Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Kesehatan anak di dunia, khususnya di negara yang sedang berkembang
masih tergolong rendah, 11 juta anak di bawah 5 tahun meninggal setiap
tahunnya.Empat juta dari anak ini masih berusia di bawah 1 bulan. Sedangkan
jutaanlainnya hidup dengan gangguan kesehatan seperti menderita penyakit polio,
diare,cacat bawaaan dan perkembangan seperti lambat berjalan dan
bicara.Kematiananak ini, umumnya dipicu oleh faktor yang masih bisa dicegah,
seperti kurang gizidan infeksi misalnya infeksi saluran Pernafasan dan infeksi
saluran pencernaan(Partiwi, 2009).
Sejak penetapan the Expanded Program on Immunisation (EPI) oleh WHO,
cakupan imunisasi dasar anak meningkat dari 5% hingga mendekati 80% di
seluruh dunia. Sekurang-kurangnya ada 2,7 juta kematian akibat campak, tetanus
neonatorum dan pertusis serta 200.000 kelumpuhan akibat polio yang dapat
dicegah setiap tahunnya.Vaksinasi terhadap 7 penyakit telah direkomendasikan
EPI sebagai imunisasi rutin di negara berkembang antara lain: BCG, DPT, Polio,
Campak dan Hepatitis B. (Muhammad,2003).
Target MDGs untuk menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) di Indonesia
adalah sebesar 23 per 1.000 Kelahiran Hidup (KH) pada tahun 2012 yaitu 34per
1.000 KH,hampir 75% dari semua kematian bayi disebabkan oleh: neonatal,
pneumonia, diare, malaria, campak, dan HIV / AIDS, tujuannya adalah untuk
lebih memotong angka kematian anak sebanyak dua pertiga pada tahun 2015.
Pencapaian MDGs untuk mengurangi angka kematian anak akan membutuhkan
cakupan universal dengan kunci yang efektif, intervensi terjangkausalah satunya
dengan cara vaksinasi.
Menurut WHO (World Health Organization) di negara Indonesia sekitar
175.000 penduduk setiap tahunnya meninggal dunia akibat terinfeksi penyakit
yang dapat dicegah oleh imunisasi dan vaksin, sekitar 450.000 setiap tahun.

tertinggi di Gorontalo (95,8%). Dari latar belakang di atas, maka penulis


tertarik untuk membahas aplikasi asuhan kebidanan pada bayi dengan kebutuhan
imunisasi DPT/HB dan polio di BPS Hj. Ernawati, S.S.T.Keb

B. Rumusan masalah
Bagaimana aplikasi asuhan kebidanan pada bayi dengan kebutuhan imunisasi IPV
di BPM Artati Nurjanah S.ST Keb ?

C. Tujuan
Untuk mengetahui aplikasi asuhan kebidanan pada bayi dengan kebutuhan
imunisasi IPV di BPM Artati Nurjanah
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Definisi Bayi

Masa bayi dimulai dari usia 0-12 bulan yang ditandai dengan
pertumbuhan dan perubahan fisik yang cepat disertai dengan perubahan dalam
kebutuhan zat gizi (Notoatmodjo, 2007). Selama periode ini, bayi sepenuhnya
tergantung pada perawatan dan pemberian makan oleh ibunya.

Nursalam, dkk (2005) mengatakan bahwa tahapan pertumbuhan pada masa


bayi dibagi menjadi masa neonatus dengan usia 0-28 hari dan masa pasca
neonatus dengan usia 29 hari-12 bulan. Masa bayi merupakan bulan pertama
kehidupan kritis karena bayi akan mengalami adaptasi terhadap lingkungan,
perubahan sirkulasi darah, serta mulai berfungsinya organ-organ tubuh, dan
pada pasca neonatus bayi akan mengalami pertumbuhan yang sangat cepat
(Perry & Potter, 2005).

B. Pertumbuhan Bayi

Supariasa (2001) menyatakan bahwa pertumbuhan berkaitan dengan


perubahan dalam besar, jumlah, ukuran, dan fungsi tingkat sel, organ maupun
individu, yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran
panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolik (retensi kalsium
nitrogen tubuh). Pertumbuhan fisik merupakan hal yang kuantitatif, yang dapat
diukur. Indikator ukuran pertumbuhan meliputi perubahan tinggi dan berat
badan, gigi, struktur skelet, dan karakteristik seksual (Perry & Potter, 2005).

Pertumbuhan pada masa anak-anak mengalami perbedaan yang bervariasi


sesuai dengan bertambahnya usia anak. Secara umum, pertumbuhan fisik dimulai
dari arah kepala ke kaki (cephalokaudal). Kematangan pertumbuhan tubuh pada
bagian kepala berlangsung lebih dahulu, kemudian secara berangsur-angsur
diikuti oleh tubuh bagian bawah. Selanjutnya, pertumbuhan bagian bawah akan
bertambah secara teratur (Nursalam dkk, 2005).

C. Teori perkembangan
a. Teori perkembangan menurut Soetjiningsih, 1995)
Melalui Denver Developmental Skrening test (DDST) mengemukakan 4
parameter perkembangan yang dipakai dalam menilai perkembangan
anak balita yaitu :
 Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi,
dan berinteraksi dengan lingkungan.
 Fine motor adaptive (gerakan motork halus)
Aspek yang berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati
sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh
tertentu saja, dan otot-otot kecil tetapi memerlukan koordinasi yang
cermat misalnya kemamlpuan untuk menggambar, memegang
sesuatu benda, dan lain-lain.
 Language (bahasa)

Kemampuan untuk memberikan respon terhadap suara mengikuti


perintah dan berbicara spontan.

 Gross motor (perkembangan motorik kasar)


Aspek yang berhubungan dengan gerakan dan sikap tubuh.

TUMBUH KEMBANG ANAK MENURUT UMUR

Menurut Soetjiningsih, 2005 : 33-36

 Usia 0-1 bulan


a) Fisik : BB meningkat 150-200 gram/minggu.
TB meningkat 2.5 cm/bulan
Lingkar kepala meningkat 1.5 cm/bulan sampai
usia 6 bulan.
b) Motorik : Mengangkat kepala dibantu.
Tubuh ditengkurapkan dan menoleh.
Reflek primitif baik, sucking, rotting, moro
reflek, menelan dan menggenggam
c) Sensorik : Mengikuti sinar ke tengah.
d) Sosialisasi : Mulai tersenyum
 Usia 2-3 bulan
a) Fisik : Fontanela posterior sudah menutup.
b) Motorik : Mengangkat kepala bayi ditahan dengan tangan.
Memasukkan tangan ke mulut.
Meraih benda-benda yang menarik.
Sudah dapat didudukan dengan punggung
ditopang.
c) Sensorik : Mengikuti sinar ke tepi.
Koordinasi vertikal dan horisontal
Mendengarkan suara.
d) Sosialisasi :Tertawa pada seseorang.
Senang tertawa keras.
 Usia 4-5 bulan
a) Fisik :BB 2 kali BBL.
Ngeces (belum ada koordinasi menelan).
b) Motorik :Duduk kepala mulai seimbang
Tengkurap susah bisa miring dan kepala tegak
lurus
Reflek primitif mulai menghilang.
Meraih benda dengan tangan.
c) Sensorik :Sudah mengenal orang.
Akomodasi mata baik.
d) Sosialisasi :Senang berinteraksi dengan orang lama.
Mengeluarkan suara tidak senang bila mainnya
diambil orang.
 Usia 6-7 bulan
a) Fisik : BB meningkat 90-150 gr/minggu.
TB meningkat 1.25 cm/bulan.
Lingkar kepala meningkat 0,5 cm/bulan sampai
12 bulan.
b) Motorik : Membalikan tubuh.
Memindahkan benda dari tangan satu ke tangan
lainnya.
c) Sensorik : -
d) Sosialisasi :Dapat membedakan orang yang dikenalnya.
Merangkul/memeluk orang yang dicintai.
Menyebutkan (ma….ma……).
Dapat menangis cepat lalu tertawa lagi.
 Usia 8-9 bulan
a) Fisik : BB 3 kali BBL.
TB lebih ½ kali BBL.
Gigi atas dan bawah sudah tumbuh.
b) Motorik :Duduk sendiri.
Koordinasi tangan ke mulut lebih sering.
Tengkurap dan merangkak.
Mengambil dengan jari.
c) Sensorik :Tertarik dengan benda kecil.
d) Sosialisasi :Cemas terhadap orang tua.
Mengulang kata tidak ada arti.
 Usia 10-12 bulan
a) Fisik : BB 3 kali BBL.
TB lebih ½ kali BBL
Gigi atas dan bawah sudah sembuh.
b) Motorik : Berdiri tidak lama.
Berjalan dengan bantuan.
Berdiri dan duduk sendiri.
Mulai makan dengan sendok.
Main ciluk….ba……
Senang mencoret kertas.
c) Sensorik: Dapat membedakan bentuk.
d) Sosialisasi : Emosi berlebihan, cemburu, marah.
Senang lingkungan yang dikenal.
Takut lingkungan asing.
Mengerti perintah sederhana.
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak

 Faktor dalam
Yaitu faktor-faktor yang ada dalam diri anak itu sendiri baik faktor
bawaan maupun faktor yang diperoleh, antara lain :
a) Hal-hal yang diturunkan dari orang tua, kakek, nenek atau generasi
sebelumnya, misal : warna rambut, bentuk tubuh.
b) Untuk berpikir dan kemampuan intelektual
Misal : kecepatan berfikir.
c) Keadaan kelenjar zat-zat dalam tubuh
Misal : kekurangan hormon yang dapat menghambat pertumbuhan
dan perkembangan anak.
d) Emosi dan sifat-sifat (tempramen) tertentu
Misal : pemalu, pemarah, tertutup, dan lain-lain.
 Faktor luar menurut Mardho, 1993 : 2-4
a) Keluarga
i. Umur ibu kurang dari 20 tahun.
ii. Jumlah anak usia dbawah 3 tahun (balita) 2 atau lebih.
iii. Ibu/pengasuh anak tidak tahu mengenai kebutuhan anak
dan sulit menerima pesan-pesan kesehatan.
iv. Ibu/pengasuh anak menderita gangguan mental atau
tekanan jiwa yang berat.
v. Ibu/pengasuh anak mengabaikan atau tak acuh terhadap
kesejahteraan/perkembangan anak.
vi. Rumah kacau/kotor yang ditandai oleh kurangnya
perhatian terhadap keselamatan anak dan perawatan rumah.
vii. Ayah yang sering melakukan kejahatan, minum alkohol
atau ada gangguan jiwa
viii. Hubungan suami istri yang buruk.
b) Gizi
c) Budaya
d) Teman bermain dan sekolah

D. Lima Imunisasi Dasar Lengkap


1. Pengertian
Imunisasi merupakan suatu program yang dengan sengaja memasukkan
antigen lemah agar merangsang antibodi keluar sehingga tubuh dapat resisten
terhadap penyakit tertentu. (Proverawati, 2010)
Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak
dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti
untuk mencegah terhada penyakit tertentu. (Alimul, 2009)
2. Tujuan Imunisasi
Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan pada bayi
agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta anak yang disebabkan
oleh penyakit yang sering berjangkit. (Proverawati, 2010)
Tujuan pemberian imunisasi adalah diharapkan anak menjadi kebal
terhadap penyakit sehingga dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas
serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi. (Alimul, 2009)
3. Manfaat Imunisasi
a. Untuk Anak
Mencegah penderitaan yang disebabkan oleh penyakit dan kemungkinan
cacat atau kematian.
b. Untuk Keluarga
Menghilangkan kecemasan dan psikologi pengobatan bila anak sakit.
Mendorong pembentukan keluarga apabila orang tua yakin bahwa
anaknya akan menjalani masa kanak-kanak yang nyaman.
c. Untuk Negara
Memperbaiki tingkat kesehatan, mrnciptakan bangsa yang kuat dan
berakal untuk melanjutkan pembangunan negara. (Proverawati, 2010)
Jenis Imunisasi
a. Imunisasi Aktif
Merupakan pemberian suatu bibit penyakit yang telah dilemahkan
(vaksin) agar nantinya sistem imun tubuh berespon spesifik dan
memberikan suatu ingatan terhadap antigen ini, sehingga ketika terpapar
lagi tubuh dapat mengenali dan meresponnya. Contoh imunisasi aktif
adalah imunisasi polio dan campak. Dalam imunisasi aktif terdapat
beberapa unsur-unsur vaksin, yaitu :
a. Vaksin dapat berupa organisme yang secara keseluruhan dimatikan,
eksotoksin yang didetoksifikasi saja, atau endotoksin yang terikat
pada protein pembawa seperti polisakarida, dan vaksin dapat juga
berasal dari ekstrak komponen-komponen organisme dari suatu
antigen. Dasarnya adalah antigen harus merupakan bagian dari
organisme yang dijadikan vaksin.
b. Pengawet/stabilisator, atau antibiotik. Merupakan zat yang digunakan
agar vaksin tetap dalam keadaan lemah atau menstabilkan antigen dan
mencegah tumbuhnya mikroba. Bahan-bahan yang digunakan seperti
air raksa atau antibiotik yang biasa digunakan.
c. Cairan pelarut dapat berupa air steril atau juga berupa cairan kultur
jaringan yang digunakan sebagai media tumbuh antigen, misalnya
telur, protein serum, bahan kultur sel.
d. Adjuvan, terdiri dari garam aluminium yang berfungsi meningkatkan
sistem imun dari antigen. Ketika antigen terpapar dengan antibodi
tubuh, antigen dapat melakukan perlawanan juga, dalam hal ini
semakin tinggi perlawanan maka semakin tinggi peningkatan antibodi
tubuh.
b. Imunisasi Pasif
Merupakan suatu proses peningkatan kekebalan tubuh dengan cara
memberikan zat immunoglobulin, yaitu zat yang dihasilkan melalui suatu
proses infeksi yang dapat berasal dari plasma manusia (kekebalan yang
didapatkan bayi dari ibu melalui plasenta) atau binatang (bisa ular) yang
digunakan untuk mengatasi mikroba sudah masuk dalam tubuh yang
terinfeksi.
Contoh imunisasi pasif adalah penyuntikan ATS pada orang yang
mengalami luka kecelakaan. Contoh lain adalah yang terdapat pada bayi
yang baru lahir dimana bayi tersebut menerima berbagai jenis antibodi
dari ibunya melalui darah plasenta selama masa kandungan, misalnya
antibodi terhadap campak. (Proverawati, 2010)

Jenis Vaksin Lima Imunisasi Lengkap


1. BCG
Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit
TBC yang primer atau yang ringan dapat terjadi walaupun sudah
dilakukan imunisasi BCG. TBC yang berat contohnya adalah TBC pada
selaput otak, TBC milier pada seluruh lapangan paru, atau TBC tulang.
Vaksin BCG merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah
dilemahkan.
Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 dosis sejak lahir
sebelum umur 3 bulan. Vaksin BCG diberikan melalui
intradermal/intracutan. Efek samping pemberian imunisasi BCG adalah
terjadinya ulkus pada daerah suntikan, limfadenitis regionalis, dan reaksi
panas.
2. Hepatitis B
Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit hepatitis B. kandungan vaksin ini adalah
HbsAg dalam bentuk cair. Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis B
adalah 3 dosis. Imunisasi hepatitis ini diberikan melalui intramuscular.
3. Polio
Imunisasi polio merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan
pada anak. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Terdapat
dua macam vaksin polio, yaitu vaksin virus polio oral (OPV = Oral Polio
Vaccine) dan Incativated Polio Vaccine (IPV). Pemberian vaksin tersebut
dengan cara suntikan subkutan dengan dosis 0,5 ml diberikan dalam 4 kali
berturut-turut dalam jarak 2 bulan,sedangkan dosis OPV sebanyak 2 tetes.
4. DPT
Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah
terjadinya penyakit difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin DPT ini
merupakan vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah
dihilangkan sifat racunnya, namun masih dapat merangsang pembentukan
zat anti (toksoid).
Frekuensi pemberian imuisasi DPT adalah 3 dosis. Pemberian
pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan)
terhadap vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti.
Pada pemberian kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup. Imunisasi
DPT diberikan melalui intramuscular.
Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek
ringan misalnya terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan,
dan demam. Efek berat misalnya terjadi menangis hebat, kesakitan kurang
lebih empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, encephalopathy, dan
syok.
5. Campak
Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit campak pada anak karena termasuk
penyakit menular. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan.
Frekuensi pemberian imunisasi campak adalah 1 dosis. Imunisasi campak
diberikan melalui subkutan. Imunisasi ini memiliki efek samping seperti
terjadinya ruam pada tempat suntikan dan panas. (Alimul, 2009)
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Imunisasi
Status imun penjamu
a. Adanya antibodi spesifik pada penjamu keberhasilan vaksinasi,
misalnya: Campak pada bayi, Kolostrum ASI , Imunoglobulin A polio.
b. Maturasi imunologik : neonatus fungsi makrofag, kadar komplemen,
aktifasi optonin.
c. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen kurang, hasil
vaksinasi ditunda sampai umur 2 tahun.
d. Cakupan imunisasi semaksimal mungkin agar anak kebal secara
simultan, bayi diimunisasi.
e. Frekuensi penyakit : dampaknya pada neonatus berat imunisasi dapat
diberikan pada neonatus.
f. Status imunologik (seperti defisiensi imun) respon terhadap vaksin
kurang.
g. Genetik
Secara genetik respon imun manusia terhadap antigen tertentu baik,
cukup, rendah. Keberhasilan vaksinasi tidak 100%.
h. Kualitas vaksin
Cara pemberian. Misalnya polio oral, imunitas lokal dan sistemik.
i. Dosis vaksin
Tinggi hambatan respon, menimbulkan efek samping; Jika rendah,
maka tidak merangsang sel imunokompeten
j. Frekuensi pemberian.
Respon imun sekunder Sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi
produksinya, afinitas lebih tinggi. Frekuensi pemberian mempengaruhi
respon imun yang terjadi. Bila vaksin berikutnya diberikan pada saat
kadar antibodi spesifik masih tinggi, sedangkan antigen dinetralkan
oleh antibodi spesifik maka tidak merangsang sel imunokompeten.
k. Ajuran
a. Zat yang meningkatkan respon imun terhadap antigen
b. Mempertahankan antigen agar tidak cepat hilang;
c. Mengaktifkan sel imunokompeten
l. Jenis vaksin
Vaksin hidup menimbulkan respon imun lebih baik.
m. Kandungan vaksin
 Antigen virus
 Bakteri
 Vaksin yang dilemahkan seperti polio, campak, BCG
 Vaksin mati : pertusis.
 Eksotoksin : toksoid, difteri, tetanus.
 Ajuvan : persenyawaan aluminium
 Cairan pelarut : air, cairan garam fisiologis, kultur jaringan, telur.
n. Faktor Yang Dapat Merusak Vaksin Dan Komposisi Vaksin
 Panas dapat merusak semua vaksin.
 Sinar matahari dapat merusak BCG.
 Pembekuan toxoid.
 Desinfeksi / antiseptik : sabun. (Marimbi, 2010)
 Tatacara Pemberian Imunisasi
Sebelum melakukan vaksinasi, dianjurkan dianjurkan mengikuti tata cara seperti
berikut:

a. Memberitahukan secara rinci tentang risiko imunisasi dan risiko apabila


tidak divaksinasi.
b. Periksa kembali persiapan untuk melakukan pelayanan secepatnya bila
terjadi reaksi ikutan yang tidak diharapkan.
c. Baca dengan teliti informasi tentang yang akan diberikan dan jangan lupa
mendapat persetujuan orang tua. Melakukan tanya jawab dengan orang tua
atau pengasuhnya sebelum melakukan imunisasi.
d. Tinjau kembali apakah ada kontraindikasi terhadap vaksin yang akan
diberikan.
e. Periksa identitas penerima vaksin dan berikan antipiretik bila diperlukan.
f. Periksa jenis vaksin dan yakin bahwa vaksin tersebut telah disimpan
dengan baik.
g. Periksa vaksin yang akan diberikan apakah tampak tanda-tanda
perubahan. Periksa tanggal kadaluarsa dan catat hal-hal istimewa,
misalnya adanya perubahan warna yang menunjukkan adanya kerusakan.
h. Yakin bahwa vaksin yang akan diberikan sesuai jadwal dan ditawarkan
pula vaksin lain untuk mengejar imunisasi yang tertinggal (catch up
vaccination) bila diperlukan.
i. Berikan vaksin dengan teknik yang benar. Lihat uraian mengenai
pemilihan jarum suntik, sudut arah jarum suntik, lokasi suntikan, dan
posisi penerima vaksin.
j. Setelah pemberian vaksin, kerjakan hal-hal seperti berikut:
k. Berilah petunjuk (sebaiknya tertulis) kepada orang tua atau pengasuh, apa
yang harus dikerjakan dalam kejadian reaksi yang biasa atau reaksi ikutan
yang lebih berat.
l. Catat imunisasi dalam rekam medis pribadi dan dalam catatan klinis.
m. Catatan imunisasi secara rinci harus disampaikan kepada Dinas Kesehatan
bidang P2M.
n. Periksa status imunisasi anggota keluarga lainnya dan tawarkan vaksinasi
untuk mengejar ketinggalan, bila diperlukan.

Dalam situasi vaksinasi yang dilaksanakan untuk kelompok besar,


pelaksanaannya dapat bervariasi, namun rekomendasi tetap seperti di atas
yang berpegang pada prinsip-prinsip higienis, surat persetujuan yang valid,
dan pemeriksaan/penilaian sebelum imunisasi harus dikerjakan.

a. Penyimpanan
Vaksin yang disimpan dan diangkut secara tidak benar akan
kehilangan potensinya. Instruksi pada lembar penyuluhan (brosur)
informasi produk harus disertakan. Aturan umum untuk sebagian besar
vaksin, bahwa vaksin harus didinginkan pada temperatur 2-8oC dan tidak
membeku. Sejumlah vaksin (DPT dan hepatitis B) menjadi tidak aktif bila
beku. Pengguna dinasehatkan untuk melakukan konsultasi guna
mendapatkan informasi khusus vaksin-vaksin individual, karena beberapa
vaksin (polio) dapat disimpan dalam keadaan beku.
b. Pengenceran
Vaksin kering yang beku harus diencerkan dengan cairan pelarut
khusus dan digunakan dalam periode waktu tertentu. Apabila vaksin telah
diencerkan, harus diperiksa terhadap tanda-tanda kerusakan (warna dan
kejernihan).
Perlu diperhatikan bahwa vaksin campak yang telah diencerkan
cepat mengalami perubahan pada suhu kamar. Jarum ukuran 21 yang steril
dianjurkan untuk mengencerkan dan jarum ukuran 23 dengan panjang 25
mm digunakan untuk menyuntikkan vaksin.
c. Pembersihan Kulit
Tempat suntikan harus dibersihkan sebelum imunisasi dilakukan
namun apabila kulit telah bersih, antiseptik kulit tidak diperlukan.
d. Pemberian Suntikan
Sebagian besar vaksin diberikan melalui suntikan intramuskular atau
subkutan dalam. Terdapat perkecualian pada dua jenis vaksin yaitu polio
diberikan per-oral dan BCG diberikan dengan suntikan intradermal.
e. Teknik dan Ukuran Jarum
Para petugas yang melaksanakan vaksinasi harus memahami teknik
dasar dan petunjuk keamanan pemberian vaksin, untuk mengurangi risiko
penyebaran infeksi dan trauma akibat suntikan yang salah. Pada tiap
suntikan harus digunakan tabung suntikan dan jarum baru, sekali pakai
dan steril. Sebaiknya tidak digunakan botol vaksin yang multidosis,
karena risiko infeksi. Apabila memakai botol multidosis (karena tidak ada
laternatif vaksin dalam sediaan lain) maka jarum suntik yang telah
digunakan menyuntikkan tidak boleh dipakai lagi mengambil vaksin.
Tabung suntik dan jarum harus dibuang dalam tempat tertutup yang
diberi tanda (label) tidak mudah robek dan bocor, untuk menghindari luka
tusukan atau pemakaian ulang. Tempat pembuangan jarum suntik bekas
harus dijauhkan dari jangkauan anak-anak.
Sebagian besar vaksin harus disuntikkan ke dalam otot. Penggunaan
jarum yang pendek meningkatkan risiko terjadi suntikan subkutan yang
kurang dalam.
Standar jarum suntik ialah ukuran 23 dengan panjang 25 mm, tetapi
ada perkecualian lain dalam beberapa hal seperti berikut :
1) Pada bayi-bayi kurang bulan, umur dua bulan atau yang lebih muda dan
bayi-bayi kecil lainnya, dapat pula dipakai jarum ukuran 26 dengan
panjang 16 mm.
2) Untuk suntikan subkutan pada lengan atas, dapakai jarum ukuran 25
dengan panjang 16 mm, untuk bayi-bayi kecil dipakai jarum ukuran 27
dengan panjang 12 mm.
3) Untuk suntikan intradermal pada vaksin BCG dipakai jarum ukuran 25-
27 dengan panjang 10 mm.
f. Arah Sudut Jarum pada Suntikan Intramuskular
Jarum suntik harus disuntikkan dengan sudut 45o sampai 60o ke
dalam otot vastus lateralis atau otot deltoid (lengan atas). Untuk otot
vastus lateralis, jarum harus diarahkan ke arah lutut dan untuk deltoid
jarum harus diarahkan ke pundak. Kerusakan saraf dan pembuluh vaskular
dapat terjadi apabila suntikan diarahkan pada sudut 90º. pada suntikan
dengan sudut jarum 45 º sampai 60 º akan mengalami hambatan ringan
pada waktu jarum masuk ke dalam otot.
g. Tempat Suntikan yang Dianjurkan
Paha anterolateral adalah bagian tubuh yang dianjurkan untuk
vaksinasi pada bayi-bayi dan anak-anak umur dibawah 12 bulan. Regio
deltoid adalah alternatif untuk vaksinasi pada anak-anak yang lebih besar
(mereka yang telah dapat berjalan) dan orang dewasa.
Daerah anterolateral paha adalah bagian yang dianjurkan untuk
vaksinasi bayi-bayi dan tidak pada pantat (daerah gluteus) untuk
menghindari risiko kerusakan saraf ischiadica (nervus ischiadicus). Risiko
kerusakan saraf ischiadica akibat suntikan didaerah gluteus lebih banyak
dijumpai pada bayi karena variasi posisi saraf tersebut, masa otot lebih
tebal, sehingga pada vaksinasi dengan suntikan intramuskular di daerah
gluteal dengan tidak sengaja menghasilkan suntikan subkutan dengan
reaksi lokal yang lebih berat.
Sedangkan untuk vaksinasi BCG, harus disuntik pada kulit di atas
insersi otot deltoid (lengan atas), sebab suntikan-suntikan diatas puncak
pundak memberi risiko terjadinya keloid.

h. Posisi Anak dan Lokasi Suntikan


Vaksin yang disuntikkan harus diberikan pada bagian dengan risiko
kerusakan saraf, pembuluh vaskular serta jaringan lainnya. Penting bahwa
bayi dan anak jangan bergerak saat disuntik, walaupun demikian cara
memegang bayi dan anak yang berlebihan akan menambah ketakutan
sehingga meningkatkan ketegangan otot. Perlu diyakinkan kepada orang
tua atau pengasuh untuk membantu memegang anak atau bayi, dan harus
diberitahu agar mereka memahami apa yang sedang dikerjakan.
Alasan memilih otot vastus lateralis pada bayi dan anak umur
dibawah 12 bulan adalah :
1) Menghindari risiko kerusakan saraf ischiadica pada suntikan daerah
gluteal.
2) Daerah deltoid pada bayi dianggap tidak cukup tebal untuk menyerap
suntikan secara adekuat.
3) Sifat imunogenesitas vaksin hepatitis B berkurang bila disuntikkan di
daerah gluteal.
4) Menghindari risiko reaksi lokal dan terbentuk pembengkakan di
tempat suntikan yang menahun.
5) Menghindari lapisan lemak subkutan yang tebal pada paha bagian
anterior.
6) Vastus Lateralis, Posisi Anak dan Lokasi Suntikan
Vastus lateralis adalah otot bayi yang tebal dan besar, yang
mengisi bagian anterolateral paha. Vaksin harus disuntikkan ke dalam
batas antara sepertiga otot bagian atas dan tengah yang merupakan bagian
yang paling tebal dan padat. Jarum harus membuat sudut 45o-60o
terhadap permukaan kulit, dengan jarum kearah lutut, maka jarum
tersebut harus menembus kulit selebar ujung jari di atas (ke arah
proksimal) batas hubungan bagian atas dan sepertiga tengah otot.
Anak atau bayi diletakkan di atas meja periksa, dapat dipegang oleh
orang tua/pengasuh atau posisi setengah tidur pada pangkuan orang tua
atau pengasuhnya. Celana (popok) bayi harus dibuka bila menutupi otot
vastus lateralis sebagai lokasi suntikan, bila tidak demikian vaksin akan
disuntikkan terlalu bawah di daerah paha. Kedua tangan dipegang
menyilang pelvis bayi dan paha dipegang dengan tangan antara jempol
dan jari-jari. Posisi ini akan mengurangi hambatan dalam proses
penyuntikan dan membuatnya lebih lancar. Lokasi suntikan pada vastus
lateralis :
1) Letakkan bayi di atas tempat tidur atau meja, bayi ditidurkan
terlentang.
2) Tungkai bawah sedikit ditekuk dengan fleksi pada lutut.
3) Cari trochanter mayor femur dan condylus lateralis dengan cara
palpasi, tarik garis yang menghubungkan kedua tempat tersebut.
Tempat suntikan vaksin ialah batas sepertiga bagian atas dan tengah
pada garis tersebut (bila tungkai bawah sedikit menekuk, maka
lekukan yang dibuat oleh tractus iliotibialis menyebabkan garis bagian
distal lebih jelas).
4) Supaya vaksin yang disuntikkan masuk ke dalam otot pada batas
antara sepertiga bagian atas dan tengah, jarum ditusukkan satu jari di
atas batas tersebut.
i. Deltoid, Posisi Anak dan Lokasi Suntikan
Posisi seorang anak yang paling nyaman untuk suntikan di daerah
deltoid ialah duduk di atas pangkuan ibu atau pengasuhnya. Lengan yang
akan disuntik dipegang menempel pada tubuh bayi, sementara lengan
lainnya diletakkan di belakang tubuh orang tua atau pengasuh.
Lokasi deltoid yang benar adalah penting supaya vaksinasi
berlangsung aman dan berhasil. Posisi yang salah akan menghasilkan
suntikan subkutan yang tidak benar dan meningkatkan risiko penetrasi
saraf.
Untuk mendapatkan lokasi deltoid yang baik membuka lengan atas
dari pundak ke siku. Lokasi yang paling baik adalah pada tengah otot,
yaitu separuh antara akromnion dari insersi pada tengah humerus. Jarum
suntik ditusukkan membuat sudut 45o-60o mengarah pada akromnion.
Bila bagian bawah deltoid yang disuntik, ada risiko trauma saraf radialis
karena saraf tersebut melingkar dan muncul dari otot trisep.
j. Pengambilan Vaksin dari Botol (Vial)
Untuk vaksin yang diambil menembus tutup karet atau yang telah
dilarutkan, harus memakai jarum baru. Apabila vaksin telah diambil dari
vial yang terbuka, dapat dipakai jarum yang sama. Jarum atau semprit
yang telah digunakan menyuntik seseorang tidak boleh digunakan untuk
mengambil vaksin dari botol vaksin karena risiko kontaminasi silang,
vaksin dalam botol yang berisi dosis ganda (multidosis) jangan digunakan
kecuali tidak ada alternatif lain.
k. Penyuntikan Subkutan
Perhatian untuk suntikan subkutan :
1) Arah jarum 45 º terhadap kulit.
2) Cubit tebal untuk suntikan subkutan.
3) Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan.
4) Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda.
l. Penyuntikan Intramuscular
Perhatian untuk penyuntikan intramuskular :
1) Pakai jarum yang cukup panjang untuk mencapai otot.
2) Suntik dengan arah jarum 45-60, lakukan dengan cepat.
3) Tekan kulit sekitar tempat suntikan dengan ibu jari dan telunjuk saat
jarum ditusukkan.
4) Aspirasi semprit sebelum vaksin disuntikkan, untuk meyakinkan tidak
masuk ke dalam vena. Apabila terdapat darah, buang dan ulangi
dengan suntikan baru.
5) Untuk suntikan multipel diberikan pada bagian ekstrimitas berbeda.
m. Pemberian Dua atau Lebih Vaksin pada Hari Yang Sama
Pemberian vaksin-vaksin yang berbeda pada umur yang sesuai, boleh
diberikan pada hari yang sama. Vaksin inactivated dan vaksin virus hidup,
khususnya vaksin yang dianjurkan dalam jadwal imunisasi, pada
umumnya dapat diberikan pada lokasi yang berbeda saat hari kunjungan
yang sama. Misalnya pada kesempatan yang sama dapat diberikan vaksin-
vaksin DPT, hepatitis B, dan polio.
Vaksin-vaksin yang berbeda tidak boleh dicampur dalam satu semprit.
Vaksin-vaksin yang berbeda yang diberikan pada seseorang pada hari
yang sama harus disuntikkan pada lokasi yang berbeda dengan
menggunakan semprit yang berbeda. (IDAI, 2008)
Jadwal Imunisasi
1. BCG
a. Imunisasi BCG diberikan pada umur sebelum 3 bulan. namun
dianjurkan pemberian imunisasi BCG pada umur antara 0-12 bulan.
b. Dosis 0,05 ml untuk bayi kurang dari 1 tahun dan 0,1 ml untuk anak
(>1 tahun).
c. Imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.
d. Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi tuberculosis, namun dapat
mencegah komplikasinya.
e. Apabila BCG diberikan pada umur lebih dari 3 bulan, sebaiknya
dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan
apabila uji tuberkulin negatif.
2. Hepatitis B
a. Imunisasi hepatitis B-1 diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12
jam) setelah lahir.
b. Imunisasi hepatitis B-2 diberikan setelah 1 bulan (4 minggu) dari
imunisasi hepatitis B-1 yaitu saat bayi berumur 1 bulan.
c. Untuk mendapatkan respon imun optimal, interval imunisasi hepatitis
B-2 dengan hepatitis B-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka
imunisasi hepatitis B-3 diberikan pada umur 3-6 bulan.
Departemen kesehatan mulai tahun 2005 memberikan vaksin hepatitis
B-0 monovalen (dalam kemasan uniject) saat lahir, dilanjutkan dengan
vaksin kombinasi DTwP/hepatitis B pada umur 2-3-4 bulan. Tujuan vaksin
hepatitis B diberikan dalam kombinasi dengan DTwP untuk mempermudah
pemberian dan meningkatkan cakupan hepatitis B-3 yang masih rendah.
Apabila sampai dengan usia 5 tahun anak belum pernah memperoleh
imunisasi hepatitis B, maka secepatnya diberikan imunisasi hepatitis B
dengan jadwal 3 kali pemberian.
3. DPT
a. Imunisasi DPT primer diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan (DPT tidak
boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu.
Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DPT-1 diberikan pada umur
2 bulan, DPT-2 pada umur 4 bulan dan DPT-3 pada umur 6 bulan.
b. Dosis DPT adalah 0,5 ml, intramuskular, baik untuk imunisasi dasar
maupun ulangan.
c. Vaksin DPT dapat diberikan secara kombinasi dengan vaksin lain
yaitu DPT/Hepatitis B dan DPT/IPV.
4. Polio
a. Terdapat 2 kemasan vaksin polio yang berisi virus polio -1, 2, dan 3.
(1.OPV, hidup dilemahkan, tetes, oral.; 2.IPV, in-aktif, suntikan.)
b. Polio-0 diberikan saat bayi lahir sesuai pedoman PPI sebagai
tambahan untuk mendapatkan cakupan imunisasi yang tinggi.
c. Untuk imunisasi dasar (polio-2, 3, 4) diberikan pada umur 2,4, dan 6
bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
d. OPV diberikan 2 tetes per-oral.
e. IPV dalam kemasan 0,5 ml, intramuscular. Vaksin IPV dapat
diberikan tersendiri atau dalam kemasan kombinasi (DPT/IPV).
5. Campak
Vaksin campak rutin dianjurkan diberikan dalam satu dosis 0,5 ml secara
subkutan dalam, pada umur 9 bulan. (IDAI, 2008)

Kontraindikasi Imunisasi

Anafilaksis atau reaksi hipersensitifitas yang hebat merupakan kontraindikasi


mutlak terhadap dosis vaksin berikutnya. Riwayat kejang demam dan panas lebih dari
38 merupakan kontraindikasi pemberian DPT, hepatitis B-1 dan campak.
Jangan berikan vaksin BCG kepada bayi yang menunjukkan tanda dan gejala
AIDS, sedangkan vaksin yang lain sebaiknya diberikan.
Jika orang tua sangat berkeberatan terhadap pemberian imunisasi kepada bayi yang
sakit, lebih baik jangan diberikan vaksin, tetapi mintalah ibu kembali lagi ketika bayi
sudah sehat. (Proverawati, 2010)
DAFTAR PUSTAKA

Soetjiningsih. 1995. Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC

Suryanah, 1996. Keperawatan Anak untuk Siswa SPK. Jakarta: EGC

Hidayat, A. Aziz Alimul.2009. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan


Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.

Proverawati, Atikah.2010.Imunisasi dan Vaksinasi.Yogyakarta:Nuha Offset.

Anda mungkin juga menyukai