Anda di halaman 1dari 6

MATERI

AGAMA DALAM PERSPEKTIF ANTROPOLOGI

Pengertian Agama

Agama secara mendasar merupakan seperangkat aturan yang mengatur

kehidupan manusia di dunia. Aturan untuk mengatur kehidupan di dunia itu

diyakini sebagai aturan yang suci atau sakral dan menjadi keyakinan yang sulit

untuk dibantah. Dengan adanya aturan sekaligus berisikan sanksi apabila

penganutnya melakukan pelanggaran. Agama selalu berhubungan dengan alam

gaib atau supernatural dan memberikan penjelasan mengenai segala sesuatu

setelah kematian. Aturan mengenai kehidupan di dunia ini merupakan aturan suci

yang diyakini penganutnya berasal dari wahyu atau titah Tuhan yang diturunkan

melalui malaikat dan nabinya atau juga bisa berasal dari orang-orang yang juga

diyakini orang banyak memiliki kelebihan secara spiritual atau kesucian yang

kemudian menyebarkan ke individu-individu berpengaruh dan kemudian

menyebar ke tengah-tengah masyarakat. Dalam pernyataan lain dapat dikatakan

agama juga bisa berasal dari sesuatu yang dianggap gaib yang diterima seseorang

dan kemudian disebarkan ke orang lain sehingga menjadi keyakinan dan

dipraktekkan oleh banyak orang. Mengenai asal usul agama ini yang kemudian

oleh banyak ahli bisa menjadi pembeda antara satu agama dengan agama lainnya,

yang akan diulas pada bagian selanjutnya dari hand out ini.

Banyak ahli telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan agama.

Durkheim menyatakan agama (religion) ...is a unfied system of beliefs and

practices relative to sacred things, that is to say, things set apart and forbidden –

beliefs ang practices which unite into one single moral community called a

church, all those to adhare to them (agama adalah kesatuan kepercayaan dan

praktek-praktek yang berkaitan dengan yang sakral, yaitu hal-hal yang disisihkan

dan terlarang – kepercayaan dan praktek-praktek yang menyatukan seluruh orang

yang menganut dan meyakini hal-hal tersebut ke dalam satu komunitas moral

yang disebut gereja).1 Defenisi ini boleh dikatakan dilihat hanya dari sisi satu

kelompok penganut agama tertentu saja. Namun defenisi ini telah memberikan

beberapa poin penting dari sebuah agama berupa praktek atau aktivitas sakral atau
dianggap suci yang tentu saja dengan keyakinan tertentu serta dilakukan di dalam

kelompok.

Geertz menyatakan agama adalah..(1) a system of symbols which acts to

(2) establish powerful, pervasive, and long-lasting moods and motivations in men

by (3) formulating conceptions of a general order of existence and (4) clothing

this conceptions wiuth such an aura of factuality that (5) the moods and

motivations seen uniquely realistic2

[(1) sebuah sistem simbol-simbol yang (2)

menetapkan suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi, dan

yang tahan lama dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep

mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membungkus konsep-konsep ini

dengan semacam pencaharian faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-

motivasi itu tampak khas realistis]. Defenisi ini menjelaskan agama dari perlakuan

manusia melalui seperangkat simbol yang merupakan ekspresi dari motivasi dan

suasana hati. Dari beberapa pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa agama

merupakan seperangkat aturan yang dijalankan untuk mengatur kehidupan

manusia sebagai individu dan anggota masyarakat, yang menjadi petunjuk

mengenai kehidupan manusia dan penjelasan akan sesuatu yang dianggap sakral.

Oleh karena adanya petunjuk yang sakral maka juga terdapat pantangan dan

larangan yang diberikan kepada manusia. Di dalam banyak masyarakat agama

memberikan argumentasi religius mengenai asal usul manusia, bagaimana dan

untuk apa hidup di dunia, masa depan yang akan dihadapi dan kemana manusia

setelah kematiannya. Penjelasan-penjelasan inilah yang berupa aturan atau

petunjuk dan sekaligus sebagai larangan yang tidak bisa dibantah.

Untuk mendapatkan pengertian yang lebih baik mengenai agama,

penjelasan dari ciri-cirinya seperti yang pernah diberikan oleh Durkheim yang

kemudian juga dipakai oleh Koentjaraningrat dikutip di sini sebagai berikut.

Dalam penjelasan ini agama terdiri dari empat komponen, sebagai berikut.

1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religieus;

2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan

manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib


(supernatural); serta segala nilai, norma serta ajaran dari religi yang

bersangkutan.

3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk

mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau makhluk-makhluk

halus yang mendiami alam gaib;

4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut

dalam sub 2, dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut

di dalam sub 3.3

Penjelasan ciri-ciri agama tersebut di dalam tulisan ini masih perlu

ditambahkan satu lagi ciri dari agama yaitu; setiap agama pada umumnya

mengajarkan kebenaran yang suci, karena dengan kebenaran yang suci ini melahirkan keyakinan
yang kuat dari kesatuan sosial/ ummat/ masyarakat/

jamaah/ jemaat/ pengikut dari suatu agama tersebut. Dengan keyakinan inilah

suatu agama bisa bertahan karena diyakini kebenaran yang diajarkan di dalam

agama tersebut kepada pengikutnya. Keyakinan kepada kebenaran yang diajarkan

inilah yang kemudian menjadi dogma yang kuat dan bertahan lama atau pervasif

seperti dinyatakan oleh Geertz.

Agama, Perspektif Antropologis

Seringkali diperdebatkan, apakah agama sebagai bagian atau suatu

pranata dari kebudayaan tertentu atau justru kebudayaanlah yang ditentukan oleh

agama. Dari sudut pandang sebagai seorang yang beragama dan dengan keyakinan

agamanya maka pastilah agama yang menentukan, karena manusia hidup di dunia

dianjurkan untuk berusaha dan Tuhanlah yang menentukan. Pendapat ini tidaklah

salah sebagai seorang yang beragama. Antropologi agama atau antropologi religi

sebagai sebuah spesialisasi yang berkembang di dalam antropologi yang

mempelajari mengenai bagaimana agama diyakini, dijalankan atau dipraktekkan

di dalam masyarakat. Umumnya antropolog menyatakan bahwa agama (religion)

merupakan sebuah pranata seperti banyak pranata lainnya di dalam sebuah

kebudayaan atau suatu masyarakat. Bagaimana hal ini dapat dijelaskan, berikut ini

penjelasannya.

Agama sebagai pranata tidaklah sama dengan agama sebagai sebuah


keyakinan yang menjadi milik anggota masyarakat. Pranata merupakan suatu

aturan yang digunakan untuk mengatur manusia dalam rangka pemenuhan

kebutuhan khusus tertentu. Kebutuhan manusia dibagi menjadi tiga oleh

Malinowski, yaitu kebutuhan biologis, psikologis dan adap-integratif.Agama atau

religi sebagai pranata adalah dalam rangka untuk pemenuhan kebutuhan

psikologis, terhadap ketenangan jiwa dan untuk menjelaskan segala sesuatu

dengan keyakinan, yang tidak dapat dijelaskan secara rasional atau oleh akal manusia. Agama yang
dipelajari di dalam antropologi adalah fenomena religius

yang ada di tengah-tengah masyarakat. Fenomena religius yang mana? Jawaban

pertanyaan ini mengacu kepada semua fenomena atau aktivitas religius yang

terdapat di dalam masyarakat, apakah yang berasal di dari fenomena agama

tradisional yang dilakukan untuk kepentingan tertentu seperti santet, voodoo,

penyembahan kepada arwah leluhur, agama tradisional seperti arat sabulungan di

Mentawai ataupun fenomena religius yang dilakukan oleh ummat Islam, Katolik

maupun Hindu yang khas di daerah tertentu.

Agama sebagai pranata adalah agama yang diyakini, diajarkan,

dijalankan atau dipraktekkan di tengah-tengah masyarakat. Ini berbeda dengan

agama di dalam teks sucinya atau alkitab seperti Al Qur’an, Injil, Taurat, Zabur

atau kitab Weda, Tripitaka yang sudah dituliskan di dalam agama-agama tradisi

besar di dunia. Teks-teks suci ini diyakini oleh penganut agama tersebut sebagai

sebuah kebenaran yang tidak bisa dibantah, yang berasal dari Tuhan. Kitab-kitab

ini bukanlah produk kebudayaan, bukan pranata. Agama menjadi pranta adalah

agama yang diyakini, dijalankan atau dipraktekkan itu yang bisa berbeda antara

satu masyarakat dengan masyarakat lainnya walaupun masing-masing sama

menganut agama yang sama. Artinya orang Betawi di Jawa bisa mempraktekkan

atau menjalankan agama Islam secara berbeda dengan orang Minangkabau yang

juga Islam. Bahkan, di daerah tertentu di Sumatera Barat saja, praktek agama

Islam bisa berbeda-beda. Keyakinan keagamaan mereka ternyata ada yang

berbeda, padahal sama-sama mempunyai kitab suci yang sama. Mengapa hal ini

terjadi?

Proses turunnya dan tersebarnya agama sehingga menjadi keyakinan


sampai ke tengah-tengah masyarakat adalah melalui proses-proses sosial budaya

yang panjang. Suparlan menyatakan bahwa “kita menjadi umat beragama

(manusia pada umumnya) adalah melalui proses transmisi kebudayaan, yaitu

dengan melalui (1) pengalaman dan (2) belajar secara instruksional dalam kehidupan sosial kita.
Agama-agama tradisi besar yang diyakini berasal dari

wahyu diturunkan Tuhan melalui malaikatnya, lalu disampaikan kepada Nabi atau

Rasullullah. Dari Nabi kepada anggota keluarganya, kepada sahabat-sahabatnya,

dan dari para sahabat ini diteruskan kepada kepada anggota keluarganya

kerabatnya dan seterusnya. Proses ini berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun

melalui banyak masyarakat dengan kebudayaan yang berbeda. Walaupun kitab

suci itu diyakini tidak berubah – walaupun di dalam agama tertentu ada beberapa

versi kitab sucinya – tetapi di dalam masyarakat penganut agama tersebut bisa

saja terjadi perbedaan-perbedaan di dalam agama yang bersangkutan. Mengapa ini

terjadi? Jawabannya adalah karena telah terjadi proses penafsiran atau interpretasi

yang berbeda dari teks suci yang sama, baik oleh para tokoh agama atau oleh

anggota masyarakatnya. Inilah yang disebut dengan agama melalui proses sosial

budaya atau transmisi kebudayaan. Proses ini kemudian melahirkan banyak sekte

atau disebut aliran agama di dalam masyarakat. Sekte-sekta keaagamaan ini lahir

di dalam setiap agama tradisi besar, karena proses sosial budaya yang panjang

berlangsung dan pemberian penafsiran dari teks suci yang sama secara berbeda,

yang melahirkan keyakinan dan praktek keagamaan yang berbeda pula.

Sebagai contoh kasus, pelaksanaan shalat Idhul Fitri dan Idhul Adha

yang diketahui secara umum dilakukan dua rakaat dengan tujuh takbir setelah

takbirartul ikhram di rakaat pertama dan lima takbir setelah takbir bangkit dari

sujud, tetapi di sebuah kelurahan di Depok di antara orang Betawi yang pernah

penulis ikuti malah terjadi sembilan takbir di rakaat pertama dan tujuh takbir di

rakaat kedua. Contoh lainnya juga di dalam masyarakat Betawi di Depok, di

dalam menghadapi kematian seorang perempuan muda yang belum menikah

disediakan dua karung besar beras di masjid untuk diserahkan kepada yang berhak

menerima. Dua karung beras tersebut adalah sebagai pengganti sholat dan puasa

almarhum sewaktu hidup yang tidak bisa dilakukannya baik karena terhalang oleh
menstruasi atau oleh sebab lainnya, sehingga diganti pada waktu jenazah belum dikuburkan. Ini
diucapkan oleh seorang tokoh masyarakat di hadapan orang

banyak pada saat dua karung beras tersebut akan diserahkan. Padahal di dalam

ajaran Islam dinyatakan bahwa terputuslah hubungan seorang yang meninggal

dengan orang yang masih hidup kecuali tiga amalan yang dilakukan seperti ilmu

yang bermanfaat yang telah diajarkan, sedekah jariah dan doa dari anak yang

saleh dari almarhum, tentu saja bagi mereka yang sudah punya anak. Dua contoh

di atas menunjukkan telah terjadi perbedaan interpretasi dari agama yang sama

sehingga dijalankan secara berbeda. Bentuk keyakinan dan praktek keagamaan

bisa saja berbeda dari kesamaan kitab suci yang dimiliki inilah yang dimaksudkan

dengan agama sebagai pranata. Di samping itu aktivitas keagamaan yang sudah

terpola atau sudah lama dan tetap dijalankan di dalam masyarakat seperti ritual

perdukunan juga merupakan bagian dari aktivitas atau pranata keagamaan

tradisional. Agama sebagai pranata inilah yang menjadi lapangan studi

antropologi agama/ religi, yang disebut Geertz dengan agama sebagai sistem

budaya.

Anda mungkin juga menyukai