Anda di halaman 1dari 12

KESELAMATAN TRANSPORTASI LAUT:

KAJIAN HUKUM INTERNASIONAL TERKAIT KESELAMATAN


Oleh: Drs. Muhammad Ihsan, M.H. (ihsan_btm@yahoo.com)
Dosen Universitas Internasional Batam

I. Pendahuluan

1. Latar Belakang

Transportasi laut merupakan angkutan massal penting yang tidak bisa dilakukan
oleh jenis transportasi lain. Baik untuk keperluan angkutan orang maupun barang,
jenis transportasi ini mampu mengangkut hingga ribuan penumpang dan ratusan
ribuan matrik ton kargo. Semakin penting bagi Indonesia yang merupakan negara
kepulauan terbesar dunia untuk pemerataan ekonomi dan pengembangan sosial
budaya nusantara.

Transportasi laut memiliki peranan sangat penting dalam menjaga keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masyarakat Indonesia yang tersebar di
berbagai pulau mampu melakukan silaturahmi melalui angkutan laut secara terus
menerus sehingga menjadi perekat bagi hubungan mereka antar pulau.

Karenanya, isu keselamatan merupakan hal yang sangat penting dalam transportasi
di perairan, baik di laut maupun sungai dan danau. Keselamatan menyangkut jiwa
manusia dan barang angkutan yang pada gilirannya berdampak kepada lingkungan
perairan. Dengan demikian, transportasi laut perlu mendapatkan perhatian khusus,
terutama dari sisi keselamatan dan keamanan pelayaran. Selain itu, isu terorisme
merupakan hal lain yang tidak dapat diabaikan dalam konteks keselamatan.
2. Permasalahan

Keselamatan merupakan isu utama yang harus menjadi perhatian bersama oleh
semua stake holder transportasi perairan, terutama oleh pemerintah, asosiasi
pelayaran (INSA), dan pengusaha pemilik kapal. Keselamatan harus mencakup
keselamatan orang, barang dan lingkungan sehingga segala dampak menyangkut
ketiga hal tersebut bisa diminimalisir demi kepentingan bersama.

Indonesia sudah meratifikasi berbagai konvensi internasional mengenai


keselamatan di perairan, baik menyangkut keselamatan transportasi maupun
perlindungan lingkungan laut. Diantaranya konvensi United Nation Convention on
the Law of the Sea (UNCLOS III) dan berbagai konvensi yang dikeluarkan
Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization/IMO).

Di lain pihak, pemerintah Indonesia memiliki beberapa hukum keselamatan


transportasi laut yang meliputi undang-undang (UU No. 17/2008 tentang Pelayaran
dan UU No. 32/2014 tentang Kelautan), Keppres, Inpres, Permen dan Peraturan
Dirjen terkait.

Namun demikian, isu keselamatan selalu menjadi perhatian mengingat masih saja
terjadi berbagai kasus keselamatan transportasi di perairan Indonesia. Sejauh
manakah efektifitas penerapan hukum keselamatan internasional terhadap
transportasi laut di Indonesia?

3. Ruang Lingkup Analisis

Mengingat begitu banyak hukum keselamatan internasional terkait kelautan dan


kemaritiman, makalah ini dibatasi hanya menganalisis efektifitas penerapan hukum
sehubunguan dengan transportasi laut yang relevan dengan hukum (konvensi)
internasional; konvensi-konvensi IMO dan UNCLOS.
II. KONVENSI-KONVENSI KESELAMATAN INTERNASIONAL

Bila kita berbicara hukum tentang kelautan dan kemaritiman, kita tidak akan terlepas
dari hukum nasional dan internasional. Kedua hukum tersebut harus saling
bersinergi dan saling mendukung satu sama lain. Negara yang wilayah teritorialnya
berada di suatu perairan tidak memiliki kepentingan eksklusif terhadap perairan
tersebut. Sebaliknya, negara-negara lain diperbolehkan memanfaatkan suatu
perairan dengan syarat-syarat tertentu, misalnya dimanfaatkan untuk lalu lintas
damai (Innocent Passage)1, kenavigasian dan kepentingan lainnya. Bahkan negara-
negara Land Locked2, seperti Luksemburg, Ethiopia, dan Laos, boleh
memanfaatkan laut di negara yang berbatasan dengannya.

Dengan demikian, hukum internasional tidak dapat diabaikan. Pembentukan hukum


mengenai kelautan dan kemaritiman selalu mengacu kepada konvensi-konvensi
yang telah diratifikasi.

II.1. Sejarah Keselamatan Maritim3

II.1.1. Zaman Kuno

Pada zaman ini, sebelum Kekaisaran Roma, pelayaran di laut dianggap


sebagai keberuntungan atau nasib. Begitu banyak kecelakaan perahu dan
kapal yang disebabkan oleh keadaan cuaca ekstrim, terutama badai.
menyebabkan orang tidak pernah kembali dengan selamat. Akibatnya,
dilakukan pembatasan pelayaran, terutama saat musim dingin. Pelayaran
hanya diizinkan dari tanggal 27 Mei hingga 14 September. Ditambah lagi
dengan banyaknya perompakan di laut di sekitar laut Mediterania.

1
UNCLOS Part III Section 3 Innocent Passage
2
UNCLOS Part X RIGHT OF ACCESS OF LAND-LOCKED STATES TO
AND FROM THE SEA AND FREEDOM OF TRANSIT
3
International Maritime Organization (IMO)
http://www.imo.org/en/KnowledgeCentre/ReferencesAndArchives/HistoryofSafetyatSea/Documents/P.
%20Boisson%20History%20of%20safet%20at%20sea%20extract.htm
II.1.2. Abad Pertengahan

Pencegahan kecelakaan di laut dimulai pada abad pertengahan Eropa,


sekitar tahun 1000 – 1500. Peraturan paling awal muncul di Venesia, Italia
pada tahun 1255. Kapal tidak boleh memuat barang melebihi tanda silang
yang diberi oleh totoritas maritim di lambung kapal. Kemudian diikuti oleh
Genoa di tahun 1330 dengan aturan yang lebih ketat.

II.1.3. Akhir Abad 18

Seiring dengan pertumbuhan jumlah kapal dengan kecepatan dan kapasitas


yang lebih besar serta nilai barang yang diangkut, membuat otoritas maritim
di eropa menerapkan peraturan ketat, mulai dari kondisi kapal, peralatan
keselamatan dan adanya larangan penempatan barang di tempat-tempat
tertentu di atas kapal. Negara-negara bagian utara Eropa menerapkan The
Recesses of the Diet of the Hanseatic League di tahun 1412, 1417, dan 1447
Perancis memberlakukan Marine Ordinance pada Agustus 1681 yang
mengatur tentang kru kapal dan pemeriksaan kapal yang diikuti oleh negara-
negara lain di Eropa.

II.1.4. Abad 19

Inovasi di bidang teknologi yang diikuti oleh Revolusi Industri memberikan


pengaruh yang sangat besar pada pertumbuhan kapal, dengan tenaga uap
dan lambung kapal yang terbuat dari besi dan baja. Namun juga diikuti oleh
peningkatan resiko di laut. Hanya selama musim dingin saja di Laut Utara di
tahun 1820 lebih dari 2000 kapal tenggelam dan menyebabkan kematian
20.000 orang.
Pertengahan abad ini merupakan titik balik dari isu keselamatan di laut
dimana negara-negara di eropa mulai ikut campur tangan dalam pengaturan
keselamatan dengan 2 faktor:
a. Transportasi laut menjadi industri yang nyata yang melibatkan banyak
orang dan barang, sehingga pemerintah menganggap perlu
memberlakukan hukum yang ketat terhadap kondisi kapal.
b. Perlu adanya harmonisasi hukum, kebiasaan dan budaya di antara
negara-negara Eropa dan ini menandai adanya perjanjian antar negara
sehubungan dengan keselamatan di laut.

II.1.5. Abad 20

Negara-negara Eropa selanjutnya menetapkan berbagai hukum bersama-


sama mengenai keselamatan dalam berbagai aspek, baik di pelabuhan
maupun di perairan. Tenggelamnya kapal TITANIC tanggal 14 April 1912
mempercepat proses pembentukan hukum kolektif antar negara pada
konferensi pertama hingga menghasilkan konvensi Safety of Life at Sea
(SOLAS) pada konferensi pertama di London pada bulan Januari 1914.
Konvensi ini awalnya hanya ditandatangani oleh 5 negara, tetapi diterapkan
secara menyeluruh di Inggris, Perancis, Amerika dan Skandinavia.
Konferensi ini juga memunculkan konsep International Maritime Organization
(IMO)4

Usaha untuk memperkuat hukum tentang keselamatan terus dilakukan


dengan konferensi-konferensi lanjutan dengan aturan yang lebih luas dan
terperinci. Pada tahun 1929 – konferensi kedua di London, menghasilkan 60
pasal tentang konstruksi kapal, peralatan keselamatan, pencegahan
kebakaran dan pemadaman kebakaran, peralatan telegrafi tanpa kabel,
bantuan navigasi dan aturan mencegah tubrukan kapal. Tahun-tahun
berikutnya dilakukan penguatan peraturan yang mengikuti teknologi yang

4
https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Maritim_Internasional
terus berkembang, sampai adanya Amandemen SOLAS tahun 2002 dengan
menetapkan ISPS Code sebagai instrumen keselamatan sebagai akibat
serangan terorisme kepada World Trade Centre (Twin Tower) New York
tanggal 11 September 2001 dan diberlakukan efektif di seluruh dunia di bulan
Juli tahun 2004.

II.2. Konvensi International Maritime Organization (IMO)

International Maritime Organization) atau IMO (dulunya dikenal sebagai Inter-


Governmental Maritime Consultative Organization atau IMCO)), didirikan
pada tahun 1948 melalui PBB untuk mengkoordinasikan keselamatan maritim
internasional dan pelaksanaannya. Walaupun telah didirikan sepuluh tahun
sebelumnya, IMO baru bisa berfungsi secara penuh pada tahun 1958.
Dengan berpusat di London, Inggris, IMO mempromosikan kerja-sama antar-
pemerintah dan antar-industri pelayaran untuk meningkatkan keselamatan
maritim dan untuk mencegah polusi air laut.

IMO, yang saat ini beranggotakan 168 negara, dijalankan oleh sebuah
majelis dan dibiayai oleh sebuah dewan yang beranggotakan badan-badan
yang tergabung di dalam majelis tadi. Dalam melaksanakan tugasnya, IMO
memiliki lima komite.

1. Maritime Safety Committee (MSC)


2. Marine Environment Protection Committee (MEPC)
3. Legal Committee (LEG)
4. Technical CO-operation Committee (TCC)
5. Facilitation Committee (FAL)5

5
http://jurnalmaritim.com/2015/11/sekilas-international-maritime-organizatiom-imo/
Kelima komite ini dibantu oleh beberapa sub-komite teknis. Organisasi-
organisasi anggota PBB boleh meninjau cara kerja IMO. Status peninjau
(observer) bisa diberikan juga kepada LSM yang memenuhi syarat tertentu.

IMO didukung oleh sebuah kantor sekretariat yang para pegawainya adalah
wakil-wakil dari para anggota IMO sendiri. Sekretariat terdiri atas seorang
Sekretaris Jendral yang secara berkala dipilih oleh Majelis, dan berbagai
divisi termasuk Inter-Alia, Keselamatan Laut (Marine Safety), Perlindungan
Lingkungan dan sebuah seksi Konferensi. 6

Indonesia mulai meratifikasi konvensi IMO pada tahun 1966, yaitu Solas
1960. Selanjutnya dilakukan ratifikasi terhadap konvensi-konvensi yang
terasa sangat diperlukan dalam upaya keselamatan transportasi laut. SOLAS
dan Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers
(STCW) merupakan konvensi Kunci dari IMO di bidang keselamatan.

Amandemen SOLAS 1974 yang dikenal dengan International Ship and Port
Security Code (ISPS Code 2002) yang diberlakukan sejak tanggal 1 Juli 2004
memiliki aturan yang lebih ketat terhadap usaha-usaha keselamatan
transportasi laut yang juga mencakup pelabuhan. Negara-negara penanda
tangan konvensi diwajibkan melaksanakan ISPS Code secara ketat untuk
mencegah hal-hal yang mengancam keselamatan, terutama ancaman
terorisme.

II.3. Konvensi United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS)

Sebagai warga dunia yang merupakan Negara Kepulauan Terbesar dunia,


Indonesia telah meratifikasi konvensi UNCLOS 1982. Konvensi ini berlaku
secara internasional sejak 16 Nopember 1984 dan diratifikasi dengan
keppres no. 17 / 1985, 31 Desember 1985.

6
https://id.wikipedia.org/wiki/Organisasi_Maritim_Internasional
Dari sisi keamanan transportasi laut (pelayaran), konvensi ini tidak secara
detil mengatur tentang keamanan kapal, namun lebih kepada:
a. kenavigasian yang mesti dipenuhi oleh negara-negara penanda tangan
konvensi demi keamanan pelayaran,
b. Tugas dan fungsi Otoritas negara-negara maritim; Coastal State, Port
State, dan Flag State.7

II.4. Konvensi-Konvensi Keselamatan yang Diratifikasi Indonesia

Berikut adalah diantara konvensi yang telah diratifikasi Indonesia


sehubungan dengan keselamatan transportasi laut:
1. Solas 1960, berlaku secara international, mulai tanggal 26 Mei 1965, dan
diratifikasi dengan Keppres no. 203/1966, 16 September 1966'

2. Load Line 1966, berlaku secara international, mulai tanggal 21 Juli 1968,
diratifikasi dengan Keppres no. 47/1976, 2 Nopember 1976.

3. International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage 1969,


berlaku secara internasional 19 Juni 1975, dan diratifikasi dengan
Keppres no. 18/1978, 1 Juli 1978.

4. Tonnage 1969, berlaku secara internasional 18 Juli 1982, ratifikasi


dengan keppres no. 5 / 1989, 25 januari 1989.

5. International Convention on the Establishment of an International Fund


Conpensation for Oil Pollution Damage 1971, berlaku secara internasional
11 okt. 1978, ratifikasi dengan Keppres no. 19 / 1978, 17 Juli 1978.

6. Special Trade Pass Ships 1971, berlaku secara international, mulai tgl. 2
Jan. 1972, diratifikasi dengan Keppres no. 73 / 1972, 21 Desember 1972.

7. International Convention for Save Containers 1972, berlaku secara


internasional 6 September 1977, diratifikasi dengan Keppres no. 33 /
1989. 17 Juli 1989.

7
UNCLOS III
8. Solas 1974, berlaku secara international, mulai tanggal 25 Mei 1980, dan
diratifikasi dengan Keppres no. 65 / 1980, 25 Mei 1980.

9. International Marine/Maritime Satellite, Inmarsat 1976, berlaku secara


internasional 16 Juli 1979, diratifikasi dengan Keppres no. 14 / 1986, 21
April 1986. Solas Protocol 1978, berlaku secara int. 1 Mei 1981, diratifikasi
dengan Keppres no. 21 / 1988, 29 Juni 1988.

10. Standards of Training, Certification and Watchkeeping for Seafarers


(STCW) 1978, berlaku secara internasional 28 April 1984, diratifikasi
dengan keppres no. 60 / 86, 4 Desember 1986.

11. Amandemen Solas 1974 (ISPS Code 2002) yang berlaku secara
internasional pada tanggal 1 Juli 2004.

III. EFEKTIFITAS HUKUM

Instrumen hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia sudah cukup


lengkap sehubungan dengan keselamatan transportasi laut, baik dari sisi otoritas
maupun teknis. Tinggal bagaimana mengadopsi hukum tersebut menjadi hukum
nasional dan pelaksanaannya yang efektif dibarengi dengan pengawasan yang
ketat.

Sebagai negara kepulauan Indonesia sudah saatnya menjalankan pemerintahan


sesuai dengan jati dirinya; negara kepulauan. Tiga pilar negara kepulauan (dan
negara maritim umumnya) harus ditegakkan untuk dapat menerapkan berbagai
hukum internasional secara efektif di bidang keselamatan. UNCLOS telah dengan
gamblang menyatakan ketiga otoritas tersebut.
III.1. Otoritas Negara Pantai (Coastal State)
Pasal 220 UNCLOS 1982 menegaskan bahwa penegakan hukum di perairan
dilaksanakan oleh Otoritas Negara Pantai. Di Indonesia, institusi berwenang
dalam hal ini masih tumpang tindih. Ada 13 institusi pemerintah yang diberi
wewenang oleh undang-undang melakukan penegakan hukum di laut. Hal ini
sangat tidak efektif mengingat masing-masing institusi lebih mendahulukan
kepentingan institusinya sehingga menimbulkan ego sektoral dalam
penegakan hukum.

Undang-undang no 32/2014 tentang Kelautan memang menagaskan bahwa


penegakan hukum di perairan dilaksanakan oleh Bada Keamanan Laut
(BAKAMLA). Namun undang-undang tersebut tidak serta merta
menggugurkan institusi lain untuk turun ke laut. Diperlukan adanya komitmen
pemerintah melakukan pembenahan dalam hal ini agar penegakan hukum
nasional maupun internasional terkait keamanan dapat berjalan dengan
efektif.

III.2. Otoritas Negara Pelabuhan (Port State)


UNCLOS dalam pasal 218 menegaskan bahwa penegakan hukum di
pelabuhan dilaksanakan oleh otoritas negara pelabuhan. Namun hal yang
sama juga terjadi di pelabuhan, penegakan hukum dilakukan secara
koordinatif di antara institusi pemerintah terkait. Syahbandar yang dalam
Peraturan Bandar 1925 (Reden Reglement) Pasal 2 adalah pemegang
otoritas tertinggi di pelabuhan, tidak difungsikan dengan baik.

III.3. Otoritas Negara Bendera (Flag State)


Penegakan hukum di atas kapal sesuai UNCLOS ditegaskan dalam pasal
217. Di Indonesia, Nakhoda tidak memahami tugas dan fungsinya sebagai
pemegang otoritas negara di atas kapal selain hanya menyetir dari pelabuhan
asal menuju pelabuhan tujuan. Padahal, seorang nakhoda berhak
mengeluarkan sertifikat kematian atau akta kelahiran apabila terjadi kematian
maupun ke lahiran di atas kapalnya. Undang-undang No 17/2008 tentang
Pelayaran tidak menegaskan fungsi Nakhoda sebagai pemegang otoritas
negara di atas kapal – hanya sekedar pekerja biasa di atas kapal
sebagaimana awak kapal lainnya.
IV. KENDALA
Pelaksanaan hukum nasional dan hukum internasional terkait keamanan
transportasi laut tidak akan berjalan sesuai yang diharapkan. Hal itu disebabkan
beberapa kendala sebagai berikut.

1. Hingga saat ini, penegakan hukum di perairan masih dilaksanakan oleh berbagai
instansi pemerintah, total ada 13 instansi yang diberi wewenang oleh undang-
undang. Hal ini sangat tidak efektif dan bahkan menjadi kontra produktif bagi
penegakan hukum karena masing-masing instansi lebih mengutamakan
kepentingan instansinya.

2. Hal yang sama juga terjadi di pelabuhan, penegakan hukum di pelabuhan masih
dijalankan secara koordinatif. Padahal otoritas lokal pelabuhan harus dijalankan
oleh Syahbandar sebagaimana dinyatakan oleh Peraturan Bandar 1925 (Reden
Reglement 1925) Pasal 2. Undang-undang peninggalan Belanda ini belum
dicabut dan masih berlaku efektif.

3. Lain halnya dengan Otoritas Negara Bendera, Nakhoda sebagai pemegang


otoritas negara di atas kapal umumnya tidak memahami peran dan fungsinya.
Sebagai pemegang otoritas, seorang nakhoda menjadi pemimpin yang
melindungi segenap orang dan barang yang berada di atas kapal. Nakhoda
semestinya menjaga dan mempertahankan kapal sebagaimana dia menjaga dan
mempertahankan negara.

V. KESIMPULAN

Efektifitas pelaksanaan penegakan hukum keselamatan transportasi laut baru bisa


efektif apabila Indonesia menegakkan tiga pilar pemerintahan negara kepulauan/
maritim. Ketiga otoritas negara tersebut perlu diperkuat dan diisi oleh personel yang
memahami tugas dan fungsinya sebagai wakil negara di bidang mereka masing-
masing.

VI. SARAN

Indonesia sebagai negara kepulauan, negara maritim, sangat jauh tertinggal dari
negara-nagara lain dalam berbagai aspek kemaritiman. Sudah saatnya Indonesia
melakukan pembenahan di sektor ini agar kita mampu melakukan pemberdayaan
sumber-sumber kelautan yang berlimpah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia. Kita
sudah saatnya memiliki komitmen dengan merestrukturisasi sistem pemerintahan di
laut dan menjadikan kemaritiman sebagai salah satu mata pelajaran dari Sekolah
Dasar hingga Sekolah Menengah serta membangun pendidikan tinggi di bidang
kemaritiman yang akan menyediakan SDM yang mumpuni.

Sekian dan terima kasih.


Batam, 23 Maret 2017

Muhammad Ihsan

Anda mungkin juga menyukai