Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya kesehatan bertujuan untuk memelihara dan meningkatkan

kesehatan dan tempat yang digunakan untuk menyelenggarakannya

disebut sarana kesehatan. Salah satu sarana kesehatan yang

menyelenggarakan upaya kesehatan adalah rumah sakit. Rumah Sakit

adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat dengan karakteristik

tersendiri yang dipengaruhi oleh perkembangan ilmu pengetahuan

kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat

yang harus tetap mampu meningkatkan pelayanan yang lebih bermutu dan

terjangkau oleh masyarakat agar terwujud derajat kesehatan yang setinggi-

tingginya (Anonim, 2009).

Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

1197/Menkes/SK/X/2004 tentang standar pelayanan farmasi rumah sakit

menyebutkan bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang

tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi

kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk

pelayanan farmasi klinik yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat.

Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) adalah suatu departemen atau

bagian atau unit divisi di suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang

apoteker dan dibantu oleh beberapa orang asisten apoteker yang memenuhi

1
2

persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten

secara profesional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan semua kegiatan

pekerjaan kefarmasian yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan

serta pelayanan kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit

itu sendiri (Siregar, 2003).

Pengelolaan obat terutama pada tahap perencanaan dan pengadaan di

rumah sakit merupakan salah satu aspek penting dari rumah sakit. Tujuan

pengelolaan obat adalah tersedianya obat setiap saat dibutuhkan baik

mengenai jenis, jumlah maupun kualitas secara efisien. Dengan demikian,

pengelolaan obat dapat dipakai sebagai proses penggerak dan

pemberdayaan semua sumber daya yang dimiliki untuk dimanfaatkan

dalam rangka mewujudkan ketersediaan obat setiap dibutuhkan agar

operasional efektif dan efisien (Anonim, 2005).

Perencanaan kebutuhan obat merupakan suatu proses memilih dan

menetapkan jumlah dan jenis perkiraan kebutuhan obat. Perencanaan

merupakan faktor yang sangat menentukan tingkat ketersediaan obat.

Perencanaan obat menjadi tahap awal dalam sistem pelayanan farmasi,

kemudian dilanjutkan dengan pengadaan, penerimaan, penyimpanan,

pendistribusian yang dikelola oleh Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)

(Athijah et al., 2010).

Obat Slow Moving merupakan obat yang perputaran/

pengeluarannya lambat. Obat Slow moving menjadi perhatian khusus


3

dalam perencanaan kebutuhan obat dikarenakan apabila obat slow moving

salah dalam perencanaan nantinya dapat terjadi kejadian banyaknya obat

ED. Berdasarkan wawancara dengan pihak instalasi farmasi rumah sakit

lestari raharja setiap tahunnya terdapat minimal 10 jenis obat ED.

Perencanaan kebutuhan obat slow moving yang tepat dapat menekan

adanya obat ED. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia No.72 tahun 2016 tentang standar pelayanan farmasi di rumah

sakit dimana Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan bahan

Medis Habis Pakai harus dilaksanakan secara multidisiplin, terkoordinir

dan menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali mutu dan

kendali biaya. Adanya perencanaan obat yang kurang optimal dapat

menyebabkan terjadinya penumpukan obat di sarana kesehatan yang

berpeluang terjadi kerusakan obat dan sebaliknya dapat terjadi kekosongan

obat yang berakibat pada kurang maksimalnya pelayanan kesehatan bagi

masyarakat. Juga dengan adanya pengelolaan obat slowmoving yg tidak

tepat menyebabkan banyak ditemukannya obat ED dan menyebabkan

kerugian pada instalasi. Oleh karena hal tersebut maka peneliti tertarik

untuk melakukan evaluasi terhadap perencanaan obat slow moving di

Rumah Sakit Lestari Raharja.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana pola perencanaan kebutuhan Obat slow moving di Rumah

Sakit Lestari Raharja?


4

C. Tujuan Penelitian

Mengetahui pola perencanaan kebutuhan obat slow moving di Rumah

Sakit Lestari Raharja.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi Rumah Sakit

Menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan masukan bagi

manajemen pengadaan obat di Rumah Sakit Lestari Raharja khususnya

dalam proses perencanaan kebutuhan obat slow moving di Instalasi

Farmasi Rumah Lestari Raharja.

2. Bagi Peneliti

Memperoleh pengetahuan dan gambaran proses perencanaan

kebutuhan obat di Rumah Sakit Lestari Raharja dan mendapatkan

pengalaman di bidang manajemen pengadaan obat di Rumah Sakit

khususnya pada proses perencanaan kebutuhan obat slow moving.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rumah Sakit

1. Definisi Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan salah satu sarana kesehatan tempat

menyelenggarakan upaya kesehatan dengan memberdayakan berbagai

kesatuan personil terlatih dan terdidik dalam menghadapi dan

menangani masalah medik untuk pemulihan dan pemeliharaan

kesehatan serta mempunyai peranan yang penting untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat. Rumah sakit mempunyai tugas

memberikan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yaitu

pelayanan kesehatan yang meliputi promotif, preventif, kuratif dan

rehabilitative (Anonim, 2009).

Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan bagi masyarakat

dengan karakteristik tersendiriyang dipengaruhi oleh perkembangan

ilmu pengetahuan kesehatan, kemajuan teknologi, dan kehidupan

sosial ekonomi masyarakat yang harus tetap mampu meningkatkan

pelayanan yang lebih bermutu dan terjangkau oleh masyarakat agar

terwujud derajat kesehatan yang setinggi-tingginya (Anonim, 2009).

Sekarang ini rumah sakit adalah suatu lembaga komunitas yang

merupakan instrumen masyarakat.Rumah sakit merupakan titik fokus

untuk mengkoordinasi dan menghantarkan pelayanan penderita pada

komunitasnya.Berdasarkan hal tersebut, rumah sakit dapat dipandang

5
6

sebagai struktur terorganisasi yang menggabungkan bersama-sama

semua profesi kesehatan, fasilitas diagnostik dan terapi, alat dan

perbekalan serta fasilitas fisik kedalam suatu sistem terkoordinasi

untuk penghantaran pelayanan kesehatan bagi masyarakat. Dulu rumah

sakit dianggap hanya sebagai suatu tempat penderita ditangani,

sekarang ini rumah sakit dianggap suatu lembaga yang giat

memperluas layanannya kepada penderita dimana pun lokasinya

(Siregar, 2004).

2. Tugas dan Fungsi Rumah sakit

Berdasarkan UU No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bahwa

rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan secara

paripurna.Hal ini diperjelas bahwa tugas utama rumah sakit adalah

untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan

mengobati penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan,

kelompok dan ataupun masyarakat.

Adapun fungsi rumah sakit adalah sebagai berikut:

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan

sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui

pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga

sesuai kebutuhan medis


7

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia

dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian

pelayanan kesehatan

d. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan

teknologi bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan

kesehatan dengan memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang

kesehatan.

3. Klasifikasi Rumah Sakit

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 56 Tahun

2014, menjelaskan bahwa sesuai jenis pelayanan yang diberikan,

rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit

khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada

semua bidang dan jenis pelayanan kesehatan pada semua bidang dan

jenis penyakit dan rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama

pada satu bidang atau sejenis penyakit atau kekhususan lainnya.

Rumah sakit dapat diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan

kemampuan pelayanan meliputi rumah sakit umum kelas A, kelas B,

kelas C dan Kelas D.

Adapun klasifikasi rumah sakit umum adalah :

a. Rumah Sakit Umum Kelas A

Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar yaitu :

pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetrik dan


8

ginekologi, ada 5 (lima) spesialis penunjang medik yaitu :

pelayanan anestesiologi, radiologi, rehabilitasi medik, patologi

klinik dan patologi anatomi, 12 (dua belas) spesialis lain yaitu:

mata, telinga, hidung tenggorokan, syaraf, jantung, dan pembuluh

darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedik,

urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan kedokteran forensik dan

16 (enam belas) subspesialis yaitu: bedah, penyakit dalam,

kesehatan anak, obstetric dan ginekologi, mata, telinga hidung

tenggorokan, syaraf, jantung dan pembuluh darah, kulit dan

kelamin, kedokteran jiwa, paru, orthopedik, urologi, bedah syaraf,

bedah plastik dan gigi mulut.

b. Rumah Sakit Umum Kelas B

Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar yaitu:

pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetrik dan

ginekologi, 5 (lima) spesialis penunjang medik yaitu: pelayanan

anestesiologi, radiologi, patologi klinik, patologi anatomi dan

rehabilitasi medik. Sekurang kurangnya 8 (delapan) pelayanan

spesialis lain yaitu: mata, telinga hidung tenggorokan, syaraf,

jantung dan pembuluh darah, kulit dan kelamin, kedokteran jiwa,

paru, orthopedik, urologi, bedah syaraf, bedah plastik dan

kedokteran forensik mata, syaraf, jantung dan pembuluh darah,

kulit dan kelamin, kedokteran jiwa, paru, urologi dan kedokteran


9

forensik. Pelayanan medik subspesialis 2 (dua) subspesialis dasar

meliputi : bedah, penyakit dalam, kesehatan anak, obstetrik dan

ginekologi.

c. Rumah Sakit Umum Kelas C

Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar :

pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah, obstetrik dan

ginekologi, radiologi, rehabilitasi medik dan patologi klinik.

d. Rumah Sakit Umum Kelas D

Rumah sakit umum yang mempunyai fasilitas dan kemampuan

pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) dari 4 (empat) spesialis

dasar yaitu : pelayanan penyakit dalam, kesehatan anak, bedah,

obstetrik dan ginekologi.

B. Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS)

1. Pengertian IFRS

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun

2009 tentang Rumah Sakit, instalasi farmasi adalah bagian dari rumah

sakit yang harus menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan alat

kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman dan terjangkau yang

bertugas menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan

mengawasi seluruh kegiatan pelayanan farmasi serta melaksanakan

pembinaan teknis kefarmasian di rumah sakit, seperti pengelolaan alat

kesehatan, sediaan farmasi dan bahan habis pakai.


10

Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) merupakan suatu

bagian/unit di rumah sakit, tempat penyelenggaraan semua kegiatan

pekerjaan kefarmasiaan yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit

itu sendiri.Seperti pembuatan, termasuk pengendalian mutu sediaan

farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat,

pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan

informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat

tradisional (Siregar, 2004).

Instalasi farmasi rumah sakit adalah suatu departemen atau unit

bagian di suatu rumah sakit di bawah pimpinan seorang apoteker dan

dibantu oleh beberapa orang apoteker yang memenuhi persyaratan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kompeten secara

profesional, tempat atau fasilitas penyelenggaraan yang bertanggung

jawab atas seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian, yang terdiri

atas pelayanan paripurna (Siregar, 2004).

Menurut Siregar, IFRS adalah suatu unit dirumah sakit yang dipimpin

oleh seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa apoteker yang

memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dan kompeten secara profesional dan merupakan tempat

penyelenggaraan yang bertanggung jawab atas seluruh pekerjaan serta

pelayanan kefarmasian yang ditujukan untuk keperluan rumah sakit itu

sendiri (Febriawati, 2013).


11

2. Tugas dan Tanggungjawab IFRS

Tugas utama IFRS adalah pengelolaan mulai dari perencanaan,

pengadaan, penyimpanan, penyiapan, peracikan, pelayanan langsung

kepada penderita sampai dengan pengendalian semua perbekalan

kesehatan yang beredar dan digunakan dalam rumah sakit baik untuk

penderita rawat inap, rawat jalan maupun semua unit termasuk

poliklinik rumah sakit. IFRS harus menyediakan terapi obat yang

optimal bagi semua penderita dan menjamin pelayanan bermutu

tertinggi dan yang paling bermanfaat dengan biaya minimal.

IFRS adalah satu-satunya unit di rumah sakit yang bertugas dan

bertanggung jawab sepenuhnya pada pengelolaan semua aspek yang

berkaitan dengan obat/perbekalan kesehatan yang beredar dan

digunakan di rumah sakit tersebut.IFRS bertanggung jawab

mengembangkan suatu farmasi yang luas dan terkoordinasi dengan

baik dan tepat, untuk memenuhi kebutuhan berbagai bagian/unit

diagnosis dan terapi, unit pelayanan keperawatan, staf medik, dan

rumah sakit keseluruhan untuk kepentingan pelayanan penderita yang

lebih baik (Siregar, 2004).

3. Pengorganisasian IFRS

Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 58 Tahun

2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit bahwa,

pengorganisasian Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS) harus

mencakup penyelenggaraan pengelolaan sediaan farmasi, alat


12

kesehatan, dan bahan medis habis pakai, pelayanan farmasi klinik dan

manajemen mutu, dan bersifat dinamis dapat direvisi sesuai kebutuhan

dengan tetap menjaga mutu.

Organisasi IFRS harus didesain dan dikembangkan sedemikian

rupa agar faktor-faktor teknis, administratif dan manusia yang

memengaruhi mutu produk dan pelayanannya berada di bawah

kendali.

Tugas instalasi farmasi rumah sakit, meliputi:

1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan

mengawasi seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian yang

optimal dan profesional serta sesuai prosedur dan etik profesi.

2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan

bahan medis habis pakai yang efektif, aman, bermutu dan

efisien.

3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna

memaksimalkan efek terapi dan keamanan serta meminimalkan

risiko.

4. Melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) serta

memberikan rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien

5. Berperan aktif dalam tim farmasi dan terapi

6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan

pelayanan kefarmasian.
13

7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan

dan formularium Rumah Sakit (Anonim, 2014).

Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit (IFRS), sebagai berikut:

1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis

habis pakai

2. Pelayanan farmasi klinik (Permenkes RI Nomor 58 Tahun

2014).

C. Sumber Daya Manusia

Berdasarkan Kepmenkes RI No.1197 tahun 2004, instalasi farmasi

harus memiliki apoteker dan tenaga teknis kefarmasian yang sesuai dengan

beban kerja dan petugas penunjang lain agar tercapai sasaran dan tujuan

instalasi farmasi rumah sakit. Ketersediaan jumlah tenaga apoteker dan

tenaga teknis kefarmasian di rumah sakit dipenuhi sesuai dengan ketentuan

klasifikasi dan perizinan rumah sakit yang ditetapkan oleh menteri.

Sumber daya manusia yang melakukan pekerjaan kefarmasian di

rumah sakit yang termasuk dalam bagan organisasi rumah sakit dengan

persyaratan:

1. Terdaftar di Departemen Kesehatan

2. Terdaftar di asoaiasi profesi

3. Mempunyai izin kerja

4. Mempunyai Surat Keputusan (SK) penempatan (Febriawati, 2013).


14

Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh tenaga

farmasi professional yang berwewenang berdasarkanundang-undang,

memenuhi persyaratan baik dari segi aspek hukum, strata pendidikan,

kualitas maupun kuantitas dengan jaminan kepastian adanya peningkatan

pengetahuan, keterampilan dan sikap keprofesian terus menerus dalam

rangka menjaga mutu profesi dan kepuasan pelanggan. Kualitas dan rasio

kuantitas harus disesuaikan dengan beban kerja dan keluasan cakupan

pelayanan serta perkembangan dan visi rumah sakit (Anonim, 2004).

Instalasi farmasi rumah sakit harus dikepalai oleh seorang apoteker

yang merupakan apoteker penanggung jawab seluruh pelayanan

kefarmasian di rumah sakit. Kepala IFRS diutamakan telah memiliki

pengalaman bekerja di Instalasi Farmasi Rumah Sakit minimal 3 (tiga)

tahun. Instalasi farmasi juga harus memiliki Apoteker dan tenaga teknis

kefarmasian yang sesuai dengan beban kerja dan petugas penunjang lain

agar tercapai sasaran dan tujuan instalasi farmasi rumah sakit (Anonim,

2014).

Sumber daya manusia yang dibutuhkan di instalasi farmasi rumah sakit

(Anonim, 2004), sebagai berikut:

1) Untuk pekerjaan kefarmasian dibutuhkan tenaga:

a. Apoteker

b. Sarjana Farmasi

c. Asisten Apoteker (AMF, SMF)

2) Untuk pekerjaan administrasi dibutuhkan tenaga:


15

a. Operator komputer/ teknisi yang memahami

kefarmasian

b. Tenaga administrasi

3) Pembantu pelaksana

D. Pengelolaan Sediaan Farmasi Rumah Sakit

Alur pengelolaan sediaan farmasi meliputi empat fungsi dasar,

yaituseleksi (selection), perencanaan dan pengadaan (procurement),

distribusidan penyimpanan (distribution) dan (storage), serta penggunaan

(use)yang meliputi monitoring dan evaluasi (monitoring) dan (evaluation)

yang memerlukan dukungan dari organisasi (organization), pendanaan

(financing), pengelolaan informasi (information management) dan

pengembangan sumber daya manusia (human resources) (Quick dkk.,

1997).

Menurut Permenkes RI No 58 tahun 2014, pengelolaan sediaan

farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai merupakan proses

yang berkesinambungan yang dimulai dari pemilihan, perencanaan

kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian,

pemusnahan dan penarikan, pengendalian dan administrasi yang

diperlukan bagi kegiatan pelayanan kefarmasian.

1. Pemilihan

Menurut Permenkes RI Nomor 58 tahun 2014 Pemilihan adalah

kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, alat kesehatan dan


16

bahan medis habis pakai sesuai dengan kebutuhan. Pemilihan sediaan

farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai ini berdasarkan:

a. Formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan

terapi

b. Standar sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis

pakai yang telah ditetapkan

c. Pola penyakit

d. Efektifitas dan keamanan

e. Pengobatan berbasis bukti

f. Mutu

g. Harga

h. Ketersediaan di pasaran

2. Perencanaan

Perencanaan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan

periode pengadaan sediaan farmasi, alat kesahatan dan bahan medis

habis pakai sesuai dengan hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin

terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat waktu dan efisien

(Anonim, 2014).

3. Pengadaan Sediaan Farmasi

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan perencanaan

kebutuhan dan harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang

tepat dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu (Anonim,

2014).
17

4. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis,

spesifikasi, jumlah, mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera

dalam kontrak atau surat pesanan dengan kondisi fisik yang diterima.

Semua dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan

baik (Anonim, 2014).

5. Penyimpanan

Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan

penyimpanan sebelum dilakukan pendistribusian. Penyimpanan harus

dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat

Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan

kefarmasian. Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi

persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban,

ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,

dan Bahan Medis Habis Pakai (Anonim, 2014).

6. Pendistribusian

Pendistribusian adalah kegiatan dalam rangka menyalurkan

menyerahkan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai dari tempat penyimpanan sampai kepada unit pelayanan / pasien

dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan

waktu. Rumah sakit harus menentukan sistem distribusi yang dapat

menjamin terlaksananya pengawasan dan pengendalian sediaan


18

farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai di unit pelayanan

(Anonim, 2014).

7. Pemusnahan dan Penarikan

Pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan

medis habis pakai yang tidak dapat digunakan harus dilaksanakan

dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan yang berlaku (Anonim, 2014).

8. Pengendalian

Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan

penggunaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis

pakai dan dapat dilakukan oleh Instalasi Farmasi bersama dengan Tim

Farmasi dan Terapi (TFT) di rumah sakit (Anonim, 2014).

9. Administrasi

Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan

untuk memudahkan penelusuran kegiatan yang sudah berlaku

(Anonim, 2014).

E. Perencanaan

1. Definisi Perencanaan

Perencanaan merupakan tahap awal kegiatan pengelolaan obat

yang bertujuan untuk menetapkan jenis dan jumlah obat sesuai kebutuhan

pelayanan kesehatan. Tahap perencanaan akan berpengaruh terhadap tahap

selanjutnya. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang


19

pekerjaan kefarmasian, menyatakan bahwa setiap pekerjaan kefarmasian

termasuk perencanaan obat dilakukan oleh tenaga yang memiliki

kewenangan/keahlian, tenaga yang dimaksud adalah tenaga kefarmasian.

Tenaga kefarmasian terdiri dari apoteker dan asisten apoteker (Anonim,

2009).

Perencanaan merupakan fungsi dasar manajemen (Anonim, 2006).

Perencanaan adalah kemampuan untuk memilih satu kemungkinan dari

berbagai kemungkinan yang tersedia dan dipandang paling tepat untuk

mencapai tujuan (Djatmiko, 2008).

Perencanaan obat adalah kegiatan untuk menetapkan jenis dan

jumlah obat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Perencanaan obat

bermanfaat untuk menjamin ketersediaan obat yang ada di sarana

kesehatan (Anonim, 2010).

Dalam pengambilan keputusan dibutuhkan data atau informasi

yang akurat dan lengkap. Menurut Larry Long untuk menilai kualitas

informasi terdapat beberapa penilaian criteria yaitu accuracy, variability,

completeness, relevance dan timeless (Djatmiko, 2008).

Perencanaan yang baik juga dipengaruhi oleh kemampuan petugas

yang meliputi pengetahuan dan ketrampilan yang cukup tentang

perencanaan obat (Djatmiko, 2008).

2. Ciri-ciri Perencanaan

Perencanaan yang baik, mempunyai beberapa ciri yang harus

diperhatikan sebagai berikut:


20

a. Bagian dari sistem administrasi

Suatu perencanaan yang baik adalah yang berhasil menempatkan

pekerjaan perencanaan sebagai dari sistem administrasi secara

keseluruhan.Sesungguhnya, perencanaan pada dasarnya merupakan

salah satu dari fungsi administrasi yang amat penting.Pekerjaan

administrasi yang tidak didukung oleh perencanaan, bukan

merupakan pekerjaan administrasi yang baik.

b. Dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan

Suatu perencanaan yang baik adalah yang dilakukan secara terus

menerus dan berkesinambungan.Perencanaan yang dilakukan

hanya sekali bukanlah perencanaan yang dianjurkan. Menurut

Mary Arnold ada hubungan yang berkelanjutan antara perencanaan

dengan berbagai fungsi administrasi lain yang dikenal. Disebutkan

perencanaan penting unuk pelaksanaan, yang apabila hasilnya telah

dinilai, dilanjutkan lagi dengan perencanaan.Demikian seterusnya

sehingga terbentuk suatu spiral yang tidak mengenal titik akhir.

c. Berorientasi pada masa depan

Suatu perencanaan yang baik adalah yang berorientasi pada masa

depan. Artinya, hasil dari pekerjaan perencanaan tersebut, apabila

dapat dilaksanakan, akan mendatangkan berbagai kebaikan tidak

hanya pada saat ini, tetapi juga pada masa yang akan datang.

d. Mampu menyelesaikan masalah


21

Suatu perencanaan yang baik adalah yang mampu menyelesaikan

berbagai masalah atau tantangan yang dihadapi.Penyelesaian

masalah atau tantangan yang dimaksudkan disini tentu harus

disesuaikan dengan kemampuan. Dalam arti penyelesaikan

masalah atau tantangan tersebut dilakukan secara bertahap, yang

harus tercermin pada pentahapan perencanaan yang akan

dilakukan.

e. Mempunyai tujuan

Suatu perencanaan yang baik adalah yang mempunyai tujuan yang

dicantumkan secara jelas.Tujuan yang dimaksudkan di sini

biasanya dibedakan atas dua macam, yakni tujuan umum yang

berisikan uraiansecara garis besar, serta tujuan khusus yang

berisikan uraian lebih spesifik.

f. Bersifat mampu kelola

Suatu perencanaan yang baik adalah yang bersifat mampu kelola,

dalam arti bersifat wajar, logis, objektif, jelas, runtun, fleksibel

serta telah disesuaikan dengan sumber daya.Perencanaan yang

disusun tidak logis serta tidak runtun, apalagi yang tidak sesuai

dengan sumber daya, bukanlah perencanaan yang baik (Azwar,

2010).

3. Perencanaan Kebutuhan Obat

Perencanaan obat adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan

menentukan jumlah obat dalam rangka pengadaan (Anonim, 1990).


22

Adapun tujuan perencanaan kebutuhan obat adalah untuk

mendapatkan:

a. Jenis dan jumlah obat yang tepat sesuai kebutuhan

b. Menghindari terjadinya kekosongan obat

c. Menghindari penggunaan obat secara rasional

d. Meningkatkan efisiensi penggunaan obat (Febriawati, 2013).

Berdasarkan Permenkes RI Nomor: 58 tahun 2014 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit, bahwa pedoman perencanaan

dalam perencanaan obat adalah sebagai berikut:

1) Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), Formularium Rumah

Sakit, Standar Terapi Rumah Sakit, Ketentuan setempat yang

berlaku

2) Data catatan medik

3) Anggaran yang tersedia

4) Penetapan prioritas

5) Siklus penyakit

6) Sisa persediaan

7) Data pemakaian periode yang lalu


23

F. Obat slow moving

Obat slow moving merupakan barang dengan arus aliran barang yang

sangat lambat, sehingga barang-barang slow moving ini akan tersedia di

gudang dalam waktu yang cukup lama. Obat slow moving merupakan obat

yang hanya mengalami penjualan dua atau tiga kali dalam kurun waktu 3

bulan. Obat slow moving menjadi perhatian khusus dalam proses

perencanaan.

G. Evaluasi

Evaluasi adalah serangkaian prosedur untuk menilai program dan

memperoleh informasi tentang keberhasilan pencapaian tujuan kegiatan,

hasil, dampak serta biaya (Anonim, 2002). Indikator dari kemampuan

petugas adalah perencanaan dilakukan oleh orang yang memiliki

kewenangan/keahlian seperti yang tercantum pada Peraturan Pemerintah

Nomor 51 Tahun 2009 4, data yang digunakan adalah data yang akurat,

merupakan tenaga yang telah mendapatkan pelatihan terkait perencanaan

obat dan indicator proses kepatuhan petugas adalah terlaksananya semua

langkah-langkah/tahapan perencanaan obat.

Manajemen persediaan adalah jantung dari sistem persediaan obat.

(Waluyo, 2006). Persediaan timbul disebabkan tidak sinkronnya

permintaan dan penyediaan, serta waktu yang digunakan untuk

memproses bahan baku. Empat faktor fungsi persediaan menurut Yamit

(2003)adalah faktor waktu, ketidakpastian waktu datang, ketidakpastian

penggunaan, dan ekonomis.


24

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Rancangan pada penelitian ini adalah non eksperimental secara

retrospektif mengenai evaluasi perencanaan kebutuhan obat slow moving

di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Lestari Raharja Kota Magelang periode

2018. Penelitian dilakukan

B. Tempat dan waktu

C. Populasi dan sampel

D. Pengumpulan data

E. Variable operasional

F. Definisi operasional

G. Instrumental penelitian

H. Teknik pengumpulan data

I. Analisa data

J. Rencana jadwal penelitian

Jenis penelitian merupakan penelitian deskriptif dengan pengambilan data secara


retrospektif dan prospektif yang didasarkan pada dokumen penggunaan obat
antibiotik dan wawancara di Instalasi Farmasi RSUP. Prof. Dr. R.D. Kandou Manado.
Alat yang digunakan yaitu kamera, interview guide (pedoman wawancara) dan
Logbook. Bahan yang digunakan yaitu data semua jenis antibiotik yang digunakan
oleh pasien yang ada di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou pada periode Januari – April
2016.
Metode pengumpulan data yaitu berdasarkan data primer dan data sekunder. Data

primer yaitu berupa data yang diperoleh melalui wawancara dengan 5 responden yang

terdiri dari Kepala Instalasi Farmasi, Kepala Gudang, Kepala Pejabat Pembuat
25

Komitmen (PPK), Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) dan Panitia Pemeriksa

Penerima Hasil Pekerjaan. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari laporan-

laporan atau catatan-catatan yang ada di Instalasi Farmasi RSUP Prof. Dr. R. D.

Kandou. Data-data yang diperoleh berupa : laporan stock opname obat antibiotik,

laporan mengenai jenis antibiotik yang digunakan, laporan jumlah pemakaian obat

dan laporan mengenai harga obat antibiotik.

Analisis data dilakukan dengan menghitung nilai pakai dan nilai investasi setiap obat

antibiotik dalam Microsoft Excel kemudian dilakukan analisis ABC dengan

mengelompokkannya ke dalam 3 group yaitu A, B dan C yang didasarkan atas nilai

investasinya, diurutkan dari nilai terbesar hingga terkecil. Kelompok A yaitu jenis

antibiotik yang menyerap dana sebesar 70% dari keseluruhan pemakaian obat,

kelompok B yaitu jenis antibiotik yang menyerap dana sebesar 20% dari keseluruhan

pemakaian obat dan kelompok C yaitu jenis antibiotik yang menyerap dana sebesar

10% dari keseluruhan pemakaian obat. Kemudian dihitung nilai investasi yang

dibutuhkan setiap item obat antibiotik, hitung nilai persediaannya, kemudian

dibandingkan dengan nilai persediaan pada awal perencanan dengan nilai

persediaan pada saat pengadaan. Selanjutnya, data yang sudah dihitung

dideskripsikan ke dalam kalimat naratif.


DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2002. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Obat. Departemen


Kesehatan RI, Jakarta.
Anonim.2009.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009
tantang Rumah Sakit. Presiden Republik Indonesia
Athijah, U., Wijaya, I. N., Soemiati., Faturrohmah, A., Sulistyarini, A.,Nugraheni, G.,
Setiawan, D.C., Rofiah., Rahmah, L. (2011) Profil Penyimpanan Obat di
Puskesmas Wilayah Surabaya Timur dan Pusat. Jurnal Farmasi Indonesia. 5
(4). p. 213-222.
Azwar, Azrul. 2010. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Depkes R.I. 1990. Pedoman Perencanaan dan Pengelolaan Obat.Direktorat
Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.Jakarta.
Depkes RI, 2009, Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 2009 Tentang Pekerjaan
Kefarmasian, Departemen Kesehatan RI: Jakarta.
Dirjen Binakefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI. 2010. Pedoman
Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta: Dirjen
Binakefarmasian dan Alat Kesehatan Kemenkes RI
Djatmiko, Yayat Hayati. 2008. Perilaku Organisasi. Bandung: Alfabeta.
Febriawati, Henni. 2013. Manajemen Logistik Farmasi Rumah Sakit, Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Kepmenkes R.I. 2004. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi
di Rumah Sakit.Jakarta.
Permenkes R.I Nomor 56 tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah
Sakit.Jakarta: Depkes Republik Indonesia.
Permenkes R.I Nomor 58 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di
Rumah Sakit. Jakarta.
Quick, D.J., 1997. managing drug supply, the selection, procurement,
distribution, and use of pharmaceuticals.Boston, Massachusetts:
Kumarianpress,inc.
Republik Indonesia, 2016, Peraturan Meteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 72 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit, Jakarta.
Siregar, C.J.P, 2003. Farmasi Rumah Sakit Teori & Penerapan. Jakarta : EGC
Siregar, C.J.P. 2004.Farmasi Rumah Sakit Teori dan Penerapan. Jakarta:
EGC.

26
27

Waluyo, D.S., 2006. Analisis Penyebab Utama Stagnan Pada Manajemen


Persediaan Obat di Rumah Sakit Kusta Kediri. Tesis. Surabaya ;Universitas
Airlangga : 1-5.
Yamit, S., 1999. Manajemen Persediaan. Yogyakarta: EKONISIA Fakultas
EkonomiUI.

Anda mungkin juga menyukai