PATOFISIOLOGI
NEOPLASMA PRIMER
Semester 5
Pada sel tumor yang terjadi adalah hampir semua energi sel digunakan untuk aktifitas berkembang biak
semata.yang diatur oleh inti sel yang membesar karena tuntutan meningkat
Menurut Sir Ruppert Willis onkolog dari Inggris : Neoplasma ialah massajaringan yang abnormal ,
tumbuh berlebihan , tidak terkoordinasi dengan jaringan normal dan tumbuh terus meski rangsang yang
menimbulkannya / memulainya telah hilang .
Neo berarti “baru” dan plasia berarti “ pertumbuhan atau pembelahan “ jadi neoplasma adalah
pertumbuhan sel baru yang berbeda dengan sel normal sekitarnya
Ini adalah Istilah medis untuk sebutan “TUMOR” (any new abnormal growth) bisa benign bisa malignant
Normal sel tubuh memperbanyak diri dengan membelah dan proliferasi dengan terkendali terbatas
pada jumlah yang diperlukan oleh tubuh , setelah kebutuhan telah terpenuhi maka pembelahan sel akan
berhenti.
Pada hiperplasia proliferasi sel berlebihan sehingga sel tubuh menjadi lebih besar dari normal .
6 PROLIFERASI NEOPLASTIK
Pada neoplasma proliferasi berlangsung terus meskipun rangsang yang memulainya telah hilang
Bersifat progresif , tidak bertujuan , tidak memperdulikan jaringan sekitarnya , tidak ada hubungan
dengan kebutuhan tubuh dan bersifat parasitik dan pesaing sel/ jaringan normal atas kebutuhan
metabolismenya .
Proliferasi neoplastik menimbulkan massa pembengkakan / benjolan pada jaringan tubuh membentuk
tumor
7 TUMOR
Ilmu yang mempelajari tumor disebut Onkologi , “Oncos “ berasal dari bahasa Yunani yang berarti
Tumor , dan “logos “ berarti pelajaran .
Klasifikasi neoplasma penting dalam hubungannya untuk meramalkan kemungkinan perjalanan penyakit
pada penderita tertentu dan membantu dalam merencanakan pengobatan yang rasional
Sel – sel neoplasma berasal dari sel – sel yang sebelumnya adalah sel – sel normal, tumbuh dengan
kecepatan yang tidak terkoordinasi dengan kebutuhan tubuh dan fungsi sangat tidak bergantung pada
homeostasis sebagian besar sel tubuh lainnya.
Pertumbuhan sel neoplasik progresif yaitu tidak mencapai keseimbangan tetapi lebih banyak
mengakibatkan penambahan massa sel yang mempunyai sifat yang sama
Neoplasma tidak melakukan tujuan adaptif yang menguntungkan hospes tetapi lebih sering
membahayakan
KANKER PAYUDARA
130070
III B
2 Definisi
Kanker payudara adalah sekelompok sel tidak normal pada payudara yang terus tumbuh berupa ganda.
Pada akhirnya sel-sel ini menjadi bentuk bejolan di payudara. Jika benjolan kanker itu tidak dibuang atau
terkontrol, sel-sel kanker bisa menyebar (metastase) pada bagian-bagian tubuh lain. Metastase bisa
terjadi pada kelenjar getah bening (limfe) ketiak ataupun di atas tulang belikat. Selain itu sel-sel kanker
bisa bersarang di tulang, paru-paru, hati, kulit, dan bawah kulit. (Erik T, 2005, hal : 39-40)
3 Etiologi
Belum ada penyebab spesifik kanker payudara yang diketahui, para peneliti telah mengidentifikasi
sekelompok faktor resiko. Riset lebih lanjut tentang faktor-faktor resiko akan membantu dalam
mengembangkan strategi yang efektif untuk mencegah kanker payudara.
1. Usia
3. ras
2. Virus
4. Hormon
- Tahap I
Terdiri atas tumor yang kurang dari 2 cm, tidak mengenai nodus limfe dan tidak terdeteksi adanya
metastasis.
- Tahap II
Terdiri tas tumor yang lebih besar dari 2 cm tetapi kurang dari 5 cm dan tidak terdeteksi adanya
metastasis.
- Tahap III
Terdiri atas tumor yang lebih besar dari 5 cm atau tumor dengan sembarang ukuran yang menginvasi
kulit atau dinding dengan nodus limfe terfiksasi positif dalam area klavikular dan tanpa bukti adanya
metastasis.
- Tahap IV
Teridri atas tumor dalam sembarang ukuran dengan nodus limfe normal atau kankerosa dan adanya
metastasis jauh. (Kapita Selekta,2000)
Stadium I : tumor kurang dari 2 cm, tidak ada limfonodus terkena (LN) atau penyebaran luas.
Stadium IIa : tumor kurang dari 5 cm, tanpa keterlibatan LN, tidak ada penyebaran jauh. Tumor kurang
dari 2 cm dengan keterlibatan LN.
Stadium IIb : tumor kurang dari 5 cm, dengan keterlibatan LN. Tumor lebih besar dari 5 cm tanpa
keterlibatan LN.
Stadium IIIa : tumor lebih besar dari 5 cm, dengan keterlibatan LN. semua tumor dengan LN terkena,
tidak ada penyebaran jauh.
Stadium IIIb : semua tumor dengan penyebaran langsung ke dinding dada atau kulit semua tumor
dengan edema pada tangan atau keterlibatan LN supraklavikular.
Stadium IV : semua tumor dengan metastasis jauh. (Setio W, 2000, hal : 285)
10 Patofisiologi
Sel-sel kanker dibentuk dari sel-sel normal dalam suatu proses rumit yang disebut transformasi, yang
terdiri dari tahap inisiasi dan promosi. Pada tahap inisiasi terjadi suatu perubahan dalam bahan genetik
sel yang memicu sel menjadi ganas. Perubahan dalam bahan genetik sel ini disebabkan oleh suatu agen
yang disebut karsinogen, yang berupa bahan kimia, virus, radiasi (penyinaran) atau sinar matahari.
(Desen, 2008).
11 Gambaran Klinis
Gejala klinis terjadinya Kanker Payudara yang umum terjadi adalah sebagai berikut :
12 Deteksi Dini
a. SADARI
d. Cari tahu apakah ada sejarah kanker payudara pada keluarga.
13 TERMAKASIH
Download ppt "KANKER PAYUDARA OLIVIA PUTRI GUMANTI 130070 III B."
Kanker Darah
Kanker darah atau blood cancer adalah kondisi ketika sel darah yang menjadi abnormal atau ganas.
Sebagian besar kanker ini bermula di sumsum tulang tempat sel darah diproduksi. Terdapat tiga jenis
kanker darah, yaitu leukemia, limfoma, dan multiple myeloma.
Berbeda dengan kebanyakan kanker, sebagian besar kanker darah tidak membentuk benjolan padat
(tumor). Selain tidak muncul benjolan, gejala kanker darah juga tidak spesifik dan menyerupai gejala
penyakit lain.
Darah terdiri dari sejumlah komponen dengan fungsi yang berbeda-beda, yaitu:
Plasma darah, berfungsi membawa sel-sel darah beserta protein dan nutrisi ke seluruh tubuh, serta
membuang limbah sisa metabolisme dari tubuh.
Kanker darah dapat mengakibatkan jumlah komponen darah tersebut berada di bawah normal atau
malah berlebihan, yang akhirnya fungsi organ tubuh yang lain juga akan terganggu.
Gejala kanker darah sangat beragam, tergantung kepada jenis kanker darah yang diderita. Pada
beberapa kasus, gejala cenderung sulit dikenali karena mirip dengan gejala kondisi lain, contohnya flu.
Namun secara umum, gejala kanker darah adalah:
Sakit tenggorokan.
Sakit kepala.
Sering terinfeksi.
Nyeri pada sendi dan tulang, terutama tulang belakang atau tulang dada.
Sesak napas.
Periksakan diri ke dokter jika mengalami gejala-gejala di atas, terutama bila sering kambuh atau tidak
kunjung membaik. Pemeriksaan dokter dilakukan untuk memberikan penanganan dini sekaligus
mencegah perkembangan penyakit.
Penderita kanker darah diharapkan untuk terus kontrol dengan dokter darah (hematologi), baik sedang
dalam pengobatan atau setelah pengobatan selesai. Hal ini bertujuan agar perkembangan penyakit
terus terpantau, serta terdeteksi lebih dini bila penyakit muncul kembali.
Merokok adalah salah satu faktor risiko kanker darah. Bila Anda seorang perokok dan tidak dapat
berhenti merokok, segera berkonsultasi dengan dokter untuk mengikuti program berhenti merokok.
Paparan radiasi nuklir dan zat kimia di lingkungan kerja juga berisiko menimbulkan kanker darah. Setiap
perusahaan mempunyai regulasi sendiri untuk melakukan medical check-up karyawan secara berkala.
Setiap karyawan perlu mengikuti hal tersebut.
Leukemia terjadi ketika sel darah mengalami perubahan dan menjadi kanker. Perubahan ini
menyebabkan sel menjadi tidak normal dan tumbuh tidak terkendali. Berbeda dari sel darah normal, sel
darah yang terkena kanker kehilangan fungsinya untuk membekukan darah dan melawan infeksi.
Berdasarkan jenis sel darah dan letak munculnya kanker, kanker darah dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:
Leukemia
Leukemia terjadi akibat sel-sel di sumsum tulang tidak berkembang dengan normal. Berbeda dari sel
darah putih normal yang akan mati, sel leukemia terus hidup, tetapi tidak membantu tubuh melawan
infeksi, dan malah menekan perkembangan sel darah lain.
Bila jumlahnya makin bertambah, sel-sel leukemia akan masuk ke aliran darah dan menyebar ke organ
tubuh lainnya. Sel-sel tidak normal ini dapat menghalangi sel-sel normal di dalam tubuh untuk berfungsi
normal.
Limfoma
Limfoma menyerang limfosit, yaitu sel darah putih yang berfungsi melawan infeksi dan membuang zat
sisa metabolisme. Selain di sumsum tulang, limfosit terdapat di kelenjar getah bening, kelenjar timus,
limpa, dan hampir semua bagian tubuh.
Pada penderita limfoma, limfosit mengalami perubahan dan tumbuh tidak terkendali. Jika limfosit
terserang kanker, sistem kekebalan tubuh akan menurun, sehingga lebih rentan mengalami infeksi.
Multiple myeloma
Multiple myeloma merupakan kanker yang menyerang plasmosit, yaitu bagian dari sel darah putih yang
bertugas memproduksi antibodi guna mengatasi infeksi. Ketika produksi antibodi terganggu, penderita
rentan mengalami infeksi.
Multiple myeloma terjadi ketika sel plasma yang tidak normal muncul di sumsum tulang dan
berkembang dengan cepat. Sel-sel tidak normal ini terus memproduksi antibodi yang menyebabkan
kerusakan pada organ tubuh, seperti tulang dan ginjal.
Penyebab pasti kanker darah belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang bisa meningkatkan risiko
seseorang terserang kanker darah, yaitu:
Berjenis kelamin pria.
Dokter akan memulai pemeriksaan dengan menanyakan gejala yang dialami penderita, kemudian
melakukan pemeriksaan fisik untuk mencari beberapa tanda-tanda kanker darah, seperti kulit pucat
akibat anemia, serta pembengkakan pada kelenjar getah bening, hati, dan limpa.
Bila menduga pasien menderita kanker darah, dokter akan melakukan pemeriksaan berikut ini:
Tes darah
Dokter akan melakukan tes hitung darah lengkap untuk dapat mengetahui jumlah sel darah merah, sel
darah putih, dan trombosit. Dugaan kanker darah akan semakin kuat bila jumlah salah satu atau seluruh
jenis sel darah terlalu banyak atau terlalu sedikit, serta ditemukan sel darah yang bentuknya tidak
normal.
Selain hitung darah lengkap, dokter akan memeriksa profil protein, seperti globulin, serum protein
electrophoresis, dan imunofiksasi, guna mendeteksi multiple myeloma dan tingkat agresivitas sel
kanker. Pada penderita multiple myeloma, tes darah juga dilakukan untuk mengetahui fungsi ginjal,
kadar kalsium, dan kadar asam urat.
Biopsi kelenjar getah bening dilakukan dengan mengambil sampel jaringan dari kelenjar getah bening
yang membengkak untuk diperiksa di bawah mikroskop.
Setelah pasien dipastikan menderita kanker darah, dokter akan berdiskusi dengan pasien mengenai
langkah pengobatan yang perlu ditempuh. Metode pengobatan yang akan dipilih tergantung pada jenis
kanker, usia penderita, dan kondisi kesehatan secara keseluruhan.
Berikut ini adalah metode pengobatan yang tersedia untuk menangani kanker darah:
Kemoterapi, yaitu pemberian obat-obatan untuk membunuh sel kanker. Obat ini dapat diberikan dalam
bentuk minum atau melalui suntikan.
Radioterapi, yaitu metode pengobatan menggunakan radiasi sinar khusus untuk menghancurkan sel
kanker dan menghambat perkembangannya.
Transplantasi sumsum tulang, untuk mengganti sumsum tulang yang sudah rusak dengan sumsum
tulang yang sehat.
Kanker darah dapat menyebabkan komplikasi serius bila tidak ditangani. Beberapa komplikasi tersebut
adalah:
Perdarahan yang bisa mengancam nyawa, terutama bila terjadi di otak, paru-paru, lambung, dan usus.
Belum ada cara untuk mencegah kanker darah. Akan tetapi, risiko terserang penyakit ini dapat dikurangi
dengan cara:
Berhenti merokok.
Mengikuti prosedur dan menggunakan alat pelindung diri (APD) bila bekerja di lingkungan yang terpapar
radiasi dan senyawa kimia, seperti formalin, pestisida, dan benzena.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Dalam istilah patologi anatomic, tumor identik dengan neoplasma. Sedangkan dalam
klinik istilah tumor sering digunakan untuk semua tonjolan dan diartikan sebagai pembenkakan,
pembengkakan ini dapat disebabkan baik oleh neoplasma, maupun oleh radang(rubor, calor, tumor,
fungsio laesa) atau perdarahan dan sebagainya. Neoplasma membentuk tonjolan disebut neoplasma.
Neoplasma merupakan penyakit pertumbuhan sel, dimana terjadi regenerasi epitel dan pembentukan
jaringan granulasi(yang terjadi pada pertumbuhan sel yang normal) tetapi jika dilihat dengan miskroskop
cahay tampak sel tumor mempunyai inti yang lebih besar, anak inti lebih besar jika dibandingkan inti,
mitokondria berkurang dan terlihat gambaran mitosis yang abnormal. Seorang pasien akan merasa takut
jika mengetahuinya dirinya menderita kanker. Penyakit kanker dianggap sebagai suatu penyakit yang
mematikan, padahal belum tentu selalu demikian. Sebagai seorang perawat diharapkan anda
mempunyai pengetahuan tentang tumor dan kanker,sehingga dapat menangani pasien yang sedang
mengalami penderitanya dengan sebaik- baiknya. Pada bagian ini anda akan diperkenalkan dengan ilmu
tentang kanker dan segala aspeknya, sehingga diharapkan dapat mengerti dan memahami seluk buluk
tentang kanker. 1.2. Tujuan a. Umum Untuk memenuhi tugas MK Patofisilogi b. Khusus 1. Agar
mahasiswa memahami definisi neoplasma. 2.
3. Agar mahasiswa memahami cirri-ciri neoplasma. 4. Agar mahasiswa memahami sifat-sifat neoplasma.
5. Agar mahasiswa memahami klasifikasi atas dasar sifat biologik neoplasma. 6. Agar mahasiswa
memahami biologi pertumbuhan neoplasma. 7. Agar mahasiswa memahami gambaran klinik
neoplasma. 8. Agar mahasiswa memahami tanda dan gejala. 9. Agar mahasiswa memahami cara
pencegahan pada neoplasma..
2.3. Rumusan malasah a. Apa yang dimaksud dengan definisi neoplasma? b. Apa saja yang menjadi
penybab neoplasma? c. Apa saja ciri-ciri neoplasma? d. Apa saja sifat-sifat neoplasma? e. Bagaimana
klasifikasi atas dasar sifat biologic neoplasma? f. Bagaimana pertumbuhan neoplasma? g. Apa saja yang
gambaran pada neoplasma? h. Apa saja tanda dan gejla pada neoplasma? i. Bagaimana cara
pencegahannya?
BAB II PEMBAHASAN
Secara harfiah berarti pertumbuhan baru atau kumpulan masa abnormal dari sel-sel yang mengalami
proliferasi (tubuh terus menerus secara tidak terbatas) tidak terkoordinasi dengan jaringan sekitar nya
dan tidak berguna bagi tubuh. Sel-sel neoplasma berasal dari sel-sel sebelumnya adalah sel-sel normal
tetapi karena perubahan neoplastik akan mengalami pertumbuhan dengan kecepatan yang tidak
koordinasi dengan kebutuhan pasien(hostpes) dan tidak mencapai keseimbangan tetapi lebih
mengakibatkan penambahan masa sel yang mempunyai sifat yang sama. Sel-sel tersebut dinamakan sel
neoplastik dan pertumbuhan yang demikian disebut pertumbuhan progresif (Dr. Sayuti Tanher dan Hj
Heryati:2008) Neoplasma adalah suatu kelompok atau rumpun neoplastik. Istilah ini biasanya sinonim
dengan tumor. Istilah neoplasma benigna mengacu pada sel-sel neoplasma neoplastik yang tidak
mengintasi jaringan sekitar dan tidak bermetastasis. Metastasis didefinisikan sebagai kemapuan sel
kanker untuk menyusup dan membangun pertumbuhan pada area tubuh lain yang jauh dari asalnya.
Semua neoplasma diklasifikasikan sebagai kanker dan kemudian digambarkan sesuai dengan asal
jaringan nya(dr. jan tambayong: 2000)..
2.2. Penyebab
Tumor disebabkan oleh mutasi dalam DNA sel. Sebuah penimbunan mutasin dibutuhkan untuk tumor
dapat muncul. Mutasi yang mengaktifkan onkogen atau menekan gen penahan tumor dapat akhirnya
menyebabkan tumor. Sel memiliki mekanisme yang meperbaiki DNA dan mekanisme lainnya yang
menyebabkan sel untuk menghancurkan dirinya melalui apoptotosis bila DNA rusak terlalu parah.
Mutasi yang menahan gen untuk mekanisme ini dapat juga menyebabkan kanker. Sebuah mutasi dalam
satu oncogen atau satu gen penahan tumor biasanya tidak cukup menyebabkan terjadinya tumor.
Sebuah kombinasi dari sejumlah mutasi dibutuhkan. Apoptosis adalah proses aktif kematian sel yang
3.
Demam dan mengigil 4.
Berkeringat pada malam hari. Meski demikian, tiap tumor memiliki indikasi berbeda-beda tergantung
jenis dan lokasi pertumbuhannya. Contohnya, tumor otak dapat menyebabkan gejala sakit kepala tiada
tertahan, muntah-muntah secara mendadak, serta kejang-kejang. Sementara gejala tumor paru jinak
dapat berupa bentuk yang berkelanjutan dan bertambah parah hingga akhirnya menjadi batuk darah,
sesak nafas, rasa nyeri didada serta kelelahan. Ada juga tumor ganas yang bahkan tidak menyebabkan
gejala hingga mencapai stadium lanjut, mesalnya kanker serviks serta kanker hati. Karena itu, anda
disarankanuntuk selalu waspada dan memeriksakan diri kedokter jika mengalami kondisi yang terasa
janggal meski sekilas tampak ringan. 2.8. Diagnosis Dan Pengobatan Neoplasma Selain menanayakan
riwayat penyakit, gejala dan memeriksa kondisi fisik, dokter akan menyertakan beberapa jenis
pemeriksaan untuk memastikan diagnosi pasien, pemeriksaan-pemeriksaan tersebut diantaranya
adalah: 1.
CT, MRI atau PET scan langkah ini berfungsi unruk mengonfirmasi letak serta tingkat penyebaran tumor.
3.
Rontgen dada. 4.
Biopsi atau pengambilan sampel tumor. Pemeriksaan ini digunakan untuk memastikan ganas atau tidak
nya tumor yang diidap. Apabila terdiagnosis positif mengidap tumor tertentu, dokter akan membantu
anda dalam memnentukan pengobatan yang sesuai. Metode penanganan tumor yagn akan anda jalani
tergantung pada jenis, lokasi tumbuhnya tumor, dan tingkat keganasa tumor. Terdapat sejumlah
metode penanganan untuk mengatasi tumor ganas. Langkah yang umumnya dianjurkan meliputi:
1.
Operasi pengangkatan. 2.
Kemoterapi. 3.
Radioterapi. 4.
Terapi biologis. 5.
Terapi target yang hanya mencari dan menyerang sel-sel kanker. Pasien umumnya membutuhkan
kombinasi ada 3 metode, yaitu operasi pengangkatan, kemoterapi dan radioterapi. Jika tumor ganas
masih berada pada satu lokasi dan belum menyebar, kaker tersebut biasanya akan diangkat melalui
prosedur operasi. Tumor jnak juga umumnya dapat diangkat namun apabila tidak menngangu kinerja
organ dan tidak berdampak buruk pada kesehatan sama sekali, tumor jinak terkadang tidak perlu
diangkat. Makin dini tumor terdeteksi, kemungkinan pasien untuk sembuh juga makintinggi karena itu
semua tumor(ganas maupun jinak) sebaiknya segera didiagnosis dan ditangani karena bepotensi
menyebabkan berbagai komplikasi kesehatan apabila dibiarkan. 2.9. Langkah Pencegahan Neoplasma
Tidak ada metode pencegahan yang dapat memberikan perlindungan total dari munculnya tumor.
Tetapi ada sejumlah langkah sederhana yang dpat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya
kanker. Langkah-langkah tersebut meliputi: 1.
Berhenti merokok. 2.
Menerapkan pola makan yan sehat dan seimabnga, seperti menngkatkan konsusmsi makanan
berserat(tertama sayuran) dan mengurangi konsusmsi makanan berlemak atau yang mengandung
bahan pengawet. 4.
Menjaga berat badan yang sehat agar terhindar dari obesitas. 5.
Menghalau pajanan senyawa kimia yang mengandung racu, misalnya dengan menggunaka masker saat
naik kendaraan umum.
7.
Menjalani vaksinasi yang dibutuhkan untuk mencegah kanker, seperti vaksin HPV.
3.1.Kesimpulan Secara harfiah berarti pertumbuhan baru atau kumpulan masa abnormal dari sel-sel
yang mengalami proliferasi (tubuh terus menerus secara tidak terbatas) tidak terkoordinasi dengan
jaringan sekitar nya dan tidak berguna bagi tubuh. Sel-sel neoplasma berasal dari sel-sel sebelumnya
adalah sel-sel normal tetapi karena perubahan neoplastik akan mengalami pertumbuhan dengan
kecepatan yang tidak koordinasi dengan kebutuhan pasien(hostpes) dan tidak mencapai keseimbangan
tetapi lebih mengakibatkan penambahan masa sel yang mempunyai sifat yang sama. Sel-sel tersebut
dinamakan sel neoplastik dan pertumbuhan yang demikian disebut pertumbuhan progresif. A
Intermediate
Suatu peristiwa lokal semata, tidak tumbuh infiltratif, tidak menyebar ketempat yang jauh
Terjadi perluasan sel secara sentrifugal dengan batas yang nyata .Mempunyai kapsul jaringan
penyambung padat yang memisahkan neoplasma dari jaringan sekelilingnya ( simpai / kapsul)
Tidak merusak jaringan sekitar dan tidak menimbulkan anak sebar pada tempat yang jauh
Laju pertumbuhan lambat / kadang tidak berubah / tetap , Stabil selama berbulan – bulan atau
bertahun-tahun.
Umumnya dapat disembuhkan dengan sempurna kecuali yang mensekresi hormon atau yang terletak
pada tempat yang sangat penting
Umumnya tumbuh lebih cepat dan hampir selalu tumbuh secara progresif
Tidak mudah dipisahkan dari sekitarnya dan pada umumnya menyerbu masuk kesekitar sel (infiltratif)
merusak jaringan sekitar dan bukan mendesak sel kesamping destruktif
Dapat menyebar keseluruh tubuh melalui aliran limfe atau aliran darah
Neoplasma Intermediate
NO
PERBANDINGAN
NEOPLASMA JINAK
NEOPLASMA INTERMEDIATE
NEOPLASMA GANAS
Sifat pertumbuhan
Lambat
Bervariasi
Cepat
Tumbuh infiltratif
Tidak
Lokal
Infiltratif
3
Kemampuan metastasis
Tidak ada
Rendah/tidak
Tinggi
Pengobatan
Eksisi
Eksisi luas
Eksisi luas .pengangkatan kelenjar getah bening regional , pengobatan sistemik dengan kemoterapi
Cenderung residif
Yaitu :
Sel totipoten
Sel berdiferensiasi
Sel – sel ini mempunyai kemampuan yang berbeda untuk berkembang lebih lanjut keberbagai jenis sel
Sel totipoten ialah sel yang dapat berdiferensiasi kedalam tiap jenis sel tubuh
Yang berdiferensiasi kejenis jaringan termasuk trofoblast , contoh Choriocarsinoma , Yolk sac carcinoma
Contoh : yang berasal dari anak ginjal disebut Nefroblastoma berdiferensiasi kedalam struktur yang
menyerupai tubulus ginjal , kadang jaringan otot, tulang rawan atau tulang rudimenter.
Jenis sel dewasa yang berdiferensiasi dalam bentuk sel organ tubuh .
Tumor epitel
Banyak neoplasma berasal dari epitel yang merupakan sel-sel yang meliputi permukaan, membatasi
organ – organ, dan membentuk berbagai kelenjar.
kata dasar adeno- digunakan untuk menyatakan sel berasal dari kelenjar ,akhiran –oma menyatakan
neoplasma , Jadi tata nama yang sering digunakan Adenoma adalah neoplasma jinak yang berasal dari
epitel kelenjar
Berasal dari sel permukaan dan mempunyai arsitektur papiler disebut : Papiloma
Neoplasma ganas yang berasal dari epitel dinamakan : Karsinoma , Suatu keganasan dari epitel kelenjar
disebut : Adenokarsinoma, Neoplasma ganas yang berasal dari epitel skuamosa disebut Karsinoma sel
skuamosa
19 KLASIFIKASI ATAS DASAR ASAL SEL / JARINGAN ( HISTOGENESIS )
Jenis sel dewasa yang berdiferensiasi dalam bentuk sel organ tubuh .
Neoplasma yang berasal dari jaringan penyokong tubuh dinamakan menurut jenis asal jaringan
Neoplasma ganas yang berasal dari jaringan penyokong dinamakan sarkoma , Contoh: osteosarcoma,
chondrosarcoma, fibrosacoma , Kaposi’s sarcoma (kulit, banyak pada AIDS), lymphosarcoma, dst
Contoh limfoma, plasmasitoma , glioma , astrositoma yang dicantumkan kata maligna dibelakangnya
untuk menjelaskan sifat ganasnya yaitu limfoma maligna, melanoma maligna
Osteoblastoma , Kondroblastoma
Leukemia
Tumor organ pembentuk darah , dianggap ganas meski beberapa diantaranya menunjukkan perjalanan
klinik lambat
Ewing`s sarcoma , Hodgkin`s lymphoma , Benner`s tumor , Burkitt`s lymphoma , Wilm`s tumor ,
Grawitz`s tumor
Adenoma pleomorfik kelenjar liur : tumor campur kelenjar liur terdiri dari epitel kelenjar, jaringan tulang
rawan dan matrik bedegenerasi musin .
Fibroadenoma mamae : terdiri atas epitel yang membatasi lumen dan jaringan ikat renggang matriks
Kista belum tentu tumor / neoplasma tetapi sering menimbulkan efek lokal seperti tumor/ neoplasma .
Yaitu ;
Pada pemeriksaan mikroskopik : jumlah mitosis dan gambaran aktifitas metabolisme inti berkaitan
dengan kecepatan tumbuh tumor , yaitu : inti yang besar, kromatin kasar , anak inti besar
Penentuan derajat dan tingkat keganasan tumor ganas sangat penting karena berguna untuk :
Perencanaan pengobatan
Petunjuk prognosis
Pertukaran informasi anter berbagai pusat pengobatan kanker
Secara histologik ( grading) berdasarkan derajat diferensiasi umumnya dibagi atas 4 tingkat derajat
keganasan dimana tumor dengan keganasan rendah biasanya prognosisnya baik
UICC : Union Internationale Contre le Cancer : merumuskan sistim TNM untuk penyeragaman .dimana
T : Tumor primer , N ; Node kelenjar getah bening regional , M : Metastasis
AJCC : The American Joint Comitte on Cancer mengembangkan skema staging dengan cara membagi
semua kanker kedalam stadium I – IV tergantung nilai tumor primer , penyebaran kekelenjar getah
bening dan metastasis
T0 : Karsinoma insitu
M : metastasis ,
Kematian sel : kondisi dimana sel tidak lagi dapat mengkompensasi dan tidak dapat melangsungkan
metabolisme
Bila sebuah sel atau sekelompok sel / jaringan dalam hospes hidup diketahui mati disebut nekrotik
Agenesis / Aplasia
dalam perkembangan embrionik organ tidak terbentuk : agenesis , atau organ terbentuk tetapi tidak
tumbuh
Hipoplasia : organ terbentuk tetapi tidak pernah mencapai ukuran definitif,organ jadi kerdil
Atrofi: organ yang dalam perkembangannya mencapai ukuran definitif kemudian secara sekunder
menyusut
Hiperplasia : kenaikan jumlah sel dalam jaringan yang mengakibatkan pembesaran jaringan atau organ .
Metaplasia : Perubahan jenis sel dari satu subtipe ke subtipe lain. terjadi sebagai respons terhadap
cedera / iritasi kontinyu
Displasia : kelainan diferensial sel-sel yang sedang berproliferasi sedemikian rupa sehingga ukuran,
bentuk dan penampilan sel menjadi abnormal disertai gangguan pengaturan dalam sel.
Neoplasia : Neoplasma : berarti pertumbuhan baru : adalah massa abnormal dari sel-sel yang mengalami
proliferasi
Tumor ganas tumbuhnya relatif lebih cepat karena lebih aktif dan agresif , membesar dengan cepat,
sering disertai luka, atau pembusukan yang sukar sembuh.
31 TANDA – TANDA
Sel – sel neoplasma ganas yang berproliferasi mampu untuk melepaskan diri dari tumor induk ( tumor
primer) dan memasuki sirkulasi untuk menyebar ketempat lain.
Bila sel – sel kanker embolik semacam ini diangkut , mereka mampu keluar dari pembuluh , melanjutkan
proliferasi mereka dan membentuk tumor sekunder
Metastase langsung melalui rongga tubuh dan megadakan implantasi pada permukaan yang jauh dari
rongga tersebut .
Jika sel ganas diambil oleh alat pembedahan selama tindakan bedah , maka sel ganas dapat
terimplantasi pada tempat insisi, akhirnya tumbuh menjadi fokus metastasis
Pada neoplasma jinak karena tidak melakukan invasi ataupun metastasis maka kesulitan yang
ditimbulkan umumnya bersifat lokal ,dari yang ringan sampai yang fatal , misal penyumbatan secara
lokal
Pada neoplasma ganas karena lebih agresif dan destruktif dibanding neoplasma jinak dan laju
pertumbuhannya umumnya lebih cepat , dapat merusak jaringan lokal maupun jauh akibat dari
metastase
Neoplasma ganas pada stadium lanjut akan merusak jaringan fokal dan berebut zat makanan
( menangkap bahan makanan) sehingga merugikan hospes ,
sehingga pada stadium lanjut karena menangkap makanan tampak pasien seperti menderita malnutrisi
35 STRUKTUR NEOPLASMA
Neoplasma terdiri dari sel neoplastik yang berproliferasi berhubungan dengan sistim penyokong yang
disebut stroma.
Organisasi sel tumor dan stroma sangat berbeda antara neoplasma yang dapat memberi sifat tersendiri
pada neoplasma
Tumor yang mengandung stroma fibrosa yang sangat padat, dapat sangat keras , disebut Scirrhous
Tumor yang terutama terdiri dari neoplastik dengan struma yang relatif sedikit jauh lebih lunak , disebut
Medularis
Umumnya neoplasma jinak berdiferensiasi baik / mereka sangat menyerupai sel induk
36 STRUKTUR NEOPLASMA
Neoplasma ganas diferensiasinya menduduki spektrum yang luas , dimana kanker destruktif sangat
agresif berdiferensiasi buruk / anaplastik
Pada banyak kasus neoplasma ganas sel-sel secara individual menunjukkan kelainan morfologis yang
mencerminkan potensi sel ganas
Banyak sel kanker mempunyai perbandingan volume nukleus terhadap volume plasma yang sudah
berubah , bentuk nukleus tidak teratur ,dan pola kromatin yang tidak teratur.
Contoh Pemeriksaan papsmer dalah ulasan yang dibuat dari sediaan mukus serviks vaginal
37 Neoplasma yang berasal dari jaringan penyokong tubuh dinamakan menurut jenis asal jaringan
38 Banyak nama khusus digunakan untuk neoplasma yang berasal dari tempat – tempat khas dan
jaringan – jaringan tertentu :
Glioma : berasal dari jaringan penyokong glia dalam susunan saraf pusat
39 BIOLOGI KANKER
Sel – sel kanker berasal dari sel – sel yang sebelumnya normal tetapi sel- sel ganas ini tidak mentaati
peraturan biasa dan tumbuh pada tempat – tempat yang tidak semestinya.mereka juga tidak memberi
respon terhadap pengendalian diri biasa tentang ukuran sel dan laju pertumbuhan populasi tersebut.
Ada petunjuk jikalau kelainan ini terletak pada membran sel dimana membran sel seharusnya menerima
sinyal – sinyal untuk diteruskan kedalam sel tetapi kelainan membran sel menyebabkan penerimaan
sinyal menjadi abnormal
Transformasi sel normal menjadi sel tumor dapat menyangkut dere presi atau amplifikasi gen yang tidak
cocok dengan normal , juga kelainan kromosom dapat dikaitkan dengan berbagai tumor
Agen – agen fisik dalam lingkungan juga diketahui mempunyai potensi tumerigenik.
Suatu tanda yang penting adalah manifestasi yang menetap ( jika tidak progresif , misal rasa sakit
tenggorokan yang tidak menyembuh atau suara serak yang kronik )
Pemeriksaan :
Radiografi
USG
Scanning radionukleotida
Endoskopi
Pembagian stadium didasarkan pada perkiraan progresifitas dari neoplasma yang berada ditubuh
penderita
Pembagian stadium klinis tidak hanya untuk menentukan diagnosis tapi juga untuk merencanakan
pengobatan yang rasional
Organ Pencernaan
Organ pencernaan dan Intra Thorax
Kulit
Payudara
Saluran Urinaria
Secara teoritis antigen – antigen yang muncul pada permukaan sel tumor memungkinkan sistim imunitas
tubuh mengenal dan menghancurkannya ,
Natural killer limfosit dapat menghancurkan sel – sel tumor secara langsung dan sekelompok T limfosit
killer dapat menghancurkan sel tumor bila bekerjasama dengan antibodi
Dalam kenyataannya beberapa jenis tumor dapat bertahan hidup berkembang biak didalam tubuh dan
terhindar dari penghancuran.hal ini disebabkan karena:
Terdapat suatu blocking antibodi (sejenis IgG) yang mengikat antigen permukaan sel tumor ,menutup
antigen tersebut sehingga terhindar dari penghancuran oleh sel-sel T
Antigen terletak tersembunyi didalam sel tumor sehingga terhindar dari pengenalan sistim imunitas
tubuh.
Operasi pengangkatan jaringan yang mengandung kanker : sangat efektif bila eksisi sel tumor disertai
eksisi tepi jaringan normal, dan eksisi kelenjar limfe regional
Imunoterapi
Sel yang oleh suatu penyebab berubah menjadi sel neoplastik , membentuk kumpulan sel yang
mempunyai sifat tumbuh otonom disebut sel yang mengalami transformasi .
1. Kimiawi: terbanyak,
UV kanker kulit.
Brown (mesothelioma)
Download ppt "Mata kuliah PATOLOGI ILMU PEYAKIT 7 SKS Semester 5"
Presentasi serupa
PERAWATAN LUKA PADA NY. S DENGAN KANKER MAMMAE (Payudara) RSUD PANEMBAHAN SENOPATI
BANTUL YOGYAKARTA Ruang Nusa Indah Dua.
KANKER PAYUDARA.
4.
Metastasis / penyebaran Metastasis adalah penanaman tumor yang tidak berhubungan dengan tumor
primer. Tumor ganas menimbulkan metastasis sedangkan tumor jinak tidak. Infasi sel kanker
memungkinkan sel kanker menembus pembuluh darah, pembuluh limfe dan rongga tubuh,kemudian
terjadi penyebaran. Dengan beberapa perkecualian semua tumor ganas dapat bermetastasis.
Kekecualian tersebut adalah Glioma ( tumor ganas sel glia ) dan karsinoma sel basal , keduanya sangat
infasif, tetapi jarang bermetastasis. Umumnya tumor yang lebih anaplastik,lebih cepat timbul dan
padanya kemungkinan terjadinya metastasis lebih besar. Namun banyak kekecualian. Tumor kecil
berdiferensiasi baik, tumbuh lambat, kadand- kadang metastasisnya luas. Sebaliknya tumor tumbuh
cepat ,tetap terlokalisir untuk waktu bertahun- tahun. D.
Penyebab Kanker 1.
Karsinogen Kimia Kebanyakan karsinogen kimia ialah pro-karsinogen . Yaitu karsinogen yang
memerlukan perubahan metabolis agar menjadi karsinogen aktif, sehingga dapat menimbulkan
perubahan pada DNA, RNA, atau Protein sel tubuh. 2.
Karsinogen Virus Virus yang bersifat karsinogen disebut virus onkogenik. Virus DNA dan RNA dapat
menimbulkan transformasi sel. Mekanisme transformasi sel oleh virus RNA adalah setelah virus RNA
diubah menjadi DNA provirus oleh enzim reverse transeriptase yang kemudian bergabung dengan DNA
sel penjamin. Setelah mengenfeksi sel, materi genitek virus RNA dapaat membawa bagian materi
genitek sel yang di infeksi yang disebut V-onkogen kemudian dipindahkan ke materi genitek sel yang
lain.
3.
Karsinogen Radiasi Radrasi UV berkaitan dengan terjadinya kanker kulit terutama pada orang kulit putih.
Karena pada sinar / radiasi UV menimbulkan dimmer yang merusak rangka fosfodiester DNA. 4.
Agen Biologik a)
Parasit : Parasit yang dihubungkan dengan terjadinya kanker ialah schistosoma dan clonorchis sinensis.
Faktor-faktor mempengaruhi angka kejadian kanker : a.
Umur c.
Lingkungan e.
Geografik f.
Herediter E.
Kinetik pertumbuhan sel tumor Ini akan terlihat dari pernyataan beberapa lama waktu yang diperlukan
oleh suatu sel transformasi untuk membentuk massa tumor yang jelas secara klinis. 2. Angiogenesis
Tumor Pasokan darah terhadap jaringan tumor. Tanpa ada pembuluh darah atau pembuluh umfe tumor
ganas akan gagal untuk bermetastasis.
3. Progresi dan Heterogenitas Sel Tumor Tumor ganas berasal morokional dengan berjalannya waktu
mereka menjadi heterogen . pada tingkat molecular progresi tumor dan heterogenitas sebagai akibat
dari mutasi multiple yang terkumpul dan saling tidak tergantungpada sel yang berbeda sehingga
menurunkan subklonal dengan sifat yang berbeda. F.
Akibat Lokal Masa jaringan tumor yang tumbuh menimbulkan tekanan pada alat
–
alat penting di sekitarnya. Misalnya pembuluh darah, saraf,saluran visceral,duktus dan alat padat yang
menimbulkan berbagai komplikasi. 2.
Akibat Umum Pada umumnya penderita kanker menjadi kurus diikuti oleh badan lemah,anemia, dan
anoreksia. Koheksi (kumpulan gejala- gejala) disebabkan oleh kelainan metabolisme ,bukan dari
kebutuhan makanan ,melainkan akibat dari kerja factor terlarut seperti sitoksin yang diproduksi tumor.
3.
Akibat Fungsi Aktifitas fungi lebih khas pada tumor jinak dari pada tumor ganas / kanker,karena tumor
ganas selnya udak berdiferensiasi maka kemampuannya hilang. G.
Pemeriksaan sitologi serviks ( PAPTES ) rutin tahunan pada wanita berusia > 35 tahun. 2.
Usia 50 tahun atau lebih diadakan pemeriksaan sigmoideskopi tiap 3-5 tahun,untuk menemukan lesi
pada rectum. 3.
SADARI ( memeriksa payudara sendiri ) bulanan,untuk menemukan benjolan kecil pada payudara
sendiri. 4.
A. KESIMPULAN
Neoplasma merupakan suatu abnormalitas darim sel-sel yang berada dalam tubuh manusia, dimana sel-
sel tersebut terus mengalami pembelahan secara aktif serta yang menjadi bahaya adalah karena
neoplasma ini bersifat parasit, dalam kata lain menjadi pesaing untuk sel-sel yang sehat, sehingga
apabila pertumbuhannya tidak dihentikan maka akan mengakibatkan penyakit- penyakit seperti Tumor
ganas/ kanker.
B. SARAN
I. PENDAHULUAN
Neoplasma adalah penyakit pertumbuhan sel-sel baru yang tidak terbatas pada koordinasi dengan
jaringan sekitarnya dan tidak berfungsi fisiologis (Tjidarbumi, 2000). Pertumbuhan merupakan sifat
pokok dari organ yang hidup dan untuk itu ada regulasinya. Organisme yang dewasa tidak lagi
mengadakan pertumbuhan oleh karena disini pertumbuhan sel-sel baru sudah ada dalam kondisi
seimbang dengan matinya sel-sel lama. Pada pertumbuhan tumor terjadi keadaan yang disebabkan oleh
karena adanya “disregulasi” pertumbuhan. Pertumbuhan tumor sedikit banyak bersifat otonom, tidak
terpengaruh oleh mekanisme yang mengatur pertumbuhan sel tubuh kita.
II. PEMBAHASAN
Neoplasma terbentuk atau berasal dari sel normal yang mengalami displasia (kelainan pertumbuhan).
Neoplasma itu sendriri terbagi menjadi dua yaitu:
Yaitu neoplasma yang hanya terjadi di daerah lokal semata. Proliferasi sel cenderung kohesif, perluasan
terjadi secara sentrifugal dengan batas yang nyata. Neoplasma jinak tidak menyebar ke tempat yang
jauh dan pertumbuhannya lamban, ukurannya kurang lebih tetap pada ukuran yang stabil selama
berbulan-bulan atau bertahun-tahun.
b. berkapsul
c. pertumbuhan lambat
d. tidak menimbulkan kematian
Neoplasma ini tumbuh secara cepat dan sangat progresif jika tidak dibuang. Pola penyebarannya
menjadi tidak teratur. Neoplasma ganas tidak memiliki kapsul sehingga sulit dipisahkan dari sekitarnya.
Sel-sel ini menyerang daerah sekitarnya dengan masuk ke daerah sekitarnya bukan mendesak. Sel-sel
neoplasma ganas ini mampu memisahkan diri dari sel induk dan memasuki sirkulasi untuk menyebar ke
daerah lain. Jika sel ini menyangkut suatu jaringan atau organ mampu menembus pembuluh darah dan
membentuk tumor sekunder (proliferasi baru).
b. tidak berkapsul
c. pertumbuhan cepat
d. metastase
e. menimbulkan kematian
Pada akhirnya neoplasma ganas memilki kemampuan untuk bermetastatis (menyebar ke daerah lain
yang menjauhi sel induk) dan kemudian menimbulkan pertumbuhan sekunder pada daerah yang jauh,
Sedangkan pada Neoplasma jinak tidak bermetastatis. Metastase dapat terjadi melalui 3 cara yaitu :
metastase langsung, melalui aliran darah (hematogen) dan melalui aliran limfe (limfogen). Pertumbuhan
tumor dapat ditemukan baik pada tumor jinak (meskipun dalam gradasi yang lebih rendah) maupun
pada tumor-tumor ganas. Hal ini biasanya baru diketahui bila proses tersebut berlangsung agak lanjut.
Dalam keadaan normal terdapat keseimbangan antara pembentukan dan hancurnya sel. Pertumbuhan
tumor pada umumnya bersifat balans positif, artinya lebih banyak sel yang terjadi daripada yang hilang.
Salah satu sifat karakteristik dari sel kanker adalah kemampuannya untuk menembus jaringan normal
dan penetrasi ke dalam pembuluh darah dan saluran limfe. Selain dari pada itu sel kanker pun sering
memanfaatkan struktur-struktur yang sudah ada untuk mempermudah infiltrasi, misalnya rongga
perineural. Di lain pihak infiltrasi dapat dipersulit oleh struktur-struktur seperti fasia, simpai suatu organ,
atau peristoneum. Faktor penambahan volume tumor akan mengakibatkan kenaikan tekanan dalam
tumor dan ini akan mempermudah menembusnya sel tumor ke dalam jaringan normal. Dengan
kemampuan bermetastasis sel kanker untuk menembus jaringan normal, maka tumor ganas primer
dapat menyebarkan sel-sel kankernya ke seluruh tubuh. Metastasis tumor ganas dapat melalui
bermacam-macam, yaitu :
1. Infiltratif
Adalah penyebaran ke jaringan sekitarnya, terjadi secara perlahan-lahan, sel-sel kanker menyebuk ke
dalam jaringan sehat sekitarnya atau di dalam ruang antara sel.
2. Limfogen
Yaitu sel-sel kanker masuk ke dalam pembuluh limfe dan merupakan embolus masuk ke dalam kelenjar
getah bening regional dan melekat pada simpainya.
3. Hematogen
Yaitu lewat pembuluh darah. Masuknya sel-sel kanker ke dalam pembuluh darah.
4. Implantasi
Biasanya terjadi di meja operasi, misal : jika alat telah digunakan untuk operasi dan dipakai untuk
operasi lagi tanpa disterilkan terlebih dahulu.
5. Perkontinuitatum
Mekanisme pembentukan neoplasma atau tumor ganas disebut dengan Karsinogenesis. Karsinogenesis
merupakan suatu proses multi-tahap. Sebagian besar karsinogen sebenarnya tidak reaktif
(prokarsinogen atau karsinogen proximate), namun di dalam tubuh diubah menjadi karsinogen awal
(primary) atau menjadi karsinogen akhir (ultimate). SitokromP450 suatu mono-oksidase dependen
retikulum endoplasmik sering mengubah karsinogen proximate menjadi intermediatedefisienelektron
yang reaktif (electrophils). Intermediate (zat perantara) yang reaktif ini dapat berinteraksi dengan pusat-
pusat di DNA yang kaya elektron (nucleophilic) untuk menimbulkan mutasi. Interaksi antara karsinogen
akhir dengan DNA semacam ini dalam suatu sel diduga merupakan tahap awal terjadinya karsinogenesis
kimiawi. DNA sel dapat pulih kembali bila mekanisme perbaikannya normal, namun bila tidak sel yang
mengalami perubahan dapat tumbuh menjadi tumor yang akhirnya nampak secara klinis. Ko-karsinogen
(promoter) sendiri bukan karsinogen. Promoter berperan mempermudah pertumbuhan dan
perkembangan sel tumor dormant atau latent. Waktu yang diperlukan untuk terjadinya tumor dari fase
awal tergantung pada adanya promoter tersebut dan untuk kebanyakan tumor pada manusia periode
laten berkisar dari 15 sampai 45 tahun.
Proses transformasi sel normal menjadi sel ganas melalui displasi terjadi melalui mekanisme yang sangat
rumit, tetapi secara umum mekanisme karninogenesis ini terjadi melalui tiga tahap yaitu:
Inisiasi
Adalah proses yang melibatkan mutasi genetik yang menjadi permanen dalam DNA sel. Dipicu oleh
insiator (bahan yg mampu menyebabkan mutasi gen) à initiated cells. Sel-sel masih mirip dengan sel
normal.
Promosi
Merupakan suatu tahap ketika sel mutan berproliferasi. Diakibatkan karena klon yang tidak stabil dan
mengalami inisiasi, dipaksa untuk berproliferasi dan menjalani mutasi tambahan sehingga akahirnya
berkembang menjadi tumaor ganas (neoplasma). Initiated cells dipicu oleh promotor (terus
menerus/berulang) à transformed cells. Perubahan informasi genetik, sintesis DNA, replikasi meningkat
à lesi insitu. Hormon sering menjadi promotor yang merangsang pertumbuhan sel ganas.Misalnya
Esterogen dapat merangsang pertumbuhan kanker pada payudara dan ovarium.
Progresi
Sutau tahap ketika klon sel mutan mendapatkan satu atau lebih karakteristik neoplasma ganas seiring
berkembangnya tumor, sel menjadi lebih heterogen akibat mutasi tambahan terhadap gen.
Perubahan fenotip: klinik terdpt benjolan (tumor). Contohnya Perubahan karyotip kromosom. Beberapa
subklon ini dapat memperlihatkan perilaku ganas yang lebih agresif atau lebih mampu untuk
menghindari seranganoleh sistem imun. Selama stadium ini, massa tumor yang meluas mendapat lebih
banyak perubahan yang memungkinkan tumor menginvasi jaringan yang berdekatan, membentuk
pasokan darahnya sendiri(angigenesis), atau masuk melalui pembuluh darah dan bermigrasi ke bagian
tubuh lainnya yang letaknya berjauhan untuk membentuk tumor sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.medicastore.com/med/detail_pyk./
http://id.wikipedia.org/2007/wiki/Neoplasma
kedokteran
Level Kompetensi : 3A
Isi Materi:
BAB I
PENDAHULUAN
Nyeri dikatakan sebagai salah satu tanda alami dari suatu penyakit yang
pertama muncul dan menjadi gejala paling dominan diantara pengalaman sensorik
lainnya yang dinilai oleh manusia pada suatu penyakit. Nyeri sendiri dapat
kerusakan jaringan.1
menghindari keadaan yang berbahaya, mencegah kerusakan lebih jauh, dan untuk
dari jaringan yang menyebabkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini disebut nyeri alih.
Nyeri ini berasal dari suatu organ visera yang kemudian dialihkan kesuatu daerah
di permukaan tubuh atau di tempat lainnya yang tidak tepat dengan lokasi nyeri.1
Nyeri alih juga diperlukan dalam diagnosis klinik karena dapat diperkirakan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang didapat terkait
terjadinya kerusakan.2
Seringkali seseorang merasakan nyeri dibagian tubuh yang letaknya juh dari
jaringan yang menyebabkan rasa nyeri. Rasa nyeri ini disebut nyeri alih. Nyeri
dari suatu organ visera yang kemudian dialihkan kesuatu daerah dipermukaan
tubuh atau ditempat lainnya yang tidak tepat dengan lokasi nyeri. Nyeri alih
merupakan sensari nyeri atau rasa nyeri somatik dalam atau rasa nyeri viseral
dibagian tubuh yang letaknya cukup jauh dari jaringan yang menyebabkan rasa
nyeri.3
2.2 Etiologi
1. Trauma2
1. Mekanik
2. Thermis
3. Khemis
Timbul karena kontak dengan zat kimia yang bersifat asam atau basa
kuat
4. Elektrik
Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor rasa
2. Neoplasma
a. Jinak
b. Ganas
3. Peradangan
1. Histamin
2. Bradikinin
3. Asetilkolin
4. Substansi prostaglandin
Beberapa senyawa lain yang justru bersifat sebagai penghambat rangsang nyeri
diantaranya :
1. Endorfin
2. Enkafalin
stimuli nyeri, yang berada pada tempat reseptor yang sama dengan reseptor
descending control.
transmisi impuls ini di dalam otak dan medulla spinalis. Keberadaan enkefalin dan
yang berbeda dari stimuli nyeri yang sama. Kadar endorphin beragam berbeda2
diantara individu. Kadar endorphin yang banyak lebih sedikit merasakan nyeri
dan sebaliknya.
2.3 Patofisiologi
PERSEPSI
MODULASI
TRANSMISI
TRANSDUKSI
nociceptor.
Saat ini penjelasan yang paling luas diterima tentang nyeri alih adalah teori
konvergensi-proyeksi. Menurut teori ini, dua tipe aferen yang masuk ke segmen
spinal (satu dari kulit dan satu dari otot dalam atau visera) berkonvergensi ke selsel
tidak ada cara untuk mengenai sumber asupan sebenarnya, otak secara salah
tengah sternum yang sering menyebar ke sisi medial lengan kiri, pangkal leher,
simpatikus dan masuk ke medulla spinalis melalui akar dorsalis lima saraf
torakalis paling atas (T1-T5). Nyeri jantung tidak dirasakan di jantung tetapi
beralih ke bagian kulit (dermatom) yang dipersarafi oleh saraf spinalis (somatik)
yang sesuai, karena itu, daerah kulit yang dipersarafi oleh lima saraf interkostalis
teratas dan oleh saraf brachialis interkostal (T2) akan terkena. Di dalam SSP
a. Jalur Ascendens
Serat saraf C dan A-δ aferen yang menyalurkan implus nyeri masuk ke
yang disebut lamina. Dua dari lapisan ini, yang disebut substansia
gelatinosa, sangat penting dalam transmisi dan modulasi nyeri. Dari kornu
hipotalamus, nukleus sistem limbik, dan korteks otak depan. Karena implus
nyeri yang ditimbulkannya berkaitan dengan rasa panas, pegal, dan sensasi
oleh sistem ini. Sistem ini sangat penting pada nyeri kronik, dan
b. Jalur Descendens
Salah satu jalur descendens yang telah diidentifikasi sebagai jalur penting
dalam sistem modulasi nyeri adalah jalur yang mencakup tiga komponnen
berikut
2.4 Klasifikasi
1. Menurut Tempat
a. Periferal Pain
Reffered Pain (Nyeri Alihan) nyeri yang dirasakan pada area yang
yang sudah tak ada lagi, contohnya pada amputasi. Phantom pain timbul
reseptor biasanya. Oleh karena itu, orang tersebut akan merasa nyeri pada
jaringan sekitar.
2. Menurut Sifat
b. Steady nyeri timbul menetap dan dirasakan dalam waktu yang lama
kembali.
kecanduan.
Nyeri akut timbul akibat dari cedera akut, penyakit atau pembedahan.
5. Menurut Sumbernya
Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non viseral, misal
nyeri pasca bedah, nyeri metatastik, nyeri tulang, dan nyeri artritik.
Nyeri viseral adalah nyeri berasal dari organ viseral, biasanya akibat
jantung. Nyeri juga sering diikuti referred pain dan sensasi otonom,
Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf. Seringkali
merasakan rasa seperti terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan
disestesia.
Nyeri psikogenik yaitu nyeri yang tidak memenuhi kriteria nyeri somatik
dan nyeri neuropatik, dan memenuhi kriteria untuk depresi atau kelainan
psikosomatik.
6. Berdasarkan Etiologi
a. Saraf Perifer
torakotomi
isoniasid, idiopatik.
c. Medula Spinalis
d. Batang Otak
Tuberkuloma.
Nyeri somatik
Nyeri
Nyeri nosiseptif
Nyeri viseral
Nyeri neuropatik
Nyeri psikogenik
Nyeri nonnosiseptif
e. Talamus
2.5 Penatalaksanaan
Manajemen nyeri yang tidak adekuat dapat memberikan dampak negatif
dampak dari nyeri ini, sering kali nyeri dinyatakan sebagai “tanda vital” kelima,
yang dikelompokan ke dalam tanda vital klasik, yaitu suhu, nadi, pernapasan, dan
tekanan darah (Hartwig & Wilson, 2006). Golongan obat-obatan analgesik terdiri
adjuvant 5
Strategi terapi
Terapi non-farmakologi
traumatik, danoral-facial
Terapi farmakologi
Tahapannya:
nyeri, yang seringkali merupakan gejala awal yang terlihat dan keluhan utama
yang terus-menerus dari pasien, dan kedua memperlambat atau membatasi proses
perusakan jaringan.
Prototip obat golongan ini adalah aspirin, Karena itu obat golongan ini sering
disebut juga sebagai obat mirip aspirin (aspirin-like drugs). Obat AINS
kimia, tetapi memiliki banyak persamaan dalam efek terapi maupun efek
dilaporkan pada tahun 1971 oleh Vane. Penelitian lanjutan telah menjelaskan
PGG2 terganggu.
adalah rute yang paling penting untuk eliminasi terakhir, namun hampir semuanya
produksi lymfokin dari limfosit T. Dalam tingkat yang berbeda-beda semua AINS
yang lebih baru adalah analgesik, antiinflamasi, dan antipiretik, dan semua
telah teramati untuk semua obat yang penggunaannya secara ekstensif telah
Sebagai analgesik, obat mirip aspirin hanya efektif pada nyeri dengan
intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, mialgia, artalgia dan nyeri
lain yang berasal dari intergumen, juga efektif terhadap nyeri yang berkaitan
dengan inflamasi 5
inflamasi5
2) Efek Analgesik
sedang. Aspirin bekerja secara perifer melalui efeknya terhadap inflamasi, tetapi
mungkin juga menghambat rangsangan nyeri pada daerah subkortikal5
3) Efek Antipiretik
kedua COX dalam saraf pusat dan hambatan IL-1 (yang diproduksi oleh makrofag
yang hilang karena vasodilatasi dan pembuluh darah permukaan (superfisial) dan
platelet dari aspirin berlangsung 8-10 hari (umur platelet). Secara umum, aspirin
perdarahan5
Efek aspirin, pada dosis biasa, yang paling berbahaya adalah gangguan
lambung. Gastritis yang terjadi dengan aspirin mungkin disebabkan oleh iritasi
mukosa lambung akibat tablet yang tidak larut, penyerapan salisilat non-ionisasi
oleh lambung, atau oleh hambatan produksi prostaglandin yang protektif (PGI2
Pada dosis lebih tinggi, pasien mungkin mengalami salicylism, yaitu muntahmuntah,
tinitus, pendengaran yang berkurang, dan vertigo. Dosis yang lebih tinggi
lagi menyebabkan hiperpnoe melalui efek langsung pada medulla batang otak.
Dengan dosis toksis bisa terjadi intoleransi glikosa dan terjadi kardiotoksisitas.
hepar, fungsi ginjal berkurang karena aliran darah ginjal menurun, perdarahan,
opium atau morfin, dan memiliki efek analgesik kuat. Sampai saat ini morfin
dianggap sebagai prototype agonis opioid dan pembanding standar untuk obatobat
Mekanisme kerja utama opioid adalah dengan berikatan dengan reseptor opioid
dorsalis, dengan berikatan dengan reseptor opioid di serabut saraf aferen primer
dan serabut saraf di kornu dorsalis, efeknya akan menyerupai kerja dari opioid
melalui pengaktifan inhibisi sentral, serta merubah aktifitas sistim limbik. Jadi
opioid tidak hanya mempengaruhi nyeri secara sensorik tetapi juga secara afektif.
Beberapa obat lain diketahui memiliki efek analgesik selain efek utamanya.
membran dan menekan terjadinya impuls saraf abnormal pada neuron. Hai ini
terutama berperan menekan proses yang terjadi pada sensitisasi, sehingga sering
system modulasi nyeri endogen. Obat anestesi lokal bekerja dengan memblok
saluran natrium pada membran sel saraf, sehingga memblok terjadinya konduksi
impuls saraf. Capsaicin, alkaloid yang disintesis dari cabai, bekerja mendeplesi
substansia P pada terminal saraf sensorik lokal. Zat ini diberikan secara topikal.
berkaitan pula pada metabolitnya o-desmetiltramadol, yang opioid 200 kali lipat
Baclofen, yaitu GABA agonis, bekerja dengan cara berikatan dengan GABA
Botulinum toksin saat ini sering dipakai untuk nyeri yang berkaitan dengan
yang berbeda. Pada anestesi inhalasi, obat ini memiliki sifat analgesik dengan
mekanisme kerja yang tidak spesifik, selain secara umum meningkatkan kerja
GABA sebagai mediator inhibisi, diduga juga bekerja pada reseptor opioid. Proses
utamanya adalah inhibisi pada tingkat spinal. Obat anestetik non-volatil seperti
sebagai antagonis reseptor NMDA, yang berperan juga dalam proses sensitisasi,
sehingga memiliki kelebihan sebagai analgetik. Selain itu ada juga dugaan
ketamin berhubungan dengan opioid reseptor. Potensi analgesik ini lebih tinggi
pada S(+) ketamine, karena ia memiliki afinitas lebih besar terhadap reseptor
NMDA.185,6
Obat anestesi lokal bekerja dengan berikatan dengan saluran ion. Terutama
pada saluran yang teraktifasi atau terbuka, obat anestesi lokal akan membentuk
ikatan dengan bagian dalam dari saluran ion. Hal ini akan membuat saluran ion
menjadi stabil dan terjadi blokade dari timbulnya atau penghantaran impuls.
penjelasan pada pain gate theory yang diajukan wall dan melzack. Dengan adanya
rangsangan noksius atau non-noksius akan memberikan inhibisi pada neuron
WDR di kornu dorsalis.19 Pada akupuntur diduga adanya peranan dari opioid
sebuah studi menggunakan MRI menyatakan area korteks singulata anterior dan
dkk, dikatakan terjadi peningkatan produksi dari nitrit oksida (NO) perifer pada
membantu mengurangi rasa nyeri.21 Prosedur bedah saraf untuk mengatasi nyeri
termasuk neurolisis (injeksi kimia atau penghasil panas atau dingin untuk merusak
impuls saraf dan atau pengangkatan struktur yang berkaitan dengan nyeri).
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri alih merupakan nyeri yang berasal dari salah satu daerah di tubuh tapi
(daerah kulit) yang dipersarafi oleh segmen medulla spinalis yang sama dengan
viskus nyeri tersebut. Apabila dialihkan ke permukaan tubuh, maka nyeri visera
umumnya terbatas di segmen dermatom tempat organ visera tersebut berasal pada
masa mudigah, tidak harus di tempat organ tersebut pada masa dewasa.
psikologis.
nyeri, meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi nyeri,
DAFTAR PUSTAKA
LATIHAN
4. Edukasi apa yang perlu diberikan kepada keluarga pasien yang menderita
referred pain.
Prevalensi menunjukkan bahwa 35 – 90% dari populasi dapat mengalami nyeri kepala
setidaknya satu kali dalam hidup kita. Oleh karena itu, jelas sudah bahwa keluhan nyeri
kepala akan sering dijumpai. Tipe nyeri kepala yang paling sering ditemukan adalah tipe
tegang (69%-88%) diikuti dengan migren (6%-25%) dan nyeri kepala tipe klaster (0,006%-
0,24%). Pada beberapa kasus, nyeri kepala tidak secara langsung dapat dikelompokkan sesuai
dengan klasifikasi dari International Headache Society (IHS). Nyeri kepala ini seringkali
menyerupai tipe primer tapi memiliki gejala yang atipikal atau perjalanan penyakit yang
nyeri kepala kronis, menemukan bahwa 15,9% kasus atipikal, 40% kasus menyerupaimigren,
dan 17,6% adalah nyeri kepala tipe tegang. Estimasi angka ini harus
dipertimbangkan baik-baik karena kasus atipikal akan lebih dipertimbangkan untuk dilakukan
ternyata cukup banyak abnormalitas yang ditemukan dari MRI yaitu pada 14,1% kasus nyeri
kepala atipikal, 0,6% pada kasus dengan migren,dan 1,4% pada kasus dengan nyeri kepala
tipe tegang.
Meskipun nyeri kepala jarang merupakan akibat dari tumor otak, tumor otak
seringkali dikaitkan dengan nyeri kepala. Penelitian mengenai hal ini mengindikasikan 50%
pasien tumor otak melaporkan nyeri kepala; bervariasi antara 33% sampai dengan 71%.
Namun nyeri kepala jarang menjadi keluhan tunggal pada lesi massa intrakranial (hanya pada
10% kasus). Seringkali, nyeri kepala akibat tumor otak disertai dengan keluhan mual,
muntah, pandangan kabur, perubahan kepribadian, kejang, dan atau defisit neurologis fokal
lainnya. Perubahan dari intensitas, atau tipe nyeri kepala daripada yang biasanya dirasakan
juga indikasi adanya lesi massa. Gejala komorbid ini adalah “red flags” yang membutuhkan
usaha lebih lanjut untuk penegakkan diagnosis.
Kotak 1. Nyeri Kepala dengan “red flag” pada diagnosis neoplasma serebral
Nyeri kepala yang terkait dengan demam atau gejala sistemik lainnya
Nyeri kepala yang memberat dengan manuver Valsava (batuk, bersin, atau
membungkuk)
Nyeri kepala pertama kali pada usia lanjut, terutama > 50 tahun
Selain mengandalkan gejala klinis yang merupakan “red flag” tadi, tipe dan intensitas
nyeri kepala sendiri dapat mempunyai nilai diagnostik. Sebagai contoh, sebagian besar nyeri
kepala akibat tumor otak akan bersifat tumpul dan berat. Jarang sekali rasa nyeri
digambarkan sebagai nyeri yang tajam dan berdenyut. Seringkali nyeri kepala pada tumor
otak menyerupai nyeri kepala tipe tegang, namun kadang juga dapat seperti gejala migren
(pada skeitar 10% kasus). Sayangnya, pengamatan ini mengindikasikan bahwa mengenali
tipe nyeri kepala tidak dapat mengarahkan kita langsung ke diagnosis yang tepat.
Kotak 2. Tanda khas nyeri kepala dan kejang pada neoplasma serebral
Nyeri kepala merupakan gejala umum dari neoplasma serebral, terjadi pada 30
– 60 % kasus
Nyeri kepala saja jarang menjadi satu-satunya gejala dan tanda adanya
Nyeri kepala pada tumor otak dapat menyerupai nyeri kepala tipe tegang
Nyeri kepala tipe primer, seperti migren, dapat juga terkait dengan bangkitan
Distribusi nyeri kepala terkadang dapat memprediksikan lokasi lesi massa. Sebagai
contoh, kita mengetahui bahwa lokasi tumor tertentu biasanya terkait dengan lokasi nyeri
kepala yang spesifik, terutama bila nyeri kepala diketahui pada awal perjalanan penyakit,
infratentorial atau di fossa posterior lebih sering dikaitkan dengan nyeri kepala oksipital
daripada di temporal atau frontal. Tumor di area infratentorial juga dapat disertai dengan
kaku kuduk dan spasme otot leher. Sebaliknya, tumor-tumor di supratentorial lebih sering
dikaitkan dengan nyeri di verteks dan di frontal. Sayangnya, nyeri area frontal memiliki nilai
lokalisasi yang minim karena dapat disebabkan oleh tumor yang terletak jauh dari area
tumor supratentorial yang berkaitan dengan nyeri kepala area frontal hanya sekitar 50%
kasus, sehingga secara statistik tidak cukup meyakinkan untuk digunakan sebagai dasar
diagnosis topis.
Meskipun usaha melokalisir tumor berdasarkan lokasi nyeri kepala ini terbatas,
hubungan antara lokasi nyeri dengan lokasi tumor lebih berguna saat digunakan secara
obyektif untuk semata-mata mengidentifikasi lateralisasi dari lesi. Nyeri kepala sepertinya
lebih sering muncul pada sisi ipsilateral dari tumor, terutama bila tidak menimbulkan
peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Suwanwela dkk menemukan bahwa bila tidak ada
peningkatan TIK maka nyeri kepala dapat digunakan untuk memprediksi lateralisasi pada lesi
supratentorial pada 100% kasus. Hal ini mungkin terkait tidak adanya perluasan pergeseran
jaringan otak dan obstruksi ventrikel, dua hal yang cenderung menyebabkan traksi struktur
peka nyeri area distal (jauh dari lokasi tumor) daripada traksi di proksimal (dekat dengan
lokasi tumor). Tanpa adanya traksi distal, nyeri kepala terjadi secara regional dan lebih
berguna dalam prediksi lokasi tumor. Namun bila terjadi peningkatan TIK, maka sulit untuk
menentukan lokasi tumor karena traksi distal menyebabkan aktivasi struktur peka nyeri di
area yang luas. Hal ini menjadi alasan pentingnya klinisi mengetahui pula mengenai
patofisiologi nyeri kepala akibat tumor otak, yang akan dibahas berikut ini.
1. Hipotesis traksi
Penyebab tersering dari nyeri kepala pada tumor otak adalah traksi pada
struktur peka nyeri baik intra- maupun ekstrakranial. Pada kanker otak, traksi
biasanya terjadi akibat perluasan dari jaringan tumor, edema dan atau perdarahan.
Struktur peka nyeri intra- maupun ekstrakranial meliputi sinus venosus, arteri dura
dan serebri, duramater, kulit, jaringan subkutan dan otot, serta periosteum dari
kranium. Sedangkan parenkim otak tidak sensitif terhadap nyeri karena kurang
memiliki reseptor nyeri (misalnya: free nerve ending). Sejumlah gejala terkait tumor
otak mendukung adanya hipostesis traksi pada nyeri kepala akibat tumor otak.
Sebagai contoh, edema disekitar tumor terkait massa tumor, papiledema, dan
ventrikel III, atau sisterna interpedunkularis) adalah tanda kunci adanya peningkatan
TIK dan dikaitkan dengan adanya nyeri kepala difus dan sulit terlokalisir. Hal ini
menyebabkan nyeri kepala yang dijabarkan pasien sebagai nyeri berat yang hilang
timbul. Kemungkinan hal ini dapat dijelaskan dengan adanya obstruksi periodik dari
sistem ventrikel(misalnya ball valving dari massa di dalam sistem ventrikel atau
ventrikel. Perubahan posisi, latihan fisik, batuk, atau manuver Valsava dapat
menyebabkan obstruksi periodik tersebut. Nyeri kepala onset akut juga dapat terjadi
dan atau peningkatan TIK dan disebabkan oleh kaskade vasodilator yang meliputi (1)
peningkatan volume darah sebagai akibat dari vasodilatasi, (2) penurunan tekanan
perfusi serebri, dan (3) peningkatan TIK yang tinggi. Respon autoregulasi normal
yang akan mencetuskan vasokonstriksi telah hilang (atau setidaknya tertunda) pada
saat gelombang “plateu”. Gelombang tekanan dapat berlangsung selama 5-30 menit,
yang digambarkan oleh pasien sebagai nyeri kepala onset cepat dan durasi pendek.
Nyeri kepala dikaitkan dengan lesi massa biasanya memburuk di pagi hari
karena edema otak yang meningkat sepanjang malam akibat efek gravitasi pada posisi
tidur terlentang (akibat kurangnya drainase sistem vena yang dibantu oleh gravitasi)
vasodilatasi, sehingga hasil akhirnya adalah peningkatan TIK. Bila dikaitkan dengan
muntah menyemprot dan perburukan status mental mendadak, nyeri kepala ini harus
lain yang juga menyebabkan hipertensi intrakranial, seperti trauma otak, hidrosefalus,
perdarahan subaraknoid.
dalam memprediksi adanya traksi dan nyeri kepala. Tumor yang meningkat
ukurannya dengan cepat dapat menyebabkan nyeri yang tajam, berat, akibat iritasi
pada struktur peka nyeri dan ruang intrakranial tidak punya kesempatan untuk
lambat menyebabkan nyeri kepala yang hilang timbul, dan memberat pada stadium
lanjut dari penyakit, disebabkan adanya adaptasi mekanik terhadap perluasan tumor.
Tetapi peningkatan TIK sebagai penanda nyeri kepala akibat tumor otak juga
kompresi ventrikel tidak secara sistemik dapat memprediksi nyeri kepala pada pasien
dengan tumor otak. Dengan kata lain, papiledema dan pergeseran ventrikuler
merupakan penanda yang baik untuk peningkatan TIK namun tidak selalu terkait
dengan adanya nyeri kepala. Pemeriksaan pada otak, darah, dan cairan serebrospinal
intrakranial dan traksi distal dari struktur peka nyeri. Loghin dan Levin mengatakan
dengan adanya efek massa, prosedur lumbal punksi kontraindikasi untuk dilakukan,
karena adanya risiko herniasi tonsilar. Pilihan yang lebih aman adalah dengan teknik
non invasif untuk mengukur alliran CSS melalui akuaduktus serebri, foramen monro,
atau sisterna prepontin. Hal ini dapat dicapai dengan MRI kontras. Dengan teknologi
ini, McGirt dkk menemukan nyeri kepala oksipital terkait dengan gangguan aliran
otak di area midbrain, bahkan tanpa ada kompresi yang tampak dari hasil MRI. Oleh
karena itu, mengukur aliran CSS dapat membantu mendeteksi perubahan patologis
yang minimal (misalnya jaringan parut pada arakhnoid, dan oklusi minor sistem
ventrikuler) yang terlewatkan pada pemeriksaan MRI konvensional. Obstruksi CSS
juga dapat menjelaskan mengapa beberapa pasien terus melaporkan nyeri kepala
lokasi tumor. Meskipun lokasi tumor tidak selalu dapat memprediksikan dimana nyeri
kepala akan muncul, namun cukup kuat untuk memprediksikan apakah akan muncul
nyeri kepala. Tumor yang cenderung memicu nyeri kepala termasuk lesi pada
intraventrikuler, di garis tengah, dan di fossa posterior. Sekali lagi, obstruksi CSS
diikuti dengan hidrosefalus internal dan traksi lokal atau distal, mungkin merupakan
penyebabnya.
Gambar 1. Inervasi dura dan pembuluh darah oleh cabang n.trigeminus berakhir di
trigeminocervical complex (TCC) meluas dari batang otak ke kornu dorsalis C1 dan C2.
Berdasarkan hipotesis traksi, perluasan jaringan tumor dan edema di sekitar tumor
menghasilkan iritasi progresif dari jaringan peka nyeri intrakranial. Tergantung ada tidaknya
peningkatan TIK, efek traksi dapat terjadi jauh atau atau dekat dengan lesi, menyebabkan
servikal (misalnya C1 dan C2) mungkin merupakan penyebab nyeri kepala pada
tumor otak, sebagian besar pasien neuroonkologi datang tanpa bukti penekanan saraf
atau jebakan saraf, meskipun ada nyeri kepala. Kompresi saraf jarang dikatakan
sebagai penyebab nyeri kepala akibat tumor otak. Bahkan pada pasien dengan
malformasi Chiari tipe I, kompresi saraf yang terjadi akibat pergeseran ke bawah dari
fossa posterior ke foramen magnum, tidak selalu menyebabkan nyeri kepala. Selain
itu, rasa nyeri kepala pada pasien tumor otak tidak digambarkan sebagai nyeri tajam,
paroksismal, seperti jika saraf aferen sensori teregang atau tertekan, misalnya pada
kasus neuralgia trigeminal. Bila terjadi kompresi saraf servikal, nyeri kepala yang
terjadi mungkin disertai dengan nyeri otot dan adanya titik picu miofasial. Pada
situasi ini, nyeri kepala akan diperberat dengan pergerakan leher dan tekanan
eksternal pada leher atas atau area oksipital pada sisi yang nyeri.
saraf oksipital atau perdarahan intramedula atau area C1 yang luas dapat
dengan nyeri kronis pada leher atas, belakang kepala, dan dibelakang bola mata).
Nyeri yang terlokalisir di belakang kepala hingga belakang bola mata menunjukkan
diketahui dahulu gejala masing-masing dengan pasti. Pada nyeri kepala servikogenik
nyeri yang dimulai dari area oksipital, lalu menyebar secara progresif ke kepala.
Nyeri kepala servikogenik akan diperberat dengan gerakan kepala atau leher dan
3. Sensitisasi perifer
struktur peka nyeri, cabang aferen yang menginervasi pembuluh darah serebri, vena,
dan piamater (merupakan pleksus serabut tidak bermielin yang berasal dari divisi
dan infiltrasi sel imun. Reaksi antidromik fokal ini diketahui sebagai inflamasi
neurogenik, fenomena yang terlibat dalam pelepasan substansia P dan CGRP, yang
nyeri kepala menetap bahkan saat TIK sudah diturunkan. Meskipun inflamasi
neurogenik memainkan peran penting pada terjadinya nyeri kepala idiopatik, belum
jelas benar berapa persen nyeri kepala pada pasien dengan tumor otak disebabkan
oleh respon inflamasi yang berkepanjangan. Hal ini didukung pula dengan adanya
Selama beberapa dekade, dasar neuroscience nyeri kepala pada tumor otak
telah terfokus pada iritasi struktur perikranial yang peka nyeri. Namun akhir-akhir ini,
sensitisasi sentral dari neuron orde dua trigeminovaskuler dan gangguan respon
modulasi dari mesensefalon telah banyak dipelajari dan dianggap mempunyai peran
pentting pada terbentuk dan menetapnya nyeri kepala. Sehingga pada pasien yang
aferen, dan (3) perluasan area reseptif perifer. Mekanisme ini konsisten dengan
terjadinya nyeri kepala berkepanjangan dan refrakter pada pasien dengan lesi primer
berakhir di kornu dorsalis medula spinalis dari nukleus kaudal trigeminal, yang
biasanya sulit dikontrol. Hal ini mendasari pentingnya mendeteksi dan mengatasi
nyeri sedini mungkin. Namun, penting pula untuk mengetahui bahwa peningkatan
eksitabilitas ke input sinaps konvergen juga dapat diakibatkan oleh penurunan inhibisi
lokal segmental. Saat ini telah diketahui bahwa rangsang nosiseptif yang masuk ke
saraf spinal dan trigeminoservikal mengalami modulasi nyeri oleh adanya eferen
inhibisi desenden yang berasal dari nuklei di batang otak, termasuk periaqueductal
gray, lokus coeruleus, dan nukleus raphe magnus. Pada kondisi normal, respon
Adanya disfungsi dari sirkuit modulasi nyeri di batang otak saat ini banyak ditemukan
pada penderita migren dan nyeri kepala tipe tension, menunjukkan kontribusi
patologis pada sistem inhibisi nyeri kepala. Kemungkinan defisit inhibisi batang otak
dan atau hipersensitivitas lokal segmental diakibatkan oleh iritasi lama pada
perikranial sebagai penyebab nyeri kepala refrakter pada pasien neuroonkologi, masih
perlu diuji. Dengan demikian diharapkan dapat menjawab pertanyaan, mengapa pada
pasien tertentu mengalami remisi nyeri kepala akibat tumor otak sedangkan yang lain
tidak.
ajuvan dan atau radioterapi ion. Terapi tambahan ini tidak secara sistematik menyebabkan
nyeri pada pasien neuroonkologi, tetapi ada sejumlah kecil kasus yang mengalaminya.
Sebagai contoh, ensefalopati akut yang dicetuskan radioterapi dapat terjadi dalam 2 minggu
pasca terapi radioterapi dan menyebabkan nyeri kepala akibat edema substansia alba
(sekunder dari kerusakan selubung mielin) serta peningkatan TIK. Terapi dengan
kortikosteroid juga direkomendasikan untuk nyeri kepala pada tumor otak. Namun klinisi
harus berhati-hati untuk menyapih pasien dari terapi kortikosteroid karena penghentian terapi
secara tiba-tiba dapat menyebabkan sindrom withdrawal, sehingga sulit dibedakan apakah
neuroonkologi. Sebagai contoh, temozolomide, salah satu obat yang sering digunakan untuk
terapi glioma maligna, dapat menyebabkan nyeri kepala pada 25% pasien. Plotkin dan Wen
dapat menyebabkan nyeri kepala. Sayangnya proses neurobiologi yang mendasari nyeri
kepala tercetus kemoterapi ini masih belum dipahami betul. Salah satu penjelasan yang
regulasi sitokin dan menyebabkan defisit pada perbaikan neuron, yang semuanya dapat
mengarah pada penurunan fungsi sistem saraf pusat, inflamasi dan peningkatan nyeri.
Hipotesis ini konsisten dengan hasil penelitian bahwa obat kemoterapi terkait dengan
PENDAHULUAN
Kanker merupakan istilah untuk sekelompok penyakit yang bervariasi tipe dan lokasinya. Penyakit ini
disebabkan oleh hilangnya kontrol terhadap kapasitas reproduksi sel. Sel-sel ini tidak membelah sesuai
programnya, namun terus membelah dan bermultiplikasi secara abnormal hingga menimbulkan massa
tumor yang nampak dan terdeteksi. Massa tumor ini dihasilkan oleh proliferasi sel autonom yang
berkelanjutan dan abnormal, akibat perubahan permanen beberapa sel yang ditransmisikan dari
kelompok selnya. 1
Sel-sel kanker mirip dengan sel-sel asalnya dan memiliki struktur DNA dan RNA yang mirip (namun tidak
identik). Inilah alasan mengapa sel-sel ini jarang terdeteksi oleh sistem imun, khususnya jika sistem
imun melemah.1,2
Metastase didefinisikan sebagai stadium dimana sel-sel kanker ditransportasikan melalui aliran darah
atau sistem limfatik. Kanker dapat mengenai segala kelompok umur, namun resiko meningkat sesuai
penambahan umur, terkait kerusakan DNA lebih nampak pada DNA yang menua. Pertumbuhan sel yang
tidak teregulasi pada penyakit ini disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengkode protein yang
mengontrol pembelahan sel. Kebanyakan mutasi bahkan mentransformasi sel normal menjadi sel
maligna.1,2
Mayoritas kanker bersifat sporadik dan mungkin diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Dua puluh persen kanker bersifat herediter. Ini berarti gen abnormal bertanggung jawab terhadap
penurunan penyakit ini dari orang tua terhadap anaknya. Penyebab kanker dan tipe kanker masih belum
diketahui dengan jelas. Belum ada penyebab jelas mengapa seorang terkena kanker dan yang lainnya
tidak. Sel-sel kanker bermultiplikasi sangat cepat dan menjadi maligna. Mutasi gen ini terjadi akibat
beberapa faktor kompleks terkait gaya hidup, herediter, dan lingkungan. Mutasi ini dapat disebabkan
oleh agen khemis atau kimiawi yang disebut karsinogen, oleh pemaparan terhadap zat radioaktif, atau
oleh beberapa virus yang dapat menyelipkan DNAnya ke dalam genom manusia.1,2,3
Terdapat beragam jenis kanker, umumnya dinamakan berdasarkan lokasi atau tipe selnya. Namun gejala
dan tanda-tanda penyakit ini umumnya sama dan dibagi tiga kelompok yaitu :
Tanda-tanda lokal : munculnya penonjolan (tumor) atau pembengkakan, perdarahan, ulserasi dan nyeri.
Penekanan jaringan sekitar oleh massa tumor dapat menimbulkan tanda berupa ikterus.
Tanda-tanda metastasis (penyebaran) : pembesaran kelenjar limfe, batuk dan hemoptisis, hepatomegali,
nyeri tulang, fraktur pada tulang yang mengalami metastase, dan gejala neurologis, serta nyeri.
Tanda-tanda sistemik : penurunan berat badan, penurunan nafsu makan dan kaheksia, keringat
berlebihan (keringat pada malam hari), anemia dan fenomena paraneoplastik spesifik seperti
thrombosis atau perubahan hormonal, serta demam akibat pengaruh penyakit ini terhadap sistem
imun.1,3
Tiga puluh persen pasien datang dengan keluhan nyeri saat mereka didiagnosa kanker, dan 65-85 %
pasien mengalami nyeri seiring dengan berkembangnya penyakit kanker mereka. Diperkirakan sepertiga
pasien dengan kanker mendapat terapi dan tiga perempatnya mengalami nyeri. Nyeri ini sangat
bervariasi dan bersifat individual. Nyeri pada kanker tulang menempati prevalensi tertinggi untuk nyeri
sedang hingga berat dan leukemia dengan prevalensi nyeri sedang berat yang terendah. Kejadian nyeri
meningkat seiring perkembangan penyakit dan bervariasi sesuai tempat primernya. Faktor lain yang
turut berkontribusi yaitu stadium penyakit, adanya metastasis, terlibatnya struktur tulang, terkenanya
struktur saraf oleh tumor, lepasnya mediator-mediator kimiawi oleh sel-sel tumor, dan faktor dari
pasien sendiri seperti cemas dan depresi. 2,4,5
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa penderita kanker mengalami lebih dari satu tipe nyeri.
Pada sebuah survey, 81% pasien dilaporkan mengeluhkan dua atau lebih tipe nyeri dan 34%
melaporkan lebih dari tiga tipe nyeri. Ketakutan pasien akan kanker sehubungan dengan ketakutan
mereka akibat nyeri berat oleh kanker. 69% pasien kanker yang disurvei melaporkan bahwa nyeri berat
akibat kanker membuat mereka ingin bunuh diri dan 57% pasien memprediksikan hidup mereka akan
berakhir dengan sangat nyeri.6
Grafik 1. Prediksi insiden kanker yang diestimasi untuk negara berkembang dan negara industri.
Walaupun insiden antara kedua kategori negara hampir sama pada tahun 1990, insiden pada negara
berkembang makin meningkat dibanding negara industri, dengan prediksi 2 dari 3 pasien kanker baru
pada tahun 2020 muncul dari negara berkembang. (Salminen E, dkk, 2005) 6
Nyeri kanker umumnya diakibatkan oleh infiltrasi sel tumor pada struktur yang sensitif dengan nyeri
seperti tulang, jaringan lunak, serabut saraf, organ dalam, dan pembuluh darah. Nyeri juga dapat
diakibatkan oleh terapi pembedahan, kemoterapi, atau radioterapi. Meskipun penyebab nyeri kanker
dan tipenya bervariasi, mekanisme yang mendasarinya telah dipahami sebagai fenomena neurofisiologik
dan neurofarmakologik yang kompleks.5,6
Dua golongan nyeri kanker dipaparkan sebagai nyeri nosiseptif, terdiri dari nyeri somatik dan nyeri
viseral, dan nyeri neuropatik. Pengetahuan akan tipe nyeri kanker penting dalam penatalaksanaan nyeri
kanker yang adekuat.6
NEUROFISIOLOGI NYERI
Terdapat beberapa reseptor yang sensitif terhadap stimuli noksius. Nosiseptor ini adalah saraf aferen
primer dengan ujung perifernya berespon terhadap berbagai stimuli noksius. Nosiseptor ini memiliki dua
fungsi yaitu transduksi dan transmisi. Beberapa faktor kimiawi, mekanik dan termal dapat mengaktivasi
reseptor, mengakibatkan impuls saraf elektrokimiawi pada aferen primer. Informasi ini selanjutnya
dikodekan dalam frekuensi impuls yang ditransmisi menuju sistem saraf pusat, dimana persepsi nyeri
terjadi. Baik nosiseptor bermielin ataupun tidak bermielin menyampaikan sensasi nyeri ke sistem saraf
pusat. Nosiseptor bermielin berespon terhadap stimuli mekanik secara khusus dan dengan konduksi
yang cepat melalui serabut saraf A-delta, menyebabkan sensasi nyeri tajam. 6,7
Nosiseptor tak bermielin adalah serabut saraf polimodal, berespon terhadap stimuli mekanik, termal
dan kimiawi, dengan penghantaran konduksi yang lebih lambat melalui serabut C dan sifat nyerinya
tumpul dan rasa terbakar. 4,6,7
Infiltrasi dan kompresi tumor dapat menyebabkan aktivasi nosiseptor baik secara mekanik maupun
kimiawi. Telah diketahui berbagai molekul yang digunakan nosiseptor untuk mendeteksi stimuli. Contoh,
reseptor vanilloid (VR1), yang diekspresikan oleh kebanyakan nosiseptor, mendeteksi panas dan asam,
proton ekstrasellular, dan metabolit lipid. Untuk mendeteksi stimuli mekanik, nosiseptor
mengekspresikan pintu saluran mekanik¬ yang mengaktifkan cascade pengiriman sinyal sebagai respon
terhadap regangan yang berlebihan-dan beberapa reseptor purinergik, yang diaktifkan oleh ATP. ATP
dilepaskan oleh sel-sel akibat stimulasi mekanik yang berlebihan. Untuk merasakan stimuli noksius
kimiawi, nosiseptor mengekspresikan reseptor dengan susunan kompleks yang diaktivasi oleh faktor
inflamasi yang dilepaskan oleh jaringan rusak. Faktor inflamasi tersebut antara lain proton, endothelin,
prostaglandin, bradikinin, dan nerve growth factor. Dengan teridentifikasinya reseptor yang
diekspresikan pada permukaan nosiseptor maka meningkatkan pemahaman kita mengenai mengapa
tumor menyebabkan nyeri ketika sel-selnya menginvasi dan menghancurkan jaringan perifer. 4
Gambar 1. Deteksi oleh neuron-neuron sensorik terhadap stimuli noksius yang diproduksi sel tumor.
Nosiseptor (merah) menggunakan beberapa tipe reseptor yang berbeda untuk mendeteksi dan
mentransmisikan sinyal stimuli noksius yang diproduksi oleh sel-sel kanker (kuning) atau sel lain di
sekitarnya. Reseptor vanilloid-1 (VR1) mendeteksi proton ekstrasellular (H+) yang diproduksi oleh sel-sel
kanker, sedangkan reseptor endothelin-A (ETAR) mendeteksi endothelins (ET) yang dilepaskan oleh sel-
sel kanker. Dorsal-root acid-sensing ion channel (DRASIC) mendeteksi stimuli mekanik akibat
pertumbuhan tumor yang secara mekanik meregangkan serabut saraf sensorik. Reseptor lain yang
diekspresikan oleh neuron sensorik antara lain reseptor prostaglandin (EP), yang mendeteksi
prostaglandin E2 (PGE2) yang diproduksi oleh sel kanker dan sel-sel inflamatorik (makrofage). Nerve
growth factor (NGF) yang dilepaskan oleh makrofage terikat pada reseptor tyrosine kinase (TrkA),
sedang ATP ekstrasellular terikat pada reseptor purinergik P2X3. Aktivasi reseptor-reseptor ini
meningkatkan eksitabilitas nosiseptor, diantaranya fosforilasi saluran natrium (Na+ Channel) 1.8
dan/atau 1.9 dan menurunkan ambang yang dibutuhkan untuk eksitasi nosiseptor. 4
Sebagai tambahan terhadap saluran-saluran dan reseptor yang mendeteksi trauma jaringan, neuron
sensorik bersifat sangat “plastic”, yaitu mereka dapat mengubah fenotip mereka sebagai respon
terhadap trauma perifer. Setelah trauma jaringan, banyak nosiseptor yang mengubah pola pengiriman
sinyal peptide dan ekspresi growth-factor mereka. Perubahan fenotip neuron sensorik ini mendasari,
sebagian, sensitisasi perifer, dimana tingkat ambang aktivasi menurun, sehingga stimulus noksius yang
normalnya ringan dianggap sebagai stimulus noksius tinggi (hyperalgesia), atau stimulus non-noksius
dipersepsikan sebagai stimulus noksius (allodynia) Kerusakan jaringan perifer juga mengaktifkan
nosiseptor yang sebelumnya “silent” atau “sleeping”, sehingga menjadi sangat responsif terhadap
stimulus non-noksius atau noksius ringan.4
Hiperalgesia primer terjadi akibat sensitisasi nosiseptor pada jaringan yang trauma. Hiperalgesia
sekunder terjadi akibat perubahan sistem saraf sentral oleh aktivasi nosiseptor dan mungkin oleh
meluasnya daerah hiperalgeia kutaneus disekitar daerah trauma. Sekali teraktivasi, nyeri ditransmisikan
melalui serabut saraf A delta dan C dan memasuki medulla spinalis secara lateral, bersinaps pada kornu
dorsalis superfisial untuk mengaktivasi sistem nosiseptif asceding. 4,6
SENSITISASI SENTRAL6,7
Gambar 2. Sensitisasi sistem saraf pusat terjadi oleh aktivasi cascade neuroimun dalam jaringan, sistem
saraf perifer, atau sistem saraf pusat. 7
Jalur neospinothalamik diproyeksikan pada kompleks thalamik ventrobasilar, dari sana, akson
memproyeksi terhadap korteks somatosensorik pada lobus parietal. Jalur ini memediasi aspek
diskriminatif sensorik akan persepsi nyeri (lokalisasi stimulus dan intensitas nyeri).
Terdapat jalur supresi nyeri endogen yang bermula pada periaqueductal gray (PAG) dari otak tengah dan
turun ke the nukleus raphe magnus (NRM) di medulla. Dari NRM, terdapat proyeksi ke kornu dorsalis
medulla spinalis melalui fasikulus longitudinal dorsalis. Jalur ini memodulasi impuls nosiseptif aferen.
Stimulasi elektrik dari PAG, NRM, atau kornu dorsalis atau injeksi mikro morfin pada daerah ini akan
menghasilkan analgesia tanpa blokade motorik, sensorik atau otonom. Serotonin dan norepinephrine
adalah neurotransmitter yang diduga berada di daerah ini. Senyawa opioid endogen juga terlibat
sebagai modulator pada sistem supresi nyeri. Enkephalin, β-endorphin, dan dynorphin adalah inhibitor
aktivitas nosiseptif yang paling kuat. Ketiga peptide ini adalah turunan dari molekul prekursor : (a) pro-
opiomelanocortin adalah prekursor utama untuk β-endorphin, (b) pro-enkephalin A adalah prekursor
utama untuk met-enkephalin dan leu-enkephalin, dan (c) pro-enkephalin B adalah prekursor utama
dynorphin. Enkephalin terdistribusi pada nucleus spesifik di batang otak dan medulla spinalis. β-
endorphin terdapat pada nukleus arkuata di hipothalamus dan pituitary. Peptida opioid endogenous ini
menyebabkan analgesia melalui perlekatannya dengan reseptor spesifik yang ditemukan dengan
konsentrasi yang tinggi pada korteks, batang otak dan medulla spinalis. β-endorphin melekat pada
reseptor mu, enkephalin pada reseptor delta , dan dynorphin pada reseptor kappa. Morfin dan opioid
yang umum digunakan menyerupai kerja peptide opioid endogenous ini.
Nyeri kanker somatik dapat disebabkan oleh invasi neoplastik pada tulang, sendi, otot dan jaringan
penyambung. Massa tumor menghasilkan dan menstimulasi mediator inflamatorik lokal, yang
menyebabkan stimulasi nosiseptor perifer yang terus berlangsung. Sumber nyeri kanker somatic yang
lain yaitu fraktur tulang, spasme otot sekitar area tumor, nyeri insisi setelah pembedahan, dan sindrom
nyeri akibat radio/kemoterapi. Sindroma nyeri somatik yang paling banyak adalah akibat invasi sel
tumor pada tulang. Nyeri tulang bisa bersifat akut, kronik atau insidentil. Sifatnya terlokalisasi dengan
jelas, intermitten atau konstan dan dideskripsikan sebagai nyeri berdenyut-denyut, tercabik, seperti
digerogoti, menyebabkan reaksi lokal, dan diperberat oleh gerakan atau beban.
Invasi tumor secara langsung pada tulang atau berkembangnya metastese osseus menyebabkan nyeri
persisten. Tidak semua metastase tulang bersifat nyeri, dan nyerinya kadang tidak sebanding dengan
gambaran radiologik. Aferen nosiseptif paling banyak terkonsentrasi di periosteum, sedangkan sumsum
tulang dan korteks kurang sensitif terhadap nyeri. Beberapa mekanisme yang menyebabkan nyeri tulang
neoplastik antara lain teregangnya periosteum akibat ekspansi tumor, mikrofraktur lokal yang
menyebabkan kerusakan tulang, kompresi saraf akibat kolapsnya vertebra atau kerusakan langsung oleh
tumor, serta pelepasan substansi algesik lokal dari sumsum tulang. Nyeri tulang berhubungan dengan
aktivitas osteoklast. Pada tulang yang normal, aktivitas keseluruhan sel-sel tulang yang teresorbsi
(osteoklast) sebanding dengan aktivitas keseluruhan sel-sel yang terbentuk (osteoblast). Pada penyakit
metastatik, terdapat bukti peningkatan aktivitas osteoklast. Baik faktor tumor maupun humoral,
termasuk prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan lokal, dan hormone paratiroid, meningkatkan
aktivitas osteoklastik dan secara lokal menstimulasi nosiseptor. Meski terjadi peningkatan aktivitas
osteoklastik, pembentukan tulang juga meningkat. Dengan peningkatan turnover tulang, proporsi tulang
imatur dan kurang termineralisasi meningkat sehingga kejadian fraktur meningkat. Prostaglandins
mensensitasi nosiseptor dan menyebabkan hiperalgesia dan nyeri dengan terjadinya osteolisis dan
formasi osteoklast. Obat-obat yang menghambat sintesis prostaglandin dan formasi osteoklast dapat
menghambat nyeri dengan menghambat sensitisasi dan petumbuhan tumor. Biphosphonat, analog
pyrophosphat, diketahui menginduksi apoptosis osteoklast, dengan mengganggu sintesis ATP atau
kolesterol, yang penting untuk kelangsungan hidup sel. Biphosphonat memiliki afinitas yang tinggi
terhadap ion kalsium, sebagai mineral target dari matriks tulang. Osteoklast yang telah diterapi dengan
biphosphonat mengalami perubahan morfologik, yaitu selnya mengecil, kromatinnya menyusut,
fragmentasi nukleus, dan kerutan tepi selnya menghilang, semuanya merupakan tanda apoptosis. Efek
anti resorbsi biphosphonat mengakibatkan meluasnya penggunaan bisphosphonat sehingga
meningkatkan analgesia dan penurunan signifikan komplikasi tulang pada pasien dengan nyeri tulang
maligna.
Tumor terdiri dari beberapa tipe sel selain sel kanker, termasuk sel sistem imun seperti makrofag,
netrofil dan sel T. Sel-sel ini mensekresi berbagai faktor yang mensensitasi atau secara langsung
merangsang neuron aferen primer, dan termasuk prostaglandin, tumour necrosis factor-α (TNF-α),
endothelin, interleukin 1 dan 6, epidermal growth factor, transforming growth factor-β, dan platelet-
derived growth factor. Reseptor untuk banyak faktor ini diekspresikan oleh neuron aferen primer.
Meskipun seluruh faktor ini penting dalam terjadinya nyeri kanker, obat-obat dengan target pada
prostaglandin dan endotelin adalah yang tersedia saat ini untuk mengontrol nyeri kanker.
Gambar 3. Hubungan antar sel tumor dan nosisepsi. Selain sel-sel kanker, tumor terdiri dari sel-sel
inflamasi dan pembuluh darah, serta kadang berbatasan dengan nosiseptor aferen primer. Sel-sel
kanker dan sel inflamatorik melepaskan berbagai produk seperti ATP, bradykinin, H+, nerve growth
factor, prostaglandin dan vascular endothelial growth factor (VEGF), yang mengeksitasi atau
mensensitasi nosiseptor. Stimuli nyeri dideteksi oleh nosiseptor , dimana badan selnya terdapat pada
dorsal root ganglion (DRG), dan ditransmisikan ke neuron-neuron pada medulla spinalis. Sinyal
selanjutnya ditransmisikan ke pusat yang lebih tinggi di otak. Sinyal nyeri akibat kanker tampaknya naik
sampai ke otak setidaknya melalui dua jalur medulla spinalis – traktus spinothalamikus dan kolumna
dorsalis. Aktivasi nosiseptor menghasilkan pelepasan neurotransmitter seperti calcitonin gene-related
peptide (CGRP), endothelin, histamin, glutamat dan substansi P. Aktivasi nosiseptor juga menyebabkan
pelepasan prostaglandin dari ujung perifer serabut saraf sensorik, yang menginduksi ekstravasasi
plasma, rekruitmen dan aktivasi sel-sel imun, serta vasodilatasi. (4)
Baik pH intrasellular maupun ekstrasellular tumor padat lebih rendah dari jaringan normal sekitarnya.
Asidosis lokal-yang ditandai oleh akumulasi metabolit asam-adalah ciri trauma jaringan. Ditemukan
bahwa neuron sensorik dapat secara langsung terangsang oleh proton atau asam. Penelitian
memperlihatkan bahwa neuron sensorik mengekspresikan saluran ion berbeda-beda yang mendeteksi
asam. Kelompok utama acid-sensing ion channel ini diekspresikan oleh nosiseptor VR1 dan the acid-
sensing ion channel-3 (ASIC3). Kedua saluran ini disensitasi dan dirangsang oleh penurunan pH. Lebih
spesifik lagi, VR1 teraktivasi ketika pH turun dibawah 6.0, dan pH yang mengaktivasi ASIC3 sangat
bergantung pada ekspresi saluran ASIC pada reseptor yang sama.
Terdapat beberapa mekanisme tumor menyebabkan penurunan pH. Bersamaan invasi sel-sel inflamasi
ke jaringan neoplastik, mereka melepaskan proton yang menimbulkan asidosis lokal. Besarnya jumlah
apoptosis yang terjadi disekitar tumor juga memperbesar asidosis, karena sel-sel apoptosis melepaskan
ion-ion intrasellular yang menyebabkan suasana asam. Penurunan pH ini mengaktivasi pengiriman sinyal
oleh acid-sensing channel yang diekspresikan oleh nosiseptor.
Nyeri viseral bersifat difus dan sulit dilokalisir, dan kadang dialihkan oleh nyeri struktur nonviseral yang
lain, sehingga sumber nyeri sebenarnya sulit dijelaskan. Nyeri viseral kadang disalah artikan sebagai
nyeri kutaneus. Nyeri bahu, dihasilkan oleh iritasi diafragma akibat penyakit pada pleura, adalah contoh
nyeri alih kutaneus dari nyeri viseral. Nyeri viseral kadang disertai refleks otonom seperti mual.
Nyeri viseral dimediasi oleh nosiseptor tersendiri pada sistem kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal,
dan urogenitalia, yang dideskripsikan sebagai nyeri yang dalam, menekan, kolik, dan diteruskan ke
daerah kutaneus yang nyeri. Nyeri alih ini dianggap sehubungan dengan fakta bahwa struktur somatik
dan viseral memiliki innervasi ganda dengan serabut saraf yang umum. Serabut saraf ini bertemu pada
kornu dorsalis medulla spinalis.
Reseptor-reseptor — Penelitian terkini menunjukkan terdapat dua kelas reseptor nosiseptor sensorik
dalam visera. Kelas pertama terdiri dari reseptor “high-threshold” yang berespon terhadap stimuli
noksius mekanik. Reseptor ini diidentifikasi terdapat pada jantung, paru, saluran cerna, ureter dan
kandung kemih. Kelas kedua terdiri dari reseptor “low threshold” terhadap stimuli alami dan
menyandikan intensitas stimulus sesuai yang dilepaskan, sehingga disebut reseptor “intensity-
encoding”.
Kedua tipe reseptor sensitif terhadap stimuli mekanik seperti regangan. Data eksperimen menunjukkan
bahwa organ visera memiliki afferent nosiseptif yang normalnya dianggap “diam”. Dengan adanya
inflamasi lokal atau trauma jaringan, aferen ini menjadi tersensitasi dan berespon terhadap stimuli alami
inokous sebelumnya. Mekanisme sensitivitas yang diinduksi inflamasi ini masih belum diketahui. Aferen
high-threshold menyampaikan nyeri akut visceral. Iskemik lokal, hipoksia, dan inflamasi menyebabkan
nyeri oleh sensitisasi reseptor high-threshold dan sebelumnya reseptor ini “diam” atau reseptor tak
berespon. Mediator inflamasi yang terlepas menurunkan firing threshold-nya dan dengan sensitisasi
perifer, menambah dan membiarkan terus-menerus stimuli noksius.
Jalur — Informasi sensorik visceral diteruskan dari perifer oleh serabut saraf aferen simpatis dan
parasimpatis. Aferen nosiseptif dari toraks dan visera abdomen berjalan melalui serabut saraf eferen
simpatis visceral. Aferen nosiseptif toraks berjalan menuju splanknik thorasik sebelum menyatu bersama
trunkus simpatis paravertebralis dan memasuki kornu dorsalis. Aferen nosiseptif abdominal berjalan ke
pleksus celiac dan splanknik thorasik sebelum memasuki trunkus simpatis dan kornu dorsalis.
Sebaliknya, aferen nosiseptor viseral pelvik menyatu pada saraf splanknik pelvik, yang primernya adalah
serabut eferen parasimpatis. Saat memasuki kornu dorsalis, aferen viseral berakhir pada medulla
spinalis lamina I dan V. Aferen viseral menyusun 10% dari seluruh aferen yang masuk ke medulla
spinalis. Jumlah ini tergolong sedikit mengingat luasnya permukaan area beberapa organ. Meski
demikian, jumlah neuron kornu dorsalis yang berespon terhadap stimuli visceral diperkirakan sekitar
56% hingga 75%, menandakan perbedaan fungsional neuron-neuron ini. Tidak ada neuron yang
berespon hanya terhadap aferen viseral. Penelitian anatomik dan elektrofisiologik memperlihatkan
viserosomatik bertemu pada kornu dorsalis dan pusat supraspinal. Juga terdapat bukti viseroviseral
bertemu pada neuron ordo kedua ini. Contoh, yaitu pertemuan input viseral pelvik seperti
kolon/rectum, kandung kemih, serviks, dan vagina. Lokalisasi nyeri viseral yang kurang mungkin dapat
dijelaskan oleh kepadatan nosiseptor viseral yang rendah, perbedaan fungsional input visceral dengan
sistem saraf pusat, dan pertemuan viseroviseral pada medulla spinalis.
Sebagai tambahan traktus spinothalamik dan spinoretikular, telah diidentifikasi tiga jalur nyeri yang baru
lain pada medulla spinalis, yaitu jalur kolumna dorsalis, jalur spinoparabrachioamygdaloid, dan jalur
spinohypothalamik. Jalur kolumna dorsalis berbeda dengan neuron spinothalamik, dimana jalur ini naik
ipsilateral di dekat midline sebelum berakhir pada nucleus gracilis. Dari sana, serabut arkuata internal
menghantarkan input nosiseptif ke nucleus ventroposterolateral (VPL) di thalamus.
Nyeri Alih — Nyeri alih pada bahu, abdomen, dan tulang belakang sering didapatkan pada pasien
karsinoma pankreas. Pertemuan viserosomatik menjelaskan mengenai nyeri alih ini. Teori convergence-
projection mengemukakan bahwa aktivitas jalur spinal ascending salah menanggapinya sebagai nyeri
struktur somatik karena pengalaman nyeri somatik sebelumnya. Ketika struktur somatik terlibat pada
keganasan viseral, lokalisasi nyeri yang lebih lanjut kemudian terjadi. Hiperalgesia lokal bisa terjadi pada
daerah alih. Ini akibat kombinasi sensitisasi sentral oleh input noksius viseral kontinyu dan mekanisme
algogenik perifer.
Nyeri neuropatik dihasilkan oleh kerusakan atau inflamasi sistem saraf, baik perifer maupun sentral.
Nyeri neuropatik dicirikan oleh nyeri seperti terbakar dengan rasa tertusuk-tusuk yang intermitten,
hiperalgesia dan allodinia. Hubungan antara mekanisme dan gejala klinis agak kompleks. Mekanisme
yang mendasari mungkin berbeda untuk beberapa simptom, sementara beberapa mekanisme bisa
memperlihatkan gejala klinis yang berbeda.
Firing spontan nosiseptor serabut saraf C dan penurunan ambang mekanoreseptor serabut saraf Aβ
terjadi setelah trauma saraf. Setelah trauma saraf, saluran Natrium terakumulasi baik pada daerah yang
trauma maupun sepanjang akson. Saluran natrium ini membentuk fokus hipereksitabilitas yang
menghasilkan pelepasan aksi potensial ektopik pada akson dan badan saraf dari serabut saraf. Aktivitas
simpatis juga berperan dalam mekanisme nyeri spontan. Ekspresi a-adrenoreseptor pada akson yang
trauma maupun tidak trauma dapat terjadi setelah trauma saraf, menyebabkan reseptor ini sensitif
terhadap katekolamin. Trauma saraf dapat menginduksi pertumbuhan akson simpatis disekitar neuron
sensorik pada dorsal root ganglion. Neuron kornu dorsalis berperan sebagai “gate-keepers” terhadap
transmisi nosiseptif, menerima baik input eksitatorik dari neuron sensorik maupun input inhibisi dari
medulla spinalis dan di atasnya. Trauma saraf perifer dapat mengurangi kontrol inhibisi terhadap neuron
kornu dorsalis melalui berbagai mekanisme. Ini bisa terjadi oleh firing spontan dari neuron kornu
dorsalis atau respon yang berlebihan terhadap stimuli noksius. Sensitisasi sentral adalah mekanisme
penting hiperalgesi dan allodinia. Ada dua mekanisme tambahan untuk allodinia. Trauma saraf perifer
menginduksi sprouting ujung sentral serabut saraf Aβ ke lamina II, yang normalnya hanya menerima
informasi nosiseptif dari serabut saraf C. Akibatnya, informasi low-threshold dari serabut saraf besar
aferen Aβ yang normalnya dipersepsikan sebagai sentuhan kemudian mengalami salah interpretasi oleh
sistem saraf sebagai nyeri. Trauma saraf perifer juga bisa menyebabkan ekspresi neuropeptida yang
biasanya terlibat pada nosisepsi seperti substansi P dan calcitonin-gene-related peptida pada serabut
saraf Aβ, fenomena yang disebut phenotypic switch. Selanjutnya, serabut saraf Aβ, saat stimulasi
dengan stimuli low-threshold, akan melepaskan substansi P di kornu dorsalis sehingga menimbulkan
keadaan hipereksitabilitas sentral yang normalnya dihasilkan hanya oleh input nosiseptif.
Dari sekian banyak etiologi neuropatik pada nyeri kanker, nyeri neuropatik akibat kemoterapi khususnya
sangat mengganggu kualitas hidup penderita, dan penggunaan obat sitostatika semakin dikenal
menyebabkan neuropati perifer. Mekanisme agen kemoterapi (seperti paclitaxel dan vinkristin)
menyebabkan neuropati perifer diantaranya karena kemampuan mereka merusak fungsi tubulin.
Polimerisasi tubulin penting untuk transport aksonal dari faktor tropik, dan obat-obat yang terkait
proses ini dapat menyebabkan degenerasi neuron sensorik serta pelepasan sitokin-sitokin pro-
inflamatorik yang secara langsung mensensitasi nosiseptor aferen primer. Palitaxel yang diberikan pada
tikus menyebabkan neuropati perifer yang mirip pada manusia, termasuk hiperalgesia dan allodinia.
Meski tidak ada degenerasi yang terlihat pada dorsal root ganglia atau kornu dorsalis, edema
endoneural juga terlihat pada pemeriksaan dengan mikroskopik elektron pada nervus schiatic. Pada
penelitian neuropati perifer yang diinduksi oleh vinkristin pada tikus, didapatkan hiperalgesia dan
perlambatan penghantaran serabut saraf sensorik. Pada penelitian lain dengan vinkristin, neuron
sensorik berdiameter besar menjadi bengkak, dan neurofilamen pada badan sel saraf dan akson
meningkat jumlahnya, menandakan kerusakan transport aksonal anterograde.(4,10)
Cisplatin (Platinol), ifosfamide (Ifex), paclitaxel, and vinkristin telah diketahui menyebabkan neuropati
perifer. Tambahan, oxaliplatin (Eloxatin) yang diberikan secara parenteral menyebabkan allodinia dingin
yang akut saat pertama kali diinfus. Pasien merasakan nyeri dan kram ketika mengangkat minuman
dingin. Ini mungkin diikuti dengan neuropati persisten, mirip dengan yang diinduksi oleh agen
kemoterapi yang lain. Kebanyakan neuropati yang diinduksi kemoterapi bergantung pada dosis. Pasien
kanker dengan neuropati perifer sebelumnya akibat kondisi lain, yaitu diabetes, penyakit pembuluh
darah iskemik, atau defisiensi nutrisi, beresiko besar menderita neuropati perifer setelah kemoterapi.
Pengobatan dengan ciprofloksasin, ethambutol, gentamisin, isoniazid, metronidazol, fenitoin, dan statin
juga meningkatkan resiko neuropati perifer. (4,6,10)
Nyeri akibat infiltrasi tumor pada tulang. Metastase pada basis tengkorak sering didapatkan pada pasien
tumor nasofaring. Nyeri adalah keluhan awal dan tanda-tanda neurologis dapat muncul dalam beberapa
minggu atau bulan. Sindroma foramen jugular berhubungan dengan nyeri occipital yang diteruskan ke
verteks kepala dan bahu ipsilaterl serta lengan dan diperberat oleh gerakan kepala. Gejala klinis
bervariasi sesuai saraf kranialis yang terlibat antara lain suara serak, disartria, disfagia, kelemahan leher
dan bahu, serta ptosis. Metastse pada klivus ditandai dengan nyeri kepala verteks yang diperberat fleksi
leher. Metastase sinus sphenoid dicirikan oleh nyeri kepala bifrontal dan nyeri retro-orbital intermitten.
Fraktur prosessus odontoid dengan kanker biasanya ditemukan akibat destruksi atlas. Biasanya, pasien
mengeluh nyeri leher berat dan kekakuan tanpa tanda-tanda kompresi epidural. Nyeri biasanya
merambat melalui aspek posterior tengkorak ke verteks dan diperberat dengan gerakan leher,
khususnya fleksi leher. Jika tidak terdiagnosa lebih awal, kerusakan saraf irreversibel dapat terjadi dan
pasien bisa mengalami paraplegia dan quadriplegia.10
Nyeri akibat infiltrasi tumor pada saraf. Nyeri akibat infiltrasi tumor ke saraf, pleksus dan meanings bisa
disebabkan oleh infiltrasi langsung pada saraf, kompresi atau fraktur metastatik struktur tulang ke saraf
atau akar saraf. Saraf perifer sering diinfiltrasi oleh tumor yang mengenai interkostal, paravertebral,
atau rongga retroperitoneal. Didapatkan nyeri terbakar dengan dysthesia pada daerah yang hilang
sensoriknya. Nyeri bersifat radikular dan cenderung unilateral. Sindroma pancoast merupakan contoh
infiltrasi tumor pada pleksus brachial dan sering didapatkan pada pasien kanker payudara, limfoma, dan
kanker paru. Nyeri dirasakan di daerah bahu dan daerah paraspinal. Lima puluh persen pasien dengan
sindroma Pancoast mengalami kompresi epidural dalam perkembangan penyakitnya. Pleksopati
lumbosakral akibat tumor pelvik menyebabkan kelemahan tungkai dan penurunan mobilitas.10
Tabel 1. Penyebab umum nyeri pada pasien dengan kanker (6,10)
Dalam menangani pasien nyeri dengan kanker, perlu diidentifikasi sifat nyeri (somatik, viseral,
neuropatik). Telah diketahui bahwa pendekatan farmakologik merupakan terapi utama, namun harus
diketahui pula pentingnya pendekatan psikologik, tingkah laku, anestetik, dan pembedahan pada pasien
kanker.
Prinsip strategi terapi pada pasien kanker harus meliputi : (a) pemeriksaan yang detail mengenai nyeri
pasien, (b) pendekatan terapi sesuai individu, (c) jaminan mengenai tersedianya tenaga ahli yang
mendukung terapi pasien, (d) penilaian kontinyu derajat perbaikan nyeri dan efeknya terhadap mood,
status fungsional, penerimaan pasien dan keluarga, serta kualitas hidup keseluruhan pasien, (e) memilih
pendekatan terapi yang paling mudah sebelum terapi yang lebih kompleks dan teknik yang lebih lanjut,
(f) komunikasi antara dokter dan pasien dalam menentukan pilihan terapi serta mempertimbangkan
manfaat dan kerugian terapi, (g) menentukan tujuan penatalaksanaan nyeri pada pasien paliatif.
1. Onset
2. Lokasi
3. Deskripsi
4. Intensitas
Pada skala 0-10, dimana 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah paling nyeri, anda berada pada skala berapa
sekarang? Bagaimana skala nyerinya pada saat anda rasakan paling berat? Bagaimana skala nyerinya
saat anda merasa paling baik?
Apa terapi yang sebelumnya anda dapatkan untuk menyembuhkan nyeri ini?
7. Efek
B. Penilaian Psikososial 11
Efek dan pemahaman mengenai diagnosis kanker dan terapi kepada pasien.
Pemahaman, keingintahuan, pilihan dan harapan pasien mengenai metode terapi nyeri kankernya.
Perhatian pasien mengenai obat-obat yang dibawah pengawasan seperti opioid, anti anxietas, atau
stimulant.
Memeriksa daerah yang nyeri dan mengevaluasi bentuk nyeri alih yang umum.
Nyeri belakang dan leher –fungsi motorik dan sensorik ekstremitas; fungsi spinkter rektum dan saluran
urogenitalis.
D. Evaluasi diagnostik 11
Evaluasi rekurensi atau progresi penyakit atau trauma jaringan akibat terapi kanker.
Melakukan pemeriksaan radiologik yang sesuai dan melihat korelasi normal atau tidak normal dari
temuan pemeriksaan fisik dan neurologik. Mengetahui keterbatasan pemeriksaan diagnostik.
Bone scan – negatif palsu pada myeloma, lymphoma, daerah yang telah mendapat radioterapi
sebelumnya.
CT scan – gambaran yang jelas pada tulang dan jaringan lunak namun sulit untuk menggambarkan
keseluruhan tulang belakang.
MRI scan – gambaran tulang tidak sebaik CT; namun untuk tulang belakang dan otak lebih bagus.
Strategi terapi yang baik membangun kepercayaan antara pasien dan dokter. Pada pemeriksaan awal,
status psikologik pasien harus dievaluasi, antara lain sejarah psikiatrik pasien, tingkat kecemasan atau
depresi saat ini, adanya ide bunuh diri, atau derajat kapasitas fungsional. Gejala psikiatrik merupakan
tanda nyeri tak terkontrol. Nyeri tak terkontrol adalah faktor utama pasien kanker ingin bunuh diri. 6
Penggunaan beberapa skala seperti Brief Pain Inventory, McGill Pain Questionnaire, Memorial Pain
Assessment Card (MPAC), dan Memorial Symptom Assessment Scale (MSAS) memungkinkan penilaian
nyeri dan mood yang berulang dan valid serta memberikan fasilitas kepada tenaga kesehatan dalam
menilai derajat nyeri psikis tekanan emosional pada pasien. 6
Mengendalikan nyeri kanker penting karena nyeri yang tak teratasi menyebabkan penderitaan karena
nyeri membatasi aktivitas, selera makan, dan tidur, selanjutnya membuat pasien lemah dan tidak
berdaya. Efek psikologisnya sangat menghancurkan karena menghilangkan semangat dan harapan hidup
pasien. Kerugian biaya nyeri kanker sangat tinggi akibat penderitaan pasien, keterbatasan aktivitas dan
penurunan kualitas hidup. Penatalaksanaan nyeri kanker merekomendasikan pendekatan farmakologik
dan nonfarmakologik secara agresif pada pasien ini.6,9
Pada tahun 1986, Badan Kesehatan Sedunia (WHO) mengembangkan model konseptual 3-langkah untuk
memandu penatalaksanaan nyeri. Model ini memberikan pendekatan yang telah teruji dan sederhana
untuk seleksi yang rasional dalam pemberian dan titrasi analgesik. Saat ini, terdapat konsensus yang
menyeluruh mengenai penggunaan terapi medis dengan model ini untuk seluruh nyeri.
Bergantung pada beratnya nyeri, pemberian terapi dimulai sesuai tingkatan nyeri. Untuk nyeri ringan
(sesuai skala analog numerik 1-3/10) dimulai pada langkah 1. Untuk nyeri sedang (4-6/10), dimulai pada
langkah ke-2. Hal ini dicirikan oleh nyeri yang mempengaruhi konsentrasi dan waktu tidur. Untuk nyeri
berat, berupa nyeri yang mempengaruhi seluruh aspek dari kehidupan, termasuk fungsi sosial (7-10/10),
dimulai pada langkah ke-3. Tidak perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap, pasien dengan
nyeri berat mungkin bisa langsung mendapat terapi opioid langkah ke-3 segera mungkin.
Penanganan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai farmakologi, akibat yang
mungkin ditimbulkan, dan efek yang tidak diinginkan sehubungan dengan analgesik yang diberikan, dan
bagaimana efek ini berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
Lima konsep penting dari pendekatan WHO untuk terapi obat pada pasien nyeri kanker :
By the mouth.
By the clock.
By the ladder.
Analgesik pada langkah ke 1 memiliki “ceiling effect” terhadap efek analgesia mereka (dosis maksimum
yang terlampaui menyebabkan hilangnya efek analgesia yang diharapkan).
Asetaminofen. Asetaminofen adalah analgesik langkah ke-1 yang efektif. Asetaminofen juga analgesik
tambahan yang sangat berguna pada berbagai keadaan, termasuk sakit kepala. Asetaminofen
merupakan analgesik dan antipiretik poten namun tidak memiliki sifat anti inflamasi yang signifikan.
Tempat dan mekanisme kerjanya masih belum jelas namun dianggap memiliki efek sentral. Dosis kronik
> 4.0 g/24 jam atau dosis akut 6.0 g/24 jam tidak direkomendasikan sebab bersifat hepatotoksik.
Penyakit hepar atau pengguna alkohol berat meningkatkan resiko lebih lanjut. 12
Flower dan Vane pertama mempostulasikan bahwa parasetamol memiliki mekanisme kerja sentral.
Besarnya sensitivitas sel-sel yang mengandung COX-3 terhadap parasetamol dianggap sebagai indikasi
bahwa target kerja parasetamol adalah pada COX-3. COX-3 pada manusia terdiri dari 633 asam amino.
Cyclooxygenase-3 (COX-3) adalah varian COX-1 . Ekspresi mRNA COX-3 didapatkan terutama pada
hypothalamus, pituitary, dan pleksus koroid, tempat yang merupakan target kerja parasetamol.
Parasetamol memiliki efek dominan pada sistem saraf pusat karena kadar peroksida dan asam
arakhidonik pada otak lebih rendah dibanding pada daerah perifer yang mengalami inflamasi.14
Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid. Obat-obat anti-inflamasi non steroid (AINS, termasuk aspirin)
adalah analgesik langkah ke-1 yang efektif. Obat-obat AINS bekerja, pada suatu bagian menghambat
siklo-oksigenase, enzim yang mengubah asam arakhidonik menjadi prostaglandin. Prostaglandin adalah
lipid pro-inflamatorik yang terbentuk dari asam arakhidonik oleh kerja enzim cyclooxygenase (COX) dan
produk sintetase akhir lain. Prostaglandin terlibat pada sensitisasi dan/atau eksitasi langsung nosiseptor
dengan melekat pada beberapa reseptor prostanoid yang diekspresikan oleh nosiseptor. Dua bentuk
COX terlibat pada sintesis prostaglandin,yaitu COX 1 yang diekspresikan oleh kebanyakan jaringan, dan
COX 2 yang diekspresikan hanya pada kondisi inflamasi. Sel-sel kanker dan makrofage akibat tumor
memperlihatkan level COX 2 yang tinggi, menyebabkan produksi prostaglandin yang tinggi pula.4,
Masalah pada penggunaan inhibitor COX 1 dan COX 2 pada terapi nyeri kanker yaitu bahwa COX 1
menjaga mukosa normal gaster dan dengan menginhibisinya (misal: aspirin dan ibuprofen yang
menginhibisi keduanya) menyebabkan perdarahan dan ulkus. Inhibitor selektif COX 2 sebaliknya, tidak
menyebabkan komplikasi GI. COX 2 berkaitan dengan angiogenesis dan pertumbuhan tumor, sehingga
penggunaan inhibitor COX 2 dalam nyeri kanker bisa memperlambat progresi kanker. Sifat antagonis
COX 2 tampaknya menjanjikan dalam mengurangi nyeri kanker, meski penelitian lebih lanjut dibutuhkan
dalam melihat kerja COX 2 pada berbagai macam kanker. Namun, penelitian terkini mengatakan bahwa
efek protrombotik yang dimiliki inhibitor COX2 bisa meningkatkan resiko MI, stroke, dan klaudikasio
pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Tampaknya efek ini berhubungan dengan lama
penggunaan dan dosis yang diberikan. 4,9,12,13
Dengan inhibisi cyclooxigenase, gastropati, gagal ginjal, dan penghambatan agregasi platelet dapat
terjadi, tidak tergantung rute pemberiannya, dengan medikasi nonselektif apapun. Meski demikian,
beberapa obat seperti ibuprofen, nabometon, dan yang lain-lain tampaknya relatif lebih aman. Obat
sitoproteksi gaster seperti misoprostol atau PPI mungkin perlu pada pasien dengan faktor resiko riwayat
perdarahan atau ulkus pada gaster, mual/muntah, habisnya protein tubuh, kaheksia, dan untuk pasien
usia tua. Untuk meminimalkan resiko gagal ginjal, termasuk nekrosis papiler, pastikan hidrasi yang
adekuat dan produksi urine yang cukup pada pasien dengan obat AINS. Medikasi nonselektif adalah
kontraindikasi relatif pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Jika ada masalah perdarahan, atau fungsi
koagulasi atau platelet terganggu maka obat AINS menjadi kontraindikasi. Inhibitor selektif COX-2 yang
baru mengurangi toksisitas ini dan mungkin diindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi. 12,15,16
Dosis oral rutin-sediaan opioid lepas-segera. Jika opioid oral lepas-segera dipilih dan nyeri masih terus
berlangsung, atau hampir tiap saat, beri sediaan obat q 4 h. Kontrol nyeri terbaik mungkin tercapai
dengan tercapainya dosis yang memadai dalam sehari (dengan tercapainya “steady state”). Memberikan
sediaan pada pasien dengan dosis-dosis terbagi yang sama dapat digunakan ketika terjadi
“breakthrough pain” (rescue dose). Jika nyeri masih tidak dapat terkontrol dalam 24 jam, tingkatkan
dosis mulai 25% hingga 50% untuk nyeri ringan hingga sedang, mulai 50% hingga 100% untuk nyeri
berat sampai nyeri tak terkontrol, atau sejumlah dengan dosis total “rescue medication” yang
digunakan dalam 24 jam sebelumnya. Jangan menunggu lama. Penundaan justru memperlama derita
nyeri pasien. Jika nyeri menjadi berat dan tak terkontrol setelah 1 atau 2 dosis (seperti pada “crescendo
pain”), tingkatkan dosis lebih cepat. Observasi ketat pasien hingga nyeri menjadi lebih terkontrol.
12,17,18
Untuk pasien yang relatif pertama dengan opioid dan nyeri signifikan, mulailah dosis 10 hingga 30 mg
dengan tablet atau cairan konsentrasi morfin oral lepas-segera q 4 h, atau
Untuk pasien dengan pemaparan opioid yang signifikan sebelumnya, hitunglah dosis awal untuk opioid
lepas-segera dengan tabel analgesik lain yang sepadan (untuk memulai opioid baru , kita harus
megulang kembali dosis ini seperlunya) dengan dosis q 4 h, atau
Untuk pasien dengan nyeri yang stabil dan tidak berat, mulailah dengan morfin oral “extended release”
pada dosis 15 atau 30 mg dua kali sehari atau 30 hingga 60 mg sekali dalam sehari (berdasarkan
formulasi). Selanjutnya, jelaskan mengenai “breakthrough” atau “rescue dose” yaitu 10% (5-15%) dari
dosis total tiap 24 jam dan dapat digunakan q 1 h po prn. Pada pasien rawat jalan, mintalah pada pasien
dan keluarganya untuk mencatat obat-obatan yang mereka dapatkan dalam sebuah catatan harian.
12,16
Dosis oral rutin : Sediaan opioid “extended-release” dan sediaan dengan waktu-paruh yang panjang.
Sebagian kecil pemberian dosis formulasi opioid “extended” atau “sustained-release” dengan waktu
paruh yang panjang (seperti ms contin, t1/2 >>12-24 jam, kadang lebih lama) tampaknya meningkatkan
keinginan dan ketergantungan pasien. Tablet opioid “extended” atau “sustained-release” diformulasikan
khusus dengan kontrol waktu per 8, 12, atau 24 jam (berdasarkan produk). Mereka harus diminum
seluruhnya, tidak dihancurkan atau dikunyah. Kapsul “extended-release” mengandung butir-butir yang
dilepaskan sesuai waktu dan ditelan seluruhnya, atau butiran tersebut dapat dicampur dengan air atau
dimasukkan dalam sonde selang lain menuju traktus GI. Kontrol nyeri yang paling baik jika dosis telah
tercapai dalam 2 hingga 4 hari (ketika “steady state” telah tercapai). Dosis “extended-release” sebaiknya
tidak diubah lebih dari sekali dalam 2-4 hari. (6,12,16) Metadon memiliki waktu-paruh yang panjang dan
bervariasi. Meski waktu paruhnya biasa mendekati sehari atau lebih lama, interval dosis yang efektif
untuk analgesia biasanya dengan frekuensi q 8 h; kadang q 6 h, bahkan sampai q 4 h. Keanekaragaman
waktu-paruh dan potensi yang tidak diharapkan kadang didapatkan dengan obat ini, maka perlu untuk
meningkatkan dosis hanya tiap 4 hingga 7 hari atau sedikit lebih sering.12,18
Mengubah menjadi sediaan “extended-release” : Morfin. Untuk mengubah menjadi sediaan “extended-
release”, hitung dosis morfin total yang dibutuhkan untuk mencapai kenyamanan pasien dalam periode
24 jam. Juga dapat dibagi 2 untuk mendapat morfin “extended release” dosis per 12 jam secara rutin,
atau memberi dosis total satu kali dalam sehari (tergantung produknya). Selalu berikan berikan
“breakthrough dose” lepas-segera dalam bentuk tablet atau cairan terkonsentrasi. Berikan 10 % (5-15
%) dari dosis 24 jam q 1 h po prn. Monitor dengan ketat dan titrasi sesuai kebutuhan.12,13,17
“Breakthrough pain”. Bahkan ketika nyeri kronik terkontrol baik dengan opioid kerja panjang,
breakthrough pain dapat terjadi, dnegan episode yang cepat, dalam 3-5 menit, atau lebih lama.
Ketidaknyamanan bisa berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam. Umumnya pasien
menggambarkan breakthrough pain dalam skala intensitas 4/10 atau lebih. Nyeri tipe ini bisa terjadi
beberapa kali sehari. Tipenya antara lain:
Nyeri insiden, disebabkan oleh aktivitas. Misal pada fokus di panggul, pasien nyaman saat duduk namun
nyeri saat bangkit dari duduk.
Nyeri spontan, terjadi tanpa alasan jelas. Nyeri singkat ini terjadi tiba-tiba, bahkan saat pasien tidak
melakukan apapun.
End-of-dose failure, terjadi ketika efek obat kerja lama habis sebelum dosis selanjutnya. Contoh, pasien
mendapat sediaan per-12 jam, mulai jam 8 pagi, namun mulai jam 4 sore pasien merasa nyeri. Artinya,
obat yang diberikan seharusnya sediaan per-8 jam atau dosis rescue diantaranya.12,13,15
“Breakthrough doses”. Nyeri berat yang muncul sesaat, disebut “breakthrough pain” dapat terjadi baik
pada saat istirahat dan bergerak. Ketika nyeri tersebut berlangsung lebih dari beberapa menit,
dibutuhkan analgesik ekstra, yaitu “breakthrough” atau “rescue doses”, yang akan memberi tambahan
terapi. Untuk lebih efektifnya dan meminimalkan efek yang tidak diinginkan, gunakan sediaan opioid
lepas-segera yang sama dan digunakan dengan dosis rutin. Ketika metadon atau fentanil transdermal
dipakai, sebaiknya digunakan pilihan opioid kerja singkat, seperti morfin atau hidromorfon sebagai
“rescue dose”. Untuk setiap “breakthrough dose”, berikan 10 % (5-15 %) dari dosis 24 jam. Ketika efek
analgesik puncak berkorelasi dengan konsentrasi plasma puncak (Cmax), “breakthrough doses” dapat
diberikan saat Cmax telah tercapai. Sebagai catatan, kodein, hidrokodon, morfin, oksikodon, dan
hidromorfin memiliki kemiripan. Ekstra “breakthrough dose” dapat diberikan satu kali tiap 1 jam dengan
pemberian oral, sedikit dikurangi pada pasien lemah atau orang tua (setiap 2 jam), setiap 30 menit jika
diberikan subkutan atau intramuscular, dan setiap 10-15 menit jika diberikan melalui intravena. Interval
yang lama antara “breakthrough doses” hanya memperlama derita nyeri pasien. (12,15,16,17)
Jika pasien membutuhkan lebih dari 2 hingga 4 “breakthrough doses” dalam waktu 24 jam dari
pemberian rutin, pertimbangkan untuk meningkatkan dosis sediaan “extended release”.
Tentukan jumlah total morfin yang digunakan (rutin + breakthrough) dan berikan dari total jumlah
dalam dosis terbagi q 12 h atau q 24 h (berdasarkan produknya).
Hitung ulang “breakthrough dose” sehingga dosis tersebut selalu 10 % dari dosis total dan berikan q 1 h
po.
Pada pasien dengan kanker, alasan paling utama untuk meningkatkan dosis adalah patologi yang makin
memburuk, bukan karena toleransi farmakologik.
Perhatian terhadap klirens. Opioid dan metabolitnya diekskresi secara primer melalui ginjal (90 %- 95
%). Morfin memiliki 2 metabolit utama : morfin-3-glukoronide dan morfin-6-glukoronide. Sebagai
akibatnya, ketika dehidrasi atau gagal ginjal akut dan kronik merusak klirens ginjal, interval dosis untuk
morfin harus ditingkatkan, atau jumlah dosis dikurangi, untuk mencegah akumulasi berlebihan dari obat
yang aktif. Jika produksi urine minimal (oligouria) atau tidak ada (anuria), hentikan dosis rutin dan
berikan morfin hanya sesuai kebutuhan. Hal ini paling sangat penting ketika pasien sekarat. Hal ini tidak
menjadi sepenting pada pemberian opioid lain seperti hidromorfon atau fentanil. Metabolisme opioid
tidak terlalu sensitive terhadap hepar. Namun demikian, jika fungsi hepar memburuk, tingkatkan
interval dosis atau turunkan dosis.6,15,16,18
Tidak direkomendasikan. Tidak semua analgesik yang ada sekarang direkomendasikan untuk dosis akut
atau kronik. Meperidin sangat sedikit diabsorbsi melalui oral dan memiliki waktu paruh sekitar 3 jam.
Metabolit utamanya, normoperidin, tidak memiliki sifat analgetik, dengan waktu paruh sekitar 6 jam,
diekskresi di renal, dan memberi efek yang tidak diinginkan jika terakumulasi (rasa bergetar, disforia,
mioklonus, dan kejang). Dosis rutin meperidin q 3 h untuk analgesia mengakibatkan akumulasi tak dapat
dicegah dan memberi resiko munculnya efek yang tidak diinginkan pada pasien, khususnya jika klirens
ginjal terganggu. Oleh karena itu, meperidin tidak direkomendasikan untuk dosis rutin. Propoxyphene
khususnya diberikan pada dosis tertentu untuk menghasilkan sedikit analgesia. Peningkatan dosis dapat
menyebabkan akumulasi metabolit toksik. Campuran agonis dan antagonis opioid, seperti pentazocine,
butorphanol, nalbuphine, dezocine, sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang baru saja mendapat
agonis opioid murni (kodein, hidrokodon, hidromotfon, metadon, morfin, oksikodon). Jika digunakan
bersama-sama, kompetisi pada reseptor opioid dapat menyebabkan reaksi withdrawal. Lebih jauh lagi,
agonist-antagonist tidak direkomendasikan sebagai analgesik rutin, karena dosis mereka dibatasi oleh
ceiling effect. Penggunaan pentazocine dan butorphanol berhubungan dengan resiko tinggi relatif
psikotomimetik. 12,13,15,18
Persepsi bahwa pemberian analgesik opioid untuk penanganan nyeri menyebabkan adiksi adalah sebuah
mitos tidak sesuai yang menghambat kontrol nyeri yang adekuat. Kebingungan mengenai perbedaan
antara adiksi, toleransi dan ketergantungan fisik adalah adalah hal yang bertanggung jawab terhadap
persepsi ini. 19,20
Adiksi , adalah istilah yang saat ini digunakan, merupakan fenomena yang kompleks. Ini ditandai oleh
ketergantungan psikologik terhadap obat-obat dan kumpulan tingkah laku yang diakibatkan Penggunaan
obat berulang dan terus-menerus, meski diketahui menimbulkan bahaya. Perhatian harus diberikan
untuk membedakan adiksi yang sebenarnya (gangguan penggunaan obat-obatan) dari pemakaian obat
dengan tujuan kriminal, disfungsi psikologik/keluarga/tingkah laku, dan pseudoadiksi.19,20
Pseudoadiksi, adalah tingkah laku pasien serupa dengan tingkah laku adiktif (mengumpulkan obat-obat,
mencari resep-resep dari berbagai dokter, selalu meminta pengobatan yang berulang-ulang) namun
akibat penanganan nyeri yang kurang memadai. Tingkah laku ini hilang dengan penanganan yang
sesuai. 12,19,20
Toleransi farmakologik, adalah berkurangnya keefektifan dosis obat yang diberikan dari waktu ke waktu.
Toleransi terhadap efek samping diobservasi lebih sering dan lebih disukai. Toleransi terhadap analgesia
agak jarang secara klinis ketika opioid digunakan secara rutin. Dosis-dosis mungkin stabil untuk waktu
yang lama jika stimulus nyeri tidak berubah. Jika dibutuhkan peningkatan dosis, lebih dicurigai terjadinya
perburukan pennyakit dibanding toleransi farmakologik.12,19,20
Ketergantungan fisik, adalah akibat dari perubahan neurofisiologik yang terjadi oleh adanya opioid
eksogen. Outcome yang hampir sama terjadi akibat adanya hormone eksogen dan obat-obat lain (beta-
bloker, agonist α-2,dll). Withdrawal opioid yang sangat cepat dapat terjadi dengan munculnya kumpulan
gejala berupa takikardi, hipertensi, diaphoresis, piloereksi, mual dan muntah, diare, sakit-sakit badan,
nyeri perut, psikosis, dan/atau halusinasi. Ketergantungan fisik tidak sama dengan adiksi.
Ketergantungan fisik bukan bagian dari adiksi. Terjadinya hal ini bukan berarti opioid tidak dapat
dihentikan. Jika stimulus nyeri menurun atau berhenti, dosis opioid biasanya dapat diturunkan sebanyak
50 % atau lebih dalam 2 hingga 3 hari, dan akhirnya dihentikan. Jika dosis diturunkan terlalu cepat dan
kumpulan gejala pantangan muncul, perlu diberikan opioid untuk sementara, penanganan dengan
klonidin, atau dosis kecil benzodiazepine (seperti lorazepam) untuk meredakan gejala. (12,19,20) Untuk
menangani nyeri lebih efektif, dokter perlu memberi penjelasan pada pasien, keluarga, dan pihak lain
mengenai tidak perlu takut akan adiksi. Opioid sendiri tidak menyebabkan ketergantungan psikologik.
Adiksi adalah akibat yang sangat jarang dari penanganan nyeri jika tidak ada riwayat penyalahgunaan
obat. Karena pasien dengan riwayat penyalahgunaan obat juga dapat mengalami nyeri, mereka berhak
mendapatkan terapi nyeri yang sesuai ketika terjadi nyeri. Kebanyakan pasien memerlukan pengawasan
ketat terhadap protokol dosis dan persetujuan sangatlah penting. Dokter yang tidak terbiasa dengan
situasi ini mungkin membutuhkan pertolongan dari dokter ahli penanganan nyeri dan/atau penanganan
adiksi.(12,19,20,21)
Nyeri kurang responsif terhadap opioid. Jika pemberian dosis secara bertahap memberikan efek yang
tidak diinginkan, pertimbangkan salah satu dari pilihan berikut ini. Efek samping dari suatu terapi,
seperti psikostimulan, dapat membantu sedasi. Rute pemberian yang lain atau opioid golongan lain
mungkin efektif, tanpa beberapa efek samping. Analgesik adjuvant dapat membantu meringankan
kebutuhan opioid. Selalu pertimbangkan pendekatan nonfarmakologik.12,13
Pemeriksaan yang sedang berlangsung. Jika kontrol nyeri tidak adekuat, dosis analgesik sebaiknya
ditingkatkan hingga tercapai pemulihan nyeri. Sebaliknya dengan asetaminofen dan obat AINS, tidak ada
dosis maksimum untuk agonis opioid murni. Jika efek yang tidak diinginkan tak dapat ditoleransi,
analgesik alternatif atau rute pemberian mungkin lebih efektif dalam mengontrol nyeri tanpa
menghasilkan efek kebalikan yang sama. Beberapa pasien juga akan mengalami nyeri spontan yang
kurang atau perubahan pada penyakit yang mendasarinya. Jika pasien mendapatkan kontrol nyeri yang
baik pada dosis opioid yang stabil, dan tidak mengalami efek samping yang tidak diinginkan (khususnya
mengantuk), maka pasien aman untuk mengendarai mobil. 12,13,21
Pada umumnya, rute melalui mulut paling kurang invasif dan paling nyaman dalam pemberian opioid
rutin. Meski demikian, beberapa pasien tertentu mendapatkan keuntungan dari rute lain jika pemberian
melalui oral tidak memungkinkan (akibat muntah, disfagia, obstruksi esofagus) atau akibat efek samping
yang tidak diinginkan (mual, pusing, dan bingung). 6,12,16,21
Pipa makanan enteral merupakan pilihan lain dalam memotong rute obstruksi gastroesofageal. Pipa ini
menghantarkan obat-obat menuju lambung hingga saluran cerna bagian atas dimana obat-obatan
memiliki farmakologi yang sama jika mereka diminum melalui mulut.
Pemberian transmukosal (mukosa buccal) dengan sediaan cairan lepas-segera yang lebih
terkonsentrasi, merupakan alternatif yang hampir sama dengan yang di atas, khususnya pada pasien
yang tidak dapat menelan. Rute ini khususnya efektif pada pasien yang sekarat. Pemberian sediaan
rektal lepas-segera atau lepas-lambat melalui rektal memilki farmakologik yang mnyerupai sediaan oral.
Tempelan transdermal merupakan rute alternatif dalam pemberian opioid untuk pasien yang
mendapatkan dosis opioid rutin yang stabil. Saat ini hanya sediaan fentanyl yang diproduksi, sediaan ini
agak berbeda dengan formula lepas-terbatas yang lain. Steady-state equilibrium tercapai selama
medikasi dengan tempelan, mengambil tempat pada subdermal, dan memasuki sirkulasi pasien. Rata-
rata, kontrol nyeri yang terbaik dicapai dalam 1 interval dosis (misal, 3 hari) dengan efek puncak sekitar
24 jam. Efeknya biasa berlangsung selama 48 hingga 72 jam sebelum tempelan ini perlu diganti.
Perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa tempelan ini melekat dengan kulit pasien (hindari
daerah yang berambut) dan jangan dilepas saat mandi atau berkeringat.
Pemberian parenteral dengan suntikan atau infus dapat lebih bermanfaat pada pasien tertentu. Jika
fungsi ginjal normal, berikan dosis bolus tiap 3 jam dan sesuaikan dosisnya tiap 12 hingga 24 jam ketika
steady state tercapai. Dosis steady state sama efektifnya pada pemberian subkutaneus, intravena, dan
intramuskular. Meski demikian, pada pasien tertentu yang naif terhadap opioid, pemberian intravena
secara bermakna menyebabkan depresi napas yang berlebihan dibanding pemberian dosis melalui IM
atau SK. Hal ini sebagian disebabkan oleh karena dosis IM/SK memiliki puncak konsentrasi yang lebih
rendah dan mencapai konsentrasi maksimalnya lebih lambat dan memungkinkan terbentuknya karbon
dioksida sebagai umpan balik depresi pernapasan. Jika rute prenteral digunakan untuk beberapa waktu,
pemberian infus kontinyu akan menghasilkan kadar dalam plasma yang lebih konstan, menurunkan
resiko efek samping, lebih dapat ditoleransi oleh pasien, dan membutuhkan inetrvensi lebih sedikit dari
staf profesional. Patient-controlled analgesia (PCA) telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi baik oleh
pasien. Sementara infus intravena mungkin lebih dipilih jika jalur intravena telah terpasang dan
digunakan untuk obat yang lain, seluruh opioid untuk pemberian parenteral dapat diberikan melalui
subkutan tanpa menyebabkan ketidaknyamanan sehubungan dengan pencarian tempat IV atau resiko
yang sama akan infeksi serius. Baik jarum ukuran 25 atau 27 dapat diberikan baik dengan dosis bolus
maupun infus. Jarum dapat tetap ditempat insersinya selama 7 hari atau lebih selama tidak terdapat
tanda infeksi atau iritasi lokal. Anggota keluarga dapat diajarkan cara menggantinya.
Injeksi intramuskular tidak direkomendasikan. Dosis subkutaneus sedikit lebih kurang nyeri dan sama
efektifnya. Opioid intraspinal, epidural atau intratekal mungkin lebih bermanfaat pada pasien tertentu
yang mengalami nyeri pada bagian bawah tubuh, atau nyeri yang tidak berespon baik terhadap terapi
opioid sistemik rutin.12,18
Efek pemberian bolus. Ketika dosis total opioid berubah dalam aliran darah, beberapa pasien mengalami
kantuk setengah hingga 1 jam setelah meminum obat dimana kadar puncak plasma diikuti oleh nyeri
hanya sesaat sebelum dosis selanjutnya adalah akibat kadar plasama yang turun. Sindrom ini dikenal
sebagai ”efek bolus”, hanya dapat diatasi dengan mengganti formula lepas–lambat (oral, rektal atau
transdermal) atau infus parenteral kontinyu untuk menurunkan perubahan yang sangat drastis dalam
konsentrasi plasma setelah tiap dosis. 12
Mengubah rute pemberian. Ketika mengubah rute pemberian obat, tabel equianalgesik merupakan
pedoman yang bermanfaat dalam menentukan dosis inisial. Metabolisme tahap pertama membutuhkan
dosis oral yang lebih besar atau dosis rektal untuk menghasilkan analgesia yang setara dengan dosis
parenteral akan opioid yang sama. Rekomendasi dosis equivalen menghadirkan kesepakatan yang
didapatkan dari beberapa kejadian yang terbatas jumlahnya, sehingga tabel-tabel ini hanya merupakan
pedoman, dan tiap pasien mungkin membutuhkan dosis yang perlu disesuaikan.12,13,16
Toleransi - Silang Opioid. Sementara toleransi farmakologik dapat berkembang dalam penggunaan
opioid, toleransi mungkin tidak ditandai terhadap opioid lain. Toleransi-silang inkomplit tampaknya
berhubungan dengan perbedaan dalam struktur molekular tiap opiod yang sulit dijelaskan dan cara
masing-masing opioid berinteraksi dengan reseptor opioid pasien. Sebagai akibatnya, ketika mengganti
opioid, mungkin terdapat perbedaan antara dosis equianalgesik yang dipublikasikan dari beragam opioid
dan rasio efektif yang diberikan pada pasien. Mulai dengan 50-75 % dari dosis equianalgesik opioid baru
yang dipublikasikan untuk mengatasi toleransi –silang inkomplit dan variasi individual, khususnya jika
pasien memiliki nyeri yang terkontrol. Jika pasien menderita nyeri sedang hingga berat, jangan
mengurangi dosisnya. Jika pasien mengalami efek samping, kurangi sedikit dosisnya. Pengecualian yang
penting adalah terhadap methadone, yang tampaknya memiliki potensi yang lebih tinggi dari yang
diharapkan pada pemberian yang lama jika dibandingkan dengan dosis equianalgesik yang
dipublikasikan untuk pemberian dosis akut. Mulailah dengan 10-25 % dari dosis equianalgesik yang
dipublukasikan dan titrasi sepperlunya untuk mencapai kontrol nyeri. Ketika mengalihkan pasien dari
opioid dosis tinggi ke methadone, carilah saran dari rekan yang pakar dibidang perawatan paliatif dan
nyeri. 12,19,20,21
Analgesik Adjuvant
Analgesik adjuvan (atau koanalgesik) adalah obat-obat yang, ketika ditambahkan ke analgesik primer,
akan jauh lebih meningkatkan kontrol nyeri. Mereka sendiri juga dapat sebagai analgesik primer
(seperti, obat-obat trisiklik antidepresan untuk neuralgia postherpetik). Obat-obat ini dapat
ditambahkan dalam penatalaksanaan nyeri pada setiap langkah anak tangga terapi nyeri menurut WHO.
6,12,13,17
Nyeri neuropatik terbakar. Nyeri neuropatik kadang membutuhkan analgesik adjuvan terhadap opioid
agar nyeri tertangani secara adekuat. Untuk pasien-pasien yang menggambarkan nyeri mereka dengan
perasaan terbakar dengan atau tanpa hilang rasa, pilihan obat ajuvannya termasuk antidepresan
trisiklik, gabapentin atau SSRI. (6,12) Amitriptylin adalah antidepresan trisiklik yang paling banyak
dipelajari. Sangat berbeda dengan efek antidepresannya, dosis rendah dimulai pada 10 hingga 25 mg
melalui oral sebelum tidur mungkin hanya efektif untuk beberapa hari. Dosis mungkin ditingkatkan
setiap 4 hingga 7 hari hingga tercapai efek penyembuhan nyeri atau efek samping muncul. Mungkin
dibutuhkan dosis yang tinggi dan beberapa minggu untuk mengontrol nyeri. Kadar obat dalam plasma
dapat dimonitor untuk melihat resiko meningkatnya toksisitas pada dosis yang lebih dari 100 mg/24
jam. Meskipun obat ini paling sering dipelajari untuk golongannya, amitriptyline memiliki efek samping
yang yang paling banyak karena aktivitas antikolinergiknya yang prominen dan resiko toksisitas pada
jantung. Meskipun efek sedasi bisa sangat bermanfaat pada pasien yang juga mengalami kesulitan tidur,
efek sampingnya ini menyebabkan dibatasi penggunaannya pada pasien lemah dan usia tua. Sebaliknya,
desipramine trisiklik mempunyai efek antikolinergik atau efek sedasi yang lebih sedikit. Dosisnya sama
dengan amitriptyline. Nortiptyline juga bisa lebih efektif dan memiliki efek samping yang lebih sedikit
disamping amitriptyline.(6,12,16) Gabapentin juga efektif sebagai adjuvan untuk segala tipe nyeri
neuropatik. Gabapentin merupakan antikonvulsan yang bisa mensupresi neuronal firing. Kebanyakan
ahli memulai pada dosis rendah (100 mg po) dan dosis ditingkatkan setiap 1 hingga 2 hari dengan 100
mg po qd hingga mencapai efeknya. Beberapa pasien membutuhkan dosis lebih dari 3600 mg/hari. Efek
samping tampaknya lebih minimal. Sementara beberapa pasien mengalami kantuk dengan penambahan
dosis, toleransi tampaknya berkembang dalam beberapa hari jika dosisnya tetap stabil.(12)
Nyeri neuropatik seperti tertusuk, seperti ditinju. Untuk nyeri episodik seperti kesetrum, ditinju,
tertusuk, golongan antikonvulsan gabapentin, karbamazepin, dan asam valproik paling umum
digunakan sebagai obat-obat adjuvan. Gabapentin mengalami peningkatan dosis seperti yang
dikemukakan di atas. Karbamazepin dimulai pada dosis 100 mg po bid ti tid dan ditingkatkan per 100
atau 200 mg tiap 5 hingga 7 hari hingga mencapai efeknya. Asam valprioik dimulai pada dosis 250 mg
qhs dan ditingkatkan per 250 mg setiap 7 hari dalam dosis terbagi hingga mencapai efek. Dengan
meningkatnya dosis, pengawasan kadar karbamazepin dan asam valproik dalam plasma dapat
membantu untuk memprediksikan meningkatnya resiko efek samping. (6,12,16)
Nyeri neuropatik kompleks. Dengan berkembangnya kerusakan saraf, nyeri yang yang dihasilkan
menjadi bercampur aduk dan sangat sulit untuk ditangani. Kerusakan saraf dan nyeri kronik dapat
menyebabkan kematian neuron primer , hilangnya selubung mielin, sensitisasi sentral, dan perubahan
pada neurotransmiter dan neuroreseptor efektif, dan bahkan kematian neuron sensorik. Dari waktu ke
waktu, reseptor opioid bisa mengalami regulasi yang menurun, menyebabkan opioid kurang efektif, dan
reseptor NMDA (N-methyl-d-aspartat) menjadi lebih berperan karena glutamat menjadi
neurotransmiter yang bermakna. Opioid dapat dihentikan atau dilanjutkan jika masih efektif sebagian.
Kombinasi obat-obat analgesik adjuvan mungkin dibutuhkan, termasuk antiaritmia oral, agonis alpha-2-
adrenergik, antagonis reseptor NMDA, kortokosteroid, dll. Pertimbangkan untuk mengkonsultasikan
kepada pakar yang menangani nyeri sesegera mungkin untuk meminimalkan penderitaan pasien dan
resiko kerusakan yang lebih jauh akibat nyeri itu sendiri.(6,10,12,13,16)
Nyeri tulang. Nyeri tulang biasanya menyebabkan masalah yang konstan baik pada saat istirahat dan
memberat dengan bergerak. Prostaglandin diproduksi oleh inflamasi yang sedang berlangsung dan/atau
metastase yang dapat meningkatkan keparahan nyeri tulang. Kompresi tulang belakang sebaiknya selalu
dipertimbangkan ketika didapatkan nyeri tulang belakang yang bermakna pada pasien dengan kanker
metastatik. Opioid tetap menjadi terapi utama penanganan nyeri tulang. AINS, kortikosteroid,
biposfonat (seperti alendronate, pamindronate), kalsitonin, radiofarmasi (seperti strontium, samarium),
radiasi cahaya external dapat memberikan efek tambahan yang bermakna. Ketika intervensi ortopedik
definitif tidak memungkinkan, bantuan mekanik eksternal (splint atau braces, dsb) dapat membantu
penyembuhan akibat nyeri yang sehubungan dengan pergerakan. (4,5,6,12,16)
Nyeri akibat obstruksi pada usus. Obstruksi usus mekanik, akibat blokade internal oleh konstipasi atau
kompresi eksternal oleh tumor atau luka, dapat mengarah pada nyeri abdomen yang bermakna akibat
dinding abdomen yang meregang atau inflamasi. Nyeri biasanya digambarkan bersifat konstan, tajam
dan kaku. Nyeri biasanya bersamaan dengan bloating, distensi, gas, atau bahkan mual/muntah.
Pemulihan konstipasi atau pembedahan atau bypass blokade eksternal mungkin bersifat defenitif; pada
beberapa pasien, obstruksi bersifat irreversibel. Meski beberapa orang mendapatkan opioid efektif
dalam menangani nyeri, beberapa orang membutuhkan obat-obat adjuvan untuk memulihkan
ketidaknyamanan mereka secara efektif. Kortikosteroid dan obat AINS mungkin bermanfaat. Obat-obat
antikolinergik (seperti skopolamine) atau oktreotide akan menurunkan volume cairan yang akan
memasuki usus halus, selanjutnya menyembuhkan ketegangan dan nyeri pada dinding perut. Konsultasi
yang lebih dini dengan pakar penanganan nyeri dan perawatan paliatif dapat menurunkan kegagalan
penanganan nyeri disamping menunggu intervensi definitif selanjutnya. (12,13,15)
Ketamin. Ketamin menunjukkan efek analgesia pada pasien kanker melalui infus dengan dosis yang lebih
rendah disbanding pada dosis anestesi (sekitar 0,1-1,5 mg/kg/jam). Sebuah uji acak ganda yang
mengevaluasi efek ketamin intratekal dengan kombinasi morfin memperlihatkan bahwa ketamin
meningkatkan efek analgesik dan menurunkan jumlah morfin yang dipakai. Sebagai antagonis
nonkompetitif NMDA, ketamin memperlihatkan efektivitasnya pada nyeri neuropatik. Pemberian oral,
subkutan dan intravena telah dilaporkan pada pasien kanker namun belum ada penelitian mengenai
dosis sesuai yang telah ditentukan. (6)
Opioid memiliki banyak kemungkinan efek samping. Adiksi (ketergantungan psikologik), toleransi, dan
ketergantungan fisik tidak disebutkan diantara semua efek samping.
Alergi opioid. Mual/muntah yang diinduksi oleh opioid, konstipasi, kantuk, atau bahkan kebingungan
bukan merupakan reaksi alergi, mereka merupakan efek samping. Salah satu atau lebih efek dapat
muncul pada dosis pertama, efek samping dapat ditangani lebih mudah dan pasien biasanya mengalami
toleransi farmakologik untuk semua namun konstipasi dalam waktu yang relative singkat. Reaksi alergi
sebenarnya atau anafilaktik terhadap opioid jarang didapatkan. Urtikaria dan pruritus bisa merupakan
efek langsung opioid (lihat dibawah). Tidak mampu bernapas secara tiba-tiba, hipotensi atau tanda-
tanda lain anafilaksis sebaiknya dianggap serius, dan opioid penyebabnya diganti dengan opioid lain dari
kelas yang berbeda. Hives tidak dianggap sebagai reaksi alergi.
Urtikaria, pruritus. Pada beberapa pasien, opioid menyebabkan urtikaria atau pruritus. Efek ini
diakibatkan oleh destabilisasi sel mast oleh opioid dan sebagian oleh pelepasan histamine. Biasanya
kemerahan dan pruritus dapat ditangani dengan pemberian rutin antihistamin nonsedasi dengan kerja
lama, sedangkan dosis opioid tetap dilanjutkan (contoh; fexofenadine, 60 mg po bid; diphenhidramin,
loratadin, doxepine, 10-30 mg po qhs).
Konstipasi. Konstipasi sekunder akibat pemberian opioid hampir sering ditemukan. Primernya
merupakan efek opioid terhadap sistem saraf pusat, medulla spinalis, dan pleksus mienterikus dari usus
halus, dimana berakibat berkurangnya aktivitas motorik dan peningkatan waktu transit defekasi. Kolon
memiliki lebih banyak waktu dalam mengolah isinya, menyebabkan terbentuknya defek yang besar dan
keras serta sulit untuk dikeluarkan. Faktor-faktor lain seperti dehidrasi, intake makanan yang buruk,
pengobatan yang lain, dsb, dapat menyebabkan memburuknya masalah. Toleransi terhadap konstipasi
dapat berkembang sangat lambat, jika yang lain telah terjadi. Ini membutuhkan antisipasi dan
penatalaksanaan yang berlanjut. Intervensi diet sendiri (contoh, peningkatan cairan dan serat) kadang
tidak memadai. Bulk-forming agen(contoh: psyllium) membutuhkan asupan cairan substansial dan tidak
direkomendasikan untuk orang-orang dengan penyakit lanjut dan mobilitas yang terbatas. Untuk
menangkis efek lambat dari opioid, mulailah dengan meresepkan laksatif stimulan dengan rutin (seperti;
senna, bisacodyl, glyserine, casanthranol, dsb) dan tingkatkan dosis hingga mencapai efek. Karena stool
softener ( contoh; docusate sodium) biasanya tidak efektif diberikan sendiri, kombinasi
stimulan/softener (seperti senna + docusate sodium atau kalsium) lebih bermanfaat. Jika konstipasi
menetap, beberapa pasien mendapatkan manfaat dengan penambahan agen osmotik, seperti susu
magnesia, laktulosa, atau sorbitol untuk meningkatkan kandungan lunak dari defek.
Mual/muntah. Banyak pasien yang pertama mendapat opioid mengalami mual dengan atau tanpa
muntah. Hal ini diterapi dengan antiemetik dan biasanya menghilang dengan berkembangnya toleransi
dalam beberapa hari. Wanita muda tampaknya dengan resiko yang paling banyak. Obat blokade
dopamine (seperti prochlorperazien, 10 mg sebelum opioid dan tiap 6 jam; haloperidol, 1 mg sebelum
opioid dan tiap 6 jam; metoklopramide, 10 mg sebelum opioid dan tiap 6 jam) merupakan terapi yang
kadang sangat efektif.
Sedasi. Pasien kadang mengeluh tentang rasa tersedasi atau secara mental terasa melayang-layang
segera setelah menkonsumsi analgesik opioid. Perhatian mesti ditujukan untuk membedakan sedasi
yang sebenarnya (ketidakmampuan untuk sadar sepenuhnya) dari kecapaian akibat gangguan tidur
sebelumnya oleh nyeri yang tidak tertangani (tidur sedikit, namun dapat sadar penuh diantara tidur).
Sedasi yang diiinduksi oleh opioid biasanya muncul dalam beberapa hari dengan berkembangnya
toleransi. Kebanyakan pasien juga bisa mendapatkan tidur mereka yang hilang dalam satu atau dua
minggu. Untuk pasien dengan penyakit yang sangat lanjut, mental yang mengambang dan somnolen
yang berlebihan kadang-kadang terjadi, khususnya pada pasien dengan kondisi medis multipel yang
memberatkan, konsumsi obat-obatan, dan penurunan fungsi, bahkan tanpa penggunaan analgesik
opioid. Nyeri bisa, nyatanya, menjadi stimulasi primer yang menyebabkan mereka tetap sadar. Sekali
nyeri telah tertangani, level sedasi alami pasien dapat terlihat. Jika sedasi terjadi, beri dorongan pada
pasien dan keluarganya untuk memahami sejelas-jelasnya mengenai tujuan dan rencana penanganan
nyeri yang dibuat sehingga didapatkan keseimbangan antara tingkat kesadaran dan kontrol nyeri yang
sesuai dengan individu. Beberapa pasien cenderung memilih tidur dan nyaman daripada sadar dan
dalam keadaan nyeri. Jika sedasi yang tidak diinginkan terjadi, beragam opioid atau berbagai cara
pemberian dapat mendukung kesembuhan. Juga, pertimbangkan penggunaan psikostimulan (seperti :
metilpenidate, 5 mg q am dan q noon serta dititrasi), khususnya jika opioid menghasilkan analgesia
yang efektif.
Delirium. Terjadinya kebingungan, mimpi buruk, gaduh gelisah, agitasi, gerakan cepat mioklonik, tingkat
kesadaran yang terdepresi secara signifikan, dan kejang-kejang menandakan delirium akibat kelebihan
opioid. Jika pedoman pemberian opioid diikuti secara seksama, delirium sangat jarang terjadi pada
pasien dengan bersihan ginjal yang normal. Meski demikian, satu atau lebih efek samping ini dapat
terjadi secara bertahap (contoh : pada pasien dengan produksi urin yang tidak cukup dan terjadi
akumulasi opioid akibat menurunnya asupan dan dehidrasi. ) atau secara cepat (contoh : pada pasien
yang mengalami sepsis).
Depresi napas. Beberapa ahli memiliki pandangan yang luas mengenai resiko depresi napas dalam
penggunaan opioid untuk mengatasi nyeri. Aplikasi yang tidak sesuai pada model hewan dan manusia
dari penelitian mengenai nyeri akut bertanggung jawab terhadap ketakutan ini. Nyeri merupakan
stimulus yang kuat terhadap pernapasan, dan toleransi farmakoogik terhadap depresi pernapasan
berkembang secara cepat. Efek opioid agak berbeda dengan yang dialami pasien yang tidak nyeri dan
mendapatkan dosis yang sama. Dengan peningkatan dosis, depresi napas tidak terjadi segera tanpa
adanya kelebihan dosis. Somnolen selalu merupakan pertanda depresi napas. Penilaian yang adekuat
dan titrasi opioid yang sesuai berdasarkan prinsip farmakologi akan mencegah kesalahan pemberian.
Pemberian analgesia yang dikontrol oleh pasien dengan interval dosis yang sesuai (10-15 menit jika
melalui IV, 30 menit jika melalui SK) dapat digunakan secara aman, karena pasien yang mendapatkan
terlalu banyak opioid dosis ekstra akan tertidur dan berhenti menekan tombol PCA sebelum depresi
napas terjadi. Jika delirium akibat kelebihan opioid terjadi, namun frekuensi napas masih dalam batas
toleransi (>6 kali/menit), opioid rutin dapat dihentikan dan terapi sepsis serta hidrasi yang sesuai pada
pasien hingga efek samping berkurang. Jika frekuensi napas terganggu (<6 kali/menit), nalokson perlu
diberikan jika tujuan terapi tetap menjaga kesadaran pasien sambil menangani penyebab nyeri. Berikan
0.1-0.2 mg IV q 1 hingga 2 menit hingga pasien sadar. Karena kadar plasme efektif yang singkat (10
hingga 15 menit), akibat afinitas nalokson yang tinggi terhadap lemak, maka perlu dimonitor keadaan
pasien tiap menit terhadap terjadinya kantuk kembali. Jika kantuk terjadi, ulangi pemberian dosis sesuai
kebutuhan hingga pasien tidak lagi mengalami depresi napas. Nalokson drips mungkin lebih bermanfaat.
Pada umumnya, 80%-90% nyeri kanker dapat tertangani dengan analgesik konvensional dan ajuvan
berdasarkan prinsip penanganan nyeri WHO analgesik 3-step ladder. Terapi non-farmakologik nyeri
kanker antara lain TENS, fisioterapi, akupuntur, teknik psikologik seperti relaksasi juga turut berperan.
Namun, 10%-20% pasien kanker tetap merasakan nyeri dengan terapi diatas, sehingga dibutuhkan
terapi intervensional untuk nyerinya. Terapi intervensional dipertimbangkan sebagai langkah ke-4 pada
anak tangga analgesik WHO.
Gambar 6. Diadaptasi dari World Health Organisation’s Analgesic Ladder.(22)
Respon pasien terhadap opioid sangat bervariasi sehingga dokter harus selalu melihat keseimbangan
antara efek analgesia dan efek sampingnya. Pasien nyeri kanker yang terkontrol dengan opioid namun
dengan efek samping yang berat, sebaiknya mendapatkan terapi intervensional lebih dini. Terapi
intervensi bervariasi mulai dari blok saraf yang sederhana hingga teknik invasif seperti blok regional atau
neurolitik, atau bahkan prosedur bedah saraf. Pilihan dalam melakukan prosedur intervensional bersifat
individual, berbeda-beda untuk tiap kasus, berdasarkan resiko dan manfaat untuk tiap-tiap pasien.
Beberapa teknik memberikan efek analgesia beberapa hari hingga beberapa minggu. Blok neurolitik bisa
sampai berberapa bulan dan alat implantasi bisa sampai beberapa tahun. Teknik regional seperti opioid
neuroaksial dan anestetik lokal biasanya dipraktikkan lebih dulu sebelum metode intervensi yang
lain.Prosedur ablatif atau destruksi neuron, dengan rasio resiko-manfaat yang sempit, sebaiknya ditunda
selama penyembuhan nyeri masih bisa dilakukan dengan modalitas non-ablatif. Meski demikian,
beberapa prosedur, seperti blok pleksus celiac pada pasien kanker pankreas memberikan manfaat lebih
besar jika dilakukan lebih dini dengan neurolisis. Blok diagnostik dengan anestetik lokal harus digunakan
untuk menilai efektivitasnya sebelum prosedur sebenarnya dengan agen neurolitik. Blok ini juga
berguna untuk mengevaluasi efek defisit neurologis akibat prosedur ablatif. Komplikasi neurologis
akibat neurolisis yang mungkin muncul yaitu hilangnya fungsi motorik permanen, paresthesia, dan
dysthesia. Pemilihan prosedur yang sesuai dapat menurunkan penggunaan opioid sistemik dan
meningkatkan kualitas hidup.
Dengan diketahuinya keberadaan reseptor opioid pada medulla spinalis di tahun 1973, pemberian obat-
obat melalui epidural dan intratekal untuk analgesia mulai digunakan. Opioid intratekal memperlihatkan
efek analgesianya dengan menurunkan pelepasan neurotransmitter presinaptik dan menghambat
transmisi nyeri dengan hiperpolarisasi membran neuron postsinaptik pada kornu dorsalis. Pemberian
obat neuroaksial kontinyu bisa melalui kateter epidural atau intratekal. Obat dapat diberikan
menggunakan external syringe pump atau sistemly implanted intrathecal drug delivery (ITDD). The
European Association of Palliative Care merekomendasikan indikasi penggunaan ITDD pada pasien
kanker jika analgesik konvensional gagal memberikan efek analgesi yang memuaskan meski dosis opioid
kuat telah ditingkatkan, dan/atau pasien mengalami efek samping yang berat. Obat-obat diinfuskan
dalam beberapa menit dengan jumlah tertentu ke intratekal sehingga mencegah toksisitas sistemik dan
efek samping. Pada sebuah RCT, ITDD dapat meningkatkan kualitas hidup, menurunkan skala nyeri dan
meningkatkan angka kelangsungan hidup 6 bulan. (53 % pasien ITDD masih hidup dibanding 32% pasien
pada terapi konvensional).
Pasien kanker kadang dengan profil koagulasi abnormal dan fungsi sistem imun yang tersupresi,
sehingga resiko hematoma dan infeksi merupakan kontraindikasi pemasangan kateter epidural. Obat
utama yang digunakan adalah opioid, namun kombinasi dengan anestetik lokal meningkatkan
efektivitasnya. Ajuvan lain seperti klonidin meningkatkan efektivitas lebih baik lagi.
Terdapat beberapa penelitian yang memperlihatkan perbaikan kontrol nyeri dengan sedikit komplikasi
pada pemberian obat intratekal. Obat intratekal bisa diberikan melalui kateter yang diimplantasi secara
eksternal atau internal dari alat pompa obat. Infus intratekal menggunakan dosis dan volume yang
rendah disbanding infuse epidural. Kebanyakan dokter menggunakan perbandingan dosis morfin 10:1
antara epidural dan intratekal. Memasukkan benda asing ke dalam tubuh meningkatkan resiko infeksi,
khususnya dengan sistem pompa eksternal, dimana terdapat hubungan antara kulit dan sistem saraf
pusat. Secara keseluruhan sistem ITDD memberikan resiko infeksi yang lebih rendah dan terdapat bukti
bahwa kateter intratekal lebih aman jika digunakan lbih dari 3 minggu dibandingkan dengan epidural.
Opioid. Morfin masih merupakan gold standard untuk pemberian intratekal yang disetujui oleh FDA US
dalam menangani nyeri kronik.
Anestetik Lokal . Lokal anestetik intratekal bekerja melalui efek blokade saluran natrium dan
menghambat potensi aksi jaringan saraf pada kornu dorsalis, sehingga menghasilkan efek analgesik.
Anestetik lokal juga bekerja pada bagian intratekal dari akar saraf. Bupivakain intratekal juga
dikombinasi dengan morfin untuk menghasilkan kontrol nyeri yang lebih baik akibat nyeri neuropatik.
Terdapat bukti bahwa bupivakain bekerja sinergis dengan morfin, menurunkan kebutuhan morfin
intratekal.
Agonist adrenoreseptor alpha-2. Klonidin adalah agonist adrenoreseptor alpha-2 yang telah lama
digunakan untuk pemberian spinal, namun baru disetujui oleh FDA US pada tahun 1996 untuk
pemberian intratekal. Klonidin intratekal diketahui bersifat anti nosiseptif non opioid yang bekerja
sentral. Klonidin terikat pada reseptor alpha-2 di membran presinaptik neuron aferen primer medulla
spinalis, menghasilkan hiperpolarisasi dan berkurangnya pelepasan neurotransmitter yang terlibat
dalam penyampaian sinyal nyeri. Klonidin juga mengaktivasi neuron-neuron kolinergik spinalis, yang
memperkuat efek analgesiknya. Klonidin juga efektif pada terapi kanker, kombinasinya dengan morfin
dan/atau bupivakain memperlihatkan efek sinergis dan memberikan terapi yang lebih adekuat pada
nyeri kanker.
Neurolisis intratekal dilakukan dengan pemberian agen neurolitik pada ruang subarachnoid. Tujuannya
yaitu blokade segmental yang murni sensorik, tanpa menyebabkan kelemahan motorik. Agen kimiawi
yang umum digunakan umtuk neurolisis antara lain alcohol konsentrasi 50% hingga 100% dan fenol 7%
hingga 12%. Alkohol bersifat hipobarik sehingga pasien perlu diposisikan semi-prone. Ini akan
memungkinkan alkohol tetap tinggal didekat dorsal root ganglia dan menghasilkan blokade sensorik
ketika diinjeksikan pada ruang intratekal. Karena fenol bersifat hiperbarik, sehingga pasien diposisikan
sebaliknya (wajah ke atas dan daerah yang akan diinjeksi lebih rendah dengan sudut 45 derajat). Catatan
Gerbershagen yang meninjau 1908 pasien kanker yang menjalani neurolisis intratekal menunjukkan
bahwa 78% hingga 84% pasien dengan nyeri somatik berespon baik terhadap terapi. Sebaliknya,
kontrol nyeri yang baik pada nyeri viseral hanya berkisar 19% hingga 24%.
Terdapat beberapa tempat untuk blok simpatis yang bisa dilakukan untuk terapi nyeri kanker dari organ
viseral. Rantai simpatis pada level yang sesuai bisa diblok untuk nyeri spesifik. Neurolisis digunakan pada
hampir semua blok simpatis karena pemasangan kateter sangat sulit dan tidak praktis. Pleksus coeliac
menjadi target untuk nyeri yang berasal dari kanker abdomen atas. Blok pleksus hipogastrik posterior
dilakukan untuk nyeri kanker dari organ pelvik seperti ovarium, kandung kemih, dan prostat. Blok
ganglion impar efektik untuk nyeri kanker organ vagina dan anal.
Blok pleksus coeliac diletakkan pada retroperitoneal abdomen atas. Levelnya pada T12 dan L1 badan
vertebra, anterior dari krura diafragma. Pleksus coeliac mengelilingi aorta abdominal dan celiac dan
arteri mesenterika superior. Saraf otonom mensuplai hepar, pancreas, kandung empedu, lambung, lien,
ginjal, usus halus, dan kelenjar adrenal berasal dari pleksus celiac. Efektivitas blok pleksus celiac pada
terapi nyeri kanker abdomen telah banyak dievaluasi. Sebuah meta-analisis oelh Eisenberg dkk
menyimpulkan bahwa blok pleksus coeliac memberikan kesembuhan jangka panjang 70% hingga 90%
pasien kanker pancreas dan abdomen atas. Komplikasi antara lain hipotensi postural, pneumothoraks,
diare, hematoma retroperitoneal, dan paraplegi akibat mielopati iskemik akut (mungkin akibat
terkenanya arteri Adamkievicz). Penyebaran cairan neurolitik ke posterior kadang mempengaruhi saraf
somatik bagian bawah thoraks dan lumbal, sehingga bisa menyebabkan sindrom nyeri neuropatik.
Pleksus hipogastrik superior adalah struktur retroperitoneal yang meluas secara bilateral dari 1/3 bawah
corpus vertebra L5 hingga 1/3 atas S1. Blok efektif untuk nyeri yang berasal dari kolon distal dan rektum
yang tercermin pada nyeri struktur pelvik. Beberapa penelitian memperlihatkan efektivitas blok
neurolitik pada pleksus hipogastrik superior untuk terapi nyeri pelvik akibat kanker dengan melihat
penggunaan opioid yang berkurang.
Ganglion impar, juga dikenal sebagai ganglion Walther, adalah struktur retroperitoneal terpisah yang
terletak pada level sacrococcygeal junction dengan posisi bervariasi pada ruang precoccygeal. Ganglion
tak berpasangan ini menandai ujung kedua rantai simpatis. Nyeri viseral pada daerah perineal oleh
proses malignansi efektif ditangani dengan neurolisis ganglion impar.
Peran blok saraf perifer sebagai modalitas utama penyembuhan nyeri mungkin terbatas pada pasien
kanker, mengingat nyeri kanker biasanya melibatkan banyak tempat, khususnya pada kanker stadium
lanjut. Meski demikian, jika dikombinasi dengan terapi lain kemoterapi atau radiasi, sangat membantu
menurunkan nyeri. Agen neurolitik seperti alkohol atau fenol digunakan untuk blok saraf perifer. Alkohol
bisa menyebabkan disaestesia yang sangat nyeri jika diinjeksi disekitar saraf bermielin. Fenol kurang
nyeri dibanding alkohol dan lebih terpilih untuk neurolisis saraf perifer. Bentuk lain destruksi daraf yaitu
ablasi radiofrekuensi dan cryoablation. Tahun-tahun terakhir ini, ada teknik baru yaitu penggunaan
infus anestetik lokal untuk blok saraf perifer, dengan teknologi pompa infus dan kateter. Penggunaan
nerve stimulation atau ultrasonografi untuk mengidentifikasi penempatan kateter memudahkan blok
saraf untuk memberikan analgesia yang lebih baik. Ahli nyeri mendapat banyak tantangan dalam
melakukan blok saraf perifer pada pasien kanker. Adanya edema jaringan mempersulit identifikasi
tonjolan tulang atau denyut perifer. Neuroanatomi bisa menyimpang akibat invasi tumor atau kompresi
dan kontraktur atau tertariknya jaringan akibat terapi radiasi. USG bisa digunakan untuk membantu blok
dan penempatan kateter. Blok saraf perifer yang telah dilaporkan antara lain blok saraf femoral, blok
supraskapula, blok kompartemen psoas, blok pleksus lumbal distal, blok paravertebral dan blok
interpleural.
Hambatan dalam Penatalaksanaan Nyeri Kanker 5,6,11
Hambatan dalam penatalaksanaan nyeri kanker bisa berhubungan dengan praktisi kesehatan, pasien
dan keluarga, serta sistem perawatan kesehatan (kebijaksanaan dan regulasi kesehatan setempat).
DAFTAR PUSTAKA
Cancer-Its Various Types along with Causes, Symptoms, Treatments and Stages [Online]. 2009
November 3 [cited 2010 Feb 2]; Available from www.Cancer-Info-Guide.com
Cancer [Online]. 2010 Jan 3 [cited 2010 Feb 2]; Available from www.wikipedia.org
Mantyh PW, Clohisy DR, Koltzenburg M,et al. Molecular Mechanisms of Cancer Pain. Nature.
2002;403(2):201-9
Carver AC, Foley KM. Complications of Cancer and Its Treatment. In: Cancer Medicine. 6th ed. Decker,
BC: American Pain Society; 2008:2204-24.
Holdcroft A, Power I. Management of Cancer Pain : Recent Developments. Br Med J. 2003;326:635-9
Paice JA. Mechanisms and Management of Neuropathic Pain in Cancer. J Support Oncol. 2003;1(2):107-
20.
Clinton JJ. Management of Cancer Pain. Clinical Practice Guideline No. 9. AHCPR Publication No. 94-
0592. Rockville, MD: Agency for Healthcare Policy and Research; March 1994.
Caprio T, Clemenson S, Naumburg EH, et al. Module 4 : Pain Management. In : Reading Module The
Education for Physician on End-of-Life-Care Curriculum. University of Rochester Medical Center, New
York; 2004.
Beel A, Grantham D. Module 2 : Pain Assessment and Management. Available from
www.palliative.info/mpcna/module2.pdf; January 2010.
Kam PC, So A. COX-3 : Uncertainties and Controversies. Curr Anaesth Crit Care. 2009;20:50-3.
Coyle N, Fleishman SB, Meuche G, et al. Controlling Cancer Pain : What You Need to Know to Get Relief.
Cancer Care: Elsevier Oncology; 2009.
McPherson ML, Canaday BR, Heit HA. A Pharmacist’s Guide to the Clinical Assessment and Management
of Pain. American Pharmacists Association; 2004.
Alguire P, Preodor M, eds. Chronic Pain Management : An Appropriate Use of Opioid Analgesic.
Philadelphia: America College of Physician; 2008.
Savage S, Covington EC, Heit HA. Definitions Related to the Use of Opioid for the Treatment of Pain.
Consensus document of American Academy of Pain Medicine, American Pain Society, and American
Society of Addiction Medicine; February 2001.
The Use of Opioids for the Treatment of Chronic Pain. Consensus document of American Academy of
Pain Medicine and the American Pain Society; 1997
Understanding Cancer Pain [Online]. 2010 Jan 4 [cited 2010 Jan 16]; Available from www.cancer-
pain.org/
Tay W, Ho KY. The Role of Interventional Therapies in Cancer Pain Management. Ann Acad Med
Singapore. 2009;38(11):989-97.
Vasic L, Vojinovic R. Treatment and Taxonomy of Cancer Pain-Is There A Need for A New Approach?
Medicus. 2008;8(4):138-43.
Mandybur G, Ryan B, Basham S. Intrathecal Pain Pump. Mayfield Clinic & Spine Institute Publication.
Available from www.mayfield.com; April 2009.
BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
933134
LABEL
Anestesi Inhalasi
anestesi lokal
Anestesi Pediatri
badai tiroid
Barbiturat
Block Femoralis
Block Infraclavicular
Difficult Airway
Epidural Anestesia
Formula Enteral
Koagulasi
nutrisi
Nutrisi Parenteral
opioid
Pediatrik Neuroanestesia
Spinal Anestesi
terapi oksigen
Tonsilektomi
Tranfusi
PROFIL SAYA
Ivan-Atjeh Anestesi
DAFTAR LINK
PERDATIN
Update in Anaesthesia
ARTIKEL
► 2013 (1)
▼ 2012 (27)
► Oktober (2)
► Mei (2)
► Februari (1)
▼ Januari (22)
Badai Tiroid
Difficult Airway
Pediatrik Neuroanestesia
Formula Enteral
Anestesi Pediatri
Spinal Anestesia
► 2011 (129)
PENGIKUT
PENDAHULUAN
Kanker merupakan istilah untuk sekelompok penyakit yang bervariasi tipe dan lokasinya. Penyakit ini
disebabkan oleh hilangnya kontrol terhadap kapasitas reproduksi sel. Sel-sel ini tidak membelah sesuai
programnya, namun terus membelah dan bermultiplikasi secara abnormal hingga menimbulkan massa
tumor yang nampak dan terdeteksi. Massa tumor ini dihasilkan oleh proliferasi sel autonom yang
berkelanjutan dan abnormal, akibat perubahan permanen beberapa sel yang ditransmisikan dari
kelompok selnya. 1
Sel-sel kanker mirip dengan sel-sel asalnya dan memiliki struktur DNA dan RNA yang mirip (namun tidak
identik). Inilah alasan mengapa sel-sel ini jarang terdeteksi oleh sistem imun, khususnya jika sistem
imun melemah.1,2
Metastase didefinisikan sebagai stadium dimana sel-sel kanker ditransportasikan melalui aliran darah
atau sistem limfatik. Kanker dapat mengenai segala kelompok umur, namun resiko meningkat sesuai
penambahan umur, terkait kerusakan DNA lebih nampak pada DNA yang menua. Pertumbuhan sel yang
tidak teregulasi pada penyakit ini disebabkan oleh mutasi pada gen yang mengkode protein yang
mengontrol pembelahan sel. Kebanyakan mutasi bahkan mentransformasi sel normal menjadi sel
maligna.1,2
Mayoritas kanker bersifat sporadik dan mungkin diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Dua puluh persen kanker bersifat herediter. Ini berarti gen abnormal bertanggung jawab terhadap
penurunan penyakit ini dari orang tua terhadap anaknya. Penyebab kanker dan tipe kanker masih belum
diketahui dengan jelas. Belum ada penyebab jelas mengapa seorang terkena kanker dan yang lainnya
tidak. Sel-sel kanker bermultiplikasi sangat cepat dan menjadi maligna. Mutasi gen ini terjadi akibat
beberapa faktor kompleks terkait gaya hidup, herediter, dan lingkungan. Mutasi ini dapat disebabkan
oleh agen khemis atau kimiawi yang disebut karsinogen, oleh pemaparan terhadap zat radioaktif, atau
oleh beberapa virus yang dapat menyelipkan DNAnya ke dalam genom manusia.1,2,3
Terdapat beragam jenis kanker, umumnya dinamakan berdasarkan lokasi atau tipe selnya. Namun gejala
dan tanda-tanda penyakit ini umumnya sama dan dibagi tiga kelompok yaitu :
Tanda-tanda lokal : munculnya penonjolan (tumor) atau pembengkakan, perdarahan, ulserasi dan nyeri.
Penekanan jaringan sekitar oleh massa tumor dapat menimbulkan tanda berupa ikterus.
Tanda-tanda metastasis (penyebaran) : pembesaran kelenjar limfe, batuk dan hemoptisis, hepatomegali,
nyeri tulang, fraktur pada tulang yang mengalami metastase, dan gejala neurologis, serta nyeri.
Tanda-tanda sistemik : penurunan berat badan, penurunan nafsu makan dan kaheksia, keringat
berlebihan (keringat pada malam hari), anemia dan fenomena paraneoplastik spesifik seperti
thrombosis atau perubahan hormonal, serta demam akibat pengaruh penyakit ini terhadap sistem
imun.1,3
Tiga puluh persen pasien datang dengan keluhan nyeri saat mereka didiagnosa kanker, dan 65-85 %
pasien mengalami nyeri seiring dengan berkembangnya penyakit kanker mereka. Diperkirakan sepertiga
pasien dengan kanker mendapat terapi dan tiga perempatnya mengalami nyeri. Nyeri ini sangat
bervariasi dan bersifat individual. Nyeri pada kanker tulang menempati prevalensi tertinggi untuk nyeri
sedang hingga berat dan leukemia dengan prevalensi nyeri sedang berat yang terendah. Kejadian nyeri
meningkat seiring perkembangan penyakit dan bervariasi sesuai tempat primernya. Faktor lain yang
turut berkontribusi yaitu stadium penyakit, adanya metastasis, terlibatnya struktur tulang, terkenanya
struktur saraf oleh tumor, lepasnya mediator-mediator kimiawi oleh sel-sel tumor, dan faktor dari
pasien sendiri seperti cemas dan depresi. 2,4,5
Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa penderita kanker mengalami lebih dari satu tipe nyeri.
Pada sebuah survey, 81% pasien dilaporkan mengeluhkan dua atau lebih tipe nyeri dan 34%
melaporkan lebih dari tiga tipe nyeri. Ketakutan pasien akan kanker sehubungan dengan ketakutan
mereka akibat nyeri berat oleh kanker. 69% pasien kanker yang disurvei melaporkan bahwa nyeri berat
akibat kanker membuat mereka ingin bunuh diri dan 57% pasien memprediksikan hidup mereka akan
berakhir dengan sangat nyeri.6
Grafik 1. Prediksi insiden kanker yang diestimasi untuk negara berkembang dan negara industri.
Walaupun insiden antara kedua kategori negara hampir sama pada tahun 1990, insiden pada negara
berkembang makin meningkat dibanding negara industri, dengan prediksi 2 dari 3 pasien kanker baru
pada tahun 2020 muncul dari negara berkembang. (Salminen E, dkk, 2005) 6
Nyeri kanker umumnya diakibatkan oleh infiltrasi sel tumor pada struktur yang sensitif dengan nyeri
seperti tulang, jaringan lunak, serabut saraf, organ dalam, dan pembuluh darah. Nyeri juga dapat
diakibatkan oleh terapi pembedahan, kemoterapi, atau radioterapi. Meskipun penyebab nyeri kanker
dan tipenya bervariasi, mekanisme yang mendasarinya telah dipahami sebagai fenomena neurofisiologik
dan neurofarmakologik yang kompleks.5,6
Dua golongan nyeri kanker dipaparkan sebagai nyeri nosiseptif, terdiri dari nyeri somatik dan nyeri
viseral, dan nyeri neuropatik. Pengetahuan akan tipe nyeri kanker penting dalam penatalaksanaan nyeri
kanker yang adekuat.6
NEUROFISIOLOGI NYERI
Terdapat beberapa reseptor yang sensitif terhadap stimuli noksius. Nosiseptor ini adalah saraf aferen
primer dengan ujung perifernya berespon terhadap berbagai stimuli noksius. Nosiseptor ini memiliki dua
fungsi yaitu transduksi dan transmisi. Beberapa faktor kimiawi, mekanik dan termal dapat mengaktivasi
reseptor, mengakibatkan impuls saraf elektrokimiawi pada aferen primer. Informasi ini selanjutnya
dikodekan dalam frekuensi impuls yang ditransmisi menuju sistem saraf pusat, dimana persepsi nyeri
terjadi. Baik nosiseptor bermielin ataupun tidak bermielin menyampaikan sensasi nyeri ke sistem saraf
pusat. Nosiseptor bermielin berespon terhadap stimuli mekanik secara khusus dan dengan konduksi
yang cepat melalui serabut saraf A-delta, menyebabkan sensasi nyeri tajam. 6,7
Nosiseptor tak bermielin adalah serabut saraf polimodal, berespon terhadap stimuli mekanik, termal
dan kimiawi, dengan penghantaran konduksi yang lebih lambat melalui serabut C dan sifat nyerinya
tumpul dan rasa terbakar. 4,6,7
Infiltrasi dan kompresi tumor dapat menyebabkan aktivasi nosiseptor baik secara mekanik maupun
kimiawi. Telah diketahui berbagai molekul yang digunakan nosiseptor untuk mendeteksi stimuli. Contoh,
reseptor vanilloid (VR1), yang diekspresikan oleh kebanyakan nosiseptor, mendeteksi panas dan asam,
proton ekstrasellular, dan metabolit lipid. Untuk mendeteksi stimuli mekanik, nosiseptor
mengekspresikan pintu saluran mekanik¬ yang mengaktifkan cascade pengiriman sinyal sebagai respon
terhadap regangan yang berlebihan-dan beberapa reseptor purinergik, yang diaktifkan oleh ATP. ATP
dilepaskan oleh sel-sel akibat stimulasi mekanik yang berlebihan. Untuk merasakan stimuli noksius
kimiawi, nosiseptor mengekspresikan reseptor dengan susunan kompleks yang diaktivasi oleh faktor
inflamasi yang dilepaskan oleh jaringan rusak. Faktor inflamasi tersebut antara lain proton, endothelin,
prostaglandin, bradikinin, dan nerve growth factor. Dengan teridentifikasinya reseptor yang
diekspresikan pada permukaan nosiseptor maka meningkatkan pemahaman kita mengenai mengapa
tumor menyebabkan nyeri ketika sel-selnya menginvasi dan menghancurkan jaringan perifer. 4
Gambar 1. Deteksi oleh neuron-neuron sensorik terhadap stimuli noksius yang diproduksi sel tumor.
Nosiseptor (merah) menggunakan beberapa tipe reseptor yang berbeda untuk mendeteksi dan
mentransmisikan sinyal stimuli noksius yang diproduksi oleh sel-sel kanker (kuning) atau sel lain di
sekitarnya. Reseptor vanilloid-1 (VR1) mendeteksi proton ekstrasellular (H+) yang diproduksi oleh sel-sel
kanker, sedangkan reseptor endothelin-A (ETAR) mendeteksi endothelins (ET) yang dilepaskan oleh sel-
sel kanker. Dorsal-root acid-sensing ion channel (DRASIC) mendeteksi stimuli mekanik akibat
pertumbuhan tumor yang secara mekanik meregangkan serabut saraf sensorik. Reseptor lain yang
diekspresikan oleh neuron sensorik antara lain reseptor prostaglandin (EP), yang mendeteksi
prostaglandin E2 (PGE2) yang diproduksi oleh sel kanker dan sel-sel inflamatorik (makrofage). Nerve
growth factor (NGF) yang dilepaskan oleh makrofage terikat pada reseptor tyrosine kinase (TrkA),
sedang ATP ekstrasellular terikat pada reseptor purinergik P2X3. Aktivasi reseptor-reseptor ini
meningkatkan eksitabilitas nosiseptor, diantaranya fosforilasi saluran natrium (Na+ Channel) 1.8
dan/atau 1.9 dan menurunkan ambang yang dibutuhkan untuk eksitasi nosiseptor. 4
Sebagai tambahan terhadap saluran-saluran dan reseptor yang mendeteksi trauma jaringan, neuron
sensorik bersifat sangat “plastic”, yaitu mereka dapat mengubah fenotip mereka sebagai respon
terhadap trauma perifer. Setelah trauma jaringan, banyak nosiseptor yang mengubah pola pengiriman
sinyal peptide dan ekspresi growth-factor mereka. Perubahan fenotip neuron sensorik ini mendasari,
sebagian, sensitisasi perifer, dimana tingkat ambang aktivasi menurun, sehingga stimulus noksius yang
normalnya ringan dianggap sebagai stimulus noksius tinggi (hyperalgesia), atau stimulus non-noksius
dipersepsikan sebagai stimulus noksius (allodynia) Kerusakan jaringan perifer juga mengaktifkan
nosiseptor yang sebelumnya “silent” atau “sleeping”, sehingga menjadi sangat responsif terhadap
stimulus non-noksius atau noksius ringan.4
Hiperalgesia primer terjadi akibat sensitisasi nosiseptor pada jaringan yang trauma. Hiperalgesia
sekunder terjadi akibat perubahan sistem saraf sentral oleh aktivasi nosiseptor dan mungkin oleh
meluasnya daerah hiperalgeia kutaneus disekitar daerah trauma. Sekali teraktivasi, nyeri ditransmisikan
melalui serabut saraf A delta dan C dan memasuki medulla spinalis secara lateral, bersinaps pada kornu
dorsalis superfisial untuk mengaktivasi sistem nosiseptif asceding. 4,6
SENSITISASI SENTRAL6,7
Gambar 2. Sensitisasi sistem saraf pusat terjadi oleh aktivasi cascade neuroimun dalam jaringan, sistem
saraf perifer, atau sistem saraf pusat. 7
Jalur neospinothalamik diproyeksikan pada kompleks thalamik ventrobasilar, dari sana, akson
memproyeksi terhadap korteks somatosensorik pada lobus parietal. Jalur ini memediasi aspek
diskriminatif sensorik akan persepsi nyeri (lokalisasi stimulus dan intensitas nyeri).
Traktus paleospinothalamikus ascend, berproyeksi terhadap formasi retikula, nukleus thalamik
posterior, dan kompleks nukleus thalamik intralaminar. Dari daerah ini, akson terproyeksi secara difus
ke korteks dan secara spesifik ke korteks frontal orbita. Jalur ini memediasi komponen
afektif/penderitaan, emosional, dan kesadaran akan nyeri. Telah diketahui bahwa terdapat nukleus
spesifik pada thalamus posterior yang bertanggung jawab terhadap sensasi nyeri dan temperatur.
Terdapat jalur supresi nyeri endogen yang bermula pada periaqueductal gray (PAG) dari otak tengah dan
turun ke the nukleus raphe magnus (NRM) di medulla. Dari NRM, terdapat proyeksi ke kornu dorsalis
medulla spinalis melalui fasikulus longitudinal dorsalis. Jalur ini memodulasi impuls nosiseptif aferen.
Stimulasi elektrik dari PAG, NRM, atau kornu dorsalis atau injeksi mikro morfin pada daerah ini akan
menghasilkan analgesia tanpa blokade motorik, sensorik atau otonom. Serotonin dan norepinephrine
adalah neurotransmitter yang diduga berada di daerah ini. Senyawa opioid endogen juga terlibat
sebagai modulator pada sistem supresi nyeri. Enkephalin, β-endorphin, dan dynorphin adalah inhibitor
aktivitas nosiseptif yang paling kuat. Ketiga peptide ini adalah turunan dari molekul prekursor : (a) pro-
opiomelanocortin adalah prekursor utama untuk β-endorphin, (b) pro-enkephalin A adalah prekursor
utama untuk met-enkephalin dan leu-enkephalin, dan (c) pro-enkephalin B adalah prekursor utama
dynorphin. Enkephalin terdistribusi pada nucleus spesifik di batang otak dan medulla spinalis. β-
endorphin terdapat pada nukleus arkuata di hipothalamus dan pituitary. Peptida opioid endogenous ini
menyebabkan analgesia melalui perlekatannya dengan reseptor spesifik yang ditemukan dengan
konsentrasi yang tinggi pada korteks, batang otak dan medulla spinalis. β-endorphin melekat pada
reseptor mu, enkephalin pada reseptor delta , dan dynorphin pada reseptor kappa. Morfin dan opioid
yang umum digunakan menyerupai kerja peptide opioid endogenous ini.
Nyeri kanker somatik dapat disebabkan oleh invasi neoplastik pada tulang, sendi, otot dan jaringan
penyambung. Massa tumor menghasilkan dan menstimulasi mediator inflamatorik lokal, yang
menyebabkan stimulasi nosiseptor perifer yang terus berlangsung. Sumber nyeri kanker somatic yang
lain yaitu fraktur tulang, spasme otot sekitar area tumor, nyeri insisi setelah pembedahan, dan sindrom
nyeri akibat radio/kemoterapi. Sindroma nyeri somatik yang paling banyak adalah akibat invasi sel
tumor pada tulang. Nyeri tulang bisa bersifat akut, kronik atau insidentil. Sifatnya terlokalisasi dengan
jelas, intermitten atau konstan dan dideskripsikan sebagai nyeri berdenyut-denyut, tercabik, seperti
digerogoti, menyebabkan reaksi lokal, dan diperberat oleh gerakan atau beban.
Invasi tumor secara langsung pada tulang atau berkembangnya metastese osseus menyebabkan nyeri
persisten. Tidak semua metastase tulang bersifat nyeri, dan nyerinya kadang tidak sebanding dengan
gambaran radiologik. Aferen nosiseptif paling banyak terkonsentrasi di periosteum, sedangkan sumsum
tulang dan korteks kurang sensitif terhadap nyeri. Beberapa mekanisme yang menyebabkan nyeri tulang
neoplastik antara lain teregangnya periosteum akibat ekspansi tumor, mikrofraktur lokal yang
menyebabkan kerusakan tulang, kompresi saraf akibat kolapsnya vertebra atau kerusakan langsung oleh
tumor, serta pelepasan substansi algesik lokal dari sumsum tulang. Nyeri tulang berhubungan dengan
aktivitas osteoklast. Pada tulang yang normal, aktivitas keseluruhan sel-sel tulang yang teresorbsi
(osteoklast) sebanding dengan aktivitas keseluruhan sel-sel yang terbentuk (osteoblast). Pada penyakit
metastatik, terdapat bukti peningkatan aktivitas osteoklast. Baik faktor tumor maupun humoral,
termasuk prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan lokal, dan hormone paratiroid, meningkatkan
aktivitas osteoklastik dan secara lokal menstimulasi nosiseptor. Meski terjadi peningkatan aktivitas
osteoklastik, pembentukan tulang juga meningkat. Dengan peningkatan turnover tulang, proporsi tulang
imatur dan kurang termineralisasi meningkat sehingga kejadian fraktur meningkat. Prostaglandins
mensensitasi nosiseptor dan menyebabkan hiperalgesia dan nyeri dengan terjadinya osteolisis dan
formasi osteoklast. Obat-obat yang menghambat sintesis prostaglandin dan formasi osteoklast dapat
menghambat nyeri dengan menghambat sensitisasi dan petumbuhan tumor. Biphosphonat, analog
pyrophosphat, diketahui menginduksi apoptosis osteoklast, dengan mengganggu sintesis ATP atau
kolesterol, yang penting untuk kelangsungan hidup sel. Biphosphonat memiliki afinitas yang tinggi
terhadap ion kalsium, sebagai mineral target dari matriks tulang. Osteoklast yang telah diterapi dengan
biphosphonat mengalami perubahan morfologik, yaitu selnya mengecil, kromatinnya menyusut,
fragmentasi nukleus, dan kerutan tepi selnya menghilang, semuanya merupakan tanda apoptosis. Efek
anti resorbsi biphosphonat mengakibatkan meluasnya penggunaan bisphosphonat sehingga
meningkatkan analgesia dan penurunan signifikan komplikasi tulang pada pasien dengan nyeri tulang
maligna.
Tumor terdiri dari beberapa tipe sel selain sel kanker, termasuk sel sistem imun seperti makrofag,
netrofil dan sel T. Sel-sel ini mensekresi berbagai faktor yang mensensitasi atau secara langsung
merangsang neuron aferen primer, dan termasuk prostaglandin, tumour necrosis factor-α (TNF-α),
endothelin, interleukin 1 dan 6, epidermal growth factor, transforming growth factor-β, dan platelet-
derived growth factor. Reseptor untuk banyak faktor ini diekspresikan oleh neuron aferen primer.
Meskipun seluruh faktor ini penting dalam terjadinya nyeri kanker, obat-obat dengan target pada
prostaglandin dan endotelin adalah yang tersedia saat ini untuk mengontrol nyeri kanker.
Gambar 3. Hubungan antar sel tumor dan nosisepsi. Selain sel-sel kanker, tumor terdiri dari sel-sel
inflamasi dan pembuluh darah, serta kadang berbatasan dengan nosiseptor aferen primer. Sel-sel
kanker dan sel inflamatorik melepaskan berbagai produk seperti ATP, bradykinin, H+, nerve growth
factor, prostaglandin dan vascular endothelial growth factor (VEGF), yang mengeksitasi atau
mensensitasi nosiseptor. Stimuli nyeri dideteksi oleh nosiseptor , dimana badan selnya terdapat pada
dorsal root ganglion (DRG), dan ditransmisikan ke neuron-neuron pada medulla spinalis. Sinyal
selanjutnya ditransmisikan ke pusat yang lebih tinggi di otak. Sinyal nyeri akibat kanker tampaknya naik
sampai ke otak setidaknya melalui dua jalur medulla spinalis – traktus spinothalamikus dan kolumna
dorsalis. Aktivasi nosiseptor menghasilkan pelepasan neurotransmitter seperti calcitonin gene-related
peptide (CGRP), endothelin, histamin, glutamat dan substansi P. Aktivasi nosiseptor juga menyebabkan
pelepasan prostaglandin dari ujung perifer serabut saraf sensorik, yang menginduksi ekstravasasi
plasma, rekruitmen dan aktivasi sel-sel imun, serta vasodilatasi. (4)
Baik pH intrasellular maupun ekstrasellular tumor padat lebih rendah dari jaringan normal sekitarnya.
Asidosis lokal-yang ditandai oleh akumulasi metabolit asam-adalah ciri trauma jaringan. Ditemukan
bahwa neuron sensorik dapat secara langsung terangsang oleh proton atau asam. Penelitian
memperlihatkan bahwa neuron sensorik mengekspresikan saluran ion berbeda-beda yang mendeteksi
asam. Kelompok utama acid-sensing ion channel ini diekspresikan oleh nosiseptor VR1 dan the acid-
sensing ion channel-3 (ASIC3). Kedua saluran ini disensitasi dan dirangsang oleh penurunan pH. Lebih
spesifik lagi, VR1 teraktivasi ketika pH turun dibawah 6.0, dan pH yang mengaktivasi ASIC3 sangat
bergantung pada ekspresi saluran ASIC pada reseptor yang sama.
Terdapat beberapa mekanisme tumor menyebabkan penurunan pH. Bersamaan invasi sel-sel inflamasi
ke jaringan neoplastik, mereka melepaskan proton yang menimbulkan asidosis lokal. Besarnya jumlah
apoptosis yang terjadi disekitar tumor juga memperbesar asidosis, karena sel-sel apoptosis melepaskan
ion-ion intrasellular yang menyebabkan suasana asam. Penurunan pH ini mengaktivasi pengiriman sinyal
oleh acid-sensing channel yang diekspresikan oleh nosiseptor.
Beberapa karakteristik klinik khas untuk nyeri viseral. Beberapa organ dalam kurang sensitif terhadap
nyeri. Organ padat seperti paru, hati, dan parenkim ginjal tidak sensitif, meski terjadi destruksi besar-
besaran oleh proses keganasan dan nyeri terasa hanya jika kapsular atau struktur dekat kapsul terlibat.
Organ berlubang dengan mukosa serosa seperti kolon sangat sensitif dengan distensi lumen dan
inflamasi namun tidak terhadap pembakaran atau pemotongan. Nyeri akibat distensi kolon lebih
bergantung pada tekanan daripada volume. Diketahui bahawa tekanan intralumen dalam kolon yang
dibutuhkan untuk menimbulkan sensasi nyeri adalah 40-50 mm Hg. Sehingga tumor dapat terus
berkembang tanpa terdeteksi dan menyebabkan nyeri hanya pada stadium terjadinya obstruksi komplit
dan terjadi peningkatan tekanan intrakolonik.
Nyeri viseral bersifat difus dan sulit dilokalisir, dan kadang dialihkan oleh nyeri struktur nonviseral yang
lain, sehingga sumber nyeri sebenarnya sulit dijelaskan. Nyeri viseral kadang disalah artikan sebagai
nyeri kutaneus. Nyeri bahu, dihasilkan oleh iritasi diafragma akibat penyakit pada pleura, adalah contoh
nyeri alih kutaneus dari nyeri viseral. Nyeri viseral kadang disertai refleks otonom seperti mual.
Nyeri viseral dimediasi oleh nosiseptor tersendiri pada sistem kardiovaskular, respirasi, gastrointestinal,
dan urogenitalia, yang dideskripsikan sebagai nyeri yang dalam, menekan, kolik, dan diteruskan ke
daerah kutaneus yang nyeri. Nyeri alih ini dianggap sehubungan dengan fakta bahwa struktur somatik
dan viseral memiliki innervasi ganda dengan serabut saraf yang umum. Serabut saraf ini bertemu pada
kornu dorsalis medulla spinalis.
Reseptor-reseptor — Penelitian terkini menunjukkan terdapat dua kelas reseptor nosiseptor sensorik
dalam visera. Kelas pertama terdiri dari reseptor “high-threshold” yang berespon terhadap stimuli
noksius mekanik. Reseptor ini diidentifikasi terdapat pada jantung, paru, saluran cerna, ureter dan
kandung kemih. Kelas kedua terdiri dari reseptor “low threshold” terhadap stimuli alami dan
menyandikan intensitas stimulus sesuai yang dilepaskan, sehingga disebut reseptor “intensity-
encoding”.
Kedua tipe reseptor sensitif terhadap stimuli mekanik seperti regangan. Data eksperimen menunjukkan
bahwa organ visera memiliki afferent nosiseptif yang normalnya dianggap “diam”. Dengan adanya
inflamasi lokal atau trauma jaringan, aferen ini menjadi tersensitasi dan berespon terhadap stimuli alami
inokous sebelumnya. Mekanisme sensitivitas yang diinduksi inflamasi ini masih belum diketahui. Aferen
high-threshold menyampaikan nyeri akut visceral. Iskemik lokal, hipoksia, dan inflamasi menyebabkan
nyeri oleh sensitisasi reseptor high-threshold dan sebelumnya reseptor ini “diam” atau reseptor tak
berespon. Mediator inflamasi yang terlepas menurunkan firing threshold-nya dan dengan sensitisasi
perifer, menambah dan membiarkan terus-menerus stimuli noksius.
Jalur — Informasi sensorik visceral diteruskan dari perifer oleh serabut saraf aferen simpatis dan
parasimpatis. Aferen nosiseptif dari toraks dan visera abdomen berjalan melalui serabut saraf eferen
simpatis visceral. Aferen nosiseptif toraks berjalan menuju splanknik thorasik sebelum menyatu bersama
trunkus simpatis paravertebralis dan memasuki kornu dorsalis. Aferen nosiseptif abdominal berjalan ke
pleksus celiac dan splanknik thorasik sebelum memasuki trunkus simpatis dan kornu dorsalis.
Sebaliknya, aferen nosiseptor viseral pelvik menyatu pada saraf splanknik pelvik, yang primernya adalah
serabut eferen parasimpatis. Saat memasuki kornu dorsalis, aferen viseral berakhir pada medulla
spinalis lamina I dan V. Aferen viseral menyusun 10% dari seluruh aferen yang masuk ke medulla
spinalis. Jumlah ini tergolong sedikit mengingat luasnya permukaan area beberapa organ. Meski
demikian, jumlah neuron kornu dorsalis yang berespon terhadap stimuli visceral diperkirakan sekitar
56% hingga 75%, menandakan perbedaan fungsional neuron-neuron ini. Tidak ada neuron yang
berespon hanya terhadap aferen viseral. Penelitian anatomik dan elektrofisiologik memperlihatkan
viserosomatik bertemu pada kornu dorsalis dan pusat supraspinal. Juga terdapat bukti viseroviseral
bertemu pada neuron ordo kedua ini. Contoh, yaitu pertemuan input viseral pelvik seperti
kolon/rectum, kandung kemih, serviks, dan vagina. Lokalisasi nyeri viseral yang kurang mungkin dapat
dijelaskan oleh kepadatan nosiseptor viseral yang rendah, perbedaan fungsional input visceral dengan
sistem saraf pusat, dan pertemuan viseroviseral pada medulla spinalis.
Sebagai tambahan traktus spinothalamik dan spinoretikular, telah diidentifikasi tiga jalur nyeri yang baru
lain pada medulla spinalis, yaitu jalur kolumna dorsalis, jalur spinoparabrachioamygdaloid, dan jalur
spinohypothalamik. Jalur kolumna dorsalis berbeda dengan neuron spinothalamik, dimana jalur ini naik
ipsilateral di dekat midline sebelum berakhir pada nucleus gracilis. Dari sana, serabut arkuata internal
menghantarkan input nosiseptif ke nucleus ventroposterolateral (VPL) di thalamus.
Nyeri Alih — Nyeri alih pada bahu, abdomen, dan tulang belakang sering didapatkan pada pasien
karsinoma pankreas. Pertemuan viserosomatik menjelaskan mengenai nyeri alih ini. Teori convergence-
projection mengemukakan bahwa aktivitas jalur spinal ascending salah menanggapinya sebagai nyeri
struktur somatik karena pengalaman nyeri somatik sebelumnya. Ketika struktur somatik terlibat pada
keganasan viseral, lokalisasi nyeri yang lebih lanjut kemudian terjadi. Hiperalgesia lokal bisa terjadi pada
daerah alih. Ini akibat kombinasi sensitisasi sentral oleh input noksius viseral kontinyu dan mekanisme
algogenik perifer.
Nyeri neuropatik dihasilkan oleh kerusakan atau inflamasi sistem saraf, baik perifer maupun sentral.
Nyeri neuropatik dicirikan oleh nyeri seperti terbakar dengan rasa tertusuk-tusuk yang intermitten,
hiperalgesia dan allodinia. Hubungan antara mekanisme dan gejala klinis agak kompleks. Mekanisme
yang mendasari mungkin berbeda untuk beberapa simptom, sementara beberapa mekanisme bisa
memperlihatkan gejala klinis yang berbeda.
Tumor tidak banyak diinervasi oleh neuron sensorik. Pertumbuhan tumor yang sangat cepat sering
menjepit dan menyebabkan trauma saraf, menimbulkan trauma mekanik, kompresi, iskemik atau
proteolisis. Enzim proteolitik yang diproduksi oleh sel tumor juga bisa mengenai serabut saraf sensorik
dan simpatis, menyebabkan nyeri neuropatik. Meski mekanisme nyeri neuropatik belum dipahami jelas,
namun beberapa terapi berhasil mengontrol nyeri neuropatik non-kanker. Contohnya, gabapentin, yang
mungkin bermanfaat pula dalam menangani nyeri kanker neuropatik.
Firing spontan nosiseptor serabut saraf C dan penurunan ambang mekanoreseptor serabut saraf Aβ
terjadi setelah trauma saraf. Setelah trauma saraf, saluran Natrium terakumulasi baik pada daerah yang
trauma maupun sepanjang akson. Saluran natrium ini membentuk fokus hipereksitabilitas yang
menghasilkan pelepasan aksi potensial ektopik pada akson dan badan saraf dari serabut saraf. Aktivitas
simpatis juga berperan dalam mekanisme nyeri spontan. Ekspresi a-adrenoreseptor pada akson yang
trauma maupun tidak trauma dapat terjadi setelah trauma saraf, menyebabkan reseptor ini sensitif
terhadap katekolamin. Trauma saraf dapat menginduksi pertumbuhan akson simpatis disekitar neuron
sensorik pada dorsal root ganglion. Neuron kornu dorsalis berperan sebagai “gate-keepers” terhadap
transmisi nosiseptif, menerima baik input eksitatorik dari neuron sensorik maupun input inhibisi dari
medulla spinalis dan di atasnya. Trauma saraf perifer dapat mengurangi kontrol inhibisi terhadap neuron
kornu dorsalis melalui berbagai mekanisme. Ini bisa terjadi oleh firing spontan dari neuron kornu
dorsalis atau respon yang berlebihan terhadap stimuli noksius. Sensitisasi sentral adalah mekanisme
penting hiperalgesi dan allodinia. Ada dua mekanisme tambahan untuk allodinia. Trauma saraf perifer
menginduksi sprouting ujung sentral serabut saraf Aβ ke lamina II, yang normalnya hanya menerima
informasi nosiseptif dari serabut saraf C. Akibatnya, informasi low-threshold dari serabut saraf besar
aferen Aβ yang normalnya dipersepsikan sebagai sentuhan kemudian mengalami salah interpretasi oleh
sistem saraf sebagai nyeri. Trauma saraf perifer juga bisa menyebabkan ekspresi neuropeptida yang
biasanya terlibat pada nosisepsi seperti substansi P dan calcitonin-gene-related peptida pada serabut
saraf Aβ, fenomena yang disebut phenotypic switch. Selanjutnya, serabut saraf Aβ, saat stimulasi
dengan stimuli low-threshold, akan melepaskan substansi P di kornu dorsalis sehingga menimbulkan
keadaan hipereksitabilitas sentral yang normalnya dihasilkan hanya oleh input nosiseptif.
Dari sekian banyak etiologi neuropatik pada nyeri kanker, nyeri neuropatik akibat kemoterapi khususnya
sangat mengganggu kualitas hidup penderita, dan penggunaan obat sitostatika semakin dikenal
menyebabkan neuropati perifer. Mekanisme agen kemoterapi (seperti paclitaxel dan vinkristin)
menyebabkan neuropati perifer diantaranya karena kemampuan mereka merusak fungsi tubulin.
Polimerisasi tubulin penting untuk transport aksonal dari faktor tropik, dan obat-obat yang terkait
proses ini dapat menyebabkan degenerasi neuron sensorik serta pelepasan sitokin-sitokin pro-
inflamatorik yang secara langsung mensensitasi nosiseptor aferen primer. Palitaxel yang diberikan pada
tikus menyebabkan neuropati perifer yang mirip pada manusia, termasuk hiperalgesia dan allodinia.
Meski tidak ada degenerasi yang terlihat pada dorsal root ganglia atau kornu dorsalis, edema
endoneural juga terlihat pada pemeriksaan dengan mikroskopik elektron pada nervus schiatic. Pada
penelitian neuropati perifer yang diinduksi oleh vinkristin pada tikus, didapatkan hiperalgesia dan
perlambatan penghantaran serabut saraf sensorik. Pada penelitian lain dengan vinkristin, neuron
sensorik berdiameter besar menjadi bengkak, dan neurofilamen pada badan sel saraf dan akson
meningkat jumlahnya, menandakan kerusakan transport aksonal anterograde.(4,10)
Cisplatin (Platinol), ifosfamide (Ifex), paclitaxel, and vinkristin telah diketahui menyebabkan neuropati
perifer. Tambahan, oxaliplatin (Eloxatin) yang diberikan secara parenteral menyebabkan allodinia dingin
yang akut saat pertama kali diinfus. Pasien merasakan nyeri dan kram ketika mengangkat minuman
dingin. Ini mungkin diikuti dengan neuropati persisten, mirip dengan yang diinduksi oleh agen
kemoterapi yang lain. Kebanyakan neuropati yang diinduksi kemoterapi bergantung pada dosis. Pasien
kanker dengan neuropati perifer sebelumnya akibat kondisi lain, yaitu diabetes, penyakit pembuluh
darah iskemik, atau defisiensi nutrisi, beresiko besar menderita neuropati perifer setelah kemoterapi.
Pengobatan dengan ciprofloksasin, ethambutol, gentamisin, isoniazid, metronidazol, fenitoin, dan statin
juga meningkatkan resiko neuropati perifer. (4,6,10)
Nyeri akibat infiltrasi tumor pada tulang. Metastase pada basis tengkorak sering didapatkan pada pasien
tumor nasofaring. Nyeri adalah keluhan awal dan tanda-tanda neurologis dapat muncul dalam beberapa
minggu atau bulan. Sindroma foramen jugular berhubungan dengan nyeri occipital yang diteruskan ke
verteks kepala dan bahu ipsilaterl serta lengan dan diperberat oleh gerakan kepala. Gejala klinis
bervariasi sesuai saraf kranialis yang terlibat antara lain suara serak, disartria, disfagia, kelemahan leher
dan bahu, serta ptosis. Metastse pada klivus ditandai dengan nyeri kepala verteks yang diperberat fleksi
leher. Metastase sinus sphenoid dicirikan oleh nyeri kepala bifrontal dan nyeri retro-orbital intermitten.
Fraktur prosessus odontoid dengan kanker biasanya ditemukan akibat destruksi atlas. Biasanya, pasien
mengeluh nyeri leher berat dan kekakuan tanpa tanda-tanda kompresi epidural. Nyeri biasanya
merambat melalui aspek posterior tengkorak ke verteks dan diperberat dengan gerakan leher,
khususnya fleksi leher. Jika tidak terdiagnosa lebih awal, kerusakan saraf irreversibel dapat terjadi dan
pasien bisa mengalami paraplegia dan quadriplegia.10
Nyeri akibat infiltrasi tumor pada saraf. Nyeri akibat infiltrasi tumor ke saraf, pleksus dan meanings bisa
disebabkan oleh infiltrasi langsung pada saraf, kompresi atau fraktur metastatik struktur tulang ke saraf
atau akar saraf. Saraf perifer sering diinfiltrasi oleh tumor yang mengenai interkostal, paravertebral,
atau rongga retroperitoneal. Didapatkan nyeri terbakar dengan dysthesia pada daerah yang hilang
sensoriknya. Nyeri bersifat radikular dan cenderung unilateral. Sindroma pancoast merupakan contoh
infiltrasi tumor pada pleksus brachial dan sering didapatkan pada pasien kanker payudara, limfoma, dan
kanker paru. Nyeri dirasakan di daerah bahu dan daerah paraspinal. Lima puluh persen pasien dengan
sindroma Pancoast mengalami kompresi epidural dalam perkembangan penyakitnya. Pleksopati
lumbosakral akibat tumor pelvik menyebabkan kelemahan tungkai dan penurunan mobilitas.10
Dalam menangani pasien nyeri dengan kanker, perlu diidentifikasi sifat nyeri (somatik, viseral,
neuropatik). Telah diketahui bahwa pendekatan farmakologik merupakan terapi utama, namun harus
diketahui pula pentingnya pendekatan psikologik, tingkah laku, anestetik, dan pembedahan pada pasien
kanker.
Prinsip strategi terapi pada pasien kanker harus meliputi : (a) pemeriksaan yang detail mengenai nyeri
pasien, (b) pendekatan terapi sesuai individu, (c) jaminan mengenai tersedianya tenaga ahli yang
mendukung terapi pasien, (d) penilaian kontinyu derajat perbaikan nyeri dan efeknya terhadap mood,
status fungsional, penerimaan pasien dan keluarga, serta kualitas hidup keseluruhan pasien, (e) memilih
pendekatan terapi yang paling mudah sebelum terapi yang lebih kompleks dan teknik yang lebih lanjut,
(f) komunikasi antara dokter dan pasien dalam menentukan pilihan terapi serta mempertimbangkan
manfaat dan kerugian terapi, (g) menentukan tujuan penatalaksanaan nyeri pada pasien paliatif.
1. Onset
2. Lokasi
3. Deskripsi
4. Intensitas
Pada skala 0-10, dimana 0 tidak ada nyeri dan 10 adalah paling nyeri, anda berada pada skala berapa
sekarang? Bagaimana skala nyerinya pada saat anda rasakan paling berat? Bagaimana skala nyerinya
saat anda merasa paling baik?
Apa terapi yang sebelumnya anda dapatkan untuk menyembuhkan nyeri ini?
7. Efek
B. Penilaian Psikososial 11
Efek dan pemahaman mengenai diagnosis kanker dan terapi kepada pasien.
Pemahaman, keingintahuan, pilihan dan harapan pasien mengenai metode terapi nyeri kankernya.
Perhatian pasien mengenai obat-obat yang dibawah pengawasan seperti opioid, anti anxietas, atau
stimulant.
Memeriksa daerah yang nyeri dan mengevaluasi bentuk nyeri alih yang umum.
Nyeri belakang dan leher –fungsi motorik dan sensorik ekstremitas; fungsi spinkter rektum dan saluran
urogenitalis.
D. Evaluasi diagnostik 11
Evaluasi rekurensi atau progresi penyakit atau trauma jaringan akibat terapi kanker.
Pemeriksaan radiologis.
Melakukan pemeriksaan radiologik yang sesuai dan melihat korelasi normal atau tidak normal dari
temuan pemeriksaan fisik dan neurologik. Mengetahui keterbatasan pemeriksaan diagnostik.
Bone scan – negatif palsu pada myeloma, lymphoma, daerah yang telah mendapat radioterapi
sebelumnya.
CT scan – gambaran yang jelas pada tulang dan jaringan lunak namun sulit untuk menggambarkan
keseluruhan tulang belakang.
MRI scan – gambaran tulang tidak sebaik CT; namun untuk tulang belakang dan otak lebih bagus.
Strategi terapi yang baik membangun kepercayaan antara pasien dan dokter. Pada pemeriksaan awal,
status psikologik pasien harus dievaluasi, antara lain sejarah psikiatrik pasien, tingkat kecemasan atau
depresi saat ini, adanya ide bunuh diri, atau derajat kapasitas fungsional. Gejala psikiatrik merupakan
tanda nyeri tak terkontrol. Nyeri tak terkontrol adalah faktor utama pasien kanker ingin bunuh diri. 6
Penggunaan beberapa skala seperti Brief Pain Inventory, McGill Pain Questionnaire, Memorial Pain
Assessment Card (MPAC), dan Memorial Symptom Assessment Scale (MSAS) memungkinkan penilaian
nyeri dan mood yang berulang dan valid serta memberikan fasilitas kepada tenaga kesehatan dalam
menilai derajat nyeri psikis tekanan emosional pada pasien. 6
Mengendalikan nyeri kanker penting karena nyeri yang tak teratasi menyebabkan penderitaan karena
nyeri membatasi aktivitas, selera makan, dan tidur, selanjutnya membuat pasien lemah dan tidak
berdaya. Efek psikologisnya sangat menghancurkan karena menghilangkan semangat dan harapan hidup
pasien. Kerugian biaya nyeri kanker sangat tinggi akibat penderitaan pasien, keterbatasan aktivitas dan
penurunan kualitas hidup. Penatalaksanaan nyeri kanker merekomendasikan pendekatan farmakologik
dan nonfarmakologik secara agresif pada pasien ini.6,9
Pada tahun 1986, Badan Kesehatan Sedunia (WHO) mengembangkan model konseptual 3-langkah untuk
memandu penatalaksanaan nyeri. Model ini memberikan pendekatan yang telah teruji dan sederhana
untuk seleksi yang rasional dalam pemberian dan titrasi analgesik. Saat ini, terdapat konsensus yang
menyeluruh mengenai penggunaan terapi medis dengan model ini untuk seluruh nyeri.
Bergantung pada beratnya nyeri, pemberian terapi dimulai sesuai tingkatan nyeri. Untuk nyeri ringan
(sesuai skala analog numerik 1-3/10) dimulai pada langkah 1. Untuk nyeri sedang (4-6/10), dimulai pada
langkah ke-2. Hal ini dicirikan oleh nyeri yang mempengaruhi konsentrasi dan waktu tidur. Untuk nyeri
berat, berupa nyeri yang mempengaruhi seluruh aspek dari kehidupan, termasuk fungsi sosial (7-10/10),
dimulai pada langkah ke-3. Tidak perlu untuk melalui semua langkah secara bertahap, pasien dengan
nyeri berat mungkin bisa langsung mendapat terapi opioid langkah ke-3 segera mungkin.
Penanganan yang efektif membutuhkan pengetahuan yang jelas mengenai farmakologi, akibat yang
mungkin ditimbulkan, dan efek yang tidak diinginkan sehubungan dengan analgesik yang diberikan, dan
bagaimana efek ini berbeda dari satu pasien ke pasien lain.
Lima konsep penting dari pendekatan WHO untuk terapi obat pada pasien nyeri kanker :
By the mouth.
By the clock.
By the ladder.
Analgesik pada langkah ke 1 memiliki “ceiling effect” terhadap efek analgesia mereka (dosis maksimum
yang terlampaui menyebabkan hilangnya efek analgesia yang diharapkan).
Asetaminofen. Asetaminofen adalah analgesik langkah ke-1 yang efektif. Asetaminofen juga analgesik
tambahan yang sangat berguna pada berbagai keadaan, termasuk sakit kepala. Asetaminofen
merupakan analgesik dan antipiretik poten namun tidak memiliki sifat anti inflamasi yang signifikan.
Tempat dan mekanisme kerjanya masih belum jelas namun dianggap memiliki efek sentral. Dosis kronik
> 4.0 g/24 jam atau dosis akut 6.0 g/24 jam tidak direkomendasikan sebab bersifat hepatotoksik.
Penyakit hepar atau pengguna alkohol berat meningkatkan resiko lebih lanjut. 12
Flower dan Vane pertama mempostulasikan bahwa parasetamol memiliki mekanisme kerja sentral.
Besarnya sensitivitas sel-sel yang mengandung COX-3 terhadap parasetamol dianggap sebagai indikasi
bahwa target kerja parasetamol adalah pada COX-3. COX-3 pada manusia terdiri dari 633 asam amino.
Cyclooxygenase-3 (COX-3) adalah varian COX-1 . Ekspresi mRNA COX-3 didapatkan terutama pada
hypothalamus, pituitary, dan pleksus koroid, tempat yang merupakan target kerja parasetamol.
Parasetamol memiliki efek dominan pada sistem saraf pusat karena kadar peroksida dan asam
arakhidonik pada otak lebih rendah dibanding pada daerah perifer yang mengalami inflamasi.14
Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid. Obat-obat anti-inflamasi non steroid (AINS, termasuk aspirin)
adalah analgesik langkah ke-1 yang efektif. Obat-obat AINS bekerja, pada suatu bagian menghambat
siklo-oksigenase, enzim yang mengubah asam arakhidonik menjadi prostaglandin. Prostaglandin adalah
lipid pro-inflamatorik yang terbentuk dari asam arakhidonik oleh kerja enzim cyclooxygenase (COX) dan
produk sintetase akhir lain. Prostaglandin terlibat pada sensitisasi dan/atau eksitasi langsung nosiseptor
dengan melekat pada beberapa reseptor prostanoid yang diekspresikan oleh nosiseptor. Dua bentuk
COX terlibat pada sintesis prostaglandin,yaitu COX 1 yang diekspresikan oleh kebanyakan jaringan, dan
COX 2 yang diekspresikan hanya pada kondisi inflamasi. Sel-sel kanker dan makrofage akibat tumor
memperlihatkan level COX 2 yang tinggi, menyebabkan produksi prostaglandin yang tinggi pula.4,
Masalah pada penggunaan inhibitor COX 1 dan COX 2 pada terapi nyeri kanker yaitu bahwa COX 1
menjaga mukosa normal gaster dan dengan menginhibisinya (misal: aspirin dan ibuprofen yang
menginhibisi keduanya) menyebabkan perdarahan dan ulkus. Inhibitor selektif COX 2 sebaliknya, tidak
menyebabkan komplikasi GI. COX 2 berkaitan dengan angiogenesis dan pertumbuhan tumor, sehingga
penggunaan inhibitor COX 2 dalam nyeri kanker bisa memperlambat progresi kanker. Sifat antagonis
COX 2 tampaknya menjanjikan dalam mengurangi nyeri kanker, meski penelitian lebih lanjut dibutuhkan
dalam melihat kerja COX 2 pada berbagai macam kanker. Namun, penelitian terkini mengatakan bahwa
efek protrombotik yang dimiliki inhibitor COX2 bisa meningkatkan resiko MI, stroke, dan klaudikasio
pada pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Tampaknya efek ini berhubungan dengan lama
penggunaan dan dosis yang diberikan. 4,9,12,13
Dengan inhibisi cyclooxigenase, gastropati, gagal ginjal, dan penghambatan agregasi platelet dapat
terjadi, tidak tergantung rute pemberiannya, dengan medikasi nonselektif apapun. Meski demikian,
beberapa obat seperti ibuprofen, nabometon, dan yang lain-lain tampaknya relatif lebih aman. Obat
sitoproteksi gaster seperti misoprostol atau PPI mungkin perlu pada pasien dengan faktor resiko riwayat
perdarahan atau ulkus pada gaster, mual/muntah, habisnya protein tubuh, kaheksia, dan untuk pasien
usia tua. Untuk meminimalkan resiko gagal ginjal, termasuk nekrosis papiler, pastikan hidrasi yang
adekuat dan produksi urine yang cukup pada pasien dengan obat AINS. Medikasi nonselektif adalah
kontraindikasi relatif pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Jika ada masalah perdarahan, atau fungsi
koagulasi atau platelet terganggu maka obat AINS menjadi kontraindikasi. Inhibitor selektif COX-2 yang
baru mengurangi toksisitas ini dan mungkin diindikasikan pada pasien dengan resiko tinggi. 12,15,16
Farmakologi Opioid. Opioid, kodein, hidrokodon, hidromorfon, morfin, oksikodon, dll, semuanya
memiliki farmakologi dan farmakologi yang nyaris sama. Obat-obat ini mencapai konsentrasi puncak
dalam plasma kurang lebih 60-90 menit setelah pemberian oral (termasuk personde) atau rektal, dan 30
menit setelah pemberian subkutan atau injeksi intramuskular. Injeksi intravena mencapai Cmax segera
namun efek puncaknya agak lambat dan bervariasi berdasarkan opioidnya, butuh waktu 10-20 menit
dengan morfin. Telah diketahui secara umum bahwa efek analgesik dan sedasi adalah konstan pada
waktu yang sama. Mereka tereliminasi dari tubuh secara langsung dan jalurnya telah diketahui, sesuai
dengan dosinya. Hepar yang pertama mengkonyugasikan mereka. Kemudian ginjal mengekskresikan
90%-955 metabolit mereka. Jalur metabolit mereka tidak mengalami saturasi. Setiap metabolit opioid
memiliki waktu paruh (t1/2) yang bergantung pada bersihan ginjal. Jika bersihan ginjal normal, maka
kodein, hidrokodon, hodromorfon, morfin, oksikodon dan metabolit mereka memiliki waktu paruh
efektif sekitar 3-4 jam. Jika dosis diulangi, konsentrasi plasma mereka mendekati “steady state” setelah
4 hingga 5 jam. Oleh karena itu, konsentrasi plasma “steady state” biasanya dicapai dalam sehari.
12,16,17
Dosis oral rutin-sediaan opioid lepas-segera. Jika opioid oral lepas-segera dipilih dan nyeri masih terus
berlangsung, atau hampir tiap saat, beri sediaan obat q 4 h. Kontrol nyeri terbaik mungkin tercapai
dengan tercapainya dosis yang memadai dalam sehari (dengan tercapainya “steady state”). Memberikan
sediaan pada pasien dengan dosis-dosis terbagi yang sama dapat digunakan ketika terjadi
“breakthrough pain” (rescue dose). Jika nyeri masih tidak dapat terkontrol dalam 24 jam, tingkatkan
dosis mulai 25% hingga 50% untuk nyeri ringan hingga sedang, mulai 50% hingga 100% untuk nyeri
berat sampai nyeri tak terkontrol, atau sejumlah dengan dosis total “rescue medication” yang
digunakan dalam 24 jam sebelumnya. Jangan menunggu lama. Penundaan justru memperlama derita
nyeri pasien. Jika nyeri menjadi berat dan tak terkontrol setelah 1 atau 2 dosis (seperti pada “crescendo
pain”), tingkatkan dosis lebih cepat. Observasi ketat pasien hingga nyeri menjadi lebih terkontrol.
12,17,18
Untuk pasien yang relatif pertama dengan opioid dan nyeri signifikan, mulailah dosis 10 hingga 30 mg
dengan tablet atau cairan konsentrasi morfin oral lepas-segera q 4 h, atau
Untuk pasien dengan pemaparan opioid yang signifikan sebelumnya, hitunglah dosis awal untuk opioid
lepas-segera dengan tabel analgesik lain yang sepadan (untuk memulai opioid baru , kita harus
megulang kembali dosis ini seperlunya) dengan dosis q 4 h, atau
Untuk pasien dengan nyeri yang stabil dan tidak berat, mulailah dengan morfin oral “extended release”
pada dosis 15 atau 30 mg dua kali sehari atau 30 hingga 60 mg sekali dalam sehari (berdasarkan
formulasi). Selanjutnya, jelaskan mengenai “breakthrough” atau “rescue dose” yaitu 10% (5-15%) dari
dosis total tiap 24 jam dan dapat digunakan q 1 h po prn. Pada pasien rawat jalan, mintalah pada pasien
dan keluarganya untuk mencatat obat-obatan yang mereka dapatkan dalam sebuah catatan harian.
12,16
Dosis oral rutin : Sediaan opioid “extended-release” dan sediaan dengan waktu-paruh yang panjang.
Sebagian kecil pemberian dosis formulasi opioid “extended” atau “sustained-release” dengan waktu
paruh yang panjang (seperti ms contin, t1/2 >>12-24 jam, kadang lebih lama) tampaknya meningkatkan
keinginan dan ketergantungan pasien. Tablet opioid “extended” atau “sustained-release” diformulasikan
khusus dengan kontrol waktu per 8, 12, atau 24 jam (berdasarkan produk). Mereka harus diminum
seluruhnya, tidak dihancurkan atau dikunyah. Kapsul “extended-release” mengandung butir-butir yang
dilepaskan sesuai waktu dan ditelan seluruhnya, atau butiran tersebut dapat dicampur dengan air atau
dimasukkan dalam sonde selang lain menuju traktus GI. Kontrol nyeri yang paling baik jika dosis telah
tercapai dalam 2 hingga 4 hari (ketika “steady state” telah tercapai). Dosis “extended-release” sebaiknya
tidak diubah lebih dari sekali dalam 2-4 hari. (6,12,16) Metadon memiliki waktu-paruh yang panjang dan
bervariasi. Meski waktu paruhnya biasa mendekati sehari atau lebih lama, interval dosis yang efektif
untuk analgesia biasanya dengan frekuensi q 8 h; kadang q 6 h, bahkan sampai q 4 h. Keanekaragaman
waktu-paruh dan potensi yang tidak diharapkan kadang didapatkan dengan obat ini, maka perlu untuk
meningkatkan dosis hanya tiap 4 hingga 7 hari atau sedikit lebih sering.12,18
Mengubah menjadi sediaan “extended-release” : Morfin. Untuk mengubah menjadi sediaan “extended-
release”, hitung dosis morfin total yang dibutuhkan untuk mencapai kenyamanan pasien dalam periode
24 jam. Juga dapat dibagi 2 untuk mendapat morfin “extended release” dosis per 12 jam secara rutin,
atau memberi dosis total satu kali dalam sehari (tergantung produknya). Selalu berikan berikan
“breakthrough dose” lepas-segera dalam bentuk tablet atau cairan terkonsentrasi. Berikan 10 % (5-15
%) dari dosis 24 jam q 1 h po prn. Monitor dengan ketat dan titrasi sesuai kebutuhan.12,13,17
“Breakthrough pain”. Bahkan ketika nyeri kronik terkontrol baik dengan opioid kerja panjang,
breakthrough pain dapat terjadi, dnegan episode yang cepat, dalam 3-5 menit, atau lebih lama.
Ketidaknyamanan bisa berlangsung beberapa menit hingga beberapa jam. Umumnya pasien
menggambarkan breakthrough pain dalam skala intensitas 4/10 atau lebih. Nyeri tipe ini bisa terjadi
beberapa kali sehari. Tipenya antara lain:
Nyeri insiden, disebabkan oleh aktivitas. Misal pada fokus di panggul, pasien nyaman saat duduk namun
nyeri saat bangkit dari duduk.
Nyeri spontan, terjadi tanpa alasan jelas. Nyeri singkat ini terjadi tiba-tiba, bahkan saat pasien tidak
melakukan apapun.
End-of-dose failure, terjadi ketika efek obat kerja lama habis sebelum dosis selanjutnya. Contoh, pasien
mendapat sediaan per-12 jam, mulai jam 8 pagi, namun mulai jam 4 sore pasien merasa nyeri. Artinya,
obat yang diberikan seharusnya sediaan per-8 jam atau dosis rescue diantaranya.12,13,15
“Breakthrough doses”. Nyeri berat yang muncul sesaat, disebut “breakthrough pain” dapat terjadi baik
pada saat istirahat dan bergerak. Ketika nyeri tersebut berlangsung lebih dari beberapa menit,
dibutuhkan analgesik ekstra, yaitu “breakthrough” atau “rescue doses”, yang akan memberi tambahan
terapi. Untuk lebih efektifnya dan meminimalkan efek yang tidak diinginkan, gunakan sediaan opioid
lepas-segera yang sama dan digunakan dengan dosis rutin. Ketika metadon atau fentanil transdermal
dipakai, sebaiknya digunakan pilihan opioid kerja singkat, seperti morfin atau hidromorfon sebagai
“rescue dose”. Untuk setiap “breakthrough dose”, berikan 10 % (5-15 %) dari dosis 24 jam. Ketika efek
analgesik puncak berkorelasi dengan konsentrasi plasma puncak (Cmax), “breakthrough doses” dapat
diberikan saat Cmax telah tercapai. Sebagai catatan, kodein, hidrokodon, morfin, oksikodon, dan
hidromorfin memiliki kemiripan. Ekstra “breakthrough dose” dapat diberikan satu kali tiap 1 jam dengan
pemberian oral, sedikit dikurangi pada pasien lemah atau orang tua (setiap 2 jam), setiap 30 menit jika
diberikan subkutan atau intramuscular, dan setiap 10-15 menit jika diberikan melalui intravena. Interval
yang lama antara “breakthrough doses” hanya memperlama derita nyeri pasien. (12,15,16,17)
Jika pasien membutuhkan lebih dari 2 hingga 4 “breakthrough doses” dalam waktu 24 jam dari
pemberian rutin, pertimbangkan untuk meningkatkan dosis sediaan “extended release”.
Tentukan jumlah total morfin yang digunakan (rutin + breakthrough) dan berikan dari total jumlah
dalam dosis terbagi q 12 h atau q 24 h (berdasarkan produknya).
Hitung ulang “breakthrough dose” sehingga dosis tersebut selalu 10 % dari dosis total dan berikan q 1 h
po.
Pada pasien dengan kanker, alasan paling utama untuk meningkatkan dosis adalah patologi yang makin
memburuk, bukan karena toleransi farmakologik.
Perhatian terhadap klirens. Opioid dan metabolitnya diekskresi secara primer melalui ginjal (90 %- 95
%). Morfin memiliki 2 metabolit utama : morfin-3-glukoronide dan morfin-6-glukoronide. Sebagai
akibatnya, ketika dehidrasi atau gagal ginjal akut dan kronik merusak klirens ginjal, interval dosis untuk
morfin harus ditingkatkan, atau jumlah dosis dikurangi, untuk mencegah akumulasi berlebihan dari obat
yang aktif. Jika produksi urine minimal (oligouria) atau tidak ada (anuria), hentikan dosis rutin dan
berikan morfin hanya sesuai kebutuhan. Hal ini paling sangat penting ketika pasien sekarat. Hal ini tidak
menjadi sepenting pada pemberian opioid lain seperti hidromorfon atau fentanil. Metabolisme opioid
tidak terlalu sensitive terhadap hepar. Namun demikian, jika fungsi hepar memburuk, tingkatkan
interval dosis atau turunkan dosis.6,15,16,18
Tidak direkomendasikan. Tidak semua analgesik yang ada sekarang direkomendasikan untuk dosis akut
atau kronik. Meperidin sangat sedikit diabsorbsi melalui oral dan memiliki waktu paruh sekitar 3 jam.
Metabolit utamanya, normoperidin, tidak memiliki sifat analgetik, dengan waktu paruh sekitar 6 jam,
diekskresi di renal, dan memberi efek yang tidak diinginkan jika terakumulasi (rasa bergetar, disforia,
mioklonus, dan kejang). Dosis rutin meperidin q 3 h untuk analgesia mengakibatkan akumulasi tak dapat
dicegah dan memberi resiko munculnya efek yang tidak diinginkan pada pasien, khususnya jika klirens
ginjal terganggu. Oleh karena itu, meperidin tidak direkomendasikan untuk dosis rutin. Propoxyphene
khususnya diberikan pada dosis tertentu untuk menghasilkan sedikit analgesia. Peningkatan dosis dapat
menyebabkan akumulasi metabolit toksik. Campuran agonis dan antagonis opioid, seperti pentazocine,
butorphanol, nalbuphine, dezocine, sebaiknya tidak digunakan pada pasien yang baru saja mendapat
agonis opioid murni (kodein, hidrokodon, hidromotfon, metadon, morfin, oksikodon). Jika digunakan
bersama-sama, kompetisi pada reseptor opioid dapat menyebabkan reaksi withdrawal. Lebih jauh lagi,
agonist-antagonist tidak direkomendasikan sebagai analgesik rutin, karena dosis mereka dibatasi oleh
ceiling effect. Penggunaan pentazocine dan butorphanol berhubungan dengan resiko tinggi relatif
psikotomimetik. 12,13,15,18
Persepsi bahwa pemberian analgesik opioid untuk penanganan nyeri menyebabkan adiksi adalah sebuah
mitos tidak sesuai yang menghambat kontrol nyeri yang adekuat. Kebingungan mengenai perbedaan
antara adiksi, toleransi dan ketergantungan fisik adalah adalah hal yang bertanggung jawab terhadap
persepsi ini. 19,20
Adiksi , adalah istilah yang saat ini digunakan, merupakan fenomena yang kompleks. Ini ditandai oleh
ketergantungan psikologik terhadap obat-obat dan kumpulan tingkah laku yang diakibatkan Penggunaan
obat berulang dan terus-menerus, meski diketahui menimbulkan bahaya. Perhatian harus diberikan
untuk membedakan adiksi yang sebenarnya (gangguan penggunaan obat-obatan) dari pemakaian obat
dengan tujuan kriminal, disfungsi psikologik/keluarga/tingkah laku, dan pseudoadiksi.19,20
Pseudoadiksi, adalah tingkah laku pasien serupa dengan tingkah laku adiktif (mengumpulkan obat-obat,
mencari resep-resep dari berbagai dokter, selalu meminta pengobatan yang berulang-ulang) namun
akibat penanganan nyeri yang kurang memadai. Tingkah laku ini hilang dengan penanganan yang
sesuai. 12,19,20
Toleransi farmakologik, adalah berkurangnya keefektifan dosis obat yang diberikan dari waktu ke waktu.
Toleransi terhadap efek samping diobservasi lebih sering dan lebih disukai. Toleransi terhadap analgesia
agak jarang secara klinis ketika opioid digunakan secara rutin. Dosis-dosis mungkin stabil untuk waktu
yang lama jika stimulus nyeri tidak berubah. Jika dibutuhkan peningkatan dosis, lebih dicurigai terjadinya
perburukan pennyakit dibanding toleransi farmakologik.12,19,20
Ketergantungan fisik, adalah akibat dari perubahan neurofisiologik yang terjadi oleh adanya opioid
eksogen. Outcome yang hampir sama terjadi akibat adanya hormone eksogen dan obat-obat lain (beta-
bloker, agonist α-2,dll). Withdrawal opioid yang sangat cepat dapat terjadi dengan munculnya kumpulan
gejala berupa takikardi, hipertensi, diaphoresis, piloereksi, mual dan muntah, diare, sakit-sakit badan,
nyeri perut, psikosis, dan/atau halusinasi. Ketergantungan fisik tidak sama dengan adiksi.
Ketergantungan fisik bukan bagian dari adiksi. Terjadinya hal ini bukan berarti opioid tidak dapat
dihentikan. Jika stimulus nyeri menurun atau berhenti, dosis opioid biasanya dapat diturunkan sebanyak
50 % atau lebih dalam 2 hingga 3 hari, dan akhirnya dihentikan. Jika dosis diturunkan terlalu cepat dan
kumpulan gejala pantangan muncul, perlu diberikan opioid untuk sementara, penanganan dengan
klonidin, atau dosis kecil benzodiazepine (seperti lorazepam) untuk meredakan gejala. (12,19,20) Untuk
menangani nyeri lebih efektif, dokter perlu memberi penjelasan pada pasien, keluarga, dan pihak lain
mengenai tidak perlu takut akan adiksi. Opioid sendiri tidak menyebabkan ketergantungan psikologik.
Adiksi adalah akibat yang sangat jarang dari penanganan nyeri jika tidak ada riwayat penyalahgunaan
obat. Karena pasien dengan riwayat penyalahgunaan obat juga dapat mengalami nyeri, mereka berhak
mendapatkan terapi nyeri yang sesuai ketika terjadi nyeri. Kebanyakan pasien memerlukan pengawasan
ketat terhadap protokol dosis dan persetujuan sangatlah penting. Dokter yang tidak terbiasa dengan
situasi ini mungkin membutuhkan pertolongan dari dokter ahli penanganan nyeri dan/atau penanganan
adiksi.(12,19,20,21)
Nyeri kurang responsif terhadap opioid. Jika pemberian dosis secara bertahap memberikan efek yang
tidak diinginkan, pertimbangkan salah satu dari pilihan berikut ini. Efek samping dari suatu terapi,
seperti psikostimulan, dapat membantu sedasi. Rute pemberian yang lain atau opioid golongan lain
mungkin efektif, tanpa beberapa efek samping. Analgesik adjuvant dapat membantu meringankan
kebutuhan opioid. Selalu pertimbangkan pendekatan nonfarmakologik.12,13
Pemeriksaan yang sedang berlangsung. Jika kontrol nyeri tidak adekuat, dosis analgesik sebaiknya
ditingkatkan hingga tercapai pemulihan nyeri. Sebaliknya dengan asetaminofen dan obat AINS, tidak ada
dosis maksimum untuk agonis opioid murni. Jika efek yang tidak diinginkan tak dapat ditoleransi,
analgesik alternatif atau rute pemberian mungkin lebih efektif dalam mengontrol nyeri tanpa
menghasilkan efek kebalikan yang sama. Beberapa pasien juga akan mengalami nyeri spontan yang
kurang atau perubahan pada penyakit yang mendasarinya. Jika pasien mendapatkan kontrol nyeri yang
baik pada dosis opioid yang stabil, dan tidak mengalami efek samping yang tidak diinginkan (khususnya
mengantuk), maka pasien aman untuk mengendarai mobil. 12,13,21
Pada umumnya, rute melalui mulut paling kurang invasif dan paling nyaman dalam pemberian opioid
rutin. Meski demikian, beberapa pasien tertentu mendapatkan keuntungan dari rute lain jika pemberian
melalui oral tidak memungkinkan (akibat muntah, disfagia, obstruksi esofagus) atau akibat efek samping
yang tidak diinginkan (mual, pusing, dan bingung). 6,12,16,21
Pipa makanan enteral merupakan pilihan lain dalam memotong rute obstruksi gastroesofageal. Pipa ini
menghantarkan obat-obat menuju lambung hingga saluran cerna bagian atas dimana obat-obatan
memiliki farmakologi yang sama jika mereka diminum melalui mulut.
Pemberian transmukosal (mukosa buccal) dengan sediaan cairan lepas-segera yang lebih
terkonsentrasi, merupakan alternatif yang hampir sama dengan yang di atas, khususnya pada pasien
yang tidak dapat menelan. Rute ini khususnya efektif pada pasien yang sekarat. Pemberian sediaan
rektal lepas-segera atau lepas-lambat melalui rektal memilki farmakologik yang mnyerupai sediaan oral.
Tempelan transdermal merupakan rute alternatif dalam pemberian opioid untuk pasien yang
mendapatkan dosis opioid rutin yang stabil. Saat ini hanya sediaan fentanyl yang diproduksi, sediaan ini
agak berbeda dengan formula lepas-terbatas yang lain. Steady-state equilibrium tercapai selama
medikasi dengan tempelan, mengambil tempat pada subdermal, dan memasuki sirkulasi pasien. Rata-
rata, kontrol nyeri yang terbaik dicapai dalam 1 interval dosis (misal, 3 hari) dengan efek puncak sekitar
24 jam. Efeknya biasa berlangsung selama 48 hingga 72 jam sebelum tempelan ini perlu diganti.
Perhatian harus diberikan untuk memastikan bahwa tempelan ini melekat dengan kulit pasien (hindari
daerah yang berambut) dan jangan dilepas saat mandi atau berkeringat.
Pemberian parenteral dengan suntikan atau infus dapat lebih bermanfaat pada pasien tertentu. Jika
fungsi ginjal normal, berikan dosis bolus tiap 3 jam dan sesuaikan dosisnya tiap 12 hingga 24 jam ketika
steady state tercapai. Dosis steady state sama efektifnya pada pemberian subkutaneus, intravena, dan
intramuskular. Meski demikian, pada pasien tertentu yang naif terhadap opioid, pemberian intravena
secara bermakna menyebabkan depresi napas yang berlebihan dibanding pemberian dosis melalui IM
atau SK. Hal ini sebagian disebabkan oleh karena dosis IM/SK memiliki puncak konsentrasi yang lebih
rendah dan mencapai konsentrasi maksimalnya lebih lambat dan memungkinkan terbentuknya karbon
dioksida sebagai umpan balik depresi pernapasan. Jika rute prenteral digunakan untuk beberapa waktu,
pemberian infus kontinyu akan menghasilkan kadar dalam plasma yang lebih konstan, menurunkan
resiko efek samping, lebih dapat ditoleransi oleh pasien, dan membutuhkan inetrvensi lebih sedikit dari
staf profesional. Patient-controlled analgesia (PCA) telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi baik oleh
pasien. Sementara infus intravena mungkin lebih dipilih jika jalur intravena telah terpasang dan
digunakan untuk obat yang lain, seluruh opioid untuk pemberian parenteral dapat diberikan melalui
subkutan tanpa menyebabkan ketidaknyamanan sehubungan dengan pencarian tempat IV atau resiko
yang sama akan infeksi serius. Baik jarum ukuran 25 atau 27 dapat diberikan baik dengan dosis bolus
maupun infus. Jarum dapat tetap ditempat insersinya selama 7 hari atau lebih selama tidak terdapat
tanda infeksi atau iritasi lokal. Anggota keluarga dapat diajarkan cara menggantinya.
Injeksi intramuskular tidak direkomendasikan. Dosis subkutaneus sedikit lebih kurang nyeri dan sama
efektifnya. Opioid intraspinal, epidural atau intratekal mungkin lebih bermanfaat pada pasien tertentu
yang mengalami nyeri pada bagian bawah tubuh, atau nyeri yang tidak berespon baik terhadap terapi
opioid sistemik rutin.12,18
Efek pemberian bolus. Ketika dosis total opioid berubah dalam aliran darah, beberapa pasien mengalami
kantuk setengah hingga 1 jam setelah meminum obat dimana kadar puncak plasma diikuti oleh nyeri
hanya sesaat sebelum dosis selanjutnya adalah akibat kadar plasama yang turun. Sindrom ini dikenal
sebagai ”efek bolus”, hanya dapat diatasi dengan mengganti formula lepas–lambat (oral, rektal atau
transdermal) atau infus parenteral kontinyu untuk menurunkan perubahan yang sangat drastis dalam
konsentrasi plasma setelah tiap dosis. 12