Anda di halaman 1dari 7

https://fasilitasi.bpmtv.kemdikbud.go.

id/karakteristik-perkembangan-sosio-emosional-anak-usia-
sd/
Perkembangan Sosial anak usia Sekolah Dasar

Sosialisasi dari orangtua sangatlah penting bagi anak, karena dia masih terlalu muda dan belum
memiliki pegalaman untuk membimbing perkembangannya sendiri ke arah kematangan. J.Clausen
dalam Ambron (1981:221) mendeskripsikan tentang upaya yang dilakukan orangtua dalam rangka
sosialisasi dan perkembangan sosial yang dicapai anak, sebagaimana pada tabel 1.4.1.1:

Tabel 1.4.1.1 Sosialisasi dan Perkembangan anak

KEGIATAN ORANGTUA
1. Memberikan makanan dan memelihara kesehatan fisik anak
2. Melatih dan menyalurkan kebutuhan fisiologis: toilet training(melatih buang air besar/kecil),
menyapih dan memberikan makanan padat

3. Mengajar dan melatih keterampilan berbahasa, persepsi, fisik, merawat diri dan keamanan diri.

4. Mengenalkan lingkungan kepada anak: keluarga, sanak keluarga, tetangga dan masyarakat
sekitar.

5. Mengajarkan tentang budaya, nilai-nilai (agama) dan mendorong anak untuk menerimanya
sebagaibagian dirinya

6. Mengembangkan keterampilan interpersonal, motif, perasaan, dan perilaku dalam berhubungan


dengan orang lain

7. Membimbing, mengoreksi, dan membantu anak untuk merumuskan tujuan dan merencanakan
aktiitasnya.

PENCAPAIAN PERKEMBANGAN PERILAKU ANAK

1. Mengembangkan sikap percaya terhadap oranglain (development of trust)


2. Mampu mengemdalikan dorongan biologis dan belajar untuk menyalurkannya pada tempat
yang diterima masyarakat.

3. Belajar mengenal objek-objek, belajar bahasa, berjalan, mengatasi hambatan, berpakaian dan
bahasa

4. Mengembangkan pemahaman tentang tingkah laku sosial, belajar menyesuaikan perilaku


dengan tuntutan lingkungan.

5. Mengembangkan pemahaman tentang baik-buruk, merumuskan tujuan dan kriteria pilihan dan
berperilaku yang baik.

6. Belajar memahami perspektif (pandangan) orang lain dan merespon harapan/pendapat mereka
secara selektif.
7. Memiliki pemahaman untuk mengatur diri dan memahami kriteria untuk menilai
penampilan/perilaku diri

Waktu seorang anak berusia tujuh atau delapan tahun, ia mulai menjauh dari orang tuanya, dan
tahun demi tahun selanjutnya ia berpaling baik kepada teman-teman kelas maupun teman-teman
lain untuk mendapatkan perhatian, persetujuan dan dukungan. Sementara dukungan emosional
diperoleh secara gratis dalam keluarga tertentu, pada sebagian anak ini harus diperjuangkan, dan
umumnya keberhasilan perjuangan itu ditentukan oleh ketrampilan emosional dan sosial mereka
(Lawrence, E. Shapiro: 195).

Menurut Zick Rubin dalam (Lawrence, E. Shapiro: 197) terdapat empat tahap cara anak mempelajari
seni dan ketrampilan berteman, yaitu:

Tahap egosentris (3 s.d. 7 tahun), pada usia ini anak sering mendefinisikan teman sebagai orang lain
yang dapat dimanfaatkan serta mengandaikan orang lain itu empunyai pikiran yang sama dengan
dirinya.
Tahap pemenuhan kebutuhan (4 s.d. 9 tahun), pada usia ini anak lebih menghargai teman sebagai
individu, selalu ingin bersama anak lain, lebih suka bergaul. Sehingga pemenuhan kebutuhan dengan
mencari teman supaya dia tidak sendirian. Namun, sulit untuk berteman leih dari satu orang dala
waktu yang bersamaan.
Tahap balas jasa (6 s.. 12 tahun), pada fase ini dicirikan dengan tuntutan atas balas jasa dan
kesamaan hak. Kelompok atau klik yang terbentuk selama tahap balas jasa sesungguhnya hanya
suatu jaringan pasangan berjenis kelamin sama.
Tahap akrab (9 s.d. 12 tahun), pada tahap ini anak-anak siap untuk terlibat dalam persahabatan yang
betul-betul akrab. Kesediaan untuk berbagi emosi, masalah, dan konflik pada tahapan ini
membentuk ikatan emosional mendalam yang oleh anak-anak akan dikenang sebagai hubungan
yang paling berkesan seumur hidup.
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan orang tua, anggota keluarga, orang dewasa
lainnya maupun teman bermainnya, anak mulai mengembangnkan bentuk-bentuk tingkah aku
sosial. Pada usaia anak, bentuk-bentuk tingkah laku sosial itu adalah sebagai berikut :

Pembangkangan (negativisme)
Agresi (aggression)
Berselisih/bertengkar (quarreling)
Menggoda (teasing)
Persaingan(rivalry)
Kerjsama (cooperation)
Tingkah laku berkuasa (ascendant behavior)
Mementingkan diri sendiri (selfishness)
Simpati (sympaty)
Relasi dengan keluarga dan teman sebaya terus memainkan peranan penting. Sekolah dan relasi
dengan para guru menjadi aspek kehidupan anak yang semakin terstruktur. Pemahaman anak
terhadap “diri” berkembang, dan perubahan-perubahan dalam gender dan perkembangan moral
menandai perkembangan anak selama masa akhir anak-anak.

Berikut beberapa aspek penting perkembangan psikososial selama masa pertengahan dan akhir
anak-anak.
Perkembangan pemahaman diri
Perkembangan pemahaman diri yaitu suatu struktur yang membantu anak mengorganisasi dan
memahami tentang siapa dirinya, yang didasarkan atas pandangan orang lain, pengalaman-
pengalamannya sendiri, dan atas dasar penggolongan budaya.

Menurut Santrock (1995), dalam Desmita (2013:181) perubahan-perubahan dapat dilihat sekurang-
kurangnya dari tiga karakteristik pemahaman diri yaitu karakteristik internal, karakteristik aspek-
aspek social, dan karakteristik perbandingan social.

Perkembangan hubungan dengan keluarga


Seifert dan Hooffnung, 1994 (dalam Desmita, 2013:184) menyatakan bahwa pada masa akhir anak-
anak, secara tipikal ikatan antara orang tua dan anak-anak adalah sangat kuat.

Perkembangan hubungan teman sebaya


Seperti halnya dengan masa awal anak-anak, berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas
yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak.

Pembentukan kelompok
Interaksi teman sebaya dari kebanyakan anak pada periode akhr ini terjadi dalam grup atau
kelompok.

Popularitas, penerimaan social dan penolakan


Dalam Psikologi Perkembangan, Desmita (2013:186) menjelaskan bahwa pada masa pertengahan
dan akhir anak-anak, anak mulai mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan
berbagai cara.

Sekolah
Sekolah memiliki peranan penting bagi perkembangan anak. Anak akan menghabiskan kurang lebih
10.000 jam waktunya di ruang kelas.

Pengaruh guru
Selain dengan orangtua mereka, kebanyakan anak-anak Sekolah Dasar mengahbiskan lebih banyak
waktunya bersama dengan guru-guru dibandingkan dengan orang dewasa lainnya. Oleh sebab itu
sikap guru terhadap siswa adalah penting, Sebab guru mengambil suatu peran sentral dalam
kehidupan anak-anak yang sangat menentukan bagaimana mereka merasakan berada di sekolah,
dan bagaimana mereka merasaaka diri mereka.

Perkembangan Sosial merupakan pencapaian kematangan dlam hubungan atau interaksi sosial.
Dapat juga diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma
kelompok, tradisi dan moral agama

Perkembangan sosial pada anak Sekolah Dasar atau MI, ditandai dengan adanya perluasan
hubungan, di samping dengan para nggota keluarga, juga dengan teman sebaya (peer group),
sehingga ruang gerak hubungan sosialnya semakin bertambah luas.

Pada usia ini anak mulai memiliki kesanggupan menyesuaikan diri dari sikap berpusat kepada diri
sendiri (egosentris) kepada sikap bekerja sama (Kooperatif) atau sosiosentris (mau memperhatikan
kepentingan orang lain).
Anak mulai berminat terhadap kegiatan-kegiatan teman sebaya, dan bertambah kuat keingnannya
untuk diterima menjadi anggota kelompok (Gang), dan merasa tidak senang apabila tidak diterima
oleh kelompoknya.

Menurut Dodge, Coie dan Lyman, 2006; Hartup, 2009 menyatakan bahwa Kognisi sosial anak-anak
mengenai kawan sebaya menjadi semakin penting untuk memahami relasi kawan sebaya di masa
kanak-kanak pertengahan dan akhir. Salah satu yang menajdi minat khusus adalah cara anak-anak
memproses informasi mengenai relasi kawan sebaya dan pengetahuan sosial mereka.

Kenneth Dodge (1983) menyatakan bahwa anak-anak melalui lima langkah dalam
menginterpretasikan dunia sosial mereka. Mereka membaca kode/sandhi isyarat sosial,
mengintepretasi, mencari respon, memilih respon yang optimal dan bertindak.

Pengetahuan sosial juga melibatkan kemampuan anak-anak untuk berada bersama kawan-kawan.
Mereka perlu mengetahui tujuan yanng hendak dicapai dalam situasi yang jelas atau tidak jelas,
bagaimana memulai dan membina ikatan sosial dan skrip apa yang harus di ikuti agar anak-anak lain
dapat menjadi kawannya.

Para ahli perkembangan membedakan perkembangan lima status kawan sebaya (Wentzel dan
Asher, 1995):

Anak-anak yang popular (Popular Children) yaitu sering kali dipilih sebagai sahabat dan jarang tidak
disukai oleh kawan sebayanya
Anak-anak yang rata-rata (Average Children) yaitu memperoleh angka rata-rata untuk dipilih secara
positif maupun negatif oleh kawan sebayanya
Anak-anak yang diabaikan (Neglected Children) yaitu anak yang jarang dipilih sebagai sahabat
namun bukan karen atidak disukai oleh kawan sebayanya
Anak yang ditolak (Rejected Children) yaitu anak yanng jarang dipilih sebagai sahabat oleh seseorang
dan secara aktif tidak disukai oleh kawan sebayanya
Anak Kontroversial (Controversial Children) yaitu anak yang sering dipilih sebagai kawan terbaik
seseorang namun umumnya tidak disukai oleh kawan sebayanya

Perkembangan emosi anak usia Sekolah Dasar


Istilah “Kecerdasan emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter
Salovery dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk
menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan, dalam
Lawrence e. Shapiro (1998:5)

Gardner (1999) menyebutkan bahwa anak didik yang dikatakan memiliki pemahaman yang
mendalam (Deep Understanding) adalah anak yang mampu mengaplikasikan pengetahuannya dalam
kehidupan nyata, belajar tidak berhenti sampai anak memeperoleh nilai dalam raport, tetapi
dituntut bagaimana anak berperilaku dalam hidup sehari-hari di setting apa saja.

Gambar. 1.4.2.1 Letak pusat pengendali emosi pada otak manusia


Korteks adalah bagian berpikir otak, dan berfungsi mengendalikan emosi melalui pemecahan
masalah, bahasa, daya cipta, dan proses kognitif lainnya. Sistem Limbik merupkaan bagian emosional
otak. Sistem ini meliputi talamus yang mengirimkan pesan-pesan ke korteks; Hippocampus, yang
berperan dalam ingatan dan penafsiran persepsi; dan amigdala, pusat pengendali emosi dalam
Lawrence E. Shapiro (1998:17).

Intelegensi emosional sering dipandang sebagai istilah yang sangat luas namun pada intinya ia
adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dan melabeli perasaan. Secara lebih jelas, Solomey
mendefinisikan intelegensi emosional sebagai a set of competencies that have to do with
understading emotions in one self and in others; regulating emotions in oneself and in others. Most
importantly being able to use your emotions as a source of informations with problem solving, being
creative and dealing with social situations. Kemampuan ini dapat dirinci sebagai kemampuan untuk
(1)memahami diri sendiri, (2) mengekspresikan suatu emosi secara tepat, (3) memotivasi diri sendiri,
(4) mengatur emosi sendiri, (5) memecahkan masalah dan mengevaluasi resikonya, (6)
menyelesaikan konflik, dan (7) empati.

Menurut Goleman, 1995 (dalam Desmita: 170) kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan
mengenali perasaan kita sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Daniel goleman
mengklasifikasikan kecerdasan emosional atas lima komponen penting, yaitu: 1) mengenali emosi, 2)
mengelola emosi, 3) motivasi diri sendiri, 4) mengenali emosi orang lain, dan 5) membina hubungan.

Pada usia sekolah (khususnya di kelas-kelas tinggi, kelas 4, 5, 6), anak mulai menyadari bahwa
pengungkapan emosi secarra kasar tidaklah diterima, atau tidak disenangi oleh orang lain. Oleh
karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol ekspresi emosinya. Kemampuan
mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan).

Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah
berpengaruh. Apabila anak dikembangkan di lingkungan keluarga yang suasana emosionalnya stabil,
maka perkembangan emosi anak cenderung stabil atau sehat. Akan tetapi, apabila kebiasaan orang
tua dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil atau kurang control (seperti: marah-marah,
mudah mengeluh, kecewa dan pesimis dalam menghadapi masalah), maka perkembangan emosi
anak, cenderung kurang stabil atau tidak sehat.

Syamsu Yusuf dan Nani S. menggambarkan karakteristik emosi anak menjadi dua karakteristik, yaitu:
Karakteristik Emosi yang Stabil (sehat) dan Tidak Stabil (Tidak Sehat).

Karakteristik Emosi Stabil


1. Menunjukkan wajah ceria
2. Mau bergaul dengan teman secara baik

3. Bergairah dalam belajar

4. Dapat berkonsentrasi dalam belajar

5. Bersikap respek (menghargai) terhadap diri sendiri dan orang lain.

Karakteristik tidak sehat

1. Menunjukkan wajah yang murung


2. Mudah tersinggung
3. Tidak mau bergaul dengan orang lain

4. Suka marah-marah

5. Suka mengganggu teman

6. Tidak percaya diri.

Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku individu, dalam hal ini termasuk
pula perilaku belajar (learning).

Perubahan perkembangan emosi menurut Denham, Basset, dan Wyatt, 2007; Kuebli, 1994;
Thompson dan Goodvin, 2005) Perubahan perkembangan yang penting dalam emosi semasa kanak-
kanak menengah dan akhir mencakup hal-hal berikut:

Meningkatkan pemahaman emosi


Contoh: rasa bangga dan malu

Meningkatkan pemahaman bahwa dalam sebuah situasi kita dapat mengalami lebih dari satu emosi.
Contoh: seorang siswa kelas 3 mungkin menyadari bahwa memperoleh sesuatu dapat melibatkan
kecemasan dan kesenangan.

Meningkatkan kecenderungan untuk lebih menyadari kejadian-kejadian yang menyebabkan reaksi


emosi.
Meningkatkan kemampuan untuk menekan atau mengungkapkan reaksi-reaksi emosi yang negatip.
Menggunakan strategi inisiatif diri untuk mengarahkan kembali perasaan-perasaan.

Implikasi perkembangan Sosial dan Emosional dalam pembelajaran


Pada proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dpat difasilitasi atau dimaknai
dengan memebrikan tugas-rugas kelompok, baik yanng membutuhkan tenaga fisik (seperti
membersihkan kelas dan halaman sekolah), maupun tugas yang membutuhkan pikiran (seperti
merencanakan kegiatan perkemahan perngatan hari-hari besar keagamaan, membuat laporan studi
tour). Dengan melaksanakan tugas kelompok, siswa dapat belajar tentang sikap dan kebiasaan
dalam bekerjasama, saling menghormati, bertenggang rasa, dan bertanggung jawab.

Guru seyogyanya mempunyai kepedulian untuk menciptakan situasi belajar yang menyenangkan,
atau kondusif bagi terciptanya proses belajar mengajar yang efektif. Upaya itu seperti
mengembangkan iklim kelas yang bebas dari ketegangan (guru bersikap ramah, murah senyum),
memperlakukan siswa sebagai individu yang mempunyai harag diri (tidak mencemooh atau
menghinanya), memberikan nilai secara objekti, menghargai hasil karya siswa, mempunyai
kepedulian uuntuk membantu memecahkan masalah yang dialami siswa.

Satu kemampuan emosional yang menjadi primadona adalah kemampuan empati. Bagaimanakah
kemampuan ini dilakukan oleh pendidik? Empati merupakan kemampuan memasuki dunia pribadi
oranglain tanpa kehilangan jati dirinya sendiri atau tidak menjadi lebur dalam pribadi oranglain.
Empati guru pada siswa dapat dilihat pada gambar di bawah ini
Gambar 1.4.3.1 empati guru ke siswa
Berdasarkan gambar 1.4.3.1 Menunjukkan bagaimana guru bertindak empatik pada orang yang
dididiknya. Suatu saat guru (a) memasuki dunia siswa (a1), namun dia tidak berubah menjadi siswa
(b). Pada saatnya guru keluar lagi menjadi dirinya sendiri (a2)

Menurut Santrock (2012:396) Pendekatan kontemporer terhadap belajar siswa dapat meliputi
instruksi kontruktivis (pendekatan yang berpusat pada siswa) dan instruksi langsung (pendekatan
yang berpusat pada guru).

Berdasarkan teori tentang implikasi perkembangan Sosial dan Emosional dalam pembelajaran, maka
guru dapat melaksanakan metode pembelajaran yang mampu mewadahi perkembangan sosial dan
emosional siswa. Metode-metode pembelajaran tersebut diantaranya:

Metode Diskusi
Metode Latihan Bersama Teman
Metode Bermain Peran
Metode Kerja Kelompok
Metode Penyajian secara sistem regu (Team Teaching)

Anda mungkin juga menyukai