَ َش ِري َ‬
‫ان إِ َلى َي ْو ِم‬ ‫َع َلى َس ِّي ِد َنا م َُح َّم ٍد َو َع َلى ألِ ِه َوأَصْ َح ِاب ِه أَجْ َم ِعي َْن َو َمنْ َت ِب َع ُه ْم ِبإِحْ َس ٍ‬
‫از ْال ُم َّتقُ ْو َن‪،‬‬ ‫هللا أ ُ ْوصِ ْي ُك ْم َو َن ْفسِ يْ ِب َت ْق َوى ِ‬
‫هللا َف َق ْد َف َ‬ ‫ْن‪ .‬أَمَّا َبعْ ُد‪َ ،‬ف َيا عِ َبادَ ِ‬ ‫ال ِّدي ِ‬
‫َ‪.‬وأَح ُُّث ُك ْم َع َلى َط َ‬
‫اع ِت ِه َل َعلَّ ُك ْم ُترْ َحم ُْو َن‬
‫آن ْال َك ِري ِْم‪َ :‬ياأَ ُّي َها ال َّناسُ اعْ ُب ُدوا‪َ J‬ر َّب ُك ُم الَّذِي َخ َل َق ُك ْم‬ ‫َقا َل هللاُ َت َعا َلى ِفيْ ْالقُرْ ِ‬
‫صلَّى هللاُ َع َل ْي ِه َو َسلَّ َم‪ :‬ا َّت ِق هَّللا ِ‬ ‫ون‪َ ،‬وقا َ َل َرس ُْو ُل ِ‬
‫هللا َ‬ ‫ِين ِمنْ َق ْبلِ ُك ْم َل َعلَّ ُك ْم َت َّتقُ َ‬‫َوالَّذ َ‪J‬‬
‫دَق هللاُ‬ ‫ص َ‬ ‫اس ِب ُخلُ ٍق َح َس ٍن‪َ .‬‬ ‫ت َوأَ ْت ِبعْ ال َّس ِّي َئ َة ْال َح َس َن َة َتمْ ُح َها َو َخال ِِق ال َّن َ‬ ‫َحي ُْث َما ُك ْن َ‬
‫دَق َرس ُْولُ ُه ال َّن ِبيُّ ْال َك ِر ْي ُم َو َنحْ نُ َع َلى ذل َِك م َِن ال َّشا ِه ِدي َ‪ْJ‬ن‬ ‫ص َ‬ ‫ْالعَظِ ْي ُم َو َ‬
‫هلل َربِّ ْال َعا َل ِمي َْن‬ ‫َ‪.‬وال َّشاك ِِري َْن َو ْال َحمْ ِد ِ‪J‬‬
‫ت اَالَحْ يآ ُء ِم ْن ُه ْم‬ ‫ت َو ْالمُسْ لِ ِمي َ‪ْJ‬ن َو ْالمُسْ لِ َما ِ‬ ‫اغ ِفرْ ل ِْلم ُْؤ ِم ِني َْن َو ْالم ُْؤ ِم َنا ِ‬‫اَلل ُه َّم ْ‬
‫ك َو ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َوا ْنصُرْ‬ ‫إلسْ الَ َم َو ْالمُسْ لِ ِمي َ‪ْJ‬ن َوأَ ِذ َّل ال ِّشرْ َ‬ ‫َ‬
‫ت الل ُه َّم أعِ َّز ْا ِ‬ ‫مْوا ِ‬ ‫َو ْاالَ َ‬
‫اخ ُذ ْ‪J‬ل َمنْ َخ َذ َل ْالمُسْ لِ ِمي َْن َو دَ مِّرْ‬ ‫ص َر ال ِّدي َ‪ْJ‬ن َو ْ‬ ‫ادَك ْالم َُوحِّ ِد َّي َة َوا ْنصُرْ َمنْ َن َ‬ ‫عِ َب َ‬
‫ْن‪ .‬الل ُه َّم ْاد َفعْ َع َّنا ْال َبالَ َء َو ْا َلو َبا َء‬ ‫ِك إِ َلى َي ْو َم ال ِّدي ِ‬ ‫ْن َواعْ ِل َكلِ َمات َ‬ ‫أَعْ دَا َءال ِّدي ِ‬
‫الزالَ ِز َل َو ْالم َِح َن َوس ُْو َء ْال ِف ْت َن ِة َو ْالم َِح َن َما َظ َه َر ِم ْن َها َو َما َب َط َن َعنْ َب َل ِد َنا‬ ‫َو َّ‬
‫لعا َل ِمي َْن‪َ .‬ر َّب َنا آتِنا َ فِى‬ ‫دَان ْالمُسْ لِ ِمي َْن عآم ًَّة َيا َربَّ ْا َ‬ ‫ِا ْن ُدو ِن ْيسِ يَّا خآص ًَّة َو َسائ ِِر ْالب ُْل ِ‪J‬‬
‫ار‪َ .‬ر َّب َنا َظ َلمْ َنا اَ ْنفُ َس َن َاو ِانْ َل ْم‬ ‫اب ال َّن ِ‬‫ال ُّد ْن َيا َح َس َن ًة َوفِى ْاآلخ َِر ِة َح َس َن ًة َو ِق َنا َع َذ َ‬
‫لع ْد ِل‬ ‫هللا َيأْ ُم ُر َنا ِباْ َ‬
‫هللا ! إِنَّ َ‬ ‫لخاسِ ِري َْن‪ .‬عِ َبادَ ِ‬ ‫َت ْغ ِفرْ َل َنا َو َترْ َحمْ َنا َل َن ُك ْو َننَّ م َِن ْا َ‬
‫بى َو َي ْن َهى َع ِن ْال َفحْ شآ ِء َو ْال ُم ْن َكر َو ْال َب ْغي َيع ُ‬ ‫ان َوإِيْتآ ِء ذِي ْالقُرْ َ‬
‫ِظ ُك ْم‬ ‫ِ‬ ‫إلحْ َس ِ‬ ‫َو ْا ِ‬
‫لى ن َِع ِم ِه َي ِز ْد ُك ْم َو َلذ ِْك ُر‬ ‫ُواهللا ْالعَظِ ْي َم َي ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكر ُْوهُ‪َ J‬ع َ‬
‫َل َعلَّ ُك ْم َت َذ َّكر ُْو َن َو ْاذ ُكر َ‬
‫هللا أَ ْك َبرْ‬
‫ِ‬

Anda mungkin juga menyukai