BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Traumatologi1
Traumatologi berasal dari kata trauma dan logos. Trauma berarti kekerasan atas
jaringan tubuh yang masih hidup, sedang logos berarti ilmu. Jadi traumatologi
merupakan ilmu yang mempelajari semua aspek yang berkaitan dengan kekerasan
terhadap jaringan tubuh manusia yang masih hidup.
3.2 Jenis Penyebab Trauma
Kekerasan yang mengenai tubuh seseorang dapat menimbulkan efek pada fisik
maupun psikisnya. Efek fisik berupa luka- luka yang kalau di periksa dengan teliti akan
dapat di ketahui jenis penyebabnya yaitu :
ekspresi, dan portal untuk asupan bahan bakar (makanan), air, dan oksigen dan
pembuangan karbon dioksida.
3.3.1 Kulit Kepala
Kulit kepala menutupi cranium dan meluas dari linea nuchalis superior pada os
occipitale sampai margo supraorbitalis ossis frontalis. Ke arah lateral kulit kepala
meluas lewat fascia temporalis ke arcus zygomaticus. Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan
yang disebut SCALP yaitu; skin, connective tissue atau jaringan penyambung,
aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue dan pericranium. Kulit
kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga perdarahan akibat laserasi kulit
kepala akan menyebabkan banyak kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
Lapisan ini merupakan lapisan terkuat, berupa fascia yang melekat pada
tiga otot yaitu : a.ke anterior – m. Frontalis; b.ke posterior – m. Occipitslis; c.ke
lateral – m. Temporoparietalis. Ketiga otot ini dipersarafi oleh nervus fasialis (N.
VII)
1.4 Loose areolar tissue atau jaringan ikat longgar
Merupakan lapisan seperti spons termasuk potensial ruang yang mungkin
menggelembung sebagai akibat dari cedera atau infeksi. Lapisan ini
memungkinkan pergerakan bebas kulit kepala.
1.5 Perikranium
Merupakan lapisan padat jaringan ikat yang terbentuk periosteum
eksternal neurocranium. Benar terpasang tetapi dapat dilepas dengan cukup
mudah dari crania orang hidup, kecuali di mana perikranium kontinu dengan
serat jaringan dalam sutura tengkorak.
a. Aspek Anterior
Pada aspek anterior tengkorak dapat dikenali os frontale, os
zygomaticum, orbita, nasal, maxilla dan mandibula.
b. Aspek Lateral
Aspek lateral tengkorak terdiri dari os kranium dan os wajah. Os
kranium tersebut adalah fossa temporalis, linea temporalis superior, linea
temporalis inferior os parietal, arcus zygomaticus, titik pterion, processus
mastoideus ossis temporalis, meatus acusticus externus dan processus styloideus
ossis temporalis. Os wajah yakni mandibula terletak dua bagian: bagian
5
3.3.3 Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura mater
dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,
pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus
sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami
robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior
mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari
sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri-arteri meningea
terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri
ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera
adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).
8
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid
umumnya disebabkan akibat cedera kepala.
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan
masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak
dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater.
3.3.4 Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 1,4 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak depan) terdiri
dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak
menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik
9
dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan
orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital
bertanggungjawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi
sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan.
kulit kepala dapat menahan pukulan 425-900 pound/inch. Setelah kulit kepala, juga
terdapat tulang tengkorak yang melindungi isi dalamnya yaitu otak. Bagian yang paling
penting dari kesemuanya ialah otak yang merupakan pusat dari semua bagian tubuh.3
3.4.1 Etiologi
Cedera kepala dapat berasal dari berbagai sumber yaitu kekerasan tumpul; kasus
paling sering dalam etiologi ini ialah karena kecelakaan, pembunuhan, atau dapat juga
bunuh diri. Selain itu kekerasan tajam merupakan jenis kekerasan yang cukup banyak
terjadi. Benda penyebab tersering ialah batang besi atu kayu runcing, pecahan kaca,
atau bendabenda lain yang tajam. Cedera akibat tembakan juga dapat menyebabkan
kematian dimana dilihat dari kerusakan yang ditimbulkan, kaliber peluru dan jenis
peluru yang digunakan, jarak tembakan, deformitas yang terjadi pada tulang dan peluru,
jalannya peuru yang masuk pada otak.3
Menurut patomekanisme cedera kepala dapat terbagi atas cedera primer yang
merupakan cedera kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat berupa
benturan langsung ataupun proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala. Pada cedera
primer dapat diakibatkan oleh adanya peristiwa coup dan countrecoup. Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologik yang timbul sebagai
tahap lanjutan dari kerusakan otak primer berupa perdarahan, edema otak, kerusakan
neuron yang berkelanjutan, iskemia dan perubahan.3
Cedera kepala dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder:4
1. Kerusakan Primer
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi
segera saat benturan terjadi sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan
deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus.
a. Kerusakan Fokal
Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu
dari otak, tergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang
timbul dapat berupa:4
Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya
piamater. Istilah kontusio digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau
gangguan pada jaringan otak yang lebih berat dari konkusi (concussion), dengan
11
memiliki karakteristik adanya kerusakan sel saraf dan aksonal, dengan titik-titik
perdarahan kapiler dan edema jaringan otak. Terutama melibatkan puncak-puncak
gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan penonjolan dan lekukan tulang
saat terjadi benturan.
Gambar 12. Kontusio Pada Dasar Lobus Temporal dan Frontal, Disebut
Juga ’Burst Lobe4
Kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan (coup contussion), di tempat lain
(countrecoup contussion) atau dapat pula terjadi diantara lesi coup dan countercoup
yang disebut sebgai intermediate-coup contussion.
2. Kerusakan Sekunder 5,6
a. Hematoma Epidural
Hematoma epidural atau dalam beberapa literatur disebut pula sebagai
hematoma ekstradural, adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara
duramater dan tabula interna tulang tengkorak. Umumnya disebabkan oleh trauma
tumpul kepala, yang mengakibatkan terjadinya fraktur linier, namun dapat pula
tanpa disertai fraktur. Lokasi yang paling sering adalah di bagian temporal atau
temporoparietal (70 %) dan sisanya di bagian frontal, oksipital, dan fossa serebri
posterior. Darah pada hematoma epidural membeku, berbentuk bikonveks.
Sumber perdarahan yang paling sering adalah dari cabang a.meningea media,
akibat fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun dapat pula dari
arteri dan vena lainnya, atau bahkan keduanya. Hematoma epidural yang tidak
disertai fraktur tulang tengkorak akan memiliki kecenderungan lebih berat, karena
peningkatan tekanan intrakranial akan lebih cepat terjadi. Gejala klinisnya adalah
lucid interval, yaitu selang waktu antara pasien masih sadar setelah kejadian
trauma kranioserebral dengan penurunan kesadaran yang terjadi kemudian. Gejala
12
lain nyeri kepala bisa disertai muntah proyektil, pupil anisokor dengan midriasis di
sisi lesi akibat herniasi unkal, hemiparesis, dan refleks patologis. Babinski positif
kontralateral lesi yang terjadi terlambat. Pada gambaran CT scan kepala,
didapatkan lesi hiperdens (gambaran darah intrakranial) umumnya di daerah
temporal berbentuk cembung.
b. Hematoma Subdural (SDH)
Terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan, sinus venosus dura mater
atau robeknya araknoidea. Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea.
SDH ada yang akut dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat
dan muntah proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak,
mengganggu ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran. Gambaran CT scan kepala
berupa lesi hiperdens berbentuk bulan sabit. Bila darah lisis menjadi cairan,
disebut higroma (hidroma) subdural.
c. Edema Serebri Traumatik
Cedera otak akan mengganggu pusat persarafan dan peredaran darah di
batang otak dengan akibat tonus dinding pembuluh darah menurun, sehingga
cairan lebih mudah menembus dindingnya. Penyebab lain adalah benturan yang
dapat menimbulkan kelainan langsung pada dinding pembuluh darah sehingga
menjadi lebih permeabel. Hasil akhirnya akan terjadi edema.
d. Cedera Otak Difus
Terjadi kerusakan baik pada pembuluh darah maupun pada parenkim otak,
disertai edema. Keadaan pasien umumnya buruk.
e. Hematoma Subaraknoid (SAH)
Perdarahan subaraknoid traumatik terjadi pada lebih kurang 40% kasus
cedera kranioserebral, sebagian besar terjadi di daerah permukaan oksipital dan
parietal sehingga sering tidak dijumpai tanda-tanda rangsang meningeal. Adanya
darah di dalam cairan otak akan mengakibatkan penguncupan arteri-arteri di
dalam rongga subaraknoidea. Bila vasokonstriksi yang terjadi hebat disertai
vasospasme, akan timbul gangguan aliran darah di dalam jaringan otak. Keadaan
ini tampak pada pasien yang tidak membaik setelah beberapa hari perawatan.
Penguncupan pembuluh darah mulai terjadi pada hari ke-3 dan dapat berlangsung
sampai 10 hari atau lebih. Gejala klinis yang didapatkan berupa nyeri kepala
13
posterior menuju cochlea dan labyrinthine capsule, berakhir pada fossa cranii media
dekat foramen spinosum atau pada mastoid air cells. Fraktur longitudinal merupakan
yang paling umum dari tiga suptipe (70-90%). Fraktur transversal dimulai dari
foramen magnum dan memperpanjang melalui cochlea dan labyrinth, berakhir pada
fossa cranial media (5-30%). Fraktur mixed memiliki unsur unsur dari kedua fraktur
longitudinal dan transversal
3. Fraktur transversal os temporal
Fraktur transversal tulang temporal tegak lurus terhadap sumbu panjang dari
piramida petrosa dan biasanya akibat trauma tumpul oksipital atau temporoparietal.
Fraktur ini melibatkan dari foramen magnum melalui fosa posterior, melalui pyramid
petrosa, termasuk kapsul otik dan ke dalam fosa kranial tengah. Kapsul otik dan
kanalis auditorius internal sering terlibat juga.
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital dengan garis fraktur meluas di hampir segala
arah di bagian basal tengkorak mungkin dapat dilihat. Akhir-akhir ini, juga terdapat
peningkatan tren untuk menggolongkan fraktur tulang temporal menjadi
perenggangan kapsul otik (otic capsule sparing/OCS) dan kerusakan kapsul otik (otic
capsule disrupting/OCD), yang menunjukkan korelasi lebih baik terhadap sekuel
klinis (Ho dan Makishima, 2010). Fraktur OCS lebih sering terjadi (>90%) daripada
OCD, dan OCD berkaitan dengan tingginya insidensi cedera saraf fasialis (30-50%),
SNHL, dan kebocoran cairan serebrospinal (2-4 kali lebih tinggi daripada OCS).
3.5.3. Etiologi Fraktur Basis Cranii
Etilogi fraktur basis cranii dapat meliputi :7
1. Kecelakaan kendaraan atau transportasi.
2. Kecelakaan terjatuh.
3. Kecelakaan yang berkaitan dengan olahraga.
4. Kejahatan dan tindak kekerasan.
3.5.4. Manisfestasi Klinis Fraktur Basis Cranii
Tanda dan Gejala fraktur basis cranii berdasarkan klasifikasi sebagai berikut :
1. Fraktur petrous os temporal
a. Otorrhea
b. Battle sign (Memar pada mastoids)
15
c. Rhinorrhea
d. Raccoon eyes (Memar di sekitar palpebral)
e. Kehilangan kesadaran dan GCS dapat bervariasi tergantung pada kondisi
patologis intracranial
2. Fraktur longitudinal os temporal
Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang
pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berangsung
lebih dari 6 – 7 minggu. Tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu
kurang dari 6-7 minggu disebabkan karena hemotympanum dan oedema mukosa di
fossa tmpany. Facial palsy, nygtagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder
dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.
3. Fraktur tranversal os temporal
Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan lairin,
sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen
(permanent neural hearing loss)
4. Fraktur condylar os oksipital
Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan
serius.Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan
tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang
serviklis.Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia
atau guadriplegia
tripod). 10
Rene Le Fort pertama kali menjelaskan fraktur daerah rahang atas di tahun 1900-
an . Klasifikasi patah tulang rahang atas didasarkan pada tingkat yang paling unggul dari
situs fraktur. Klasifikasinya merupakan yang paling sering digunakan secara luas untuk
fraktur daerah maksila. Fraktur mandibula dapat melibatkan daerah simfisis, tubuh/body,
sudut/ angulus, ramus, kondilus, dan subcondyle. Fraktur body mandibula, kondilus, dan
angulus terjadi dengan frekuensi yang hampir sama, diikuti oleh fraktur ramus dan
prosesus koronoid. Secara umum, kecelakaan kendaraan bermotor mengakibatkan
fraktur condylar dan simfisis daerah karena gaya diarahkan terhadap dagu, sedangkan
luka dari tinju lebih cenderung berada di sudut mandibula, sebagai hasil dari pukulan
tangan kanan . Lebih dari 50% dari patah tulang rahang bersifat multipel; adanya fraktur
satu mandibula memerlukan evaluasi fraktur tambahan, mungkin ada sisi kontralateral
ke yang terkena. 10
3.6.1 Klasifikasi Fraktur Maksilofasial
Fraktur Nasoorbitoetmoid (NOE)
Anatomi kompleks yang berliku-liku mengakibatkan fraktur NOE merupakan
fraktur yang paling sulit untuk direkonstruksi. Kompleks NOE terdiri dari sinus
frontalis, sinus ethmoid, anterior cranial fossa, orbita, tulang temporal, dan tulang
nasal. Medial canthal tendon (MCT) berpisah sebelum masuk ke dalam frontal process
dari maksila. Kedua tungkai dari tendon ini mengelilingi fossa lakrimal. Komponen
utama dari NOE ini dikelilingi oleh tulang lakrimal di posterior, tulang nasal dan
pyriform aperture di anterior, tulang frontal di kranial, maksila di inferior, rongga udara
etmoid di tengah, dan orbita di lateral. 11
Klasifikasi yang digunakan pada fraktur NOE adalah klasifikasi
Markowitz- Manson yang terdiri dari tiga tipe yaitu : 12
1. Tipe I: MCT menempel pada sebuah fragmen sentral yang besar.
2. Tipe II: MCT menempel pada fragmen sentral yang telah pecah namun dapat
diatasi atau MCT menempel pada fragmen yang cukup besar untuk
memungkinkan osteosynthesis.
3. Tipe III: MCT menempel pada sentral fragmen yang pecah dan tidak dapat diatasi atau fragmen
terlalu kecil untuk memungkinkan terjadinya osteosynthesis atau telah terlepas total.
Fraktur NOE meliputi 5% dari keseluruhan fraktur maksilofasial pada
orang dewasa. Kebanyakan fraktur NOE merupakan fraktur tipe I. Fraktur tipe
18
III merupakan fraktur yang paling jarang dan terjadi pada 1-5% dari seluruh
kasus fraktur NOE.11
dan radiologi
2. Kelompok 2: Fraktur yang hanya melibatkan arkus yang disebabkan oleh gaya
langsung yang menekuk malar eminence ke dalam
3. Kelompok 3: Fraktur yang tidak berotasi
4. Kelompok 4: Fraktur yang berotasi ke medial
5. Kelompok 5: Fraktur yang berotasi ke lateral
6. Kelompok 6: Fraktur kompleks yaitu adanya garis fraktur tambahan
sepanjang fragmen utama
Berdasarkan klasifikasi Knight dan North, fraktur kelompok 2 dan 3 hanya
membutuhkan reduksi tertutup tanpa fiksasi, sementara fraktur kelompok 4, 5, dan 6
membutuhkan fiksasi untuk reduksi yang adekuat. 13
Fraktur Nasal
Tulang nasal merupakan tulang yang kecil dan tipis dan merupakan lokasi
fraktur tulang wajah yang paling sering. Fraktur tulang nasal telah meningkat baik
dalam prevalensi maupun keparahan akibat peningkatan trauma dan kecelakaan lalu
lintas. Fraktur tulang nasal mencakup 51,3% dari seluruh fraktur maksilofasial.14
15
Klasifikasi fraktur tulang nasal terbagi menjadi lima yaitu:
a) Tipe I: Fraktur unilateral ataupun bilateral tanpa adanya deviasi garis tengah
b) Tipe II: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi garis tengah
c) Tipe III: Pecahnya tulang nasal bilateral dan septum yang bengkok dengan
penopang septal yang utuh
d) Tipe IV: Fraktur unilateral atau bilateral dengan deviasi berat atau rusaknya garis
tengah hidung, sekunder terhadap fraktur septum berat atau dislokasi septum
e) Tipe V: Cedera berat meliputi laserasi dan trauma dari jaringan lunak, saddling
dari hidung, cedera terbuka, dan robeknya jaringan
20
1. Dahlan S. Ilmu kedokteran forensik: Pedoman bagi dokter dan penegak hokum.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. 2000. h. 67-91
2. Moore LK, Dalley FA, Agur AM. Moore Clinically Oriented Anatomy. 7 th
Edition.2014 p:852-908
3. Irianto K. Anatomi dan Fisiologi. Bandung; Alfabeta, 2012; p. 330-46.
4. Soertidewi L. Penatalaksanaan kedaruratan cedera kranioserebral. CDK-139. Vol 39
(5). Jakarta: CDK; 2012. h. 327-31. Diunduh dari:
http://www.kalbemed.com/Portals/6/05_193Penatalaksanaan%20Kedaruratan.pdf,
21 November 2018.
5. Aninditha T, Wiratman W. Buku ajar neurologi. Buku 2. Jakarta: Departemen
Neurologi FKUI/RSCM, 2017. H.383-400
6. Prawirohardjo P, Lastri D.N, Ramli Y. Neurotrauma. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta 2015;hal 1
7. Corwin, E. J. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Kowalak, J. P. (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC
8.
9. Japardi, I. 2004. Trauma maksilofasial. In: Cedera Kepala: Memahami Aspek- Aspek
Penting dalam Pengelolaan Penderita Cedera Kepala. Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer.
10. Rupp, T.J; Young, C.C. 2016. Facial fracture. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/84613-overview [accessed on 16 May 2019]
11. Nguyen, M; J.C. Koshy, dan L.H. Hollier. 2010. Pearls of nasoorbitoethmoid trauma
management. Seminar in Plastic Surgery 24: 383-388.
13. Meslemani, D; dan R.M; Kellman. 2012. Zygomaticomaxillary complex fractures. Archives
of Facial Plastic Surgery 14: 62-66
15. Ondik MP, Lipinski I, Dezfoli S dkk. 2009. The treatment of nasal fractures:a changing
paradigm. Arch Facial Plast Surg 11:296-302,2009.