Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Permasalahan hukum kewarisan islam sangat luas dan kompleks, meliputi ruang lingkup
kehidupan manusia dan masyarakat dari persoalan anak yang masih dalam kandungan sampai
meninggal dunia,[1] kematian seseorang membawa pengaruh akibat hukum kepada diri, keluarga
dan masyarakat dan lingkungan sekitarnya.[2]
Akibat hukum tersebut meliputi pengurusan jenazah, pengurusan wasiat, hutang, dan juga
peralihan harta warisan dari pewaris kepada ahli waris. Hukum Waris yang berlaku di Indonesia
ada tiga yakni Hukum Waris Adat, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Perdata. Setiap daerah
memiliki hukum yang berbeda-beda sesuai dengan sistem kekerababatan yang mereka anut.
Pengertian yang paling luas dari perkataan “benda” ialah segala sesuatu yang dapat dihaki oleh
orang. Disini benda berarti obyek sebagai lawan dari subjek atau “orang” dalam hukum. Ada
juga perkataanbenda itu dipakai dalam arti yang sempit, yaitu sebagai barag yang data terlihat
saja. Ada lagi dipakai, jika yang dimaksud adalah kekayaan seseorang.[3]
Hukum kewarisan islam merupakan hukum waris yang wajib di pelajari dan di terapkan
dalam setiap pristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat terutama mereka yang beragama
islam. Namun hukum waris yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum waris islam tetapi ada
pula hukum waris adat, dan hukum waris perdata. Seiring berkembangnya jaman hukum waris
adat pun sudah jarang di gunakan pada masyarakat urban yang pada umumnya mereka lebih suka
memakai hukum waris islam karna agamanya dan hukum waris perdata. Di sini pemerintah sangat
sulit untuk mengatur unifikasi hukum waris di Indonesia.[4] Adapun dalam istilah umum, waris
adalah perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli waris yang
masih hidup. Seperti yang disampaikan oleh Wiryono Projodikoro, definisi waris adalah soal
apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajibankewajiban tentang kekayaan seseorang
pada waktu ia meninggal akan beralih kepada orang lain yang masih hidup.[5]
Dari uraian singkat diatas, nampaklah bahwa sampai dewasa ini di Negara Indonesia masih
terdapat bermacam-macam hukum waris ang semuanya berlaku bagi bangsa Indonesia menurut
ketentuan berlakuna masing-masing jenis hukum tersebut. Sehingga dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia masih beranekaragam.[6]
Dengan demikian secara garis besar definisi warisan yaitu perpindahan berbagai hak dan
kewajiban tentang kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup
dengan memenuhi syarat dan rukun dalam mewarisi.
Dalam hukum waris banyak sekali kasus kasus dalam masyarakat yang menjadi masalah
tentang kewarisan islam. Bukan hanya pada pembagian harta waris tetapi juga dalam pengurusan
tirkah. Pada saat ini penulis mempunyai contoh kasus yang ada dilingkungan penulis.

Kasus posisi:
Ari meninggalkan seorang bapak dan seorang ibu serta seorang kakak bernama Fera. Dia
juga memiliki seorang kakek, Paman, Bibi yang tinggal serumah dengannya. Siapa sajakah yang
berhak mewaris harta yang ditinggalkan berupa rumah seharga 900 juta. Diketahui ari belum
menikah. Ari mempunyai hutang sebesar 16 juta dan pengurusan jenazah ari sebesar 4 juta.
B. IDENTIFIKASI MAKALAH

Berdasarkan Permasalahaan sebagaimana telah dijabarkan di atas, maka dapat ditarik


beberapa pokok masalah yang akan dikaji dalam makalah ini, yakni:

1. Bagaimana pengaturan hukum waris islam dan cara penyelesaian masalahnya ?


2. Bagaimana pengaturan hukum waris perdata dan cara penyelesaian masalahnya?

C. TUJUAN PENULISAN
Dapat memahami tentang pengaturan-pengaturan dalam hukum waris baik hukum
kewarisan islam dan hukum kewarisan peradata. Dan dapat lebih dalam memahami kasus kasus
hukum kewarisan yang biasa terjadi di dalam masyarakat. Karna pada dasarnya hukum waris
adalah hukum yang selalu hidup di masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAAN

A. HUKUM WARIS ISLAM DAN CARA PENYELESAIANYA

1. Pengertian hukum waris islam

Warisan berasal dari bahasa Arab al-irts ( ‫ )اإلرث‬atau al-mirats ( ‫ )الميراث‬secara umum
bermakna peninggalan (tirkah) harta orang yang sudah meninggal (mayit). Secara etimologis
(lughawi) waris mengandung 2 arti yaitu (a) tetap dan (b) berpindahnya sesuatu dari suatu kaum
kepada kaum yang lain baik itu berupa materi atau non-materi.[7]

Sedang menurut terminologi fiqih/syariah Islam adalah berpindahnya harta seorang (yang
mati) kepada orang lain (ahli waris) karena ada hubungan kekerabatan atau perkawinan dengan
tata cara dan aturan yang sudah ditentukan oleh Islam berdasar QS An-Nisa' 4:11-12.

Ilmu faraidh atau fiqh mawaris adalah ilmu yang membicarakan hal ihwal pemindahan
harta peningalan dari seorang yang meninggal dunia kepada yang masih hidup, baik mengenai
harta yang ditinggalkanya, orang orang yang berhak menerima harta tersebut, bagian masing-
masing ahli waris, maupun cara penyelesaianya.[8]

2. Sumber Hukum waris Islam

Kewarisan islam memiliki sumber-sumber hukum yang menjadi dalil atau dasar sebagai penguat
hukum kewarisan tersebut. Diantara sumber-sumber hukum kewarisan dalam Islam Dasar hukum
bagi kewarisan adalah nash atau apa yang ada dalam Al Qur’an dan Sunnah. diantaranya adalah,
sebagai berikut :
a. Dalil- dalil yang bersumber dari al-qur’an
“Mereka meminta fatwa kepadamu [tentang kalalah]. Katakanlah: "Allah memberi fatwa
kepadamu tentang kalalah [yaitu]: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak
dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari
harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai seluruh harta saudara
perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi
keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka ahli
waris itu terdiri dari saudara-saudara laki dan perempuan, maka bahagian seorang saudara laki-
laki sebanyak bahagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (176)[9]

b.Dalil-dalil yang bersumber dari as-sunnah.


Meskipun Al-Qur’an menyebutkan secara terperinci ketentuan-ketentuan bagian ahli waris,
Sunnah Rasul menyebutkan pula hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, antara lain :
1) Hadits riwayat Bukhari dan Muslim mengajarkan bahwa ahli waris laki-laki yang lebih
dekat kepada pewaris lebih berhak atas sisa harta warisan, setelah diambil bagian ahli waris yang
mempunyai bagian-bagian tertentu.
2) Hadits riwayat Al-Jama’ah, kecuali Muslim dan Nasa’i, mengajarkan bahwa orang
muslim tidak berhak waris atas harta orang kafir, dan orang kafir tidak berhak atas harta orang
muslim.
3) Hadits riwayat Ahmad menyebutkan bahwa Nabi memberikan bagian warisan kepada dua
nenek perempuan 1/6 harta warisan dibagi dua.
4) Hadits riwayat Ahmad mengajarkan bahwa anak dalam kandungan berhak waris setelah
dilahirkan dalam keadaan hidup yang ditandai dengan tangisan kelahiran.[10]

c. Dalil-dalil yang bersumber dari ijma dan ijtihad para ulama.[11]


Ijma dan itjihat para sahabat, imam-imam dan Mazhab dan mujtahid –mujthaid
kenamaan mempunai peranan yang tidak kecil sumbanganya terhadap pemecahan-pemecahan
terhadap masalah mawaris yang belum dijelaskan oleh nash-nash yang sharih. Seperti pembagian
muqasamah (bagi sama) dalam maslah l-jaddu wal-ikhwah (kakek bersama-sama dengan saudara-
saudara), pembagian bagi cucu yang ayahnya lebih dahulu meninggal dunia dala masalah wasiat
wajibah, pengurangan dan penambahan bagian para ahli waris dalam masalah ’aul dan radd,
pembagian tsulultsul baqi (sepertiga sisa) bagi ibu jika hana bersama baak dan suami atau isteri
dalam masalah gharrawain, dan lain sebagainya.[12]
3. Unsur Pewarisan Islam

Meskipun dalam kedua system hukum yang lain unsure warisnya sama, yaitu pewaris, ahli
waris, dan harta waris (hak dan kewajiban), namun dalam penjabaran ketiganya masing-masing
system tersebut berbeda satu dengan yang lainya.

a. Pewaris
Pewaris yaitu orang yang saat meninggal atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan
pengadilan agama, beragama islam, meninggalkan ahli waris, dan harta peninggalan
Syarat beragama islam ini tidak hanya untuk pewaris saja melainkan juga ahli waris harus
memeluk agama islam. Sebagaimana hadist Nabi S.A.W “orang islam tidak mewarisi dari orang
bukan islam begitu sebaliknya”.

b. Ahli waris

Ahli waris yaitu orang yang pada saatpewaris meninggal dunia mempunyai hubungan darah
atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama islam, dan tidak terhalang menjadi pewars.
Menjadi ahli waris karna hubungan darah yaitu ayah,ibu,anak,saudara keatas,saudara
kebawah,saudara kesamping dalam hubungan perkawinan yaitu janda atau duda.

Ahli waris dikatanan sebagai agama islam dapat dilihat dari kartu identitasnya, pengakuan,
amalanya, sedangkan baiy baru lahir, tergantung dari pengakuan ibunya.[13]

Terhalangnya seseorang untuk menjadi ahli waris apabila dinyatakan dengan putusan haki yang
telah mempunyai ketentuan hukum tetap, dimana seorang atau seklompok di hukum karena :
1) Dipersalahkan tela membunuh, menganiaa berat pewaris. Sebagaimana hadis Nabi
SAW :”barang siapa membunuh seorang korban tidak berhak wewais dari korban walauun
korban tidak mempunyai ahli waris lain atau korban hanya adalah ayah atau anaknya
2) Dipersalahkan memfitnah, telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris melakukan
kejahatan diancam pidana 5 tahun penjara atau lebih berat.[14]

4. Syarat mendapat warisan ada tiga macam, yaitu:


a. Matinya muwaris, baik mati secara hakiki atau secara hukmi, maka ia dihukumkan mati
secara hakiki.
b. Hidupnya waris setelah matinya muwaris, walaupun hidupnya secara hukum, seperti anak
dalam kandungan, maka secara hukum ia dikatakan hidup.
c. Tidak adanya penghalang untuk memperoleh warisan.[15]

5. Ada tiga sebab sehingga orang tersebut memiliki hak untuk mewarisi harta, yaitu :
a. Perkawinan
Perkawinan adalah perkawinan yang sah menurut syariat Islam, dengan adanya suatu ikatan
perkawinan merupakan ikatan yang dapat mempertemukan seorang laki-laki dengan seorang
wanita dengan suatu rumah tangga, selama perkawinan itu masih utuh dipandang sebagai salah
satu sebab mewarisi, baik setelah keduanya bersetubuh atau belum. Sebab jika telah terjadi akad
nikah maka terjadilah waris mewarisi diantara mereka, apabila salah seorang meninggal dunia.

b. Kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi
disebabkan kelahiran, atau yang ada pertalian darah dengan para ahli waris dengan si mayit. Oleh
sebab itu semua kerabat yang disebabkan hubungan darah baik sebagai asal seperti ayah atau
kakek maupun ia sebagai furu’ seperti anak atau cucu serta dengan cara menyamping seperti
saudara, semuanya mereka dapat mewarisi, disebabkan adanya hubungan nasab dengan yang
meninggal.
c. Wala’
Wala’ (memerdekakan budak) juga merupakan salah satu penyebab untuk saling mewarisi.
Wala’ dalam wala’ul ‘ataqah atau ushubah sababiyah yaitu ‘ushubah yang bukan
disebabkan pertalian nasab, tetapi disebabkan karena adanya sebab telah memerdekakan budak.
[16]
6. Tirkah

Tirkah adalah apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meniggal dunia yang dibenarkan oleh
syariat untuk dipusakai oleh ahli waris.Apa-apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dunia harus diartikan sedemikian luas.
Ulama-ulama Malikiyah, Syafiiyah, Malikiyah, dan Hanabilah memutlakkan tirkah kepada segala
yang ditinggalkan si mayit baik berupa harta maupun hak-hak.Baik hak-hak tersebut hak
kebendaan mauaun bukan kebendaan.Dalam hal ini hanya imam Maliki saja yang memasukkan
hak-hak yang tidak dapat dibagi, seprti hak menjadi wali nikah, kedalam keumumman arti hak-
hak.[17]

Sebelum harta dibagi-bagi kepada para ahli waris, hukum adat meneliti lebih dahulu macam
dan asal harta peninggalan itu apakah merupakan harta masing-masing pihak yang terpisah satu
sama lain atau merupakan harta campuran dari suami dan istri.

Jika harta kekayaan masing-masing yang diperoleh secara warisan itu hanya dapat diwarisi
oleh anak-anak si mati itu sendiri dan kalau tidak mempunyai anak diwarisi oleh keluarga yang
meninggal,selanjutnya harta yang diperoleh secara hibah atau dengan hasil usaha sendiri,dapat
diwarisi oleh anak istri atau suami yang masih hidup.[18] Hak-hak yang berhubungan dengan
harta peninggalan yaitu :

a. Tajhiz

Tajhiz ialah segala yang diperlukan seseorang yang meninggal dunia ,sejak dari wafatnya sampai
pada penguburannya., seperti: belanja keperluan mayyit, memandikan, mengkafani,sampai pada
mengubur .

b. Melunasi hutang-hutang

Menurut ibnu Hazm dan Asyafii, baik mendahulukan hutang pada allah seperti zakat dan
kifarat,atas hutang kepada manusia.

c. Pelaksanaan wasiat

Hak ketiga yaitu pelaksanaan wasiat,dalam batas-batas yang dibenarkan syara’tanpa perlu
persetujuan para waris yaitu,tidak lebih dari seper tiga harta peninggalan,sesudah diambil untuk
keperluan tajhiz dan keperluan membayar hutang ,baik wasiat itu untuk waris ataupun untukorang
lain Jika pengambilan harta untuk pelaksnaan wasiat lebih dari seper tiga,maka diperlukan
persetujuan dari pihak para waris.
d. Pembagian sisa harta kepada ahli waris

Pusaka yang dimiliki oleh para ahli waris apabila masih sisa harta,sesudah diambil keperluan
tajhiz keperluan membayar hutang dan wasiat.Maka sisa itu menjadi harta waris dan dibagi
menurut ketentuan syara’.[19]

7. Ahli waris dan bagianya

a. Kelompok ahli waris laki-laki


1) Anak laki-laki
2) Cucu laki-laki pancar laki-laki dan seterusnya kebawah
3) Bapak
4) Kakek shaih dan seterusnya ke atas
5) Saudara laki-laki sekandung
6) Saudara laki laki sebapak
7) Saudara laki-laki seibu
8) Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung
9) Anak laki-laki asudara laki-laki sebapak
10) Paman sekandung
11) Paman sebapak
12) Anak laki-laki paman sekandung
13) Anak laki-laki paman sebapak
14) Suami
15) Orang laki-laki yang memerdekakan budak
b. Kelompok ahli waris perempuan
1) Anak perempuan
2) Cucu perempuan pancar laki-laki
3) Ibu
4) Nenek dari pihak bapak dan seterusnya
5) Nenek dari pihak ibu dan seterunya keatas
6) Saudara perempuan sekandung’
7) Saudara perempuan sebapak
8) Saudara perempuan seibu
9) Isteri
10) Orang perempuan yang memerdekan budak.[20]

c. Ashabul furudh
Ashabul Furudh (Zawil Furudh) adalah bagian-bagian yang telah ditentukan oleh syariat Islam (al-
Qur’an dan Hadits) berkenaan dengan orang yang mendapatkan harta warisan. Bagian-bagian itu
adalah:
1) Seperdua (1/2)
Para ahli warisnya adalah 5 (lima) orang, yaitu:
a) Anak Perempuan, apabila hanya seorang diri, jika si mati tidak meninggalkan anak laki-laki
(QS, 4:11)
b) Seorang cucu perempuan dari laki-laki, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu laki-
laki
c) Seorang saudara perempuan sekandung apabila seorang diri
d) Seorang saudara perempuan, jika hanya seorang diri
e) Suami, jika tidak ada anak atau susu (QS, 4:12)
2) Seperempat (1/4)
Para ahli warisnya adalah 2 (dua) orang, yaitu:
a) Suami, jika ada anak atau cucu dari anak laki-laki (QS, 4:11)
b) Istri seorang atau lebih, jika si mayit tidak meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:12)
3) Seperdelapan (1/8)
Para ahli warisnya adalah 1 (satu) orang, yaitu:
a) Istri seorang atau lebih, apabila ada anak atau cucu (QS, 4:12)

4) Sepertiga (1/3)
Para ahli warisnya adalah 2 (dua) orang, yaitu:
a) Ibu, jika si mati tidak meninggalkan anak atau cucu dari anak laki-laki atau dua orang
saudara (QS, 4:11)
b) Dua orang atau lebih saudara seibu bagi si mati, baik laki-laki maupun perempuan (QS,
4:12)

5) Dua pertiga (2/3)


Para ahli warinya adalah 4 (empat) orang, yaitu:
a) Dua orang anak perempuan atau lebih, jika mereka tidak mempunyai saudara laki-laki (QS,
4:11)
b) Dua cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki, jika mereka tidak ada anak perempuan
atau saudara laki-laki
c) Dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih, jika si mati tidak meninggalkan anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau saudara laki-laki mereka (QS, 4:176)
d) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih, jika tidak ada yang tersebut nomor 1, 2 dan
3 atau saudara laki-laki mereka
6) Seperenam (1/6)
Para ahli warisnya adalah 7 (tujuh) orang, yaitu:
a) Ayah, jika si mati meninggalkan anak atau cucu (QS, 4:11)
b) Ibu, jika si mati meninggalkan anak, cucu laki-laki atau saudara laki-laki/perempuan lebih
dari seorang
c) Kakek, jika si mati meninggalkan anak, cucu dan tidak meninggalkan Bapak.
d) Nenek, jika si mati tidak ada ibu
e) Cucu perempuan dari anak laki-laki jika bersama-sama seorang anak perempuan
f) Saudara perempuan seayah atau lebih bila ia bersama-sama saudara perempuan sekandung
g) Saudara seibu baik laki-laki/perempuan, jika si mati tidak meninggalkan anak, bapak atau
datuk .
d. Ashabah
‘Ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ‫ ﻋﺎﺼﺐ‬yakni ahli waris yang mendapat harta
warisan dengan bagian yang tidak ditentukan.[21] Sedangkan ahli faroid mendefinikan ‘ashabah
yaitu setiap orang yang mendapat seluruh harta jika berada sendirian dan mendapat sisanya setelah
Ashabul furudh mendapat bagian mereka yang telah ditentukan.[22] Jika ahli waris mayit hanya
mereka, maka mereka mengambil semua harta, dan apabila bersama mereka ini ada ahli waris
yang mendapat bagian furudh, maka mereka mengambil sisa harta setelah bagian furudh
diberikan. Namun jika harta tidak tersisa, maka mereka tidak mendapat apa-apa.[23]Mengenai
ashabah nasbiyah rifa’I arief membaginya menjadi 3 bagian, yaitu :
1) Ashabah bil Nafsi
Orang-orang yang mempunyai ahli waris ashabah bil nafsih adalah seluruh ahi waris laki
laki,selain dari pd suami dan saudara laki-laki seibu.
2) Ashabah bil ghair
Orangorang yang menjadi ahli waris ashabah bil ghair adalah seorang atau kelompok anak
perempuan bersama atau seklomok anak laki-laki, dan seorang atausekelompok saudara
perempuan dengan seorang atau sekelompok saudara laki-laki, manakala kelompok laki-laki
tersebut menjadi ahli waris ashabah bil nafsih.
3) Ashabah ma’al ghair
Orang-orang yang menjadi ahli waris ashabah ma’al ghair adalah seorang atau sekelompok
saudara perempuan baik sekandung maupun sebapak yang mewarisi bersama-sama dengan
seorang atau sekelompok anak eremuan atau cucu perempuan pancar laki laki manakala tidak ada
cucu lakilaki pancar laki-laki, yang menjadikan sebagai ahli waris ashabah bil ghair.[24]

e. Dzawil arham
Dzawil arham berasal dari bahasa arab : dzawu dan al-arham semua istilah dzawil arham
mempunyai arti yang luas, yakni mencangkup seluruh keluarga yang mempunyai hubungan
kekerabatan.[25]

8. HIJAB

Hijab adalah menghalangnya seorang ahli waris yang mempunyai sebab-sebab pewarisan
atas ahli waris, apakah seluruh atau sebagian baik ia dalam keadaan menerima bagian maupun
dalam keadaan terhijab pula.

Hijab, bias merupakan hijab hirman atau hijab nuqshan yang pertama adalah terhalangnya
seseorang dalam menerima harta peninggalan secara keseluruhan karna adanya orang yang lebih
dekat. Dan yang kedua (hijab nuqshan) adalah terhalangnya seseorang dalam menerima bagian
yang lebih besar kepada bagian yang lebih kecil karena adanya orang lain yang menjadikan
pengurangan tersebut.[26]

9. Penyelesaian kasusu berdasarkan kasus posisi diatas

Ari meninggalkan seorang bapak dan seorang ibu serta seorang kakak bernama Fera. Dia
juga memiliki seorang kakek, Paman, Bibi yang tinggal serumah dengannya. Siapa sajakah yang
berhak mewaris harta yang ditinggalkan berupa rumah seharga 920 juta. Diketahui ari belum
menikah. Ari mempunyai hutang sebesar 16 juta dan pengurusan jenazah ari sebesar 4 juta.
a. Ahli waris
1) Ibu
2) Bapak
3) Kakak
4) Kakek
5) Paman
6) bibi
yang berhak menerima waris hanya ibu dan ayah karena ahli waris yang lain terhijab yaitu hijab
hirman.

b. Pengurusan tirkah

Harta Pribadi – (hutang+pengurusan jenazah)


920 Juta - (16 juta + 4 Juta) = 900.000.000

c. Pembagian kepada ahli waris (pewarisan)

Ibu : ayah
1/3 : 2/3

1) ayah
2/3 x 900.000.000 = 600.000.000
2) ibu
1/3 x 900.000.000 = 300.000.000

B. HUKUM WARIS PERDATA DAN CARA PENYELESAIANYA

1. Pengertian waris perdata

hukum waris adalah keseluruhan peraturan dengan mana pembuat undang-undang mengatur
akibat hukum dari meninggalnya seseorang terhadap harta kekayaan,perpindahan kepada ahli
waris dan hubungannya dengan pihak ketiga.[27]

sedangkan A.Pitlo mendefinisikan hukum waris sebagai berikut:”hukum waris adalah


kumpulan peraturan yang mengatur hukum mengenai harta kekayaan karena wafatnya seseorang,
yaitu mengenai perpindahan kekayaan yang di tinggalkan oleh si mayit dan akibat dari
perpindahan ini bagi orang-orang yang memperolehnya,baik dalam kubungan antara mereka
dengan mereka, ataupun hubungan antara mereka dengan pihak ketiga.[28]

Jadi mawaris berarti menggantikan kedudukan orang yang meninggal mengenai hubungan-
hubungan hukum harta kekayaan yang di tinggalkan oleh yang meninggal kemudian dipindah
tangnkan kepada para ahli waris si mayit.[29]

2. Sumber hukum waris perdata

Dalam hukum perdata mewaris berarti mengganti orang yang meninggal terkait dengan hubungan
hukum harta kekayaan yang berkaitan erat dengan kehendak terakhir orang yang meninggal
tersebut kehendak terakhir inilah yang akan diperhitungkan sebagai sumber hukum pembagi waris
perdata. Berdasarkan kehendak terakhir tersebut, maka sumber hukum wris dalam hukum perdata
dibedakan menjadi :
a. Hukum waris menurut ketentuan undang-undang atau serig disebut dengan hukum waris ab
instenstato, artinya hukum waris tanpa testamen atau wasiat. Disebut hukum waris tanpa wasia
karena dasar pengaturan hukum waris berdasarkan undang-undang (KUHPerdata).
b. Hukum waris testamener, yaitu hukum waris menurut ketentuan wasiat atau testamen.[30]

3. Unsur-unsur pewarisan perdata

untuk terjadinya pewarisan, diperlukan adanya unsur-unsur sebagai berikut:

a. Adanya orang yang meninggal dunia(erflater) Orang yang meninggal dunia yaitu orang
yang meninggalkan harta warisan dan disebut: pewaris.
b. Adanya orang yang masih hidup(erfgenaam) orang yang masih hidup yaitu orang yang
menurut undang-undang atau testamen berhak mendapatkan warisandari orang yang meninggal
dunia.mereka di sebut: Ahli Waris.
c. Adanya benda yang di tinggalkan(erftenis,nalatenschap) benda yang di tinggalkan yaitu
sesuatu yang di tinggalkan oleh pewaris pada saat ia meninggal dunia,yang disebut harta warisan,
ujud harta warisan inibisa berbentik Activa(piutang,tagihan) atau Pasiva (hutang).[31]

4. Harta warisan

Menurut kitab undang-undang hukum perdata yang menjadi objek pewarisan itu tidak hanya
harta kekayaan dari pewaris saja, tetapi juga segala utangnya (ali affandi, 1983 : 55). Jadi harta
warisan itu “tidak hanya hal-hal yang bermanfaat saja bagi mereka, elainkan juga hutang-hutang
dari si peninggal warisan, dalam arit bahwa kewjiban membayar hutang-hutang itu pada
hakekatnya beralih juga kepada ahli waris” (wirjono projdjodikoro, 1976 :19).
Berarti harta waisan itu bisa berupa active dan atau pasiva. Aktiva bearti sejumlah benda
yang nyata ada dan atau berua tagihan-tagihan kepada pihak ketiga. Pasiva berarti sejumlah
hutang ewaris ang harus di lunas pada pihak ketiga.[32]

Menurut ketentuan pasal 1100 berbunyi “para ahli waris yang telah menerima suatu warisan
diwajibkan dalam hal pembayaran hutang, hibah wasiat dan lain-lain beban, memikul bagian yang
seimbang dengan apa yang diterima dari masing-masing warisan.”

5. Golongan ahli waris


jauh dekatnya hubungan darah dapat dikelompokkan menjadi (4) empat golongan, yaitu :
a. Ahli waris golongan I
Termasuk dalam ahli waris golongan I yaitu anak-anak pewaris berikut keturunannya dalam garis
lurus ke bawah dan janda/duda. Pada golongan I dimungkinkan terjadinya pergantian tempat (cucu
menggantikan anak yang telah meninggal terlebih dahulu dari si pewaris).
Mengenai pergantian tempat ini, Pasal 847 KUHPerdata menentukan bahwa tidak ada seorang pun
dapat menggantikan tempat seseorang yang masih hidup, misalnya anak menggantikan hak waris
ibunya yang masih hidup. Apabila dalam situasi si ibu menolak menerima warisan, sang anak
bertindak selaku diri sendiri, dan bukan menggantikan kedudukan ibunya.
b. Ahli waris golongan II
Termasuk dalam ahli waris golongan II yaitu ayah, ibu, dan saudara-saudara pewaris.
c. Ahli waris golongan III
Termasuk dalam ahli waris golongan III yaitu kakek nenek dari garis ayah dan kakek nenek dari
garis ibu.
d. Ahli waris golongan IV
Termasuk dalam ahli waris golongan IV yaitu sanak saudara dari ayah dan sanak saudara dari ibu,
sampai derajat ke enam.
6. Tidak Patut (onwardigg)
Hal ini ditentukan dalam Pasal 838 KUHPdt yang dianggap tidak patut jadi ahli waris, sehingga
dikecualikan dari pewarisan adalah :
a. mereka yang telah dihukum karena dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba
membunuh pewaris;
b. mereka yang dengan putusan hakim dipersalahkan karena fitnah telah menjadikan pewaris
bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara 5 (lima)
tahun atau hukuman yang lebih berat;
c. mereka yang dengan kekerasan telah mencegah pewaris membuat atau mencabut surat
wasiat;
d. mereka yang telah menggelapkan, merusak, atau memalsukan surat wasiat pewaris.

7. Penyelesaiaan Hukum waris Berdasarkan Kasus posisi diatas.

Kasus posisi :

Ari meninggalkan seorang bapak dan seorang ibu serta seorang kakak bernama Fera. Dia juga
memiliki seorang kakek, Paman, Bibi yang tinggal serumah dengannya. Siapa sajakah yang
berhak mewaris harta yang ditinggalkan berupa rumah seharga 920 juta. Diketahui ari belum
menikah. Ari mempunyai hutang sebesar 16 juta dan pengurusan jenazah ari sebesar 4 juta.

a. Ahli waris
1) Ibu
2) Bapak
3) Saudara perempuan sekandung
4) Kakek
5) Paman
6) Bibi
kakek, paman, bibi adalah ahli waris golongan ke III maka tidak mendapat hak atas waris dari ari.
Karna masi ada ahli waris golongan II.
b. Pengurusan harta
Harta Pribadi – (hutang+pengurusan jenazah)
920 Juta - (16 juta + 4 Juta) = 900.000.000
c. Bagian para ahli waris
Dalam pasal 854 disebutkan bahwa apabila si pewaris tidak meninggalkan keturunan dan tidak
meninggalkan suami atau istrei, sedang ahli waris hanya ibu, bapak, dan seorang saudara, maka
bagian ibu dan baak masing-masing mendapat 1/3 dan saudara mendapat 1/3 sisanya. Selanjutnya
dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa ibu dan bapak masing masing mendapat ¼ bagian apabila
mereka bersama-sama dengan lebih dari seorang saudara dan setengah bagian lainya untuk
saudara-saudaranya tersebut.[33]

1) Ayah
1/3 x 900.000.000 = 300.000.000
2) Ibu
1/3 x 900.000.000 = 300.000.000
3) Saudara perempuan (kakak)
1/3 x 900.000.000 = 300.000.000

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Hukum kewarisan islam merupakan hukum waris yang wajib di pelajari dan di terapkan
dalam setiap pristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat terutama mereka yang beragama
islam. Namun hukum waris yang berlaku di Indonesia bukan hanya hukum waris islam tetapi ada
pula hukum waris adat, dan hukum waris perdata. Seiring berkembangnya jaman hukum waris
adat pun sudah jarang di gunakan pada masyarakat urban yang pada umumnya mereka lebih suka
memakai hukum waris islam karna agamanya dan hukum waris perdata. Di sini pemerintah sangat
sulit untuk mengatur unifikasi hukum waris di Indonesia.

Dalam hukum waris islam bahwa dari semua ahli waris yang ada dalam kasus tersebut
yang berhak menerima waris hanya ibu dan ayah dan dibagikan dua banding satu. Karena ahli
waris yang lain tertutup hijab hirman. Namun dalam hukum kewarisan perdata yang berhak
menerima waris adalah ibu, ayah, dan kakak perempuan sebagai saudara sekandung karna ahli
waris yang lain merupakan ahli waris yang hubunganya lebih jauh dan masih ada ahli waris yang
lebih dekat.

B. SARAN
Dalam kasus-kasus waris yang terjadi dimasyarakat banyak sekali kevariasianya. Sebagai
ahli hukum kita harus memahami dan mempelajari hal-hal tersebut. Agar tidak ada kesalahan saat
penghitungan suatu permasalahaan kewarisan dan tidak ada ahli waris yang dirugikan karnanya.

DAFTAR PUSTAKA
1. Idris Ramulyo, 1992, perbandingan hukum kewarisan islam, pedoman ilmu jaya, Jakarta.
2. Suparman Usman,yusuf somawinata, 2008, FIQIH MAWARIS hukum kewarisan islam,
Jakarta, Gama media Pratama.
3. Subekti, 1994, pokok-pokok hukum perdata, Jakarta,intermasa.
4. Hilman Hadikusuma, 1995, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
5. Wiryono Projodikoro, 1983, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur.
6. Drs.H.suparman usman, ,1990, ikhtisar hukum waris menurut KUH perdata B.W, serang,
darul ulum press.
7. Otje Salman, 2006, Hukum Waris Islam, Bandung, Aditama.
8. Badriyah Harun, 2009, panduan praktis pembagian waris, pustaka yustisia, Jakarta.
9. Teuku M.Hasby Asydieqy , 1999, fikih mawaris, Semarang :Pustaka Rizki Putra.
10. Direktorat jendral kelembgaan agama islam, Ilmu Fikih, IAIN Jakarta.
11. Muhammad bin Shahil al-‘Utsaimin, 2009, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor, Pustaka
Ibnu Katsir.
12. Muhammad Ali Ash-Shabuni, 2010, Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam, (Surabaya,
Mutiara Ilmu)
13. Suhrawardi K.Lubis, 2007 Hukum Waris Islam ( Jakarta,Sinar Grafika)

[1] Idris Ramulyo, perbandingan hukum kewarisan islam, pedoman ilmu jaya, Jakarta, 1992. Hal.3
[2] Suparman Usman,yusuf somawinata, FIQIH MAWARIS hukum kewarisan islam, Jakarta,
Gama media Pratama, 2008 hal.1
[3] Subekti, pokok-pokok hukum perdata, Jakarta,intermasa.1994
[4] Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995 hal.6
[5] Wiryono Projodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, Bandung: Sumur, 1983. hlm.13
[6]Drs.H.suparman usman,ikhtisar hukum waris menurut KUH perdata B.W(jakarta,darul ulum
press,1990) hal.17
[7] http://www.alkhoirot.net/2012/09/warisan-dalam-islam.html diakses pada tanggal 18
Desember 2015
[8] Suparman Usman dan Yusuf somawinata, FIQIH MAWARIS Hukum Kewarisan Islam. Ib.id
hal. 15

[9] http://biyotoyib.blogspot.co.id/2012/03/dasar-hukum-waris-islam.html diakses pada tanggal 19


desember 2015 pukul 23.40 WIB
[10] http://elisa1.ugm.ac.id/chapter_view.php?HKU.304_Hartini&701 di akses pada tanggal 6
desember 2015 pukul 21.17 WIB
[11] H.R. Otje Salman S., S.H, Hukum Waris Islam, Bandung, Aditama, 2006. hal. 3
[12] Suparman Usman dan Yusuf somawinata, FIQIH MAWARIS Hukum Kewarisan Islam,
loc.cit Hal 20
[13]Badriyah Harun, panduan praktis pembagian waris, pustaka yustisia, Jakarta, 2009. Hal.52
[14] Ib.id hal. 53
[15] http://www.kajianpustaka.com/2013/11/pengertian-rukun-dan-syarat-warisan.html diakses
pada tanggal 9 desember 2015 pukul 00.18 WIB
[16] http://www.kajianpustaka.com/2013/11/pengertian-rukun-dan-syarat-warisan.html diakses
tanggal 6 desember 2015 pukul 21.57 WIB
[17] Teuku M.Hasby Asydieqy, fikih mawaris, Semarang :Pustaka Rizki Putra 1999. Hal. 47
[18] Teuku M.Hasby Asydieqy, ib,id hal.48
[19] Direktorat jendral kelembgaan agama islam, Ilmu Fikih, IAIN Jakarta. Hal. 25
[20] Suparman Usman. loc.cit hal 63
[21] Muhammad bin Shahil al-‘Utsaimin, Panduan Praktis Hukum Waris, (Bogor, Pustaka Ibnu
Katsir,2009) hlm. 96
[22] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ilmu Hukum Wris Menurut ajaran Islam, (Surabaya, Mutiara
Ilmu, 2010) hlm.55
[23] Suhrawardi K.Lubis, Hukum Waris Islam ( Jakarta,Sinar Grafika, 2007 ) hlm 99
[24] Suparman Usman,yusuf somawinata, FIQIH MAWARIS hukum kewarisan islam, Jakarta,
Gama media Pratama, 2008 hal 76-78
[25] Suparman Usman,yusuf somawinata, FIQIH MAWARIS hukum kewarisan islam, ib.id hal.
79
[26] Suparman Usman. Ib.id hal 95
[27] Drs.H.suparman usman,ikhtisar hukum waris menurut KUH perdata B.W(jakarta,darul ulum
press,1990) hal 48
[28] Ib.id hal 49
[29] http://kang-zems.blogspot.co.id/2013/11/hukum-waris-menurut-kitab-undang-undang.html di
akses pada tanggal 12 desember 2015 pukul 11.03
[30] Badriyah Harun, panduan praktis pembagian waris, pustaka yustisia, Yogyakarta. 2009. Hal.
15
[31] Drs.H.suparman usman,ikhtisar hukum waris menurut KUH perdata B.W. ib.id hal.58
[32] Drs.H.suparman usman. Ib.id Hal 59
[33] Drs.H.suparman usman,ikhtisar hukum waris menurut KUH perdata B.W. Loc.cit hal.71

Anda mungkin juga menyukai