Anda di halaman 1dari 2

3 Unsur Ini Bikin Musik Haram Didengar

Rizma Riyandi

JAKARTA, AYOBANDUNG.COM -- Alunan lagu maupun musik dan nyanyian sudah ada pada zaman pra-Islam.
Para penyair Arab kala Islam belum datang kerap menyanyikan syair-syair yang mereka buat. Kemudian terus
berkembang hingga tercipta banyak jenis alat musik dengan variasi nada yang dapat dipadukan dengan suara
vokal. Dalam Islam, musik telah diperbincangkan sejak lama dan ada ragam pandangan. Meski begitu, Ahmad
Zarkasih, Lc dalam bukunya berjudul "Lagu, Nyanyian dan Musik, Benarkah Diharamkan?", menjelaskan,
jumhur ulama telah bersepakat soal musik. Para ulama sepakat hukum musik adalah haram selama ada tiga hal
yang menyertainya. Apa saja?

Pertama, musik menjadi haram jika mengandung unsur kemungkaran maupun kemaksiatan. Ulama
mempermasalahkan sisi kemaksiatan yang melekat pada musik tersebut sehingga musik pun menjadi haram.
Bentuk kemaksiatan pada musik bisa ada di lirik atau alunan lagunya sendiri. Misalnya bila lagu tersebut
mengajak berbuat kemaksiatan

Musik juga mengandung kemaksiatan jika umpamanya irama lagu yang dinyanyikan seperti musik ritual
peribadatan agama tertentu. Dalam kondisi ini musik menjadi haram, sebab, seorang Muslim dilarang meniru
ritual ibadah agama lain. Kemaksiatan lain yang melekat pada musik bisa juga ada pada orang yang
menyanyikan. Misalnya dia menampilkan aurat padahal syariat Islam memerintahkan untuk menutup aurat.
Atau, si penyanyi melakukan gerakan-gerakan tidak senonoh dan melampaui batas.

Pada intinya, jika suatu musik mengandung kemaksiatan, haram. Kedua, haramnya musik lantaran terdapat
fitnah yang berarti keburukan di dalamnya. Artinya, jika musik itu bisa membuat seorang Muslim jatuh pada
keburukan, dosa, dan menimbulkan fitnah, maka haram mendengarkannya. Ketiga, musik menjadi haram bila
membuat orang yang mendengarnya meninggalkan kewajiban sebagai Muslim. Seorang Muslim punya
kewajiban yang harus dilakukan sebagai hamba Allah. Dan segala hal yang menghalanginya melakukan
kewajiban itu wajib dihindari.
Kendati demikian, Kitab Tafsir at-Thabari memberi penjelasan dalam kajiannya terhadap Surah Luqman ayat 6.
Allah SWT berfirman, "Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna
untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan.
Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan".

Kitab Tafsir at-Thabari (20/128) mengutip pendapat Abdullah bin Mas'ud dan Abdullah bin Abbas untuk
menafsirkan ayat tersebut. Menurut dua Sahabat Nabi SAW itu, diksi lahwun pada ayat tersebut berarti musik,
nyanyian dan mendengarkannya. Kitab Tafsir Ibnu Katsir juga menguatkannya, dengan menyebutkan bahwa,
"Ketika Allah SWT menjelaskan keadaan orang-orang yang berbahagia, mereka adalah yang mendapatkan
petunjuk dari Kitab Allah SWT dan mengambil manfaat dari mendengarkannya".
Kemudian, masih dalam Tafsir Ibnu Katsir, Allah SWT juga menjelaskan tentang keadaan orang yang merugi
dan sengsara (asyqiya) yaitu yang menolak mengambil manfaat dari mendengarkan ayat-ayat Allah SWT, dan
menerima untuk mendengarkan suara seruling, nyanyi-nyanyian dan juga alat musik. Ibnu Mas'ud dan Ibnu
Abbas adalah Sahabat Nabi SAW yang mengharamkan musik. Salah satu dalil yang mengharamkan musik
yaitu hadis riwayat Imam al-Bukhari.

Nabi Muhammad bersabda, "Akan ada dari umatku suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamar dan
alat musik". Diksi alat musik yang digunakan dalam hadis itu adalah ma'azif, kata jamak, yang mengacu pada
alat musik yang dipukul. Zarkasih memaparkan, ma'azif pada zaman sekarang mungkin dapat diserupakan
dengan gendang. Jika ada yang menghalalkannya, berarti asalnya itu memang haram.

Dan Nabi Muhammad mengingatkan soal itu agar umatnya mawas diri. Sedangkan Sahabat Nabi yang
membolehkan musik salah satunya adalah Abdullah bin Zubair. Imam As-Syaukani dalam "Nailul-Authar",
menceritakan tentang kisah Abdullah bin Zubair, budak perempuan, dan gitar. Suatu kali, Ibnu Umar bertandang
ke rumah Abdullah bin Zubair dan melihat sebuah alat musik. Lalu dia bertanya benda apa itu, dan bertanya
lagi, "apakah ini alat musik (mizan Syami) dari Syam?". Lalu dijawab oleh Ibnu Zubair, "Dengan ini akal
seseorang bisa seimbang".

---------
Saatnya Meninggalkan Musik
By - Muhammad Abduh Tuasikal, MSc, - July 17, 2009

Siapa saja yang hidup di akhir zaman, tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian.
Bahkan mungkin di antara kita –dulunya- adalah orang-orang yang sangat gandrung terhadap
lantunan suara seperti itu. Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi sarapan tiap
harinya. Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan. Hidupnya dulu tidaklah bisa lepas
dari gitar dan musik. Namun, sekarang hidupnya jauh berbeda. Setelah Allah mengenalkannya
dengan Al haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun perlahan-lahan menjauhi
berbagai nyanyian. Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu
dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya mencintai dan merindukan
perjumpaan dengan Rabbnya.

Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan
nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu. Dengan ilmu syar’i yang dia
dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al
Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan, dia pun mulai
meninggalkannya perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan perkataan para ulama, dia semakin
jelas dengan hukum keharamannya.

Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama
masa silam mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang
masih gandrung dengannya. Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita
dan memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan si fulan tadi. Allahumma a’in wa yassir
(Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).

Beberapa Ayat Al Qur’an yang Membicarakan “Nyanyian”


Pertama: Nyanyian dikatakan sebagai “lahwal hadits” (perkataan yang tidak berguna)

Allah Ta’ala berfirman,

‫س ِبي ِل ﱠ ِ ِب َغي ِْر ِع ْل ٍم َويَتﱠ ِخ َذهَا ُه ُز ًوا أُو َلئِكَ لَ ُه ْم َعذَابٌ ُم ِهي ٌن َو ِإذَا تُتْلَى َعلَ ْي ِه‬ َ ‫ُض ﱠل َع ْن‬ ِ ‫ث ِلي‬ ِ ‫اس َم ْن َي ْشتَ ِري َل ْه َو ْال َحدِي‬
ِ ‫َو ِمنَ النﱠ‬
َ ٍ ‫ش ْرهُ ِبعَذَا‬
‫ب أ ِل ٍيم‬ ْ ُ ُ َ َ َ ْ ‫ﱠ‬
ّ ِ ‫آيَاتُنَا َولى ُم ْستَك ِب ًرا َكأ ْن ل ْم َي ْس َم ْع َها َكأ ﱠن فِي أذ َن ْي ِه َوق ًرا فَ َب‬
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak
berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan
Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan. Dan apabila
dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia
belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah
padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 6-7)

Ibnu Jarir Ath Thabariy -rahimahullah- dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa para pakar
ِ ‫“ لَه َْو ا ْل َحدِي‬lahwal hadits” dalam ayat tersebut.
tafsir berselisih pendapat apa yang dimaksud dengan ‫ث‬
Sebagian mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan adalah nyanyian dan mendengarkannya.
Lalu setelah itu Ibnu Jarir menyebutkan beberapa perkataan ulama salaf mengenai tafsir ayat
tersebut. Di antaranya adalah dari Abu Ash Shobaa’ Al Bakri –rahimahullah-. Beliau
mengatakan bahwa dia mendengar Ibnu Mas’ud ditanya mengenai tafsir ayat tersebut, lantas
beliau –radhiyallahu ‘anhu– berkata,

.ٍ‫ يُ َر ِدّدُهَا ثَﻼَث َ َم ﱠرات‬،‫ َوالﱠذِي ﻻَ ِإلَهَ ِإﻻﱠ ُه َو‬،‫الغنَا ُء‬


ِ
“Yang dimaksud adalah nyanyian, demi Dzat yang tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak
diibadahi selain Dia.” Beliau menyebutkan makna tersebut sebanyak tiga kali.[1]

Penafsiran senada disampaikan oleh Mujahid, Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah, dan Qotadah.
Dari Ibnu Abi Najih, Mujahid berkata bahwa yang dimaksud lahwu hadits adalah bedug
(genderang).[2]

Anda mungkin juga menyukai