Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

HIV/AIDS

Disusun Oleh :

Nama : Febri Arum P


NIM : 106117042

STIKES AL-IRSYAD AL-ISLAMIYYAH CILACAP


DIII KEPERAWATAN
2018/2019
A. PENGERTIAN
1. HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah sejenis retrovirus yang termasuk dalam
family lintavirus, retrovirus memiliki kemampuan menggunakan RNA nya dan DNA penjamu
untuk membentuk virus DNA dan dikenali selama masa inkubasi yang panjang. Seperti
retrovirus lainnya HIV menginfeksi dalam proses yang panjang (klinik laten), dan utamanya
penyebab munculnya tanda dan gejala AIDS. HIV menyebabkan beberapa kerusakan sistem
imun dan menghancurkannya. Hal ini terjadi dengan menggunakan DNA dari CD4+ dan limfosit
untuk mereplikasikan diri. Dalam proses itu, virus tersebut menghancurkan CD4+ dan limfosit
(Nursalam 2010).
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah penyebab acquired immunodeficiency
syndrome (AIDS). Virus ini terdiri dari dua grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe HIV ini
bisa menyebabkan AIDS, tetapi HIV-1 yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia, dan
HIV-2 banyak ditemukan di Afrika Barat. Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan
lentivirus atau retroviridae. Genom virus ini adalah RNA, yang mereplikasi dengan
menggunakan enzim reverse transcriptase untuk menginfeksi sel mamalia (Finch, Moss, Jeffries
dan Anderson, 2008 ).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang menyerang sistem
kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari
sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit.
Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah
putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang
terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai nol) (KPA, 2010).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae. Virus ini
secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim reverse transcriptase
untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi
secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup
mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat
mengalami mutasi. Diantara kedua grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan
lebih ganas di seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 20068).
HIV adalah jenis parasit obligat yaitu virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau
media hidup. Seorang pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi
tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya berbagai infeksi baik
akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur. Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi
oportunistik (Zein, 2008).
2. AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency Syndrome, yang berarti
kumpulan gejala atau sindroma akibat menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi
virus HIV. Tubuh manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak sistem pertahanan tubuh
ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai jenis penyakit lain
AIDS adalah sindroma yang menunjukkan defisiensi imun seluler pada seseorang tanpa
adanya penyebab yang diketahui untuk dapat menerangkan tejadinya defisiensi, tersebut seperti
keganasan, obat-obat supresi imun, penyakit infeksi yang sudah dikenal dan sebagainya
(Laurentz, 2007).
AIDS adalah singkatan dari acquired immunodeficiency syndrome dan menggambarkan
berbagai gejala dan infeksi yang terkait dengan menurunnya sistem kekebalan tubuh yang
disebabkan infeksi virus HIV (Brooks, 2009). Virus HIV ini akan menyerang sel-sel sistem imun
manusia, yaitu sel T dan sel CD4 yang berperan dalam melawan infeksi dan penyakit dalam
tubuh manusia. Virus HIV akan menginvasi sel-sel ini, dan menggunakan mereka untuk
mereplikasi lalu menghancurkannya. Sehingga pada suatu tahap, tubuh manusia tidak dapat lagi
mengatasi infeksi akibat berkurangnya sel CD4 dan rentan terhadap berbagai jenis penyakit lain.
Seseorang didiagnosa mengalami AIDS apabila sistem pertahanan tubuh terlalu lemah untuk
melawan infeksi, di mana infeksi HIV pada tahap lanjut (AVERT, 2011).
B. ETIOLOGI
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dianggap sebagai virus penyebab AIDS. Virus
ini termaksuk dalam retrovirus anggota subfamili lentivirinae. Ciri khas morfologi yang unik dari
HIV adalah adanya nukleoid yang berbentuk silindris dalam virion matur. Virus ini mengandung
3 gen yang dibutuhkan untuk replikasi retrovirus yaitu gag, pol, env. Terdapat lebih dari 6 gen
tambahan pengatur ekspresi virus yang penting dalam patogenesis penyakit. Satu protein
replikasi fase awal yaitu protein Tat, berfungsi dalam transaktivasi dimana produk gen virus
terlibat dalam aktivasi transkripsional dari gen virus lainnya. Transaktivasi pada HIV sangat
efisien untuk menentukan virulensi dari infeksi HIV. Protein Rev dibutuhkan untuk ekspresi
protein struktural virus. Rev membantu keluarnya transkrip virus yang terlepas dari nukleus.
Protein Nef menginduksi produksi khemokin oleh makrofag, yang dapat menginfeksi sel yang
lain (Brooks, 2008).

C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Komunitas AIDS Indonesia (2010), gejala klinis terdiri dari 2 gejala yaitu
gejala mayor (umum terjadi) dan gejala minor (tidak umum terjadi):
1. Gejala mayor:
a. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Demam berkepanjangan lebih dari 1 bulan
d. Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis
e. Demensia/ HIV ensefalopati
2. Gejala minor:
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalisata
c. Adanya herpes zoster multisegmental dan herpes zoster berulang
d. Kandidias orofaringeal
e. Herpes simpleks kronis progresif
f. Limfadenopati generalisata
g. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita
h. Retinitis virus Sitomegalo
Menurut Mayo Foundation for Medical Education and Research (MFMER) (2008),
gejala klinis dari HIV/AIDS dibagi atas beberapa fase.
1. Fase awal
Pada awal infeksi, mungkin tidak akan ditemukan gejala dan tanda-tanda infeksi. Tapi kadang-
kadang ditemukan gejala mirip flu seperti demam, sakit kepala, sakit tenggorokan, ruam dan
pembengkakan kelenjar getah bening. Walaupun tidak mempunyai gejala infeksi, penderita
HIV/AIDS dapat menularkan virus kepada orang lain.
2. Fase lanjut
Penderita akan tetap bebas dari gejala infeksi selama 8 atau 9 tahun atau lebih. Tetapi seiring
dengan perkembangan virus dan penghancuran sel imun tubuh, penderita HIV/AIDS akan mulai
memperlihatkan gejala yang kronis seperti pembesaran kelenjar getah bening (sering merupakan
gejala yang khas), diare, berat badan menurun, demam, batuk dan pernafasan pendek.
3. Fase akhir
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala
yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut
AIDS. Gejala Minor

Menurut Anthony (Fauci dan Lane, 2008), gejala klinis HIV/AIDS dapat dibagikan
mengikut fasenya.
1. Fase akut
Sekitar 50-70% penderita HIV/AIDS mengalami fase ini sekitar 3-6 minggu selepas infeksi
primer. Gejala-gejala yang biasanya timbul adalah demam, faringitis, limpadenopati, sakit
kepala, arthtalgia, letargi, malaise, anorexia, penurunan berat badan, mual, muntah, diare,
meningitis, ensefalitis, periferal neuropati, myelopathy, mucocutaneous ulceration, dan
erythematous maculopapular rash. Gejala-gejala ini muncul bersama dengan ledakan plasma
viremia. Tetapi demam, ruam kulit, faringitis dan mialgia jarang terjadi jika seseorang itu
diinfeksi melalui jarum suntik narkoba daripada kontak seksual. Selepas beberapa minggu
gejala-gajala ini akan hilang akibat respon sistem imun terhadap virus HIV. Sebanyak 70% dari
penderita HIV akan mengalami limfadenopati dalam fase ini yang akan sembuh sendiri.
2. Fase asimptomatik
Fase ini berlaku sekitar 10 tahun jika tidak diobati. Pada fase ini virus HIV akan bereplikasi
secara aktif dan progresif. Tingkat pengembangan penyakit secara langsung berkorelasi dengan
tingkat RNA virus HIV. Pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang tinggi lebih cepat akan
masuk ke fase simptomatik daripada pasien dengan tingkat RNA virus HIV yang rendah.
3. Fase simptomatik
Selama fase akhir dari HIV, yang terjadi sekitar 10 tahun atau lebih setelah terinfeksi, gejala
yang lebih berat mulai timbul dan infeksi tersebut akan berakhir pada penyakit yang disebut
AIDS.

D. PATOFISIOLOGI
Sel T dan makrofag serta sel dendritik / langerhans ( sel imun ) adalah sel-sel yang
terinfeksi Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa
dan sumsum tulang. Human Immunodeficiency Virus ( HIV ) menginfeksi sel lewat pengikatan
dengan protein perifer CD 4, dengan bagian virus yang bersesuaian yaitu antigen grup 120. Pada
saat sel T4 terinfeksi dan ikut dalam respon imun, maka Human Immunodeficiency Virus
( HIV ) menginfeksi sel lain dengan meningkatkan reproduksi dan banyaknya kematian sel T4
yang juga dipengaruhi respon imun sel killer penjamu, dalam usaha mengeliminasi virus dan sel
yang terinfeksi.
Virus HIV dengan suatu enzim, reverse transkriptase, yang akan melakukan
pemograman ulang materi genetik dari sel T4 yang terinfeksi untuk membuat double-stranded
DNA. DNA ini akan disatukan kedalam nukleus sel T4 sebagai sebuah provirus dan kemudian
terjadi infeksi yang permanen. Enzim inilah yang membuat sel T4 helper tidak dapat mengenali
virus HIV sebagai antigen. Sehingga keberadaan virus HIV didalam tubuh tidak dihancurkan
oleh sel T4 helper. Kebalikannya, virus HIV yang menghancurkan sel T4 helper. Fungsi dari sel
T4 helper adalah mengenali antigen yang asing, mengaktifkan limfosit B yang memproduksi
antibodi, menstimulasi limfosit T sitotoksit, memproduksi limfokin, dan mempertahankan tubuh
terhadap infeksi parasit. Kalau fungsi sel T4 helper terganggu, mikroorganisme yang biasanya
tidak menimbulkan penyakit akan memiliki kesempatan untuk menginvasi dan menyebabkan
penyakit yang serius.
Dengan menurunya jumlah sel T4, maka system imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel T
penolong. Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV ) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun-tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4
dapat berkurang dari sekitar 1000 sel perml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200-300 per
ml darah, 2-3 tahun setelah infeksi.
Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala-gejala infeksi ( herpes zoster dan jamur
oportunistik ) muncul, Jumlah T4 kemudian menurun akibat timbulnya penyakit baru akan
menyebabkan virus berproliferasi. Akhirnya terjadi infeksi yang parah. Seorang didiagnosis
mengidap AIDS apabila jumlah sel T4 jatuh dibawah 200 sel per ml darah, atau apabila terjadi
infeksi opurtunistik, kanker atau dimensia AIDS.

E. PATHWAY
HIV masuk kedalam tubuh manusia

Menginfeksi sel yang mempunyai molekul CO4


(Limfosit T4, Monosit, Sel dendrit, Sel Langerhans)

Mengikat molekul CO4

Memiliki sel target dan memproduksi virus

Sel limfosit T4 hancur

Iminotas tubuh menurun

Infeksi Opurtinistik

Sistem Pernafasan Sistem Pencernaan Sistem Integumen Sistem Neurologis


Peradangan pada Infeksi jamur PeradanganKulit Infeksi ssp
Jaringan paru Mukosa bibir kering

Sesak Peradangan Timbul lesi Penurunan kesadaran,


mulut bercak putih kejang, Nyeri kepala

Gangguan sulit menelan gatal, nyeri Perubahan proses berpikir


Pertukaran mual bersisik
gas Hambatan mobilitas fisik
intake kurang Kerusakan
integritas kulit Hambatan komunikasi
verbal
Ketidakefektifan Ketidakseimbangan nutrisi:
pola napas kurang dari kebutuhan tubuh

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSA


Jika seseorang terinfeksi, semakin cepat dia tahu lebih baik. Pasien dapat tetap sehat
lebih lama dengan pengobatan awal dan dapat melindungi orang lain dengan mencegah
transmisi. Tes-tes ini mendeteksi keberadaan virus dan protein yang menghasilkan sistem
kekebalan tubuh untuk melawan virus. Protein ini yang dikenal sebagai antibodi, biasanya tidak
terdeteksi sampai sekitar 3-6 minggu setelah infeksi awal. Maka jika melakukan tes 3 hingga 6
minggu selepas paparan akan memberi hasil tes yang negatif (Swierzewski, 2010).
Menurut University of California San Francisco (2011), ELISA (enzyme-linked
immunosorbent assay) adalah salah satu tes yang paling umum dilakukan untuk menentukan
apakah seseorang terinfeksi HIV. ELISA sensitif pada infeksi HIV kronis, tetapi karena antibodi
tidak diproduksi segera setelah infeksi, maka hasil tes mungkin negatif selama beberapa minggu
setelah infeksi. Walaupun hasil tes negatif pada waktu jendela, seseorang itu mempunyai risiko
yang tinggi dalam menularkan infeksi. Jika hasil tes positif, akan dilakukan tes Western blot
sebagai konfirmasi. Tes Western blot adalah diagnosa definitif dalam mendiagnosa HIV. Di
mana protein virus ditampilkan oleh acrylamide gel electrophoresis, dipindahkan ke kertas
nitroselulosa, dan ia bereaksi dengan serum pasien. Jika terdapat antibodi, maka ia akan
berikatan dengan protein virus terutama dengan protein gp41 dan p24. Kemudian ditambahkan
antibodi yang berlabel secara enzimatis terhadap IgG manusia. Reaksi warna mengungkapkan
adanya antibodi HIV dalam serum pasien yang telah terinfeksi (Shaw dan Mahoney, 2003) Tes
OraQuick adalah tes lain yang menggunakan sampel darah untuk mendiagnosis infeksi HIV.
Hasil tes ini dapat diperoleh dalam masa 20 menit. Hasil tes positif harus dikonfirmasi dengan
tes Western blot (MacCann, 2008).
Tes ELISA dan Western blot dapat mendeteksi antibodi terhadap virus, manakala
polymerase chain reaction (PCR) mendeteksi virus HIV. Tes ini dapat mendeteksi HIV bahkan
pada orang yang saat ini tidak memproduksi antibodi terhadap virus. Secara khusus, PCR
mendeteksi “proviral DNA”. HIV terdiri dari bahan genetik yang dikenal RNA. Proviral DNA
adalah salinan DNA dari RNA virus. PCR digunakan untuk konfirmasi kehadiran HIV ketika
ELISA dan Western blot negatif; dalam beberapa minggu pertama setelah infeksi, sebelum
antibodi dapat dideteksi; jika hasil Western blot tidak tentu dan pada bayi baru lahir dimana
antibodi ibunya merumitkan tes lain (Swierzewski, 2010).

G. KOMPLIKASI
Komplikasi primer :
a. MCMD (Minor Cognitive Motor Disorder
b. Neurobiologi (meningitis, mylopati, neuropati )
c. Infeksi (toxoplasmosis, ensefalitis, cytomegalovirus/CMV
d. Leikoencepalopati multifoksl progresif (neoplasma dan delirium)

H. PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi cukup
memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang baik
pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis direkomendasikan
ketika jumlah sel CD4 dari orangyang mengidap HIV/AIDS adalah 200 atau lebih rendah.
Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV dikonsumsi, secara
umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif (HAART). Kombinasi dari
ARV berikut ini dapat mengunakan:
a. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral
RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
b. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat reproduksi
dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim viral yang penting.
Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan materi turunan kedalam
sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine, delavirdine (Rescripta), efavirenza
(Sustiva).
c. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya sehingga
suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.
2. Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap HIV(+)
dapatmenularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa
menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari
seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan
tersebut adalah:
a. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28 minggu
selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan angka
penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan terlambat
sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek dimulai pada masa
persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki pengunaan dari Ziduvidine
(AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
b. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu
dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut
dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu
dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi
tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.
3. Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral, yang
dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah seseorang
menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual maupun
terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP, maka
suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan.
Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti
obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks
yang aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk
PEP termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah
memperingatkan mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang
berhutang pada bahaya akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial
ke HIV, pengobatan PEP perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat
bukti untuk mengusulkan bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka
keuntungannya pun akan menjadi lebih besar. PEP tidak merekomendasikan proses
terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut
dapat memberikan efek samping yang hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak
aman.
4. Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi untuk mencegah
baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan pemberian vaksin HIV
terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi pengobatan untuk mendorong
respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel yang terinfeksi virus, atau menunda onset
AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi
pada semua sel yang terinfeksi dan tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun
inang setelah infeksi primer (Brooks, 2005).
5. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik,
nasokomial, atau sepsis. Tindakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah
kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien di
lingkungan perawatan kritis.

I. PENGKAJIAN
1. Riwayat: tes HIV positif, riwayat perilaku beresiko tinggi, menggunakan obat-obat.
2. Penampilan umum: pucat, kelaparan.
3. Gejala subyektif: demam kronik, dengan atau tanpa menggigil, keringat malam hari
berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
4. Psikososial: kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan pola hidup, ungkapkan
perasaan takut, cemas, meringis.
5. Status mental: marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, with drawl, hilang interest
pada lingkungan sekitar, gangguan proses pikir, hilang memori, gangguan atensi dan
konsentrasi, halusinasi dan delusi.
6. HEENT : nyeri periorbital, fotophobia, sakit kepala, edem muka, tinitus, ulser pada bibir
atau mulut, mulut kering, suara berubah, disfagia, epsitaksis.
7. Neurologis: gangguan refleks pupil, nystagmus, vertigo, ketidakseimbangan, kaku kuduk,
kejang, paraplegia.
8. Muskuloskletal: focal motor deifisit, lemah, tidak mampu melakukan ADL.
9. Kardiovaskuler; takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
10. Pernapasan: dyspnea, takipnea, sianosis,  SOB, menggunakan otot  Bantu pernapasan, batuk
produktif atau non produktif.
11. GI: intake makan dan minum menurun, mual, muntah, BB menurun, diare, inkontinensia,
perut kram, hepatosplenomegali, kuning.
12. GU: lesi atau eksudat pada genital,
13. Integument: kering, gatal, rash atau lesi, turgor jelek, petekie positif.

J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola napas b.d Gangguan neurologis
2. Nyeri Akut b.d Agens cedera biologis
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d ketidakmampuan makan
4. Kerusakan integritas kulit b.d perubahan status metabolik
5. Hambatan mobilitas fisik b.d Gangguan neuromuskular
6. Hambatan komunikasi verbal b.d Gangguan fisiologis
K. INTERVENSI KEPERAWATAN

NO DIAGNOSA NOC NIC


KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan pola NOC : Status Pernafasan NIC : Manajemen Jalan Nafas
napas b.d Gangguan  Frekuensi pernafasan  Buka jalan nafas, gunakan
neurologis  Irama pernafasan teknik chin lift atau jaw
 Penggunaan otot bantu nafas thrust, sebagaimana mestinya

 Restraksi dinding dada  Posisikan pasien untuk

 Batuk memaksimalkan ventilasi


 Identifikasi kebutuhan
aktual/potensial pasien untuk
memasukkan alat membuka
jalan nafas
 Lakukan fisioterapi dada,
sebagaimana mestinya
 Berikan bronkodilator bila
perlu
 Posisikan untuk meringankan
sesak nafas
 Atur intake untuk cairan
mengoptimalkan
keseimbangan.
 Monitor status pernafasan dan
oksigenasi, sebagaimana
mestinya

2. Nyeri Akut b.d agens NOC : Tingkat Nyeri NIC : Manajemen Nyeri
cedera biologis  Nyeri yang dilaporkan  Lakukan pengkajian nyeri
 Ekspresi nyeri wajah komprehensif meliputi
 Kehilangan nafsu makan lokasi, karakteristik,

 Intoleransi makanan onset/durasi, frekuensi,


 Frekuensi nafas kualitas, intensitas atau
beratnya nyeri dan faktor
pencetus
 Gali bersama pasien faktor-
faktor yang dapat
menurunkan atau
memperberat nyeri
 Ajarkan penggunaan teknik
non farmakologi
 Dukung istirahat/tidur yang
adekuat untuk membantu
penurunan nyeri
Pemberian Analgesik
 Tentukan lokasi,
karakteristik, kualitas, dan
keparahan nyeri sebelum
mengobati pasien
 Cek instruksi dokter meliputi
obat, dosis, dan frekuensi
obat analgesik yang
diresepkan
 Cek adanya riwayat alergi
obat
 Pilih rute pemberian secara
IV, daripada IM untuk
injeksi pengobatan nyeri
yang sering, jika
memungkinkan
3. Ketidakseimbangan nutrisi NOC : Nafsu Makan NIC : Manajemen Gangguan
kurang dari kebutuhan  Energi untuk makan Makan
tubuh b.d  Intake makanan  Kolaborasi dengan tim
ketidakmampuan makan  Intake nutrisi kesehatan lain untuk
 Intake cairan mengembangkan rencana

 Rangsangan untuk makan perawatan dengan melibatkan


klien dan orang-orang
terdekadnya dengan tepat
 Monitor intake/asupan dan
asupan cairan secara tepat
Manajemen Nutrisi
 Kaji adanya alergi makanan
 Kolaborasi dengan ahli gizi
untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.

DAFTAR PUSTAKA
Agus P, dkk : Kedaruratan Medik : Edisi Revisi, Binarupa Aksara, Jakarta, 2010
Doenges M.E. (2008) Nursing Care Plan, Guidlines for Planning Patient Care (2 nd ed ).
Philadelpia, F.A. Davis Company.
Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim. 2007. Buku Ajar Ilmu
Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. 
Bulechek, G.M., Butcher, H.K., Dochterman, J.M., Wagner, C.M. 2016. Nursing Interventions
Classification (NIC), 6th Indonesian editions. Singapore : Elsevier, Indonesia :
Mocomedia
Moorhed, S., Johnson, M., Maas, L.M., Swanson, E. 2016. Nursing Outcomes Classification
(NOC), 5th Indonesian editions. Singapore : Elseiver, Indonesia : Mocomedia
North American Nursing Diagnosis Association (NANDA). 2015.  Diagnosis Keperawatan
Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai