Anda di halaman 1dari 11

Contoh

BAB 1

Jafar, Chaturvedi, dan Pappas (2006) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki masalah
kelebihan berat badan dan kegemukan memiliki risiko kejadian diabetes melitus dua kali lipat
dibandingkan kelompok penduduk yang memiliki IMT normal di Pakistan. Pernyataan mengenai
masalah kesehatan yang mungkin muncul ini didukung oleh penelitian Kotsis, Stabouli,
Papakatsika, Rizos, dan Parati (2010) yang menyatakan bahwa kegemukan berkaitan secara
langsung sebagai salah satu penyebab masalah hipertensi dan fungsi vaskular lainnya. Hal ini
dikarenakan ketidakseimbangan pengaturan cairan ekstra selular (Extracellular-fluid), plasma
renin activity, angiotensinogen, angiotensin II dan aldosteron dalam tubuh penderita kelebihan
berat badan dan kegemukan (Kotsis, Stabouli, Papakatsika, Rizos, & Parati, 2010).

Ketidakseimbangan pengaturan cairan tubuh dapat dikatakan sebagai ketidakseimbangan


metabolisme yang erat kaitannya dengan peningkatan risiko terhadap penyakit jantung, diabetes
melitus tipe 2 dan aterosklerosis (Keller, 2008). Seseorang dengan kelebihan berat badan dan
kegemukan akan mengalami resistensi insulin, dyslipidemia, hipertensi dan lipoprotein yang
dapat menyebabkan kerusakan vaskuler dan berakibat pada kematian (Keller, 2008). Kematian
tersebut dapat diakibatkan karena adanya penyempitan pembuluh darah (aterosklerosis) oleh
kolesterol dan lemak yang terangsang oleh hsCRP yang meningkat pada seseorang dengan
kegemukan sehingga tidak stabil dan pecah yang mengakibatkan serangan jantung, stroke , dan
kematian (Keller, 2008).

National Health Performance Authority (NHPA) melaporkan prevalensi kejadian kelebihan berat
badan dan kegemukan di benua Australia pada tahun 2011-2012 adalah sebesar 28% pada
populasi penduduk dewasa (NHPA, 2013). Perkembangan kelebihan berat badan dan kegemukan
ini sudah merambah ke wilayah benua Afrika yang selama ini dikenal dengan angka prevalensi
gizi buruk yang tinggi, angka kejadian kelebihan berat badan dan kegemukan sebesar 29% pada
laki-laki dan 56% pada penduduk perempuan dewasa benua Afrika terutama negara Afrika
Selatan. Pada kawasan Asia Tenggara, kelebihan berat badan dan kegemukan ini pun mulai
menjadi masalah pada 14% populasi penduduk dewasa dengan angka prevalensi tertinggi terjadi
di negara Malaysia dan Thailand sebesar 40% (WHO, 2013).

Studi kohort yang dilakukan oleh Brien, Katzmarzyk, Craig, dan Gauvin (2007) mendukung
pernyataan gaya hidup kurang gerak dengan aktifitas fisik ringan dapat menjadi faktor penentu
kejadian kelebihan berat badan dan kegemukan. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa
selama studi 20 tahun dari tahun 1981, rerata IMT meningkat dan sampel penduduk dewasa yang
aktifitas fisiknya ringan di tahun 1981-1988, sebanyak 25,6% nya menjadi kegemukan pada
tahun 2002-2004. Dengan rata-rata peningkatan berat badan sebesar 14,8 Kg pada laki-laki dan
15,6 Kg pada perempuan (Brien, Katzmarzyk, Craig, & Gauvin, 2007).

Perilaku gaya hidup kurang gerak dengan aktifitas fisik yang ringan terjadi pada 26,1%
penduduk Indonesia dengan kategori usia lebih dari 10 tahun (Kemenkes RI, 2013). Rahmawati
dan Sudikno (2008) menambahkan dari jumlah sampel 375 penduduk dewasa, sebanyak 44%
penduduk dewasa Kota Depok tidak memiliki kebiasaan olahraga. Kebiasaan olahraga pada
responden laki-laki lebih tinggi (67%) dibandingkan perempuan (45,8%). Kebiasaan tidak
berolahraga banyak dilakukan oleh penduduk dewasa yang berada pada rentang usia 25-40 tahun
dengan jenis pekerjaan ibu rumah tangga (28,1%). Hal ini berbanding lurus dengan peningkatan
kejadian kelebihan berat badan dan kegemukan di Kota Depok sebesar 16,4% dengan prevalensi
tertinggi pada perempuan dewasa sebesar 21,6% .

Kelompok perempuan dewasa memiliki risiko menjadi kelebihan berat badan dan kegemukan
2,28 kali lebih besar dibandingkan kelompok laki-laki dewasa (Rahmawati & Sudikno, 2008).
Secara biologis hal ini terjadi akibat perbedaan distribusi lemak pada perempuan yang
berhubungan dengan hormon estrogen (Sidik & Rampal, 2009). Rerata lemak pada perempuan
dewasa adalah 25% dengan lemak yang ditimbun sebesar 13%, sedangkan pada pria rerata
lemaknya adalah 15% dengan lemak yang disimpan sebesar 3% (Sidik & Rampal, 2009).
Penelitian Sidik & Rampal (2009) terhadap 972 responden perempuan di Malaysia menyatakan
bahwa peningkatan prevalensi kegemukan pada perempuan dapat pula dipengaruhi oleh status
pernikahan, wanita yang menikah cenderung mengalami kenaikan berat badan akibat rangsangan
makan yang meningkat dan menetapnya berat badan hamil yang tidak turun pasca persalinan
akibat kurang diimbangi upaya diet sehat dan aktifitas fisik yang cukup.
Sigal, Kenny, Wasserman, Sceppa, dan White (2006) menyatakan bahwa optimalisasi aktifitas
fisik memiliki kemungkinan untuk menurunkan berat badan lebih tinggi dibandingkan
pengaturan kalori makanan. Hal ini didukung oleh penelitian Ross, et al., (2004) terhadap 54
perempuan dewasa dengan empat kelompok berbeda, kelompok latihan fisik untuk menurunkan
berat badan, kelompok latihan dengan aktifitas fisik ringan, kelompok pembatasan kalori, serta
kelompok kontrol tanpa pembatasan kalori dan latihan fisik. Kelompok-kelompok ini diuji dan
disimpulkan bahwa optimalisasi aktifitas fisik merupakan strategi yang paling efektif untuk
mengurangi total lemak tubuh, lemak perut, dan lemak pada jaringan visceral.

Latihan fisik dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas aktifitas fisik terbukti efektif dalam
menurunkan berat badan. Review sistematik dan meta analisis yang dilakukan oleh Vissers, et
al., (2013) meneliti 15 jurnal penelitian yang memiliki kesamaan dalam topik latihan fisik pada
responden kelebihan berat badan dan kegemukan. Hasil metaanalisis menyatakan bahwa aktifitas
fisik jenis latihan daya tahan tubuh (endurance exercise) dengan intensitas sedang atau tinggi
dengan durasi 45-60 menit dapat menurunkan berat badan dan mengurangi lingkar pinggang
lebih dari 30 cm pada perempuan dan lebih dari 40 cm pada laki-laki tanpa dilakukan
pembatasan jumlah kalori.

Kaur, Sharma, dan Gill (2013) mendukung pernyataan tersebut melalui penelitian terhadap 30
klien kegemukan di India. Peneliti menyatakan bahwa latihan fisik jenis latihan daya tahan tubuh
berupa lari menggunakan treadmill dengan intensitas berat selama 12 minggu dapat menurunkan
berat badan. Indikator berat badan yang diukur adalah adanya penurunan angka IMT sebesar
rerata 2 angka, dan penurunan pengukuran rasio pinggang pinggul (WHR) sebesar 0,2.

Dewantari, Kayanaya, dan Melantini (2011) melakukan penelitian serupa dengan intervensi
latihan daya tahan tubuh di Provinsi Bali, Indonesia terhadap 25 responden perempuan dewasa
usia 30-40 tahun. Peneliti menyimpulkan bahwa aktifitas fisik yang dilakukan selama 6 minggu
dengan intensitas sedang selama 3x/ minggu dapat menurunkan berat badan sebanyak 1,2 kg atau
lebih pada 60% sampel penelitian tersebut. Dewantari, Kayanaya, dan Melantini (2011)
menyimpulkan bahwa latihan fisik jenis daya tahan tubuh merupakan metode ideal untuk
mengurangi massa jaringan lemak dan menurunkan berat badan.
Shipway dan Holloway (2010) melakukan penelitian yang mendukung lainnya yang berfokus
pada latihan daya tahan tubuh berupa lari jarak jauh. Lari merupakan salah satu jenis latihan fisik
dengan intensitas sedang yang dapat membantu menurunkan berat badan pada responden
kelebihan berat badan dan kegemukan. Motivasi yang mendasari seseorang untuk lari dalam
penelitian ini adalah harapan memiliki tubuh ideal, merasa ada kebutuhan untuk berolahraga,
pencarian harga diri, dan adanya perasaan ketergantungan untuk lari. Peneliti menyimpulkan
dalam penelitian ini lari juga berfungsi untuk memperoleh berat badan ideal, juga sebagai
metode yang efektif untuk mengelola mood, relaksasi dari stress dan kecemasan sehingga
mampu meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Shipway & Holloway, 2010).

Latihan fisik jenis daya tahan tubuh berupa lari selanjutnya diteliti oleh Adiwinanto (2008) di
Semarang. Penelitian dilakukan terhadap 20 responden kegemukan dan tingkat aktivitas fisik
tidak aktif. Intervensi yang diberikan berupa lari santai selama 20 menit dan lari cepat selama 10
menit dengan intensitas sedang. Adiwinanto (2008) mengemukakan hasil penelitiannya
memberikan perubahan bermakna terhadap IMT responden pada sebelum dan sesudah
penelitian dengan nilai pvalue=0,02. Anam (2010) selanjutnya melakukan penelitian terhadap 21
responden di Semarang. Intervensi yang diberikan berupa latihan daya tahan tubuh dalam bentuk
lari selama 20 menit dan senam selama 10 menit dengan durasi 3x/ minggu mampu memberikan
perubahan bermakna terhadap IMT responden pada sebelum dan sesudah penelitian dengan nilai
pvalue=0,036. Selanjutnya Wijayanti (2013) melakukan terhadap 12 responden di Temanggung.
Intervensi latihan daya tahan tubuh dilakukan 3x/ minggu selama 4 minggu (1 bulan) dengan
hasil penelitian adanya penurunan yang bermakna sebelum dan sesudah penelitian pada berat
badan sebesar 3,67 Kg dan IMT sebesar 1,14 Kg/m2.

Penelitian lainnya yang mendukung peran latihan daya tahan tubuh dalam upaya penurunan berat
badan adalah modifikasi dari latihan lari yang diselang seling dengan masa istirahat aktif yang
disebut latihan interval training. Green, Campbel, & Wallman (2010), menyatakan bahwa
latihan interval training lebih menurunkan berat badan dibandingkan dengan latihan lari yang
dilakukan terus menerus (continuous training). Kesimpulan penelitian tersebut didukung oleh
penelitian Corte de Araujo, et al. (2012) yang menyatakan bahwa latihan fisik interval training
lebih menurunkan IMT pada 30 responden obesitas sebesar 5% dibandingkan latihan fisik
continuous training yang menurunkan IMT sebesar 3%.
Whyte, Gill, & Cathcar (2010) mendukung pernyataan tersebut melalui penelitian yang
dilakukan terhadap 10 responden dewasa dengan dengan kelebihan berat badan dan kegemukan.
Intervensi latihan interval training dilakukan selama 6x pertemuan dalam 2 minggu dan
memberikan hasil penurunan lingkar pinggang dan lingkar pinggul secara signifikan
(pvalue=0,004 dan pvalue =0,017). Leegate, Carter, Evans, Vennard, Sribala, dan Nimmo (2012)
selanjutnya melakukan penelitian terhadap 12 responden dewasa dengan kelebihan berat badan
dan kegemukan. Intervensi dilakukan dengan melakukan 6x latihan interval training selama 2
minggu. Hasil penelitian menyebutkan bahwa latihan interval training secara signifikan
menurunkan kadar IL-6, peningkatan kadar IL-6R, serta penurunan adiponectin dalam jaringan
lemak sebagai indikator penurunan berat badan pada manusia. Dalam penelitian ini pun
disebutkan bahwa latihan interval training selama 2 minggu (6x latihan) secara signifikan dapat
menurunkan lingkar pinggul dengan nilai pvalue=0,052.

Boyd (2012) melakukan penelitian yang mendukung lainnya dengan melakukan intervensi
latihan interval training selama 3 minggu (9x latihan). Penelitian dilakukan terhadap 19
responden dewasa dengan tingkat aktifitas fisik ringan. Penelitian ini menyebutkan bahwa
dengan melakukan latihan interval training berkorelasi positif terhadap penurunan kadar IL-6,
adiponectin, dan TNFα sebagai indikator penurunan indikator penurunan berat badan pada
manusia. Penelitian ini pun menyebutkan bahwa latihan interval training dapat menurunkan
berat badan (105±14 Kg menjadi 103±15), IMT (30,7±3,0 menjadi 30,2±3,0), dan lingkar
pinggang (105±8 cm menjadi 103±8 cm).

Beberapa penelitian sebelumnya saling mendukung bahwa peningkatan aktivitas fisik


berhubungan dengan penurunan kejadian kelebihan berat badan dan kegemukan. Peterson,
Schnohr, dan Sorensen (2004) mengemukakan pendapat yang berbeda dengan penelitian yang
sudah dikemukakan sebelumnya, menurut studi longitudinal yang dilakukan pada 6279
responden dewasa di Copenhagen bahwa tidak ada pengaruh aktivitas fisik terhadap kejadian
kelebihan berat badan dan kegemukan, dalam penelitian ini hal yang terjadi justru sebaliknya
bahwa kelebihan berat badan dan kegemukan yang menjadi penyebab dari aktifitas fisik yang
rendah. Ketika seseorang mulai termotivasi untuk mengoptimalkan aktifitas fisik pun,
keberhasilannya belum tentu sama di setiap wilayah, hal ini bergantung pada beberapa faktor
yang ikut berkontribusi seperti keluarga, lingkungan, budaya, kualitas tidur, dan pengobatan
yang sedang dialami (NIH, 2012).

Kondisi tersebut mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian mengenai pengaruh latihan
fisik terhadap indeks masa tubuh (IMT) dan rasio rasio pinggang pinggul (WHR) perempuan
dewasa dengan kelebihan berat badan dan kegemukan di Kelurahan Curug Kota Depok. Hasil
studi pendahuluan di wilayah Kelurahan Curug sebagai wilayah binaan praktik komunitas
Universitas Indonesia memperlihatkan bahwa warga di Kelurahan Curug memiliki angka
partisipasi cukup rendah dalam kegiatan olahraga. Beberapa kegiatan olahraga pernah
dilaksanakan di wilayah Kelurahan Curug, namun partisipasi masyarakat kurang sehingga
kegiatan tidak berjalan secara berkesinambungan. Salah satu kegiatan olahraga di Kelurahan
Curug adalah kegiatan jalan santai warga pada tanggal 10 November 2013 namun angka
partisipasi masyarakat dewasa hanya 13,5% dari jumlah populasi dewasa di Kelurahan Curug.

Angka partisipasi untuk mengikuti kegiatan jalan santai pada keluarga binaan peneliti di RW 10
pun masih rendah, hanya 5 dari 29 keluarga yang mengikuti kegiatan jalan santai di Kelurahan
Curug. Rendahnya angka partisipasi kegiatan olahraga ini tidak hanya terjadi pada skala
kelurahan, namun juga pada skala wilayah RW 10. Peneliti memberikan dua kali intervensi
senam sehat bagi anak usia sekolah, dan membolehkan orang tua untuk mengikuti kegiatan
senam tersebut, namun hanya 8 dari 29 orang tua yang ikut serta dalam kegiatan senam sehat
tersebut.

BAB II

2.3 Pengelolaan Kelebihan berat badan dan Kegemukan Melalui Pendekatan Keperawatan
Pengelolaan masalah kelebihan berat badan dan kegemukan di masyarakat dapat dilakukan
melalui pendekatan 3 level strategi pencegahan masalah kesehatan di masyarakat, meliputi
pencegahan primer, sekunder, dan tersier (Stanhope & Lancaster, 2012). Peran perawat akan
lebih signifikan bila perawat komunitas mampu memfokuskan waktu dan kinerja untuk
melaksanakan upaya pencegahan dan promosi kesehatan (Allender, Rector, & Warner, 2014).
Melalui pendekatan ini diharapkan perawat dapat berperan secara aktif dalam melakukan upaya
promotif dan preventif terkait masalah kelebihan berat badan dan kegemukan di masyarakat.
Upaya preventif dilakukan untuk mencegah dampak lebih lanjut dari masalah kelebihan berat
badan dan kegemukan pada masyarakat, upaya yang dapat dilakukan pada tahap ini diantaranya
menginformasikan masyarakat secara berkala mengenai penampilan fisik, aktifitas fisik, dan
diet. Pemberian informasi sebaikya dibuat besar, gebyar dengan menggunakan berbagai media
leaflet, tv, dan media massa (Chambers & Wakley, 2002).

Upaya preventif sebaiknya dilakukan bersama-sama masyarakat melalui pemberdayaan


masyarakat yang bekerjasama dengan perawat, sehingga program promosi kesehatan dapat
dilakukan secara berkelanjutan dan dilakukan secara mandiri oleh masyarakat (Chambers &
Wakley, 2002). Upaya ini dilakukan untuk mewujudkan tujuan umum promosi kesehatan untuk
meningkatkan derajat kesehatan individu, keluarga, populasi, dan komunitas (Allender, Rector,
& Warner, 2014).

Upaya preventif untuk masalah kelebihan berat badan dan kegemukan dapat dilakukan oleh
perawat melalui terapi modalitas keperawatan. Modalitas secara bahasa berasal dari kata
modality, yang berarti modal, potensi, kekuatan, sehingga modalitas dalam konteks keperawatan
dapat diartikan segala kekuatan atau potensi yang dimiliki klien, dapat digunakan untuk berubah,
dan meyakini bahwa kekuatan tersebut dapat enjadi self as healer atas masalah kesehatan yang
dihadapi (Mariah & Lindquist, 2010). Dua poin penting dalam pengelolaan kelebihan berat
badan dan kegemukan yang dapat dilakukan dengan optimalisasi potensi klien oleh perawat
adalah melalui pengelolaan asupan gizi dan optimalisasi aktifitas fisik di masyarakat.
Pengelolaan asupan gizi atau dikenal dengan kalimat diet pada penderita kelebihan berat badan
dan kegemukan difokuskan pada penambahan asupan sayur dan buah, pengurangan makanan
rendah kalori, rendah lemak namun tinggi protein, pengurangan asupan gula, dan penambahan
konsumsi air mineral secara berkelanjutan (NIH, 2012).

Poin penting selanjutnya adalah optimalisasi aktifitas fisik pada responden dengan kelebihan
berat badan dan kegemukan. Ross, et al., (2004) mengemukakan bahwa optimalisasi aktifitas
fisik melalui latihan fisik merupakan strategi yang paling efektif untuk mengurangi total lemak
tubuh, lemak perut, dan lemak pada jaringan visceral. Dewantari, Kayanaya, dan Melantini
(2011) mendukung pernyataan tersebut melalui penelitian terhadap 25 responden perempuan
dewasa usia 30-40 tahun di Bali, Indonesia yang menyatakan bahwa latihan fisik dengan
intensitas sedang dapat menurunkan berat badan sebanyak 1,2 kg atau lebih pada 60% sampel
penelitian tersebut, selanjutnya menyimpulkan bahwa latihan fisik yang mampu mengurangi
total lemak tubuh adalah latihan fisik dengan intensitas sedang dan berat.

Aktivitas fisik merupakan salah satu fungsi yang paling dasar manusia. Aktivitas fisik meliputi
seluruh gerakan fisik yang dilakukan oleh tubuh, tulang, otot, dan sistem penunjang lainnya
untuk berjalan, naik, turun, dan hasilnya berupa pengeluaran energi di atas energi saat istirahat
(Cavill, Kahlmeier, & Racioppi, 2006). Depkes (2002) mengemukakan hal serupa bahwa
aktifitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga dan energi
atau pembakaran kalori yang memiliki manfaat terhadap fisik untuk menjaga berat badan ideal
dan juga manfaat psikologis untuk mengurangi stress.

Klasifikasi aktifitas fisik berdasarkan tipe aktifitas, durasi, frekuensi, dan intensitasnya menurut
Saltin dan Grimby (1968, dalam Peterson, Schnohr, & Sorensen, 2004) terdiri dari :

a. Tidak beraktifitas (Physical Inactivity)


Seluruh kegiatan dilakukan dalam satu posisi menetap, atau melakukan aktifitas fisik
ringan namun kurang dari 2 jam dalam 1 minggu seperti membaca dan menonton TV,
berdandan, duduk, bermain game play station atau komputer.
b. Aktifitas Fisik Ringan (Light Physical Activity)
Aktifitas fisik yang dilakukan 2-4 jam/ minggu memerlukan sedikit tenaga namun tidak
menyebabkan perubahan dalam pernafasan seperti berjalan santai, menyapu, mencuci
kendaraan dan berkebun.
c. Aktifitas Fisik Sedang (Moderate Physical Activity)
Aktifitas fisik yang dilakukan >4 jam/ minggu, membutuhkan tenaga terus-menerus
untuk melakukan gerakan otot yang berirama dan flexibel seperti jalan cepat, berlari,
bersepeda cepat, berkebun yang berat, olahraga sampai tubuh berkeringat dan kehausan.
d. Aktifitas Fisik Berat (Highly Vigorous Physical Activity)
Aktivitas fisik yang dilakukan >4 jam/ minggu dan biasanya berhubungan dengan
olahraga kekuatan dan membuat berkeringat seperti: bermain sepak bola, beladiri dan
outbond.
Hasil survey Kemenkes RI (2013) dalam Riset Kesehatan Dasar menyatakan bahwa 26,1
penduduk Indonesia masih berada pada rentang aktifitas fisik ringan dengan sebaran populasi
terbesar pada kelompok usia dewasa yang tidak bekerja dan bertempat tinggal di kawasan
perkotaan, terutama DKI Jakarta. Untuk meminimalisir prevalensi penyakit yang dipicu oleh
kurangnya aktifitas fisik yang menjadi trend pada masyarakat perkotaan, dapat dilakukan upaya
promosi kesehatan yang melibatkan optimalisasi aktivitas fisik masyarakat melalui latihan fisik
pada masyarakat.

Latihan fisik didefinisikan sebagai sub kelompok atau bagian kecil dari aktifitas fisik berupa
gerakan tubuh yang terencana, terstruktur dan berulang yang dilakukan dengan maksud tertentu.
Latihan fisik memiliki banyak manfaat, diantaranya: a)mengurangi risiko penyakit jantung,
tekanan darah tinggi, osteoporosis, diabetes, dan kegemukan, b)menjaga flexibilitas otot dan
ligamen, c)berkontribusi dalam kesehatan jiwa dan mengurangi depresi, stress dan kecemasan,
d)membantu mengelola dan menurunkan berat badan dengan meningkatkan metabolisme tubuh
untuk membakar kalori, e)mengurangi efek penuaan, f)meningkatkan energi dan daya tahan
tubuh, g)meningkatkan kualitas tidur (NIH, 2014).

NIH (2014) mengelompokan latihan fisik menjadi empat kategori utama dilihat dari pola
aktifitas yang dilakukan selama latihan fisik. Jenis latihan tersebut adalah latihan daya tahan
tubuh (endurance exercise), latihan kekuatan (strength exercise), latihan keseimbangan (balance
exercise), dan latihan kelentukan (flexibility exercise). Latihan fisik yang direkomendasikan
untuk menurunkan berat badan adalah latihan daya tahan tubuh. Latihan daya tahan tubuh
dikenal juga sebagai aerobic exercise atau cardiovaskular exercise yang didefinisikan sebagai
aktifitas yang dilakukan untuk meningkatkan denyut jantung dan pernafasan. Latihan ini
menjaga jantung, paru-paru dan sirkulasi tubuh agar tetap sehat, dan meningkatkan kebugaran
tubuh, yang pada akhirnya dapat menunda atau mengurangi kemungkinan kejadian diabetes dan
penyakit jantung. Kegiatan latihan fisik yang termasuk dalam kategori latihan daya tahan tubuh
diantaranya jalan cepat, berlari, bersepeda, menari, bermain basket, dan berenang (NIH, 2014).

Peneliti merekomendasikan jenis latihan ini untuk menurunkan berat badan, dengan intensitas
sedang atau berat (NIH, 2014 ; CDC, 2011). Latihan daya tahan tubuh dengan intensitas sedang
dapat kita ketahui ketika aktivitas ini sudah membuat kita lebih sulit untuk bernafas dan sulit
untuk bicara dan sebaiknya dilakukan dengan durasi 150 menit/ minggu untuk jalan cepat,
selanjutnya intensitas berat jika sudah tidak bisa berbicara, dan membutuhkan jeda istirahat
sejenak untuk kemudian bisa berbicara kembali, dilakukan 75 menit/minggu untuk latihan
berupa lari (CDC, 2011).
Modifikasi latihan daya tahan tubuh dapat dilakukan secara interval dengan menggabungkan
latihan anaerobik dengan interval istirahat. Dalam pelaksanaannya interval training
menggabungkan sumber energi aerobik dan anerobik dari dalam tubuh. Bompa dan Haff (2009)
menyatakan bahwa Interval training disebut juga latihan berselang yang bercirikan adanya
periode latihan diselingi periode istirahat. Periode istirahat yang digunakan merupakan istirahat
yang aktif, dapat berupa jalan, relaxed jogging, serta senam kelentukan.

Bompa dan Haff (2009) menyebutkan beberapa faktor yang harus dipenuhi dalam menyusun
latihan interval training adalah: lamanya latihan, intensitas latihan, ulangan latihan, serta masa
istirahat setelah setiap repetisi latihan. Lamanya latihan diartikan sebagai jarak yang harus
ditempuh. Intensitas latihan dapat diartikan sebagai waktu untuk jarak tersebut. Ulangan latihan
adalah berapa kali latihan tersebut harus diulang. Masa istirahat adalah masa istirahat aktif
diantara setiap ulangan waktu latihan.

Bompa dan Haff (2009) menyebutkan latihan interval training terdiri dari latihan tipe lambat dan
tipe cepat. Latihan interval training tipe lambat dapat dilakukan dengan pertimbangan lama
latihan selama 60 detik sampai dengan 3 menit, dengan intensitas latihan 60-75% denyut nadi
maksimal, ulangan latihan 10-20 kali pengulangan, serta waktu istirahat selama 3-5 menit.
Periode pemulihan dalam suatu latihan sama pentingnya dengan periode latihan. Penentuan
perbandingan rasio latihan dan istirahat dapat dilihat dari kapasitas aerob latihan. Semakin baik
kapasitas aerob maka semakin cepat proses pemulihan.

Beberapa keuntungan yang diperoleh dari latihan interval training diantaranya: dapat melatih
serabut otot tipe I dan tipe II secara bersamaan, meningkatkan kapasitas sistem fosfagen dan
sistem glikolisis, meningkatkan toleransi terhadap kadar asam laktat, meningkatkan fungsi sistem
kardio-respiratory dan meningkatkan metabolic rate sehingga mempercepat proses penurunan
berat badan (Bompa & Haff, 2009).

Green, Campbel, dan Wallman (2010), menyatakan bahwa latihan interval training lebih
menurunkan berat badan dibandingkan dengan latihan lari yang dilakukan terus menerus
(continuous training). Kesimpulan penelitian tersebut didukung oleh penelitian Corte de Araujo,
et al. (2012) yang menyatakan bahwa latihan fisik interval training lebih menurunkan IMT pada
30 responden obesitas sebesar 5% dibandingkan latihan fisik continuous training yang
menurunkan IMT sebesar 3%.

Whyte, Gill, dan Cathcar (2010) mendukung pernyataan tersebut melalui penelitian yang
dilakukan terhadap 10 responden dewasa dengan dengan kelebihan berat badan dan kegemukan.
Intervensi latihan interval training dilakukan selama 6x pertemuan dalam 2 minggu dan
memberikan hasil penurunan lingkar pinggang dan lingkar pinggul secara signifikan
(pvalue=0,004 dan pvalue =0,017). Leegate, Carter, Evans, Vennard, Sribala,dan Nimmo (2012)
selanjutnya melakukan penelitian terhadap 12 responden dewasa dengan kelebihan berat badan
dan kegemukan. Intervensi dilakukan dengan melakukan 6x latihan interval training selama 2
minggu. Hasil penelitian menyebutkan bahwa latihan interval training secara signifikan
menurunkan kadar IL-6, peningkatan kadar IL-6R, serta penurunan adiponectin dalam jaringan
lemak sebagai indikator penurunan berat badan pada manusia. Dalam penelitian ini pun
disebutkan bahwa latihan interval training selama 2 minggu (6x intervensi) secara signifikan
dapat menurunkan lingkar pinggul dengan nilai pvalue =0,052.

Boyd (2012) melakukan penelitian yang mendukung lainnya dengan melakukan intervensi
latihan interval training selama 3 minggu (9x latihan). Penelitian dilakukan terhadap 19
responden dewasa dengan tingkat aktifitas fisik ringan. Penelitian ini menyebutkan bahwa
dengan melakukan latihan interval training berkorelasi positif terhadap penurunan kadar IL-6,
adiponectin, dan TNFα sebagai indikator penurunan indikator penurunan berat badan pada
manusia. Penelitian ini pun menyebutkan bahwa latihan interval training dapat menurunkan
berat badan (105±14 Kg menjadi 103±15 Kg), IMT (30,7±3,0 Kg/m 2 menjadi 30,2±3,0 Kg/m2),
dan lingkar pinggang (105±8 cm menjadi 103±8 cm).

Anda mungkin juga menyukai