Indikator Mutu
Indikator Mutu
Keselamatan Pasien
Keselamatan pasien (patient safety) merupakan suatu variabel untuk mengukur
dan mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan yang berdampak terhadap
pelayananan kesehatan. Sejak malpraktik menggema di seluruh belahan bumi
melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik hingga ke jurnal-jurnal
ilmiah ternama, dunia kesehatan mulai menaruh kepedulian yang tinggi terhadap
isu keselamatan pasien.
Program keselamatan pasien adalah suatu usaha untuk menurunkan angka
kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada pasien selama dirawat
di rumah sakit sehingga sangat merugikan baik pasien itu sendiri maupun pihak
rumah sakit. KTD bisa disebabkan oleh berbagai faktor antara lain beban kerja
perawat yang tinggi, alur komunikasi yang kurang tepat, penggunaan sarana
kurang tepat dan lain sebagainya.
Indikator keselamatan pasien (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi
area- area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut,
misalnya untuk menunjukkan:
1. adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu;
2. bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau
terapi sebagaimana yang diharapkan;
3. tingginya variasi antar rumah sakit dan antarpemberi pelayanan;
4. ketidaksepadanan antarunit pelayanan kesehatan (misalnya, pemerintah
dengan swasta atau urban dengan rural).
2. Faktor risiko.
Faktor-faktor risiko untuk terjadinya dekubitus. Ada dua hal utama yang
berhubungan dengan risiko terjadinya dekubitus, yaitu faktor tekanan dan
toleransi jaringan. Faktor yang memengaruhi durasi dan intensitas tekanan
di atas tulang yang menonjol adalah imobilisasi, inakitifitas, dan penurunan
sensoris persepsi. Sementara itu faktor yang memengaruhi toleransi jaringan
dibedakan menjadi dua yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik. Faktor
intrinsik yaitu faktor yang berasal dari pasien. Sementara itu yang
dimaksud dengan faktor ekstrinsik yaitu faktor-faktor dari luar yang
mempunyai efek deteriorasi pada lapisan eksternal dari kulit. Di bawah ini
adalah penjelasan dari masing masing faktor di atas.
a. Mobilitas dan aktivitas.
Mobilitas adalah kemampuan untuk mengubah dan mengontrol posisi
tubuh, sedangkan aktivitas adalah kemampuan untuk berpindah. Pasien
yang berbaring terus-menerus di tempat tidur tanpa mampu untuk
mengubah posisi berisiko tinggi untuk terkena dekubitus. Imobilisasi
adalah faktor yang paling signifikan dalam kejadian dekubitus.
b. Penurunan sensoris persepsi.
Pasien dengan penurunan sensoris persepsi akan mengalami
penurunan kemampuan untuk merasakan sensari nyeri akibat tekanan
di atas tulang yang menonjol. Bila ini terjadi dalam durasi yang lama,
pasien akan mudah terkena dekubitus.
c. Kelembapan.
Kelembapan yang disebabkan karena inkontinensia dapat
mengakibatkan terjadinya maserasi pada jaringan kulit. Jaringan yang
mengalami maserasi akan mudah mengalami erosi. Selain itu
kelembapan juga mengakibatkan kulit mudah terkena pergesekan
(friction) dan perobekan jaringan (shear). Inkontinensia alvi lebih signifikan
dalam perkembangan dekubitus daripada inkontinensia urine karena
adanya bakteri dan enzim pada feses dapat merusak permukaan
kulit.
d. Tenaga yang merobek (shear).
Merupakan kekuatan mekanis yang meregangkan dan merobek
jaringan, pembuluh darah, serta struktur jaringan yang lebih dalam yang
berdekatan dengan tulang yang menonjol. Contoh yang paling sering
dari tenaga yang merobek ini adalah ketika pasien diposisikan dalam
posisi semifowler yang melebihi 30 derajat. Pada posisi ini pasien bisa
merosot kebawah, sehingga mengakibatkan tulangnya bergerak ke bawah
namun kulitnya masih tertinggal. Ini dapat mengakibatkan impitan pada
pembuluh darah kulit, serta kerusakan pada jaringan bagian dalam seperti
otot namun hanya menimbulkan sedikit kerusakan pada permukaan
kulit.
e. Pergesekan (friction).
Pergesekan terjadi ketika dua permukaan bergerak dengan arah yang
berlawanan. Pergesekan dapat mengakibatkan abrasi dan merusak
permukaan epidermis kulit. Pergesekan bisa terjadi pada saat penggantian
sprei pasien yang tidak berhati-hati.
f. Nutrisi.
Hipoalbuminemia, kehilangan berat badan, dan malnutrisi
umumnya diidentifikasi sebagai faktor predisposisi untuk terjadinya
dekubitus. Stadium tiga dan empat dari dekubitus pada orang tua
berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin,
dan asupan makanan yang tidak mencukupi.
g. Usia.
Pasien yang sudah tua memiliki risiko yang tinggi untuk terkena dekubitus
karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan.
Penuaan mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin,
penurunan respons inflamatori, penurunan elastisitas kulit, serta
penurunan kohesi antara epidermis dan dermis. Perubahan ini beserta
faktor penuaan lain akan membuat toleransi kulit terhadap tekanan,
pergesekan, dan tenaga yang merobek menjadi berkurang.
h. Tekanan arteriolar yang rendah.
Tekanan arteriolar yang rendah akan mengurangi toleransi kulit
terhadap tekanan sehingga dengan aplikasi tekanan yang rendah
sudah mampu mengakibatkan jaringan menjadi iskemia. Tekanan
sistolik dan tekanan diastolik yang rendah berkontribusi pada
perkembangan dekubitus.
i. Stres emosional.
Depresi dan stress emosional kronik, misalnya pada pasien psikiatrik,
juga merupakan faktor risiko untuk perkembangan dari dekubitus.
j. Merokok.
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan
memiliki efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah.
k. Temperatur kulit.
Peningkatan temperatur merupakan faktor yang signifikan dengan
risiko terjadinya dekubitus.
Menurut hasil penelitian, faktor penting lain yang juga berpengaruh
terhadap risiko terjadinya dekubitus adalah tekanan antarmuka (interface
pressure). Tekanan antarmuka adalah kekuatan per unit area antara
tubuh dengan permukaan matras. Apabila tekanan antarmuka lebih besar
daripada tekanan kapiler rata-rata, maka pembuluh darah kapiler akan
mudah kolaps atau mudah untuk terjadinya iskemia dan nekrotik. Tekanan
kapiler rata-rata adalah sekitar 32 mmHg. Tekanan antarmuka yang tinggi
merupakan faktor yang signifikan untuk perkembangan dekubitus. Tekanan
antar muka diukur dengan menempatkan alat pengukur tekanan antarmuka
(pressure pad evaluator) di antara area yang tertekan dengan matras.
3. Stadium dekubitus.
Menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel (NPUAP), dekubitus dibagi
menjadi empat stadium.
a. Stadium satu.
Adanya perubahan dari kulit yang dapat diobservasi. Apabila
dibandingkan dengan kulit yang normal, akan tampak salah satu
tanda. Tanda yang muncul adalah perubahan temperatur kulit (lebih
dingin atau lebih hangat), perubahan konsistensi jaringan (lebih keras atau
lunak), perubahan sensasi (gatal atau nyeri). Pada orang yang berkulit
putih, luka mungkin kelihatan sebagai kemerahan yang menetap.
Sementara itu , pada orang berkulit gelap, luka akan kelihatan sebagai
warna merah yang menetap, biru, atau ungu.
b. Stadium dua.
Hilangnya sebagian lapisan kulit yaitu epidermis, dermis, atau
keduanya. Cirinya adalah lukanya superfisial, abrasi, melempuh, atau
membentuk lubang yang dangkal.
c. Stadium tiga.
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap, meliputi kerusakan atau nekrosis
dari jaringn subkutan atau lebih dalam, tapi tidak sampai pada fascia. Luka
terlihat seperti lubang yang dalam.
d. Stadium empat.
Hilangnya lapisan kulit secara lengkap dengan kerusakan yang luas,
nekrosis jaringan, kerusakan pada otot, tulang atau tendon. Adanya lubang
yang dalam serta saluran sinus juga termasuk dalam stadium IV dari
dekubitus.
Menurut stadium dekubitus di atas, dekubitus berkembang dari
permukaan luar kulit ke lapisan dalam (top–down). Namun menurut hasil
penelitian saat ini, dekubitus juga dapat berkembang dari jaringan bagian
dalam seperti fascia dan otot walapun tanpa adanya kerusakan pada
permukaan kulit. Ini dikenal dengan istilah cedera jaringan bagian dalam
(deep tissue injury—DTI). Hal ini disebabkan karena jaringan otot dan
jaringan subkutan lebih sensitif terhadap iskemia daripada permukaan
kulit. Kejadian DTI sering disebabkan karena immobilisasi dalam jangka
waktu yang lama, misalnya karena periode operasi yang panjang. Penyebab
lainnya adalah seringnya pasien mengalami tenaga yang merobek (shear).
Infeksi Nosokomial
Infeksi nosokomial (inos) adalah Infeksi yang didapat atau timbul pada waktu
pasien dirawat di rumah sakit. Rumah sakit merupakan suatu tempat orang sakit
dirawat dan ditempatkan dalam jarak yang sangat dekat. Di tempat ini pasien
mendapatkan terapi dan perawatan untuk agar mendapat kesembuhan. Akan
tetapi, rumah sakit dapat juga merupakan depot bagi berbagai macam penyakit
yang berasal dari penderita maupun dari pengunjung yang berstatus pembawa
(carier). Kuman penyakit ini dapat hidup dan berkembang di lingkungan rumah
sakit, seperti udara, air, lantai, makanan dan benda-benda medis maupun
nonmedis. Mulai tahun 2001, Depkes RI telah memasukkan pengendalian
infeksi nosokomial sebagai salah satu tolak ukur akreditasi rumah sakit.
Infeksi rumah sakit (nosokomial) merupakan masalah penting di seluruh
dunia dan terus meningkat setiap tahunnya. Berbagai upaya telah dilakukan
oleh pihak tenaga kesehatan untuk mencegah terjadinya infeksi nosokomial. Salah
satu upayanya adalah penerapan universal precaution (perlindungan diri). Akan
tetapi peningkatan kejadian infeksi nosokomial tetap terjadi.
Angka kejadian infeksi nosokomial yang tinggi juga terjadi pada negara
maju, misalnya, di Amerika Serikat terjadi 20 ribu kematian setiap tahun akibat
infeksi nosokomial. Di seluruh dunia, 10% pasien rawat inap di rumah sakit
mengalami infeksi yang baru selama dirawat atau sebesar 1,4 juta infeksi setiap
tahun. Di Indonesia, penelitian yang dilakukan di sebelas rumah sakit
menunjukkan bahwa 9,8% pasien rawat inap mendapat infeksi yang baru selama
dirawat. Sebesar 0,0% hingga 12,06%, dengan rata-rata keseluruhan 4,26%. Untuk
lama perawatan berkisar 4,3–11,2 hari, dengan rata-rata keseluruhan 6,7 hari.
Infeksi nosokomial dapat menyebabkan pasien dirawat lebih lama sehingga harus
mengeluarkan biaya yang lebih banyak. Demikian pula dengan pihak rumah sakit
karena harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk
pelayanan. Kejadian infeksi nosokomial dapat berakibat kematian apabila tidak
mendapat penanganan yang tepat. Menurut Dewan Penasihat Aliansi Dunia untuk
Keselamatan Pasien, infeksi nosokomial menyebabkan 1,5 juta kematian setiap hari
di seluruh dunia. Studi yang dilakukan WHO di 55 rumah sakit di 14 negara di
seluruh dunia juga menunjukkan bahwa 8,7% pasien rumah sakit menderita
infeksi selama menjalani perawatan di rumah sakit. Sementara di negara
berkembang, diperkirakan lebih dari 40% pasien di rumah sakit terserang
infeksi nosokomial.
Berbagai tindakan pelayanan medis dapat berisiko kepada terjadinya
infeksi nosokomial, misalnya suntikan/pengambilan darah, tindakan bedah dan
kedokteran gigi, persalinan, pembersihancairantubuh, danlain-lain.
Salahsatuupayapengendalian infeksi di rumah sakit dilakukan universal precaution
yang telah dikembangkan sejak tahun 1980. Universal precaution merupakan
upaya pencegahan infeksi yang mengalami perjalanan panjang, dimulai sejak
dikenalnya infeksi nosokomial yang terus menjadi ancaman bagi petugas
kesehatan dan pasien (Depkes, 2011). Unsur universal precation meliputi cuci
tangan, alat pelindung yang sesuai, pengelolaan alat tajam (disediakan tempat
khusus untuk membuang jarum suntik, bekas botol ampul, dan sebagainya),
dekontaminasi, sterilisasi, disinfeksi dan pengelolaan limbah.
Penerapan universal precaution merupakan bagian pengendalian infeksi
yang tidak terlepas dari peran masing–masing pihak yang terlibat di dalamnya
yaitu pimpinan rumah sakit beserta staf administrasi, staf medis dan nonmedis,
serta para pengguna jasa rumah sakit, misalnya pasien dan pengunjung pasien.
Pimpinan rumah sakit berkewajiban menyusun kebijakan mengenai
kewaspadaan umum dengan membuat standar operasional prosedur pada setiap
tindakan, memantau dan mengontrol pengendalian infeksi nosokomial melalui
pembentukan tim pengendalian infeksi rumah sakit, dan lain-lain. Pimpinan juga
bertanggung jawab atas perencanaan anggaran dan ketersediaan sarana untuk
menunjang kelancaran pelaksanaan universal precaution. Tenaga kesehatan wajib
menjaga kesehatan atau keselamatan dirinya dan orang lain serta bertanggung
jawab sebagai pelaksana kebijakan yang ditetapkan rumah sakit.
Tenaga kesehatan bertanggung jawab dalam menggunakan sarana yang
disediakan dengan baik dan benar serta memelihara sarana agar selalu siap dipakai
dan dapat dipakai selama mungkin (Kemenkes, 2011). Perawat adalah tenaga
profesional yang perannya tidak dapat dikesampingkan dari baris terdepan
pelayanan rumah sakit. Oleh karena perawat merupakan petugas kesehatan
yang kontak paling lama dengan pasien bahkan sampai 24 jam penuh, maka
perawat ikut mengambil peran yang cukup besar dalam memberikan kontribusi
kejadian infeksi nosokomial. Tenaga keperawatan juga ikut berperan aktif dalam
pengendalian infeksi nosokomial.
Flebitis
Flebitis (flebitis) didefinisikan sebagai peradangan akut lapisan internal vena
yang ditandai oleh rasa sakit dan nyeri di sepanjang vena, kemerahan, bengkak dan
hangat, serta dapat dirasakan di sekitar daerah penusukan. Flebitis adalah
komplikasi yang sering dikaitkan dengan terapi IV. Ada sejumlah faktor yang dapat
berkontribusi dan meningkatkan risiko flebitis. Faktor-faktor ini (M. McCaffery
dan A. Beebe, 1993) antara lain:
1. trauma pada vena selama penusukan;
2. cairan infus bersifat asam atau alkali atau memiliki osmolaritas tinggi;
3. penusukan ke pembuluh darah yang terlalu kecil;
4. menggunakan jarum yang terlalu besar untuk vena;
5. jarum infus lama tidak diganti;
6. jenis bahan (kateter infus) yang digunakan;
7. riwayat pasien dan kondisi sekarang;
8. kondisi pembuluh darah;
9. stabilitas kanul;
10. pengendalian infeksi.
Visual Infusion Phlebitis (VIP) adalah alat yang sangat populer untuk
memantau area pemasangan infus. Alat ini direkomendasikan untuk memantau
area infus. Pada tahun 2006 Paulette Gallant dan Alyce Schultz alat ini
digunakan untuk memantau kapan penggantian jarum harus dilakukan (M.
McCaffery dan A. Beebe, 1993).
Perawatan Diri
• Angka tidak terpenuhinya kebutuhan mandi, berpakaian, dan eliminasi
yang
disebabkan oleh keterbatasan diri.
• Angka tidak terpenuhi kebutuhan diri (mandi, toilet pada tingkat ketergantungan
parsial dan total).
Persentase kebutuhan perawatan diri pasien:
Jumlah pasien yang tidak terpenuhi kebutuhan diri × 100%
Jumlah pasien dirawat dangan tingkat ketergantungan parsial dan total
Terdapat enam aktivitas yang diperhatikan dalam perawatan diri hal
makan, BAK/BAB, mengenakan pakaian, pergi ke toilet, berpindah dan
mandi. Dari enam aktivitas tersebut penilai dapat mengategorikan pasien
kedalam kelompok yang mana.
Keterangan: mandiri berarti tanpa pengawasan, pengarahan, atau bantuan aktif dari
orang lain. Seseorang yang menolak untuk melakukan suatu fungsi dianggap
tidak melakukan fungsi, meskipun ia dianggap mampu.
Kepuasan Pasien
Teknik Pengukuran
Beberapa teknik pengukuran ialah teknik rating, pengukuran kesenjangan, dan
indeks kepuasan.
1. Teknik Rating (Rating Scale).
Teknik ini menggunakan directly reported satisfaction, simple rating,
semantic difference technique (metode berpasangan).
2. Teknik pengukuran langsung (directly reported satisfaction).
Teknik pengukuran langsung menanyakan pasien atau pasien tentang
kepuasan terhadap atribut. Teknik ini mengukur secara objektif dan
subjektif. Objektif bila stimuli jelas, langsung bisa diamati, dan dapat diukur.
Sebaliknya, subjektif bila rangsangan stimuli sifatnya intangible dan sulit
ditentukan, sehingga lebih dikenal sebagai pengukuran persepsi. Asumsi
dasar teknis ini ialah hasil telaah
tentang selisih manfaat dengan pengorbanan atau risiko yang diantisipasi.
Hasil di sini memberikan informasi tenyang mutu layanan.
Instrumen ini (directly reported satisfaction) meminta individu menilai
1) derajat kesukaan, 2) persetujuan, 3) penilaian, 4) tingkat kepuasan yang
dapat dinyatakan dalam teknik skala. Skala penilaian bisa ganjil atau
genap (rating scale).
Dalam penetapan banyakanya skala genap bisa 1 sampai 4, 6, 8 atau 10.
Analisis hasil dengan skala dapat ditentukan atas nilai rerata dan
simpangan bakunya. Dominan bila kurang dari nilai rerata (bila skala positif,
bila skala negatif diambil lebih dari nilai reratanya). Teknik ini banyak dipakai
pada teori kepuasaan yang menggunakan stimulo value judgement reaction.
Prosedur metode untuk skala directly reported satisfaction melalui
langkah awal pertama, yaitu tentukan skala standar. Skala ini bisa berdasarkan
nilai skala tengah dari pengukuran dan bisa dietentukan oleh peneliti
berdasarkan tujuannya. Langkah kedua adalah menghitung nilai rerata.
Nilai rerata komposit adalah penjumlahan nilai skala dari individu yang
diamati dibagi jumlah individu.
3. Metode berpasangan.
Metode berpasangan menyediakan beberapa objek yang harus dinilai,
kemudian individu tersebut disuruh memilih pasangannya. Metode
berpasangan sering dipakai karena lebih mudah menentukan pilihan
antarkedua objek pada satu waktu yang bersamaan. Misal: tingkat
tanggap (response) perawat tehadap keluhan pasien.
Disconfirmation Perception
Bandingkan apa yang Anda terima dengan apa yang Anda ketahui dengan
rumah sakit lain atau harapan Anda? Tulislah harapan Anda terhadap pelayanan
dalam hal tersebut.
Tabel 11.9 Tabel Penilaian Disconfirmation Perception
Sedik
Sangat Sedikit it Tidak Buru
Menyenangk Menyenangk menyenangk Netra tidak Senan k
an an an l sena g Seka
ng li
1 2 3 4 5 6 7
Tida Pasti
k Akan
Merekomendasikan positif ke
1 2 3 4 5 6 7
teman/ keluarga
Merekomendasikan negatif ke
1 2 3 4 5 6 7
teman/ keluarga
Satisfaction Outcome (intention)-B
Maukah Anda melakukannya kembali, bila di lain waktu membutuhkan pelayanan
yang sama?
Tidak Pasti
Akan
Beli Lagi
(nama produk/jasa) di kemudian 1 2 3 4 5 6 7
hari
Kenyamanan
Fenomena nyeri timbul karena adanya kemampuan sistem saraf untuk
mengubah berbagai stimulus mekanis, kimia, termal, elektris menjadi potensial
aksi yang dijalarkan ke sistem saraf pusat. Nyeri merupakan suatu mekanisme
protektif bagi tubuh yang akan muncul bila jaringan tubuh rusak, sehingga
individu akan bereaksi atau berespons untuk menghilangkan mengurangi
rangsang nyeri. Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman
biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial.
Kecemasan
Kecemasan merupakan reaksi pertama yang muncul atau dirasakan oleh pasien dan
keluarganya di saat pasien harus dirawat mendadak atau tanpa terencana begitu
mulai masuk rumah sakit. Kecemasan akan terus menyertai pasien dan keluarganya
dalam setiap tindakan perawatan terhadap penyakit yang diderita pasien.
Cemas adalah emosi dan merupakan pengalaman subjektif individual,
mempunyai kekuatan tersendiri dan sulit untuk diobservasi secara langsung.
Perawat dapat mengidentifikasi cemas lewat perubahan tingkah laku pasien.
Cemas adalah emosi tanpa objek yang spesifik, penyebabnya tidak diketahui
dan didahului oleh pengalaman baru. Takut mempunyai sumber yang jelas dan
objeknya dapat didefinisikan. Takut merupakan penilaian intelektual terhadap
stimulus yang mengancam dan cemas merupakan respons emosi terhadap
penilaian tersebut.
Kecemasan adalah suatu kondisi yang menandakan suatu keadaan yang
mengancam keutuhan serta keberadaan dirinya dan dimanifestasikan dalam bentuk
perilaku seperti rasa tidak berdaya, rasa tidak mampu, rasa takut, fobia tertentu.
Kecemasan muncul bila ada ancaman ketidakberdayaan, kehilangan kendali,
perasaan kehilangan fungsi-fungsi dan harga diri, kegagalan pertahanan, perasaan
terisolasi.
3. Teori perilaku.
Kecemasan merupakan hasil frustasi segala sesuatu yang mengganggu
kemampuan untuk mencapai tujuan yang diingikan. Para ahli perilaku
menganggap kecemasan merupakan suatu dorongan, yang mempelajari
berdasarkan keinginan untuk menghindari rasa sakit.
Pakar teori meyakini bahwa bila pada awal kehidupan dihadapkan pada
rasa takut yang berlebihan maka akan menunjukkan kecemasan yang berat
pada masa dewasanya. Sementara para ahli teori konflik mengatakan
bahwa kecemasan sebagai benturan-benturan keinginan yang bertentangan.
Mereka percaya bahwa hubungan timbal balik antara konflik dan daya
kecemasan yang kemudian menimbulkan konflik.
4. Teori keluarga.
Gangguan kecemasan dapat terjadi dan timbul secara nyata dalam
keluarga, biasanya tumpang tindih antara gangguan cemas dan
depresi.
5. Teori biologi.
Teori biologi menunjukkan bahwa otak mengandung reseptor spesifik
untuk benzodiasepin. Reseptor ini mungkin memengaruhi kecemasan.
Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2003: 121) pengetahuan merupakan hasil “tahu”, dan ini
terjadi
setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Jadi pengetahuan
ini diperoleh dari aktivitas pancaindra yaitu penglihatan, penciuman, peraba dan
indra perasa, sebagian basar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga.
Pengetahuan/kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003: 121). Penelitian Rogers (1974) dalam
buku pendidikan dan perilaku kesehatan (Notoatmodjo, 2003 dan Nursalam, 2007)
mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, di dalam diri
orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yaitu:
1. awareness (kesadaran) ketika seseorang menyadari dalam arti mengetahui
terlebih dahulu terhadap stimulus (objek);
2. interest (tertarik), ketika seseorang mulai tertarik pada stimulus;
3. evaluation (menimbang-nimbang) terhadap baik dan tidaknya stimulus tersebut
baginya;
4. trial (mencoba), ketika seseorang telah mencoba perilaku baru;
5. adoption (adaptasi), ketika seseorang telah berperilaku baru yang sesuai
dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.