Anda di halaman 1dari 12

PERJANJIAN BAGI HASIL PERTANIAN DI DESA

TLOGO TAMANTIRTO

Disusun Oleh:

Jelly Riantono (20160610216)


Muhammad Rhaka Ramadhan (20160610462)
Finko Agnesta Panji L (20180610004)
Daffa Farras Muhammad (20180610005)
Muhammad Hakam Aliyafi R (20180610020)
Justin (20180610031)
Naufalian Satya Huda Tama (20180610047)
Alfina Sabila (20180610064)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH

Indonesia merupakan negara agraris dengan 26,13 juta keluarga tani. Jumlah keluarga tani
tersebut tidak banyak berubah, sedangkan jumlah lahan pertanian terus menyusut. Hal itu
mengakibatkan pengusaan lahan per keluarga tani terus menurun dan petani yang tidak memiliki
lahan meningkat. Makanan pokok masyarakat Indonesia adalah beras dengan konsumsi beras
nasional 114kg/kapita/tahun. Beras dihasilkan dari pertanian lahan sawah. Tidak semua pemilik
sawah mampu mengelola sawahnya sendiri. Dalam pengelolaan sawahnya pemilik sawah dapat
melibatkan penggarap sawah.

Bentuk hubungan antara pemilik lahan sawah, dan petani penggarap terbagi menjadi tiga.
Pertama, penggarap menyewa lahan sawah kepada pemilik sawah. Pemilik sawah mendapatkan
hasil dari pembayaran sewa dari penggarap sawah, dan penggarap sawah mendapatkan hasil dari
pengusahaan sawah tersebut. Kedua, penggarap yang menjadi buruh tani dengan imbalan (upah)
tertentu dari pemilik sawah yang biasanya disebut dengan istilah buruh tani harian lepas. Buruh
tani harian lepas diberi upah sesuai dengan banyaknya jumlah hari kerja. Ketiga, penggarap yang
diberikan kekuasaan oleh pemilik sawah untuk mengusahakan sawah kemudian hasilnya dibagi
dengan pemilik sawah sesuai dengan kesepakatan (bagi hasil). Bahan baku produksi seperti bibit
padi, pupuk, biaya perawatan, biaya panen, dan biaya lainnya dapat diberikan oleh pemilik
sawah atau dari penggarap sawah atau kombinasi dari keduanya tergantung dari kesepakatan.

Dalam bagi hasil pertanian sawah, bukan tanah yang menjadi tujuan utamanya, akan tetapi
mengenai pekerjaan dan hasil dari tanah tersebut. Objek dari perjanjian bagi hasil pertanian
sawah ini adalah hasil dari tanah tersebut, juga tenaga dari orang yang mengerjakannya,
sedangkan subyek dari bagi hasil pertanian sawah adalah pemilik tanah dan penggarap sawah.

Dalam mengadakan hubungan hukum yang berupa bagi hasil pertanian sawah yang
terkandung asas umum menurut hukum adat adalah pihak penggarap tanah harus menyerahkan
hasilnya kepada yang mempunyai tanah sawah. Pemilik tanah mempunyai tujuan untuk
mendapatkan atau memperoleh hasil dari tanah dengan mengizinkan orang lain untuk menggarap
tanahnya dengan ketentuan bahwa hasil pertanian sawah tersebut akan dibagi bersama dengan
kesepakatan yang telah ditentukan

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana sistem penanaman modal awal pertanian?

2. bagaimana sistem bagi hasil pemilik dan penggarap?

3. bagaimana sistem bagi hasil pertanian jika gagal panen?

C. TUJUAN PENELITIAN

1. Mengetahui bagaimana penanaman modal awal dalam pertanian.

2. Mengetahui lebih jelas tentang pelaksanaan bagi hasil tanaman padi antara pemilik dan
penggarap.

3. Mengetahui bagaimana sistem bagi hasil tanaman padi jika terjadi gagal panen.

D. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang kami gunakan adalah menggunakan metode pendekatan secara
langsung oleh pihak terkait melalui wawancara dengan berbagai macam pertanyaan yang telah
tersusun secara sistematis. Dengan cara mendatangi langsung petani yang menggarap tanah
dimana tanah tersebut yang menjadi lahan untuk menanam padi adalah tanah milik orang lain.
BAB II

PEMBAHASAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN

1. Modal awal pertanian

Pada saat ingin melakukan usaha pertanian tentunya semua harus memiliki yang

Namanya modal awal yang dimana ini bisa berupa alat kerja dan bibit tanaman. jika si

penggarap adalah orang yang sekaligus merupakan pemilik tanah maka tentunya si pemilik

tersebut jugalah yang mengeluarkan modal awal untuk pertaniannya, lalu jika pertanian

tersebut digarap oleh orang lain dan bukan si pemilik tanah maka modal awal sepenuhnya

ditanggung oleh si penggarap dan si pemilik tanah tidak ikut campur sama sekali dalam

modal awal tersebut selain bermodalkan lahan yang dimilikinya.

Definisi Pertanian adalah suatu kegiatan pemanfaatan sumber daya hayati dimana
manusia sebagai pelaku dan mengelola lahan untuk menghasilkan bahan pangan dan bahan
baku industri serta mendapatkan sumber energi yang dibutuhkan dari alam dan lingkungan
hidupnya. Dalam literatur lain Pengertian Pertanian adalah proses pengelolaan atau
pembuatan hasil bahan pangan, ternak, serta produk-produk agroindustri dengan cara
memanfaatkan sumber daya tumbuhan dan hewan.

Pada dasarnya semua usaha pertanian adalah kegiatan ekonomi sehingga dalam pertanian
diperlukan juga dasar-dasar pengetahuan yang sama tentang bagaimana pengelolaan tempat
usaha, cara pemilihan benih/bibit, tekhnik dan metode budidaya, pengumpulan hasil,
bagaimana mendistribusikan produk, pengolahan dan pengemasan produk, serta pemasaran,
dimana semua ilmu itu tercakup dalam ilmu ekonomi. Dengan kata lain Petani yang mampu
melihat semua aspek ini dengan pertimbangan efisiensi untuk mencapai keuntungan
maksimal maka harus melakukan pertanian intensif (intensive farming).

Bagi hasil merupakan transaksi mengenai tanah yang biasa atau lazim dikalangan orang-
orang pribumi diseluruh Indonesia, di mana pemilik tanah atau penerima gadai tanah
menyerahkan tanah pada pribumi lain dengan syarat harus menyerahkan bagian panen yang
seimbang. Secara umum, bagi hasil didefenisikan sebagai bentuk kerja sama antara dua
pihak yaitu pemilik lahan dengan penggarap yang bersepakat untuk melakukan perjanjian
bagi hasil dari lahan pertanian. Bentuk kerja sama ini hampir secara universal terdapat pada
masyarakat kecil diseluruh dunia, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada
si penggarap untuk di usahakan sebagai lahan yang menghasilkan dengan perjanjian bahwa
si penggarap menyerahkan sebagian yang telah ditentukan terlebih dahulu (misalnya
separoh) dari hasil panennya kepada pemilik tanah.

Pertanian tradisional merupakan pertanian yang masih bersifat ekstensif dan belum
memaksimalkan input yang ada. Pertanian tradisional mempunyai sifat tak menentu karena
tempat untuk melakukan cocok tanam yang masih berpindah-pindah. Pertanian tradisional
merupakan pertanian yang akrab dengan lingkungan karena tidak ada penggunaan pestisida
selama proses produksi. Namun produksi dari pertanian tradisional tidak mampu
mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus bertambah. Pada pertanian
tradisional pada umumnya lebih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan hidup petani namun
tidak dilakukan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi petani sehingga hasilnya tidak dapat
mengimbangi kebutuhan penduduk yang terus meningkat.

Pertanian tradisional juga masih banyak mengandalkan alam dan sangat tergantung
dengan iklim. Pada pertanian ini juga belum digunakan teknologi untuk membantu
kelancaran proses produksi dan masih banyak mengandalkan tenaga manusia selama
mengerjakan kegiatan pertaniannya. Karena sistemnya yang masih sederhana menyebabkan
biaya atau modal yang diperlukan dalam produksi pertanian masih tergolong rendah atau
tidak butuh banyak modal. Pertanian tradisional ditujukan hanya untuk memenuhi
kebutuhan hidup petani pada zaman dahulu sehingga tidak dapat diandalkan untuk
memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Kebutuhan manusia pada pangan telah membawa
manusia mulai belajar tentang bertanam meskupun dengan alat yang sederhana. Hal tersebut
yang menjadi ciri dari pertanian tradisional. Dari alur pemikiran yang sangat sederhana
sebenarnya telah membuktikan naluri manusia untuk bertahan hidup. Namun seiring
bertambahanya jumlah penduduk dibutuhkan sistem pertanian yang dapat memenuhi
kebutuhan pangan sehingga sistem yang ada mulai berkembang menjadi pertanian
konvensional.

Sistem Pertanian di Indonesia ada 4, yaitu :

1. Sistem ladang disebut sistem pertanian tingkat rendah atau yang paling primitif. Dimana
sistem ini merupakan sistem peralihan dari mulai tahap budaya pengumpulan ke tahapan
budaya penanaman. Pada sistem ini pengolahan tanahnya masih sangat minim dan hasil
atau produktivitas sangat bergantung pada hasil atau ketersediaan lapisan-lapisan humus
yang ada dalam sistem dan siklus hutan. Pada umumnya sistem ini ditemukan pada
daerah-daerah yang memiliki penduduk sedikit dan dengan adanya lahan yang tak
terbatas. Tanaman yang biasa ditanam adalah tanaman pangan, seperti padi, umbi-
umbian, jagung dan lainnya.
2. Sistem tegal pekarangan, yaitu sistem yang dikembangkan pada lahan-lahan kering, yang
jauh dari sumber-sumber air yang cukup. Pengelolaan tegal sangat jarang menggunakan
tenaga intensif dan jarang yang menggunakan tenaga hewan dalam pelaksanaannya.
Sistem ini biasa dilakukan para petani apabila mereka telah menetap lama dalam suatu
wilayah, meskipun demikian tetap saja tingkat pengusahaannya rendah. . Tanaman yang
biasa diusahakan adalah tanaman-tanaman yang mampu bertahan pada kekeringan,
seperti pohon-pohonan.
3. Sistem sawah adalah suatu sistem atau teknik budidaya tingkat tinggi, dalam hal
pengolahan tanah dan pengelolaan sumber air, sehingga mampu mencapai stabilitas
biologi yang tinggi dan kesuburan tanah dapat dipertahankan. Sistem sawah adalah
sistem yang menghasilkan potensi besar untuk produksi tanaman pangan, baik dalam
pengolahan sawah padi ataupun untuk tanaman palawija.
4. Sistem perkebunan, pada sistem ini tanaman yang biasa ditanam adalah tanaman-
tanaman yang digunakan untuk kebutuhan ekspor. Perkebunan rakyat maupun
Perkebunan besar (estate) semuanya diusahakan tanaman yang memiliki nilai jual tinggi.
Seperti tanaman karet, kopi, teh dan coklat yang merupakan hasil utama dan sampai
sekarang sistem perkebunan berkembang baik dengan menggunakan manajemen industri
pertanian.

Secara tekhnis, ada beberapa Sistem Pertanian yang dilakukan, yaitu :

1. Sistem Pertanian dengan Pengumpulan Hasil Tanaman, sistem ini adalah suatu sistem
pertanian yang memperoleh hasil tanam secara langsung dari tanaman-tanaman yang
tidak dibudidaya, seperti berburu binatang liar atau menebang hutan alam.
2. Sistem Pertanian dengan Budidaya Tanaman, sistem ini merupakan sistem pertanian
yang paling utama. Dengan menentukan klasifikasinya berdasarkan ciri-ciri fisik
tanaman secara spesifik.
3. Sistem Pertanian untuk Padang Penggembalaan dan Peternakan, sistem ini merupakan
sistem tingkat rendah, dimana menggunakan lahan untuk ladang penggembalaan dan
pembiakan hewan ternak.

Pada saat ingin melakukan usaha pertanian tentunya semua harus memiliki yang
Namanya modal awal yang dimana ini bisa berupa alat kerja dan bibit tanaman. jika si
penggarap adalah orang yang sekaligus merupakan pemilik tanah maka tentunya si pemilik
tersebut jugalah yang mengeluarkan modal awal untuk pertaniannya, lalu jika pertanian
tersebut digarap oleh orang lain dan bukan si pemilik tanah maka modal awal sepenuhnya
ditanggung oleh si penggarap dan si pemilik tanah tidak ikut campur sama sekali dalam
modal awal tersebut selain bermodalkan lahan yang dimilikinya.

2. Sistem bagi hasil tanaman padi

Pada sistem ini penggarap dan pemilik besarnya berbeda yaitu 60% untuk pemilik dan
40% untuk penggarap dalam sekali panen. Misal hasil panen 200 kg dengan harga 10 juta,
maka pemilik dapat 6 juta dan penggarap mendapat 4 juta. Dengan catatan jika semua biaya
kebutuhan pertanian ditanggung dari modal awal. Pemilik lahan tidak tahu menahu
bagaimana lahan digarap, karena pemilik lahan sudah percaya dengan penuh kepada
penggarap. Pemilik lahan hanya menerima hasil 50% tanpa tau menau dengan proses
pengelolaannya.
para penggarap menggarap secara berkelompok yang dimana mereka sama-sama
bertugas menggarap lahan si pemilik, dalam kelompok penggarap ada satu orang yang
mengetuai penggarap yang lain dan untuk pembagian hasilnya yaitu 1/3 untuk si ketua dan
2/3 sisanya dibagikan ke anggota-anggota penggarap.
Perjanjian antara pemilik dan penggarap menggunakan perjanjian lisan, artinya para
pemilik sudah mengatas namakan kepercayaan kepada penggarap, dan diawal perjanjian
juga sudah mengatur bagaimana sistem pengelolaan alat-alat dan sebagainya dalam masa
penggarapannya.
ini tidak saja terbatas pada pemilik tanah itu sendiri, tetapi juga orang-orang lain yang
mempunyai hubungan hukum tertentu dengan tanah yang bersangkutan, misalnya pemegang
gadai, penyew perjanjian penguasahaan tanah dengan bagi hasil umum dijumpai di
Indonesia. Dalam perjanjian itu, yang hukumnya berlaku sebagai ketentuan-ketentuan
hukum adat yang tidak tertulis, seseorang yang berhak atas suatu tanah, yang karena sesuatu
sebab tidak dapat mengerjakannya sendiri, tetapi ingin tetap mendapat hasilnya,
memperkenankan orang lain untuk menyelenggarakan usaha pertanian atas tanah tersebut,
yang hasilnya dibagi antara mereka berdua menurut imbangan yang ditentukan sebelumnya.
Orang yang berhak mengadakan perjanjian tersebut menurut hukumnya yang berlaku
sekarang a, bahkan seorang penggarappun - yaitu fihak kedua yang mengadakan perjanjian
bagi hasil - dalam batas-batas tertentu berhak pula berbuat demikian juga

3. Sistem bagi hasil tanaman padi apabila mengalami kegagalan


Perjanjian bagi hasil merupakan salah satu bentuk produk hukum kebiasaan yang berlaku
dalam kehidupan masayarakat desa Tlogo tamantirto bantul. kepastian hukumnya tidak
dapat diremehkan begitu saja. Hukum kebiasaan tersebut merupakan serangkaian proses
hukum dengan tujuan ketercapaian kesepakatan. Pelaksanaan hukum kebiasaan tersebut
tidak akan pernah mati selama masyarakatnya masih punya ruang kontrol sepanjang proses
kehidupan berlangsung.
Perjanjian bagi hasil merupakan hukum yang dilaksanakan secara lisan meskipun
sebenarnya sudah ada produk hukum tertulis yang telah dimuat di dalam UU No. 2 Tahun
1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil. Akan tetapi pada kenyataannya, masyarakat hampir
tidak ada yang mengetahui isi undang-undang tersebut. Padahal menurut pasal 3 ayat (1)
dalam undang-undang tersebut menyebutkan secara jelas bahwa perjanjian bagi hasil dibuat
secara tertulis antara pihak-pihak terkait di hadapan kepala desa setempat. Akan tetapi
undang-undang itu tidak ada yang menerapkannya di dalam kehidupan masyarakat buruh
tani di sana. Kesepakatan lisan sudah mampu diaplikasikan tanpa ada masalah hingga saat
ini.
Bentuk perjanjian diatas merupakan salah satu tradisi yang sudah ada sejak dahulu
sebelum adanya undang-undang, masyarakat desa tlogo juga sudah melakukan perjanjian
hasil panen dengan cara lisan dari sejak awal mereka menggarap lahan pertanian. Hal itu
bisa dilihat dari proses terjadinya transaksi yang disepakati tanpa melalui proses panjang
seperti surat menyurat. Meskipun demikian pelaksanaannya mudah dipahami dan
dilaksanakan dengan prinsip saling percaya.
Pembagian dan penguasaan lahan pertanian di pedesaan tidak sama antara petani satu
dengan petani yang lain. Ada petani yang berlahan luas, petani berlahan sempit, dan ada
petani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani. Menurut Raharjo, bahwa desa dengan tipe
dua kelas secara garis besar digambarkan sebagai desa yang didalamnya terdapat sejumlah
kecil warga yang memiliki lahan yang amat luas, dan selebihnya dalam jumlah besar
merupakan warga yang tidak memiliki lahan pertanian. Masyarakat yang tidak memiliki
lahan pertanian namun berkeinginan untuk bekerja pada sektor pertanian harus berusaha
keras untuk tetap betahan hidup dengan menjadi penyakap pada petani yang memilki lahan
luas.
Isi dari Perjanjian Bagi Hasil sendiri, hanyalah mengatur sedikit hak dan kewajiban para
pihak. Hak dari pemilik lahan pertanian dan petani penggarap hanyalah hasil dari lahan
pertanian (sawah) tersebut dalam bentuk gabah. Sedangkan kewajiban dari pemilik lahan,
hanya memberikan kuasa kepada petani penggarap untuk mengelolah lahan pertanian
(sawah) miliknya dan menanggung biaya-biaya yang disepakati bersama. Kewajiban petani
penggarap sendiri adalah mengelolah lahan sawah yang dikuasakan oleh pemilik lahan
sawah kepadanya serta mengeluarkan biaya-biaya yang telah disepakatinya bersama pihak
pemilik lahan sawah.
Biaya-biaya yang timbul tersebut antara lain:
1. Biaya benih padi

2. Biaya pupuk

3. Biaya penyewaan traktor

4. Biaya pengairan sawah (irigasi)

Dari biaya-biaya tersebut timbul di atas, pada kenyataannya biaya yang ditanggung oleh
petani penggarap lebih banyak dibandingkan dengan biaya yang ditanggung oleh pemilik
lahan. Bahkan tidak sedikit lahan yang keseluruhan biaya penggarapannya ditanggung
oleh petani penggarapnya.

Petani Penggarap sudah diuntungkan oleh karena mereka diberikan kesempatan oleh
pemilik lahan untuk menggarap lahan/sawah walaupun ia tidak memiliki lahan /sawah begitupun
sebaliknya pemilik lahan juga di untungkan karena dapat memperoleh hasil dari lahan miliknya
tanpa harus bersusah payah menggarap/mengelolah lahan tersebut. Namun pada kenyataannya,
petani penggarap mengalami kerugian terutama pada saat menurunnya hasil panen dari lahan
sawah yang Ia garap, dikarenakan mayoritas biaya-biaya yang timbul selama masa penggapan
ditanggung oleh pihak petani penggarap.

Tanaman padi yang digarap oleh penggarap, jika terjadi kegagalan panen maka kegagalan
tersebut akan sepenuhnya ditanggung oleh penggarap, walau berapapun hasil yang di
dapatkan si pemilikm tanah akan tetap mendapatkan bagiannya sebesar 60% dari hasil yang
berhasil didapatkan dan tetap saja pada dasarnya kedua pihak sama-sama mengalami
kerugian.
Dari hasil penelitian yang dilakukan diatas maka kerugian yang terjadi akibat gagal panen
akan ditanggung oleh penggarap dan kerugian kerugian lainnya akan di tanggung oleh
penggarap. Dan walaupun mengalami gagal panen pemilik tanah juga berhak mendapat hasil
dari panen tersebut berapapun hasil yang didapatkan. Akan tetapi pada dasarnya semua
pihak pasti menggalami kerugian secara materi maupun waktu baik itu penggarap maupun
pemilik sawah.
BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

semua usaha pertanian adalah kegiatan ekonomi sehingga dalam pertanian diperlukan juga dasar-

dasar pengetahuan yang sama tentang bagaimana pengelolaan tempat usaha, cara pemilihan

benih/bibit, tekhnik dan metode budidaya, pengumpulan hasil, bagaimana mendistribusikan produk,

pengolahan dan pengemasan produk, serta pemasaran, dimana semua ilmu itu tercakup dalam ilmu

ekonomi. Dengan kata lain Petani yang mampu melihat semua aspek ini dengan pertimbangan

efisiensi untuk mencapai keuntungan maksimal maka harus melakukan pertanian intensif (intensive

farming).

Pertanian tradisional juga masih banyak mengandalkan alam dan sangat tergantung dengan iklim.

Pada pertanian ini juga belum digunakan teknologi untuk membantu kelancaran proses produksi

dan masih banyak mengandalkan tenaga manusia selama mengerjakan kegiatan pertaniannya.

Karena sistemnya yang masih sederhana menyebabkan biaya atau modal yang diperlukan dalam

produksi pertanian masih tergolong rendah atau tidak butuh banyak modal. Pertanian tradisional

ditujukan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup petani pada zaman dahulu sehingga tidak dapat

diandalkan untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Kebutuhan manusia pada pangan telah

membawa manusia mulai belajar tentang bertanam meskupun dengan alat yang sederhana. Hal

tersebut yang menjadi ciri dari pertanian tradisional. Dari alur pemikiran yang sangat sederhana

sebenarnya telah membuktikan naluri manusia untuk bertahan hidup. Namun seiring bertambahanya

jumlah penduduk dibutuhkan sistem pertanian yang dapat memenuhi kebutuhan pangan sehingga
sistem yang ada mulai berkembang menjadi pertanian konvensional.

Anda mungkin juga menyukai