Anda di halaman 1dari 7

I.

PENDAHULUAN

II. PEMBAHASAN
a. Hakekat Ijtihad
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa ketika nabi muhammad
saw hendak mengutus Mu’adz bin Jabal sebagai hakim (qadli) di
Yaman, Nabi betanya kepadanya.
“wahai Mu’adz, jika engkau hendak memutuskan suatu perkara,
dengan apa kamu memutuskannya? Mu’adz menjawab: dengan
merujuk pada al-Qur’an. Nabi kemudian kembali bertanya: jika
engkau tidak menemukan landasan dari al-Qur’an, lalu dengan apa
kamu memutuskannya? Mu’adz menjawab: dengan merujuk pada
Hadits Nabi. Nabi pun kembali bertanya: jika kamu tidak menemukan
di al-Qur’an dan Hadist, lalu dengan apa kamu memutuskan? Mu’adz
menjawab: aku kan berijtihad dengan pikiranku. Mendengar jawaban
itu, Rasulullah saw mengakhiri dialognya sambil menepuk-nepuk dada
mu’adz seraya bersabda: segala puji bagi Allah yang telah
memberikan petunjuk kepada utusan Rasulullah saw kejalan yang
diridlai oleh Rasulullah saw.”
Riwayat tersebut menjdi sangat penting ketika kita membicarakan
tentang ijtihad. Dari kisah tersebut menjelaskan bahwa dibolehkannya
ijtihad ketika nabi masih hidup dikarenakan jarak antara Nabi di
Madinah dan Mu’adz di Yaman yang jauh dan keterbatasan teknologi
pada masa itu. Dari kesulitan itulah yang melegitimasi pilihan ijtihad.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Rasulullah
membolehkan umat islam untuk melakukan ijtihad untuk memecahkan
suatu masalah jika tidak ditemukan penjelasannya dalam al-Qur’an
atau Hadist.1

b. Pengertian Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada, yang secara etimologi berarti
mencurahkan segala kemampuan berpikir untuk mendapatkan sesuatu
yang sulit atau yang ingin dicapainya
Dalam kajian Fiqih ijtihad dimaknai sebagai pencurahan segenap
kesanggupan secara maksimal dari seorang faqih (ahli fikih) untuk
mendapat pemahaman terhadap suatu hukum.
Ijtihad juga dapat dipamahmi sebagai upaya untuk merumuskan
sebuah hukum yang tidak ada teksnya. Dengan demikian ijtihad itu

1
Dr. Hammissyafaq, M.Fil.I.,dkk,Pengantar studi Islam, (Surabaya: UIN Sunan Ampel Press,2017)
Edisi VII, hlm 113-114.

1
terkait dengan pelakunya yang merupakan ahli fikih, yang bertujuan
untuk mengungkap hukum syariat yang hasilnya adalah dhanni (fiqih)
Artinya, kebenaran dari hasil rumusan fikih tidak absolut, dan
memiliki kemungkinan salah, tapi ia benar dalam perumusannya. Jadi
ijtihad mengupas makna yang terkandung dalam sebuah teks untuk
diputuskan hukum fiqih dari teks tersebut. Putusan fiqh itu bersifat
subjektif karena berbentuk dugaan.
Pengetahuan yang dirumuskan dari hasil ijtihad adalah pendapat.
Pengetahuan itu adalah hasil terbaik yang dapat dicapai oleh mujtahid.
Meskipun demikian, mereka yang dapat sampai pada kesimpulan-
kesimpulan berbeda berhak atas pendapatnya, sebagaimana yang lain
berhak atas pendapatnya sendiri.2

c. Metode dan Syarat Ijtihad


Untuk melakukan ijtihad diperlukan beberapa syarat agar tidak
terjadi ijtihad yang tidak baik. Berikut syarat yang harus dimiliki oleh
seorang mujtahid adalah:
1. Menguasai bahasa Arab dengan segala aspeknya.
2. Menguasai ilmu al-Qur’an dan tafsirnya.
3. Menguasai ilmu Hadist dan pemahaman tentang Hadist.
4. Menguasai ilmu ushul fikih sebagai sarana melakukan ijtihad.
5. Menguasai mawaqif al-ijma’ (beberapa hasil ijma’)
6. Menguasai ilal al-hukm (alasan-alasan dari dirumuskannya sebuah
hukum).

Penguasaan setiap mujtahid terhadap ilmu-ilmu diatas tidaklah


sama. Oleh karena itu ada beberapa tingkatan kapasitas atau kualitas
mujtahid:

1. Mujtahid al-mustaqil, yaitu mujtahid yang memiliki kemampuan


untuk menggali hukum secara langsung dari sumbernya (al-Qur’an
dan Sunnah).
2. Mujtahid al-muntasib, yaitu mujtahid yang merujuk pada metode
atau ketentuan dari mujtahid sebelumnya.
3. Mujtahid fi al-madzhab, yaitu mujtahid yang terikat dengan imam
mazhab baik dalam urusan furu’iyat maupun ushul.
4. Mujtahid murajih, yaitu mujtahid yang membandingkan antara
pendapat satu mazhab dengan lainnya untuk diambil salah satu
yang menurutnya terbaik.3
2
Ibid.,hlm 114-115.
3
Ibid.,hlm 119-120.

2
d. Fungsi dan Manfaat ijtihad
Ijtihad berfungsi untuk menetapkan suatu hukum yang dimana
hukum tersebut tidak ditemukan dalilnya didalam al-Qur’an dan
Hadist. Sedangkan masalah-masalah yang sudah ada dalilnya tidak
boleh diijtihadkan lagi. Kemudian ijtihad juga memiliki beberapa
manfaat, berikut beberapa manfaat ijtihad :
1. Dapat mengetahui hukumya dari setiap permasalahan baru yang
dialami oleh umat muslim, sehingga hukum islam selalu
berkembang dan mampu menjawab tantangan.
2. Dapat menyesuaikan hukum berdasarkan perubahan zaman, waktu
dan keadaan.
3. Menetapkan fatwa terhadap permasalahan-permasalahan yang
tidak terkait dengan halal atau haram.
4. Dapat membantu umat muslim dalam menghadapi masalah yang
belum ada hukumnya secara islam.4

e. Macam-macam ijtihad
1. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan hukum yang diambil dari fatwa
atau musyawarah para ulama tentang suatu perkara yang tidak
ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an dan Hadist. Tetapi
rujukannya ada dalam al-Qur’an dan Hadist. Ijma’ pada masa
sekarang diambil dari keputusan-keputusan para ulama seperti
MUI. Contohnya hukum mengkonsumsi sabu dan ganja adalah
haram karena dapat memabukkan dan berbahaya bagi tubuh serta
dapat merusak pikiran.
2. Qiyas.
Qiyas adalah manyamakan yaitu menetapkan suatu hukum
dalam suatu perkara baru yang belum belum ada sebelumnya tetapi
memiliki kesamaan seperti sebab, manfaat, bahaya atau berbagai
asapek dalam perkara sebelumnya sehingga dihukumi sama.
Contohnya seperti pada surat Al-isra ayat 23 yang menyatakan
bahwa berkata “ah” kepada orangtua tidak diperbolehkan karena
dianggap meremehkan dan menghina sedangkan memukul

4
“Pengertian,Fungsi Dan Macam-Macam Serta Contohnya”,Akidahislam.com,
(http://www.akidahislam.com/2016/11/pengertian-fungsi-dan-macam-
macam_20.html?m=1 on mei 08,2018)

3
orangtua tidak disebutkan atau tidak ada hukumnya. Sehingga
diqiyaskan oleh para ulama bahwa hukum memukul dan memarahi
orangtua sama dengan hukum mengatakan “ah” yaitu sama-sama
menyakiti hati orang tua dan sama-sama berdosa.
3. Maslahah mursalah
Maslahah mursalah adalah suatu cara menetapkan hukum
berdasarkan atas pertimbangan kegunaan dan manfaatnya.
Contohnya: didalam al-Qur’an atau Hadist tidak terdapat perintah
untuk membukukan ayat-ayat al-Qur’an. Tetapi hal ini dilakukan
umat islam demi kemaslahatan umat islam.
4. Saddu adzari’ah
Adalah memutuskan suatu perkara yang mubah, makruh
atau haram demi kepentingan umat.
5. Istishab
Adalah tindakan dalam menetapkan suatu ketetapan smapai
ada alasan untuk mengubahnya. Contohnya seseorang yang ragu-
ragu apakah sudah berwudhu ataupun belum. Disaat seperti ini, ia
harus berpegang kepada keadaan sebelum ia berwudhu sehinga ia
harus wudhu kembali.
6. ‘Uruf
Adalah suatu tindakan dalam menentukan suatu perkara
berdasarkan adat istiadat yang berlaku dimasyarakat dan tidak
bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadist. Contohnya ada dalam
hal jual beli. Sipembeli menyerahkan uang untuk membayar
barang yang ia beli dengan tidak mengadakan ijab kabul, karena
harga telah disepakati bersama antara penjual dan pembeli.
7. Istihsan
Adalah suatu tindakan dengan meinggalkan satu hukum
kepada hukum lainnya, disebabkan adanya dalil syara’
memberikan rukhsah yaitu kemudahan atau keringanan, bahwa jual
beli diperbolehkan dengan sistem pembayaran di awal, dan
barangnya dikirim kemudian.5

f. Ijtihad fardhi (perseorangan) dan ijtihad jam’i (kolektif)


Pada prinsipnya ijtihad sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian,
yaitu :
1. Ijtihad fardhi (perseorangan)
5
Ibid.

4
adalah ijtihad yang dilakukan secara mandiri oleh
seseorang atau individu yang mempunyai keahlian/kemampuan
tetapi ijtihadnya belum dapat ersetujuan dari ulama atau mujtahid
lain. Ijtihad fardhi adalah langkah awal atau dasar dalam
mewujudkan ijtihad kolektif. Karena kalu tidak ada individu yang
mampu dan ahli ijtihad, maka tidak akan ada ijtihad kolektif yang
sangat dibutuhkan keberadaannya.6
2. Ijtihad Jama’i (Kolektif)
Di era globalisasi seperti saat ini memunculkan banyak
sekali permasalahan-permasalahan baru bagi manusia. Komplesitas
masalah-masalah modern sulit dijawab oleh pakar-pakar hukum
islam sehingga memerlukan pakar-pakar yang lain. Dengan
kolektivitas ulama, kultus individu dapat dihindari, karena masing-
masing mempunyai kelebihan dan kekurangan yang saling
melengkapi. Kesepakatan para pakar-pakar hukum islam inilah
yang disebt dengan ijtihad kolektif (ijtihad jam’i).
Konsep ijtihad jama’i dalam literatur hukum islam klasik
tidak ditemukan. Keberadannya muncul pada periode perundang-
undangan hukum islam karena keptusannya merupkan hasil dari
kespakatan para ulama yang berijtihad atas permasalahan hukum
tertentu. Dalam literatur klasik proses tersebut dinamakan sebagai
ijma’(konsensus).
Dasar dalam melakukan ijtihad telah ditetapkan al-Qur’an
dan al-Sunnah. Baik ijtihad jama’i maupun fardhi surah diterapkan
oleh Rasulullah. Salah satu contoh ijtihad jam’i yang dilakukan
Rasulullah adalah kebijakan atas tawanan perang badar. Nabi
mengajak para sahabat untuk bermusyawarah. Diantara mereka ada
yang berpendapat harus dibunuh dan ada yang berpendapat ada
yang harus dibebeaskan. Nabi saw memilih membebaskan mereka
dengan tebusan apa yang mereka miliki. Kebijakan Rasulullah ini
disalahkan oleh Allah swt dengan menurunkan surat al-Anfal ayat
67, “ tidak patut, bagi seorang Nabi saw mempunyai tawanan
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya dimuka bumi. Kamu
menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah swt
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu), dan Allah swt Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.

6
Muzaki, “Pengertian dan Macam-Macam Ijtihad”, Muzaki.com,
(http://tauhi.blogspot.com/2012/04/ijtihad.html?m=1 on mei 08,2018)

5
Ada dua macam bentuk kerja ijtihad. Pertama ijtihad
dalam mengeluarkan hukum. Pola ini menuntut mujtahid untuk
menentukan hukumnya saja tanpa mempertimbangkan kondisi
subjek hukum dimana hukum akan diterapkan. Model seperti ini
menghasilkan corak hukum islam yang lentur (fleksibel).
Kemudian model ijma’ bentuk kedua sering dipraktekkan dalam
ijtihad jama’i yang berhadapan dengan derasnya masalah yang
diajukan pesertanya disebut pemikir problematika umat.7

III.PENUTUP

IV.DAFTAR PUSTAKA

7
Drs.H.MisbahulMunir,M,Ag. Studi Hukum Islam, (Surabaya: UINSunanAmpel Press,2014), hlm
115-117.

6
Syafaq, Hammis, DKK. 2017. Pengantar Studi Islam. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Press.

Munir, Misbahul, DKK. 2014. Stidi Hukum Islam. Surabaya: UIN Sunan
Ampel Press.

http://www.akidahislam.com/2016/11/pengertian-fungsi-dan-macam-
macam_20.html?m=1

http://tauhi.blogspot.com/2012/04/ijtihad.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai