Anda di halaman 1dari 16

“Pendidikan Agama Islam pada Pendidikan Tinggi Umum"

Tantya Pramudya, M.Pd

Disusun oleh :

Kelompok 12

Alfisya Ratu Arti (1911060009)

Ami Widyastuti(1911060012)

Widya Rizka (1911060451)

PRODI PENDIDIKAN BIOLOGI

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG

2020/2021

1
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulilah kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmatnya
kami dapat menyususn makalah yang berjudul “Pendidikan Agama Islam pada Pendidikan
Tinggi Umum” untuk memenuhi tugas dari dosen pengampu mata kuliah Sejarah Peradaban
Islam yaitu bapak Tantya Pramudya, M.Pd .Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada
junjungan kita yakni baginda Nabi besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita dari alam
kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Ucapan terimakasih kami sampaikan kepada semua sumber yang telah membantu dalam
proses penyusunan makalah ini baik secara tertulis atau sumber sumber lainya.Selanjutnya kami
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini terdapat kekuangan dan keterbatasan,oleh karena
itu kami terbuka untuk menerima kritik dan saran dari semua pembaca demi perbaikan
penyusunan makalah berikutnya.

Bandar Lampung, 02 Mei 2020

Penulis

DAFTAR ISI

2
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR...........................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..................................................................................4
B. Rumusan Masalah ............................................................................5
C. Tujuan Pembahasan..........................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum ............... 6

B. Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI .................................................7

C. Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI di Sekolahan Umum .......8

D. Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam..................10


E. Posisi Pendidikan Agama dalam Perguruan Tinggi Umum............11
F. Persoalan Pendidikan Agama Di Perguruan Tinggi Umum ............12

BAB III PENUTUP


Kesimpulan...........................................................................................................15
Daftar Pustaka

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan ini, kita dituntut dengan kewajiban-kewajiban agama yang selalu
mengikat kita untuk mengerjakan kewajiban tersebut, untuk melakukan kewajiban tersebut tentu
kita harus mempelajarinya dahulu sebelum mengerjakan hal tersebut. Dan untuk mempelajari hal
tersebut, kita harus memulainya sejak di bangku sekolah. Untuk meningkatkan kualitas agama
dan kualitas moral yang baik tentu seorang perserta didik harus ditunjang dengan pendidikan
agama islam yang luas dan mendalam. Karena dalam kenyataan yang kita hadapi sekarang,
pendidikan agama justru mengalami kemerosotan di dalam dunia pendidikan, sehingga banyak
muncul peserta didik yang akhlaknya tidak baik dan bahkan tidak bermoral. Hal tersebut didasari
karena kurangnya pengetahuan peserta didik tentang larangan-larangan agama dan hukum-
hukum tentang agama. Untuk mengurangi dampak negatif dari hal tersebut, tentu sarana
pendidikan harus dapat meningkatkan kualitas agama dan lebih menekankan pendidikan agama
terhadap peserta didik.

Di Perguruan Tinggi Umum (PTU), pendidikan agama termasuk kategori Matakuliah


Umum (MKU) seperti Bahasa Indonesia, IAD/IBD/ISD, yang biasanya dianggap kurang penting
jika dibandingkan dengan Matakuliah Jurusan/Program Studi. Hal Ini berbanding terbalik
dengan di IAIN. Sampai saat ini, IAIN tampaknya masih sibuk dengan persoalan ilmu-ilmu
agama Islam secara umum dan di Fakultas Tarbiyah yang membidangi pendidikan Islam, mereka
tampaknya masih sibuk dengan persoalan pendidikan Islam secara umum terutama di pesantren
dan madrasah sehingga pendidikan agama Islam di sekolah umum, apalagi di perguruan tinggi
umum tersisihkan. Akibat dari keadaan ini adalah bahwa PAI di PTU, menjadi tak terbina
sehingga arti pentingnya pun tidak kelihatan. Ada atau tidaknya PAI di PTU seolah-olah tidak
memberi dampak apa-apa bagi perilaku lulusan (wujuduhu ka adamihi). Keberhasilan PAI di
PTU sepenuhnya tergantung pada kreativitas masing-masing dosen agama Islam yang bekerja di
PTU itu sendiri. Dosen agama yang kreatif dan berdedikasi tinggi mungkin akan mampu
menghasilkan program PAI di PTU yang mampu memberi pengaruh mendalam pada diri
mahasiswanya sementara dosen agama Islam yang kurang kreatif mungkin akan menghasilkan
program PAI yang ‘seadanya’, yang hanya memenuhi kewajiban formal saja.

4
B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum ?

2. Apa Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI ?

3. Apa Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI di Sekolahan Umum ?

4. Bagaimana Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam ?

5. Bagaimana Posisi Pendidikan Agama dalam Perguruan Tinggi Umum ?

6. Bagaimana Persoalan Pendidikan Agama Di Perguruan Tinggi Umum ?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Pengertian PAI Di Sekolah Umum

2. Untuk Mengetahui Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI

3. Untuk Mengetahui Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI di Sekolahan Umum

4. Untuk Mengetahui Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam

5. Untuk Mengetahui Posisi PAI dalam Perguruan Tinggi Umum

6. Untuk Mengetahui Persoalan PAI Di Perguruan Tinggi Umum

BAB II
5
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pendidikan Agama Islam Di Sekolah Umum

Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiaapkan peserta
didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam,
dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan
kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa (kurikulum
PAI, 3 : 2002).

Munculnya anggapan-anggapan yang kurang menyenagkan tentang pendidikan agama


seperti Islam diajarkan lebih pada hafalan (padahal Islam penuh dengan nilai-nilai) yang harus
dipraktekan. Pendidikan agama lebih ditekankan pada hubungan formalitas antara hamba dengan
Tuhannya, penghayatan nilai-nilai agama kurang mendapat penekanan dan masih terdapat
sederet respons kritis terhadap pendidikan agama. Hal ini disebabkan penilaian kelulusan siswa
dalam pelajaran agama diukur dengan berapa banyak hafalan dan mengerjakan ujian tertulis
dikelas yang dapat didemonstrasikan oleh siswa.

Memang pola pembelajaran tersebut bukanlah khas pola pendidikan agama. Pendidikan
secara umum pun diakui oleh para ahli dan pelaku pendidikan negara kita yang juga mengidap
masalah yang sama. Masalah besar dalam pendidikan selama ini adalah kuatnya dominasi pusat
dalam penyelenggaraan pendidikan sehingga yang muncul uniform-sentralistik kurikulum,
model hafalan dan menolong, materi ajar yang banyak, serta kurang menekankan pada
penbentukan karakter bangsa.

Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam itu secara keseluruhannya dalam lingkup Al-
Qur’an dan Al-Hadist, keimanan, akhlak, fiqh/ibadah, dan sejarah, sekaligus menggambarkan
bahwa ruang lingkup Pendidikan Agama Islam mencakup perwujudan keserasian, keselerasan
dan keseimbangan hubungan manusia dengan Allah SWT, diri sendiri, sesama manusia, makhluk
lainya maupun lingkungannya (hablun minallah wa hablun minannas).

Jadi pelaksanaan pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan
pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami, dan
mengamalkan ajaran agama Islam melalui kegiatan bimbingan ditetapkan.

B. Landasan Yuridis Pelaksanaan PAI

6
Sebagai bangsa indonesia kita harus mengartikan pendidikan sebagai perjuangan bangsa,
yaitu pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesiadan berdasarkan pada
pancasila dan UUD 45. Dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional tersebut dikelompokan
kedalam berbagai jenis sesuai dengan sifat dan kekhususan tujuannya, yang dikelola dalam
perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat peserta didik, keluasaan dan kedalaman bahan
pengajaran.

Dengan demikian, sisitem pendidikan khususnya islam, secara macro merupakan usaha
pengorganisasian proses kegiatan kependidikan yang berdasarkan ajaran islam dan pendekatan
sistematik, sehingga dalam pelaksanaan opreasionalnya terdiri dari berbagai sub-sub sistem dari
jenjang pendidikan pra dasar, menengah atau perguruan tinggi yang harus memiliki vertikalitas
dalam kualitas ke ilmu pengetahuan dan keteknologian yang makin optimal, yang mana tiap
tingkat, keimanan dan ketakwaan kepada allah akan meninggika derajat lebi tinggi bagi orang
yang beriman dan berilmu pengetahuan.

Hakikat pembangunan nasional adalah membangun manusia indonesia indonesia


seutuhnya dan seluruh mansyarakat indonesia yang berlandaskan pancasila dan UUD 45, maka
jelaslah tersirat dalam rumusan GBHN tersebut suatu idealitas yang sangat tinggi nilainya karena
pandangan dasar bahwa manusia yang utuh lahiriyah dan jasmaniayah, seimbang, selaras dan
serasi antara dunia dan akhirat dan sebagainya yang mampu menjadi pemeran aktif dalam
pembangunan.

Pendidikan agama wajib dilaksanakandisemua lingkungan pendidikan oleh semua unsur


penanggung jawab pendidikan, mengingat pendindikan agama di negeri pancasilayang kita cintai
ini bukan semata-mata panggilan misional yang mengikat seluruh bangsa untuk menyukseskan,
seperti halnya dengan komponen dasar pendidikan lainya, misalnya PMP< pendidikan P-4,
PSPB yang satu sama lain harus saling mengembangkan dan berkaitan atau saling mengacu,
meskipun pada masing-masing lingkungan tersebut intensitas pengaruh dan efektifnya tidak
sama karena berbagai faktor dan fasilitas yang berbeda.

Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak
langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara
formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam, yaitu :

1. Dasar ideal, yaitu dasar falsafah Negara Pancasila, sila pertama : Ketuhanan Yang Maha
Esa.

2. Dasar structural/konstitusional, yaitu UUD ’45 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2, yang
berbunyi: 1) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah
menurut agama dan kepercayaan itu.

7
3. Dasar operasional, yaitu terdapat dalam Tap MPR No IV/MPR/1973 yang kemudian
dikokohkan dalam Tap MPR No. IV/MPR 1978 jo. Ketetapan MPR Np. II/MPR/1983,
diperkuat oleh Tap. MPR No. II/MPR/1988 dan Tap. MPR No. II/MPR 1993 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara yang pada pokoknya menyatakan bahwa pelaksanaan
pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah
formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.[3]

C. Masalah Dan Kendala Pelaksanaan PAI di Sekolahan Umum

Selama ini pelaksanaan pendidikan agama yang berlangsung disekolah masih mengalami
banyak kelemahan. Mochtar Buchori menilai pendidikan agama masih gagal. Kegagalan
disebabkan karena praktek pendidikan hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari
pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif dan
konatif-voletif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Akibat
terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengamalan, antara gnosis dan praxis dalam
kehidupan nilai agama atau dalam praktek pendidikan agama berubah menjadi pengajaran
agama, sehingga tidak membentuk pribadi-pribadi bermoral, padahal intisari dri pendiikan
agama adalah pendidikan moral.

Dalam pelaksanaan progam pendidikan agama diberbagai sekolah umum, belum seperti
yang kita harapkan, karena berbagai kendala dalam bidang kemampuan pelaksanaan metode,
sarana fisik dan non fisik. Disamping suasana lingkungan pendidikan yang kurang menunjang
suksesnya pendidikan mental spiritual dan moral. Padahal fasilitas dasarnya telah disediakan
oleh pemerintah melalui Tap-Tap MPR, pengaturan perundangan lainya, serta berbagai proyek
pembangunan sektor agama dan pendidikan.

Beberapa faktor yang menghambat pendidikan agama :

1. Faktor-faktor eksternal

a) Timbulnya sikap orang tua dibeberapa lingkungan sekitar yang kurang menyadari tentang
pentingnya pendidikan agama, tidak mengacuhkan akan pentingnya pemantapan
pendidikan agama di sekolah yang berlanjut di rumah. Orang tua yang bersikap demikian
disebabkan oleh dampak kebutuhan ekonomisnya yang mendorong bekerja 20 jam di luar
rumah, sehingga mereka menyerahkan sepenuhnya kepada sekolah untuk mendidik
anaknya 2 jam per minggu.

b) Situasi lingkungan sekitar sekolah di pengaruhi godaan-godaan setan dalam berbagai


raga bentuknya, seperti judi, tontonan porno dan maksiat-maksiat lainnya. Situasi yang
demikian dapat melemahkan daya konsentrasi berfikir dan berakhlaq mulia, serta
mengurangi gaya belajar, bahkan mengurangi daya saing dalam meraih kemajuan.

8
c) Adanya gagasan baru dari para ilmuan untuk mencari terobosan baru terhadap berbagai
problema pembangunan dan kehidupan remaja, menyebabkan para pelajar secara latah
mempraktekan makna yang keliru atats kata-kata yang terobosan menjadi mengambil
jalan pintas dalam mengejar cita-citanya tanpa melihat cara-cara yang halal dan haram,
seprti mencontek, membeli soal-soal ujian akhir, perolehan nilai secara aspal, bahkan ada
yang menghalalkan cara apapun seprti doktrin komunisme.

d) Timbulnya sikap frustasi dikalangan orang tua yang beranggapan bahwa tingginya
tingkat pendidikan, tidak akan menjamin anaknya untuk mendapatkan pekerjaan yang
layak, sebab perluasan lapangan kerja tidak dapat mengimbangi banyaknya pencari kerja.

e) Serbuan dampak kemajuan ilmu dan teknologi dari luar negri semakin melenturkan
perasan religius dan meleberkan kesenjangan antara nilai tradisional dengan nilai rasional
teknologis, menjadi sumber transisi nilai yang belum menentukan arah dan pemukiman
yang baru.

2. Faktor-faktor internal

a) Guru kurang kompeten utnuk menjadi tenaga profesional pendidikan atau jabatan guru
yang disandangnya hanya merupakan pekerjaan alternatif terakhir, tanpa menekuni tugas
sebenarnya selaku guru yang berkualitas atau tanpa ada rasa dedikasi sesuai tuntutan
pendidikan.

b) Penyalah gunaan menejemen penempatan yang mengalih tugaskan guru agama ke bagian
administrasi, seperti perpustakaan, atau pekerjaan non guru.

c) Pendekatan metologi guru masih terpaku kepada orientasi tradisionali, sehingga tidak
mampu menarik minat murid pada pelajaran agama.

d) Kurangnya rasa solidaritas antra guru agama dengan guru - guru bidang studi umum,
sehingga timbul sikap memencilkan guru agama, yang mengakibatkan pelaksanaan
pendidikan agama tersendat-sendat dan kurang terpadu.

e) Kurangnya waktu persiapan guru agama dalam mengajar karena disibukan oleh usaha
nonguru untuk mencukupi kebutuhan ekonomi sehari-hari atau mengajar di sekolah-
sekolah suasta.

f) Hubungan guru agama dengan murid hanya bersifat formal, tanpa berkelanjutan dalam
situasi informal di luar kelas.

g) Belum mantapnya landasan perundangan yang menjadi dasar terpijaknya pengolahan


pendikan agama dalam sistem pendidikan nasional, termasuk pengelolaan lembaga-
lembaga pendidikan islam.

9
D. Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam

Setiap mata pelajaran memiliki ciri khas atau karakteristik tertentu yang dapat
membedakannya dengan mata pelajaran lainnya. Begitu juga halnya mata pelajaran Pendidikan
Agama Islam (PAI). Adapun karakteristik mata pelajaran PAI adalah sebagai berikut:

1. PAI merupakan mata pelajaran yang dikembangkan dari ajaran-ajaran pokok (dasar) yang
terdapat dalam agama Islam, sehingga PAI merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari ajaran Islam.

2. Ditinjau dari segi muatan pendidikannya, PAI merupakan mata pelajaran pokok yang
menjadi satu komponen yang tidak dapat dipisahkan dengan mata pelajaran lain yang
bertujuan untuk pengembangan moral dan kepribadian peserta didik. Semua mata
pelajaran yang memiliki tujuan tersebut harus seiring dan sejalan dengan tujuan yang
ingin dicapai oleh mata pelajaran PAI.

3. Diberikannya mata pelajaran PAI, bertujuan untuk terbentuknya peserta didik yang
beriman dan bertakwa kepada Allah Swt.

4. PAI adalah mata pelajaran yang tidak hanya mengantarkan peserta didik dapat
menguasai berbagai kajian keislaman, tetapi PAI lebih menekankan bagaimana peserta
didik mampu menguasai kajian keislaman tersebut sekaligus dapat mengamalkannya
dalam kehidupan sehari-hari di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, PAI tidak
hanya menekankan pada aspek kognitif saja, tetapi yang lebih penting adalah pada aspek
afektif dan psikomotornya.

5. Secara umum mata pelajaran PAI didasarkan pada ketentuan-ketentuan yang ada pada
dua sumber pokok ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah/al-Hadits Nabi
Muhammad Saw. (dalil naqli). Dengan melalui metode Ijtihad (dalil aqli) para ulama
mengembangkan prinsip-prinsip PAI tersebut dengan lebih rinci dan mendetail dalam
bentuk fiqih dan hasil-hasil ijtihad lainnya.

6. Prinsip-prinsip dasar PAI tertuang dalam tiga kerangka dasar ajaran Islam, yaitu aqidah,
syariah, dan akhlak.

7. Tujuan akhir dari mata pelajaran PAI adalah terbentuknya peserta didik yang memiliki
akhlak yang mulia (budi pekerti yang luhur).

E. Posisi Pendidikan Agama dalam Perguruan Tinggi Umum

10
Pendidikan Agama Islam (PAI) di Perguruan Tinggi Umum (PTU) merupakan kelanjutan
dari pengajaran yang diterima oleh peserta didik mulai dari Tingkat Dasar, Sekolah Menegah
Pertama dan Atas. Pada November 1947 dibentuk Panitia Perbaikan STI, yang dalam sidangnya
sepakat mendirikan Universitas Islam Indonesia (UII) pada 10 Maret 1948 dengan empat
fakultas: Agama, Hukum, Ekonomi, dan Pendidikan. Pada 20 Februari 1951 Perguruan Tinggi
Islam Indonesia (PTII), yang berdiri di Surakarta pada 22 Januari 1950, bergabung dengan UII
yang berkedudukan di Yogyakarta. Sebagai wujud penghargaan pemerintah bagi Yogyakarta
sebagai Kota Revolusi, kepada golongan nasionalis diberikan Universitas Gadjah Mada (UGM)
yang diatur berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 1949 tanggal 16 Desember 1949.

Sementara itu, kepada golongan Islam diberikan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri
(PTAIN), yang diambil dari Fakultas Agama UII berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 34
Tahun 1950. Peresmian PTAIN dengan jurusan Da’wah (kelak Ushuluddin), Qodlo (kelak
menjadi Syari’ah) dan Pendidikan (Tarbiyah) menjadi Perguruan Tinggi Negeri dilakukan pada
26 September 1951. Sementara di Jakarta, enam tahun kemudian berdiri pula Akademi Dinas
Ilmu Agama (ADIA) pada 14 Agustus 1957 berdasarkan Penetapan Menteri Agama Nomor 1
Tahun 1957. Karena pentingnya arti dan fungsi pendidikan agama di pendidikan tinggi,
pemerintah mengambil langkah strategis dalam merumuskan dan memasukkan pendidikan
agama pada kebijakan negara di bidang pendidikan. Hal tersebut dapat dilihat pada amandemen
UUD 1945 pasal 31 ayat 3 yaitu “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem
pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989 telah diamanatkan
dalam bab IX pasal 39, ”Isi kurikulum pada setiap jenis dan jenjang pendidikan wajib memuat
pendidikan agama”. Hal yang sama juga termaktub dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional No. 20 tahun 2003 bab V pasal 12 bagian 1 (a) menyebutkan bahwa “Setiap peserta
didik pada satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang
dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”. Di dalam Kurikulum Pendidikan Agama
di PTU dan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, pendidikan agama merupakan usaha sadar
untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan dengan memperhatikan
tuntutan untuk menghormati agam lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam
masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional.

Berdasarkan pengertian pendidikan agama yang tertuang dalam kurikulum PTU dan
UUSPN tersebut, pendidikan agama yang diselenggarakan di PTU diharapkan dapat membentuk
kesalehan peserta didik baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial, sehingga pendidikan
tidak menumbuhkan semangat fanatisme, menumbuhkan sikap intoleran di kalangan mahasiswa
dan masyarakat Indonesia dan memperlemah kerukunan hidup beragama serta kesatuan nasional.

11
Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik memang sangat rentan munculnya
konflik dan perpecahan masyarakat, sehingga pendidikan agama dalam kalangan mahasiswa,
dapat dipandang sebagai pisau bermata dua, menjadi faktor pemersatu sekaligus faktor pemecah
belah. Fenomena semacam ini, menurut Muhaimin paling tidak, akan ditentukan oleh :

1. Teologi agama dan doktrin ajarannya,

2. Sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut,

3. Lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya, dan

4. Peranan dan pengaruh dosen yang mengarahkannya.

Jadi, tujuan pendidikan agama yang diberikan pada mahasiswa secara umum dalam
rangka membentuk pribadi-pribadi yang saleh, baik saleh kepada Tuhan maupun saleh kepada
sesamanya. Dalam konteks ini, pendidikan agama ingin membentuk mahasiswa agar
menciptakan kebaikan baik untuk dirinya maupun untuk masyarakatnya dan mencetak calon-
calon pemimpin yang memiliki kepribadian yang penuh tauladan.

F. Persoalan Pendidikan Agama Di Perguruan Tinggi Umum

Realitas Pendidikan Agama di PTU secara umum masih berada di pinggiran (marjinal),
meskipun secara ideal dan semboyan mata kuliah agama berada di “pusat”. Berkaitan dengan ini,
nilai mata kuliah agama sering mendapat predikat “nilai dongkrakan” dan tidak menentukan
bobot kelulusan akademik, sebagaimana mata kuliah-mata kuliah lain. Jika nilai agama terlalu
rendah dan karena itu mahasiswa tidak lulus, maka nilai agama itu didongkrak agar mahasiswa
yang bersangkutan lulus. Di beberapa perguruan tinggi di bagian timur Indonesia, pengajaran
agama disejajarkan dengan pengajian di majlis ta’lim. Kesan marjiSnalisasi mata kuliah agama
itu dikukuhkan dengan oleh sebagian para pimpinan perguruan tinggi yang menganggap mata
kuliah agama sebagai mata kuliah pelengkap. Perkuliahan agama biasanya dilaksanakan secara
masal dalam jumlah mahasiswa yang “overload” dalam satu ruangan yang diikuti oleh
mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan dengan alasan efisiensi. Nasib mata kuliah agama
tidak hanya sampai di situ, akibat rasio jumlah mahasiswa yang tidak ideal dan proporsional,
mahasiswa tidak dapat diperhatikan lagi. Bahkan, perkuliahan agama ditempatkan pada semester
pendek yang hanya dilakukan beberapa pertemuan saja, hanya untuk menghilangkan kesan
sebagai perguruan tinggi yang sekuler. Menurut Muhammad Alim, ada beberapa perguruan
tinggi yang justru menghilangkan perkuliahan agama. Di samping itu, materi mata kuliah agama
terasa belum mampu berperan sebagai sumber pengembangan iptek dan pedoman perilaku
keseharian, baik dalam kerja sebagai ilmuwan maupun dalam pergaulan sosial. Materi kuliah
agama dipelajari secara parsial dan lepas kaitannya dengan mata kuliah-mata kuliah lainnya.
Dengan kata lain, mata kuliah agama belum menunjukkan link and match dengan mata kuliah-

12
mata kuliah lain. Dampak dari marjinalisasi mata kuliah agama itu, standar kompetensi dosen
kurang diperhatikan. Dalam kaitan ini, dosen agama sering mendapat predikat “cepat minggir
dan parkir”. Sebaliknya, jika ada kekuarangan moral segenap civitas akademika, tuduhan justru
sering diarahkan kepada dosen agama. Masa depan dan karir dosen agama tampak masih belum
persspektif. Di beberapa perguruan tinggi, masih jarang dosen agama lulusan S2 atau S3. Bahkan
banyak di antara mereka belum memiliki gelar akademik, kecuali pengalaman dan pengetahuan
agama, yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk mengajar. Beberapa pengamat justru
melihat bahwa orientasi pendidikan agama memang sudah jauh dari idealisme pendidikan agama
yang dapat membentuk manusia saleh. Harun Nasution (1995) mensinyalir bahwa pendidikan
agama hanya diberikan dalam konteks “pengajaran” semata.

Dalam terminologi Mohtar Bukhari (1992), pendidikan agama itu hanya berorientasi
pada aspek kognitif semata dan mengabaikan pembinaan aspek-aspek apektif dan konatif-volitif
(kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam). Dari sinilah terjadi
kesenjangan antara pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai
agama. Pendapat serupa dikemukakan oleh Komarudin Hidayat dalam Fuadudin Hasan Bisri
(1999), demikian juga Maftuh Basyuni (2004). Dalam bahasa berbeda, M. Amin Abdullah
menyebut pendidikan agama dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya lebih
terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang
concern terhadap persoalan-persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif
menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik melalui
berbagai cara, media dan forum. Dalam bahasa yang sederhana, realitas pendidikan agama masih
berorientasi to have Religion dari pada Being Religious Oriented.

Dilihat dari segi metodologi, mata kuliah agama belum banyak yang diintrodusir oleh
sisi-sisi rasionalitas ajaran agama. Pada umumnya mata kuliah agama diberikan segi
tradisionalnya dan terkesan adanya pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya,
sehingga mata kuliah agama tidak diterima sebagai sesuatu yang hidup dan responsif dengan
kebutuhan mahasiswa dan tantangan zaman. Hal ini, antara lain, disebabkan belum adanya
kejelasan pembagian kerja dan kurikulum pengajaran agama di tingkat-tingkat sebelumnya dan
perguruan tinggi. Dengan demikian, modal dasar pengetahuan agama mahasiswa beragam, dan
mutu dosen masih perlu ditingkatkan . Furchan (1993) menambahkan bahwa penggunaan
metode pembelajaran agama masih menggunakan cara-cara pembelajaran tradisional, normatif
ahistoris dan akontektual. Di sisi lain, Towaf (Muhaimin, 2007) menambahkan bahwa
kompetensi tenaga pengajar yang minim dapat menghambat pendidikan agama di perguruan
tinggi. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa banyak tenaga pengajar yang kurang mampu
melakukan elaborasi, inovasi dan kreasi materi yang sebenarnya dapat didialogkan dengan
konteks sosial budaya, tetapi justru kembali mengajar dengan menggunakan sistem tradisional-
normatif.

13
Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, maka realitas pendidikan agama masih sangat
memprihatinkan baik dari segi pengertian pendidikan yang disalahartikan, orientasi, kurikulum
yang terbatas pada aspek normatif dan kurang menyentuh realitas, materi dan muatan yang
belum jelas, metodologi yang parsial, dan dosen yang kurang mendapatkan perhatian dari
lembaga pendidikan bersangkutan. Hal ini perlu dicarikan solusi untuk memecahkannya.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

14
Pendidikan Agama Islam di era sekarang, sebagaimana diungkap al-Faruqi, dihadapkan
kepada perubahan yang mendasar, terutama mempersiapkan peserta didik yang nantinya akan
berintegrasi dengan masyarakat yang berasal dari berbagai macam latar belakang budaya dan
agama. Untuk mendapatkan hasil maksimal dari sebuah proses pendidikan agama, ada dua hal
sebagai “pekerjaan rumah (PR)”, terutama pendidik agama Islam, yakni: para pendidik tersebut
sudah saatnya membutuhkan pengertian yang mendalam dan harus merasa peka terhadap isu-isu
pemahaman keagamaan yang sedang berkembang dalam masyarakat umum. Selanjutnya, para
pendidik ini harus bisa membantu peserta didik untuk menyadari pentingnya memahami budaya
yang bermacam-macam dalam masyarakat, khususnya di bidang keagamaan.

Jika tidak demikian, tampaknya lembaga pendidikan sulit berpartisipasi dalam menengahi
model-model pemahaman Islam radikal yang sering dituduh sebagai penyulut munculnya
ketidaknyamanan dalam masyarakat beragama. Lembaga-lembaga pendidikan, terutama di masa
akan datang, harus bisa memproduksi sarjana Islam yang berpikiran moderat untuk mewadahi
berbagai macam pemahaman yang cenderung radikal itu. Untuk mengujudkan itu, seluruh unsur
sistem pendidikan Islam, khususnya pembelajaran agama Islam, sebaiknya ditelaah kembali.

Berbagai upaya untuk mengembangkan materi PAI di Perguruan Tinggi Umum saat ini
terus digalakkan dengan mengacu pada spirit salah satu di antaranya adalah Pendidikan Agama
Islam yang berwawasan multikultural.

B. Saran

Penulis menyadari makalah ini mungkin masih jauh dari kata sempurna.Akan tetapi
bukan berarti makalah ini tidak berguna. Besar harapan yang terpendam dalam hati semoga
makalah ini dapat memberikan sumbangsih pada suatu saat terhadap makalah tema yang sama.
Dan dapat menjadi referensi bagi pembaca serta menambah ilmu pengetahuan bagi kita semua.
Kemudian mari kita banyak mempelajari semaksimal mungkin mengenai Mata Pelajaran PAI di
Sekolah dan Perguruan Tinggi Umum dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

DAFTAR PUSTAKA

Baidhawy, Zakiyuddin. 2007. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Erlangga

Djamaludin, Kapita Selekta Pendidikn Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 1999.


15
Majid, Abdul, Pendidikan Islam Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004.

Muhaimin,Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam Di Sekolah, Madrasah Dan


Perguruan Tinggi, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2010.

16

Anda mungkin juga menyukai