Anda di halaman 1dari 9

TUGAS IDK 4

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ASMA

Disusun untuk :

Memenuhi Tugas Ilmu Dasar Keperawatan 4

Disusun oleh :

1. Amelya Devi Eksanti (19.12.2.149.004)


2. Dava Teguh Budi Prakoso (19.12.2.149.007)
3. Hanatasya Ridha Deanira (19.12.2.149.016)
4. Ika Wahyu Putri Anggini (19.12.2.149.018)
5. Novie Hidayatus Shidqiyyah (19.12.2.149.027)
6. Putri Ayu Salsabila (19.12.2.149.029)
7. Reynata Indraswari Ika Suci (19.12.2.149.030)
8. Ricki Dwi Prastyo (19.12.2.149.031)
9. Yanastainu Rachma Azela (19.12.2.149.042)
10. Zulfi Asda Zaizana Ilma (19.12.2.149.043)

Dosen Pengampu Mata Kuliah:


Tiara Putri Ryandini, S.kep., Ns., M.Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NAHDLATUL ULAMA TUBAN

2020
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK ASMA

Pengertian Asma

Asma adalah suatu keadaan dimana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas pada rangsangan tertentu, yang mengakibatkan peradangan, penyempitan ini
bersifat sementara (Wahid & Suprapto, 2013).

Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermitten, bersifat reversibel


dimana trakea dan bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu serta
mengalami peradangan atau inflamasi (Padila, 2013) Menurut Murphy dan Kelly (2011)

Asma merupakan penyakit obstruksi jalan nafas, yang revelsibel dan kronis, dengan
karakteristik adanya mengi. Asma disebabkan oleh spasma saluran bronkial atau
pembengkakan mukosa setelah terpajam berbagai stimulus. Prevelensi, morbiditas dan
martalitas asma meningkat akibat dari peningkatan polusi udara. Jadi asma atau reactive air
way disease (RAD) adalah penyakit obstruksi pada jalan napas yang bersifat reversible kronis
yang ditandai dengan bronchopasme dengan karakteristik adanya mengi dimana trakea dan
bronchi berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu serta mengalami peradangan atau
inflamasi

Pemeriksaan Diagnostik Asma

A. Pemeriksaan Laboratorium

1. Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan untuk melihat adanya:

a) Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dan kristal eosinopil.

b) Spiral curshman, yakni merupakan castcell (sel cetakan) dari cabang bronkus.

c) Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkus

d) Netrofil dan eosinofil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat muscus plug.
Sputum eosinofil sangat dominan pada asma, sedangkan pada bronchitis
kronis sputum yang dominan adalah neutrofil.

2. Pemeriksaan darah
a. Analisa Gas Darah pada umumnya normal akan tetapi dapat terjadi
hipoksemia, hipercapnia, atau sianosis.
b. Kadang pada darah terdapat peningkatan SGOT dan LDH
c. Hiponatremia dan kadar leukosit kadang diatas 15.000/mm3 yang
menandakan adanya infeksi.
d. Pemeriksaan alergi menunjukkan peningkatan IgE pada waktu serangan dan
menurun pada saat bebas serangan asma.

B. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang pada pasien asma dapat dilakukan berdasarkan


manifestasi klinis yang terlihat, riwayat, pemeriksaan fisik, dan tes laboratorium
(Sujono riyadi & Sukarmin, 2009). Adapun pemeriksaan penunjang yang dilakukan
adalah:

1. Tes Fungsi Paru

Menunjukkan adanya obstruksi jalan napas reversible, cara tepat diagnosis


asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator. Pemeriksaan
spirometri dilakukan sebelum atau sesudah pemberian aerosol bronkodilator
(inhaler atau nebulizer), peningkatan FEV1 atau FCV sebanyak lebih dari 20%
menunjukkan diagnosis asma. Dalam spirometry akan mendeteksi:

a) Penurunan forced expiratory volume (FEV)


b) Penurunan paek expiratory flow rate (PEFR)
c) Kehilangan forced vital capacity (FVC)
d) Kehilangan inspiratory capacity (IC)

(Wahid & Suprapto, 2013)


2. Pemeriksaan Radiologi

a. CT Scan
Pemeriksaan ini bisa dilakukan oleh dokter apabila mencurigai bahwa
gejala sesak napas pada diri pasien bukan disebabkan oleh asma, melainkan
infeksi di dalam paru-paru atau kelainan struktur rongga hidung.

b. Pemeriksaan Rontgen
Tujuan dilakukannya pemeriksaan ini sama seperti pemeriksaan CT
Scan, yaitu untuk melihat apakah gangguan pernapasan disebabkan oleh
kondisi lain.

Pada waktu serangan menunjukkan gambaran hiperinflamasi paru


yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diagfragma yang menurun. Pada penderita dengan komplikasi terdapat
gambaran sebagai berikut:

a) Bila disertai dengan bronchitis, maka bercak-bercak di hilus akan


bertambah
b) Bila ada empisema (COPD), gambaran radiolusen semakin bertambah
c) Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrase paru.
d) Dapat menimbulkan gambaran atelektasis paru
e) Bila terjadi pneumonia gambarannya adalah radiolusen pada paru.
3. Pemeriksaan Tes Kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergen yang dapat bereaksi positif pada asma
secara spesifik.Hasil dari uji kulit adalah untuk menunjukkan adanya antbodi IgE
spesifik dalam tubuh. Uji alergen positif tidak selalu merupakan penyebab asma, jadi
uji tersebut hanya sebagai penyokong anamnesis

4. Elektrokardiografi
Hasil yang dapat diketahui dari pemeriksaan tersebut :
a) Terjadi right axis deviation
b) Adanya hipertropo otot jantung Right Bundle Branch Bock
c) Tanda hipoksemia yaitu sinus takikardi, SVES, VES, atau terjadi depresi
segmen ST negatif
5. Scanning paru

Melalui inhilasi dapat dihasilkan dan dipelajari bahwa redistribusi udara


selama serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru (Wahid & Suprapto, 2013)

6. Spirometri

Pemeriksaan spirometri digunakan untuk mengukur faal paru, menilai


beratnya obstruksi, dan efek pengobatan. Pada asma kegunaan spirometry disamakan
dengan tensimeter pada penatalaksanaan hipertensi atau glucometer pada diabetes
melitus. Pemeriksaan spirometri penting dalam menegakkan diagnosis karena banyak
pasien asma tanpa keluhan, tetapi pemeriksaan spirometri menunjukkan obstruksi.
Hal tersebut mengakibatkan pasien mudah mengalami serangan asma dan bila
berlangsung lama dapat berlanjut menjadi penyakit paru obstruksi kronik.3,10

Pemeriksaan spirometri dilakukan sebelum dan sesudah pemberian


bronkodilator hirup (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik beta. Diagnosis asma
ditunjukkan dengan adanya peningkatan VEP1 sebanyak ≥ 12% atau ≥ 200 mL.
Tetapi respon yang kurang dari 12% atau kurang dari 200 mL tidak berarti bukan
asma. Hal tersebut dapat terjadi pada pasien yang sudah normal atau mendekati
normal. Respon terhadap bronkodilator juga tidak dijumpai pada obstruksi saluran
napas yang berat, karena obat tunggal bronkodilator tidak cukup kuat memberikan
efek yang diharapkan. Kemungkinan diperlukan kombinasi obat golongan adrenergik
beta, teofilin, dan kortikosteroid dalam jangka waktu pengobatan 2-3 minggu untuk
melihat reversibilitas pada hal yang disebutkan di atas. Reversibilitas dapat terjadi
tanpa pengobatan dan dapat dilihat dari hasil pemeriksaan spirometri yang dilakukan
pada saat yang berbeda, misalnya beberapa hari atau beberapa bulan kemudian

Spirometri untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara


yang paling cepat dan sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan
dengan bronkodilator. Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah
pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.
Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis
asma. Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari 20%. Pemeriksaan
spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk
menilai berat obstruksi dan efek pengobatan. Benyak penderita tanpa keluhan tetapi
pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

6. Pemeriksaan eosinofil total

Pada pasien asma jumlah eosinofil total dalam darah sering meningkat. Hasil
tersebut dapat membantu untuk membedakan asma dengan bronkitis
kronis.Pemeriksaan eosinofil total juga dapat digunakan sebagai dasar untuk
menentukan dosis kortikosteroid yang dibutuhkan oleh pasien asma

7. Pemeriksaan Kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum

Pemeriksaan IgE total hanya berguna untuk menyokong adanya atopi.


Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan apabila uji kulit tidak dapat
dilakukan atau hasilnya kurang meyakinkan

8. Pemeriksaan status alergi

Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah gejala-gejala asma yang


dirasakan oleh pasien disebabkan oleh alergi. Misalnya alergi pada makanan, tungau,
debu, serbuk sari, atau gigitan serangga.

9. Uji provokasi bronkus

Apabila pemeriksaan spirometri normal, dapat dilakukan uji provokasi


bronkus untuk menunjukkan adanya hipereaktivitas bronkus.Beberapa cara untuk
melakukan uji provokasi bronkus meliputi uji provokasi dengan histamin, metakolin,
kegiatan jasmani, udara dingin, larutan garam hipertonik, dan dengan aqua destilata.
Penurunan VEP1 ≥ 20% dianggap bermakna. Uji dengan kegiatan jasmani dilakukan
dengan menyuruh pasien berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut
jantung 80% - 90% dari maksimum. Dianggap bermakna apabila penurunan APE
(Arus Puncak Ekspirasi) ≥ 10%.3
Pemeriksaan uji provokasi bronkus mempunyai sensitivitas tinggi tetapi
spesifitas rendah, yang berarti hasil negatif dapat menyingkirkan diagnosis asma
persisten, namun hasil positif tidak selalu berarti pasien menderita asma. Hasil positif
dapat terjadi pada penyakit lain seperti rinitis alergi dan gangguan dengan
penyempitan saluran napas seperti PPOK, bronkiektasis, dan fibrosis kistik.
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan
pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan
dibanding PFM karena PFM tidak begitu sensitif dibanding FEV. Untuk diagnosis
obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat
untuk pemantauan dan bukan alat diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis
untuk penderita yang tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, Arif. (2009). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Tanjung, D., & Kp, S. (2003). Asuhan Keperawatan Asma Bronkial.

Somantri, Irman. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Jakarta. Salemba Medika.

Anda mungkin juga menyukai