Anda di halaman 1dari 12

PBL S2

1. MM CARA KERJA OBAT


1.1 oral
Rute ini paling sering digunakan karena paling nyaman dan biasanya yang
paling aman. Namun, rute ini memiliki keterbatasan karena jalannya obat biasanya
bergerak melalui saluran pencernaan. Untuk obat diberikan secara oral, penyerapan
(absorpsi) bisa terjadi mulai di mulut dan lambung. Namun, sebagian besar obat
biasanya diserap di usus kecil. Obat melewati dinding usus dan perjalanan ke hati
sebelum diangkut melalui aliran darah ke situs target.
Beberapa obat oral mengiritasi saluran pencernaan. Misalnya, aspirin dan
sebagian besar obat nonsteroidal anti-inflammatory (NSAID) dapat membahayakan
lapisan lambung dan usus kecil untuk berpotensi menyebabkan atau memperburuk
unit sel yang sudah ada sebelumnya. Beberapa obat lain penyerapannya buruk atau
tidak teratur dalam saluran pencernaan atau dihancurkan oleh enzim asam dan
pencernaan di dalam perut.
Rute pemberian lain  yang diperlukan ketika rute oral tidak dapat
digunakan, misalnya:
 Ketika seseorang tidak bisa mengambil apapun melalui mulut
 Ketika obat harus diberikan secara cepat atau dalam dosis yang tepat atau
sangat tinggi
 Ketika obat buruk atau tidak teratur diserap dari saluran pencernaan
1.2 injeksi (parenteral)
Pemberian dengan suntikan (parenteral) meliputi rute berikut:

 Subkutan (di bawah kulit)

Untuk rute subkutan, jarum dimasukkan ke dalam jaringan lemak tepat di


bawah kulit. Setelah obat disuntikkan, kemudian bergerak ke pembuluh darah
kecil (kapiler) dan terbawa oleh aliran darah. Atau, obat mencapai aliran darah
melalui pembuluh limfatik. Obat protein yang berukuran besar seperti insulin,
biasanya mencapai aliran darah melalui pembuluh limfatik karena obat ini
bergerak perlahan dari jaringan ke kapiler. Rute subkutan digunakan untuk
banyak obat protein karena obat tersebut akan hancur dalam saluran
pencernaan jika mereka diambil secara oral.

Obat-obatan tertentu (seperti progestin yang digunakan untuk pengendalian


kelahiran hormonal) dapat diberikan dengan memasukkan kapsul plastik di
bawah kulit (implantasi). Meskipun rute ini jarang digunakan, keunggulan
utamanya adalah untuk memberikan efek terapi jangka panjang (misalnya,
etonogestrel yang ditanamkan untuk kontrasepsi dapat bertahan hingga 3
tahun).

 Intramuskular (dalam otot)


Rute intramuskular disukai dibanding rute subkutan ketika diperlukan obat
dengan volume yang lebih besar. Karena otot-otot terletak di bawah kulit dan
jaringan lemak, digunakan jarum yang lebih panjang. Obat biasanya disuntikkan ke
dalam otot lengan atas, paha, atau pantat. Seberapa cepat obat ini diserap ke dalam
aliran darah tergantung, sebagian, pada pasokan darah ke otot: Semakin kecil suplai
darah, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk obat yang akan diserap.

 Intravena (dalam pembuluh darah)

rute intravena, jarum dimasukkan langsung ke pembuluh darah. Suatu larutan


yang mengandung obat dapat diberikan dalam dosis tunggal atau dengan infus
kontinu. Untuk infus, larutan digerakkan oleh gravitasi (dari kantong plastik dilipat)
atau, lebih umum, dengan pompa infus melalui pipa fleksibel tipis ke tabung (kateter)
dimasukkan ke dalam pembuluh darah, biasanya di lengan bawah.

Pemberian intravena adalah cara terbaik untuk memberikan dosis yang tepat
dengan cepat. Ketika diberikan secara intravena, obat dikirimkan langsung ke aliran
darah dan cenderung berlaku lebih cepat daripada ketika diberikan oleh rute lain.

1.3 topikal
Pemberian obat secara topikal adalah pemberian obat secara lokal dengan
cara mengoleskan obat pada permukaan kulit atau membran area mata, hidung,
lubang telinga, vagina dan rectum. Obat yang biasa digunakan untuk pemberian
obat topikal pada kulit adalah obat yang berbentuk krim, lotion, atau salep. Hal ini
dilakukan dengan tujuan melakukan perawatan kulit atau luka, atau menurunkan
gejala gangguan kulit yang terjadi (contoh : lotion).
Pemberian obat topikal pada kulit terbatas hanya pada obat-obat tertentu
karena tidak banyak obat yang dapat menembus kulit yang utuh. Keberhasilan
pengobatan topical pada kulit tergantung pada: umur, pemilihan agen topikal yang
tepat, lokasi dan luas tubuh yang terkena atau yang sakit, stadium penyakit,
konsentrasi bahan aktif dalam vehikulum, metode aplikasi, penentuan lama
pemakaian obat, penetrasi obat topical pada kulit.
Pemberian obat topikal pada kulit terbatas hanya pada obat-obat tertentu
karena tidak banyak obat yang dapat menembus kulit yang utuh. Keberhasilan
pengobatan topical pada kulit tergantung pada: umur, pemilihan agen topikal yang
tepat, lokasi dan luas tubuh yang terkena atau yang sakit, stadium penyakit,
konsentrasi bahan aktif dalam vehikulum, metode aplikasi, penentuan lama
pemakaian obat, penetrasi obat topical pada kulit.
Obat yang biasa digunakan untuk pemberian obat topikal pada kulit adalah
obat yang berbentuk krim, lotion, sprei atau salep. Hal ini dilakukan dengan tujuan
melakukan perawatan kulit atau luka, atau menurunkan gejala gangguan kulit yang
terjadi (contoh : lotion). Krim, dapat mengandung zat anti fungal (jamur),
kortikosteorid, atau antibiotic yang dioleskan pada kulit dengan menggunakan kapas
lidi steril.
Krim dengan antibiotic sering digunakan pada luka bakar atau ulkus
dekubitus. Krim adalah produk berbasis air dengan efek mendinginkan dan emolien.
Mereka mengandung bahan pengawet untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan
jamur, tetapi bahan pengawet tertentu dapat menyebabkan sensitisasi dan
dermatitis kontak alergi.Krim kurang berminyak dibandingkan salep dan secara
kosmetik lebih baik ditoleransi.
Sedangkan salep, dapat digunakan untuk melindungi kulit dari iritasi atau
laserasi kulit akibat kelembaban kulit pada kasus inkontenansia urin atau fekal.
Salep tidak mengandung air, mereka adalah produk berbasis minyak yang dapat
membentuk lapisan penutup diatas permukaan kulit yang membantu kulit untuk
mempertahankan air. Salep nenghidrasi kulit yang kering dan bersisik serta
meningkatkan penyerapan zat aktif, dan karena itu berguna dalam kondisi kulit
kering kronis. Salep tidak mengandung bahan pengawet.
Losion adalah suspensi berair yang dapat digunakan pada permukaan tubuh
yang luas dan pada daerah berbulu.Losion memiliki efek mengeringkan dan
mendinginkan.
Obat transdermal adalah obat yang dirancang untuk larut kedalam kulit untuk
mendapatkan efek sistemik.Tersedia dalam bentuk lembaran.Lembaran obat
tersebut dibuat dengan membran khusus yang membuat zat obat menyerap
perlahan kedalam kulit. Lembaran ini juga dapat sekaligus mengontrol frekuensi
penggunaan obat selama 24 ± 72 jam.
Tujuan pemberian pada kulit, yaitu :
- Untuk mempertahankan hidrasi
- Melindungi permukaan kulit
- Mengurangi iritasi kulit
- Mengatasi infeksi
Pemberian obat pada mata dilakukan dengan cara meneteskan obat mata
atau mengoleskan salep mata. Persiapan pemeriksaan struktur internal mata
dilakukan dengan cara mendilatasi pupil, untuk mengukur refraksi lensa dengan cara
melemahkan otot lensa, kemudian dapat juga digunakan untuk menghilangkan iritasi
mata
Obat mata biasanya berbentuk cairan dan ointment/ obat salep mata yang
dikemas dalam tabung kecil.Karena sifat selaput lendir dan jaringan mata yang lunak
dan responsif terhadap obat, maka obat mata biasanya diramu dengan kakuatan
yang rendah misalnya 2 %.
Pemberian obat pada telinga dilakukan dengan cara memberikan tetes telinga
atau salep. Obat tetes telinga ini pada umumnya diberikan pada gangguan infeksi
telinga, khususnya pada telinga tengah (otitis eksternal) dan dapat berupa obat
antibiotik.
Pemberian obat pada hidung dilakukan dengan cara memberikan tetes
hidung yang dapat dilakukan pada seseorang dengan keradangan hidung (rhinitis)
atau nasofaring.
Bentuk-bentuknya :
a. Tetes hidung (nasal drops).ditujukan untuk bayi, anak-anak dan
dewasa. contohnya Breathy, Alfrin, Iliadin, Otrivin.
b. Semprot hidung (nasal spray).ditujukan untuk orang dewasa. contohnya
Afrin, Iliadin, Otrivin.
c. Semprot hidung dengan dosis terukur (metered-dose nasal spray),
ditujukan untuk anak-anak usia tidak kurang dari 4 tahun dan dewasa. contohnya
Beconase, Flixonase, Nasacort AQ, Nasonex, Rhinocort Aqua.

2. MM Farmakokinetik Obat
2.1 Mekanisme
2.1.1 Absorbsi
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh,
melalui jalurnya hingga masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Metode absorbsi
Transport pasif
• Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi
obat dapat berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah
dengan konsentrasi rendah.
• Terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang membran dan
berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membran seimbang.

Transport Aktif
• Transport aktif membutuhkan energi untuk menggerakkan obat dari daerah
dengan konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi.
Kecepatan absorbsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit
sel absorpsi terjadi cepat obat segera mencapai level pengobatan
dalam tubuh.

Diperlambat oleh nyeri dan stres


• Nyeri dan stres mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran
cerna, retensi gaster Makanan tinggi lemak
• Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan
memperlambat waktu absorpsi obat
Faktor bentuk obat
• Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release,
dll)
Kombinasi dengan obat lain
• Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat
tergantung jenis obat.
Faktor yang mempengaruhi penyerapan:
• Aliran darah ke tempat absorpsi
• Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
• Waktu kontak permukaan absorpsi
Bioavailabilitas adalah fraksi obat yang diberikan yang sampai ke sirkulasi
sistemik dalam bentuk kimia aslinya.
Faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas
• First-pass metabolism hepar (metabolisme lintas pertama hepar)
• Solubilitas obat
• Ketidakstabilan kimiawi
• Formulasi obat
Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke
seluruh tubuh. Hepar memetaboliisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi.
Hal ini yang disebut dengan efek first-pass.
Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat menjadi inaktif sehingga
menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sitemik dosis obat yang
diberikan harus banyak.
2.1.2 distribusi
Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke
jaringan dan cairan tubuh.
Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah, segera terdistribusi ke orga berdasarkan
jumlah aliran darahnya. Organ dengan aliran darah terbesar:
– jantung
– Hepar
– Ginjal
Distribusi ke organ lain kulit, lemak dan otot lebih lambat
Permeabilitas Kapiler
Tergantung:
– Struktur kapiler
– Struktur Obat
Ikatan dengan protein
Obat beredar di seluruh tubuh berkontak dengan protein> Dapat terikat atau
bebas.
Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapt bekerja.Hanya obat bebas
yang dapat memberikan efek.
Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat terikat protein

2.1.3 metabolisme
Metabolisme /biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat
sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh.
Metabolisme terjadi di:
- Hepar
- Ginjal
- Membran usus
Faktor yang mempengaruhi metabolisme
Kondisi Khusus
• Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. penyakit hepar
seperti sirosis.
Pengaruh Gen
• Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme
obat dengan cepat, sementara yang lain lambat
Pengaruh Lingkungan
• Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya:
– Rokok
– Keadaan stress
– Penyakit lama
– Operasi
– Cedera
Usia
• Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewa vs orangtua
2.1.4 ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar
obat dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat juga dapat dibuang melalui
paru-paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktus intestinal.

3. MM Farmakodinamik Obat
3.1 mekanisme kerja
Farmakodinamik adalah bagian dari ilmu farmakologi yang mempelajari tentang
bagaimana suatu obat (bahan aktif) bekerja sehingga menghasilkan efek biologis.
Dengan kata lain bahwa farmakodinamik adalah cabang dari ilmu farmakologi yang
mempelajari apa yang dilakukan obat terhadap tubuh.
Efek suatu obat dapat terjadi jika molekul obat berikatan dengan suatu molekul
spesifiknya, sehingga menyebabkan reaksi biokimiawi dan menghasilkan efek
biologis.
Molekul spesifik tersebut merupakan binding site yang biasa disebut target obat.
Interaksi antara molekul obat dan sel mendasari penjelasan molekuler interaksi obat
dengan reseptornya. Paul Ehrlich menyatakan ‘Corpora non agunt nisi fixata’, yang
berarti bahwa suatu obat tidak akan bekerja sampai dia berikatan (Rang, et al.,
2011).
Mekanisme kerja obat secara umum dapat digolongkan menjadi 4 macam:
 Obat yang bekerja tidak melalui target spesifik Contoh : antasida, anestesi
umum, osmotik diuretik.
 Obat yang bekerja dengan cara mengubah sistem transport. Contoh : kalsium
antagonis, kardiak glikosida, obat anestesi local.
 Mengubah fungsi enzim. Contoh : COX inhibitor, MAO inhibitor, AChE
inhibitor
 Obat yang bekerja pada reseptor Contoh: hormone, neurotransmiter.
Target dari obat dapat dikategorikan menjadi 4macam, yaitu reseptor, kanal ion,
enzim, dan transporter (Rang, et al., 201 1).
Secara umum, bagian spesifik yang berikatan dengan obat berupa protein. Namun
selalu ditemukan pengecualian, misalnya : antibiotic dan antitumor yang dapat
berikatan langsung pada DNA, obat osteoporosis (biophosphonat) yang berikatan
dengan garam kalsium pada matriks tulang (Rang & Dale, 2008), interaksi dengan
molekul kecil misalnya ikatan logam berat dengan metalloproteinase.
3.2 Reseptor
Reseptor adalah komponen makro molekul dari sel yang dapat mengenali dan
berinteraksi dengan substansi endogen untuk menghasilkan respon biologis.
Sedangkan obat atau substansi eksogen lainnya akan berikatan dengan ‘drug
target’ nya untuk dapat memberikan respon biologis. Drug target atau reseptor ini
umumnya berupa protein (Rang & Dale, 2011; Katzung, et al., 2015).
Molekul yang dapat berperan sebagai reseptor :
 Enzim (golongan tirosin kinase)
 Membran protein (glikoprotein, lipoprotein)
 Asam nukleat (reseptor antibiotik)
 Kompleks polisakarida
Karakteristik dari Reseptor
Memiliki spesifisitas
Reseptor tertentu hanya akan berikatan dengan reseptor tertentu saja atau lebih
dikenal dengan mekanisme ‘Lock and key’.

Obat A memiliki strukturyang kompatibel terhadap reseptornya sehingga dapat


menimbulkan aksi. sedangkan obat B tidak dapat berikatan dengan reseptor
tersebut karena memiliki struktur yang berbeda.
 Menghasilkan respon yang selektif
Oleh karena spesifitasnya, maka respon yang dihasilkan oleh ikatan reseptor-
substrat (ligan) juga spesifik.
 Memiliki sensitifitas
Diperlukan sejumlah ligan/obat tertentu untuk dapat menghasilkan respon yang
diinginkan. Tidak ada obat yang sepenuhnya spesifik dalam aksinya, pada beberapa
kasus peningkatan dosis dapat mempengaruhi target lain sehingga menimbulkan
efek samping (Katzung, et al., 2010)
Tipe Protein pada Reseptor
 Regulator : memperantarai aksi endogenous ligan Misalnya : hormone.
Neurotransmiter autokoid
 Enzim : dalam mekanismenya berperan menghambat maupun aktivasi
Misalnya : dihidrofolase reductase, reseptor metotreksat
 Transport : memperantarai transport ion Misalnya : Na+/K_-ATPase pada
digitalis glikosida
 Struktural : terintegrasi dalam strultur sel Misalnya : tubulin (reseptor untuk
colchicine)
Peran reseptor sangat penting untuk mengetahui respon suatu obat, terkait hal
berikut:
 Reseptor sangat menentukan hubungan kuantitatif antara dosis atau
konsentrasi obat dengan efek farmakologis. Afinitas reseptor untuk berikatan
dengan obat ditentukan konsentrasi obat untuk membentuk kompleks
liganreseptor yang sesuai. Jumlah total reseptor membatasi efek maksimal
yang dihasilkan.
 Reseptor berperan pada sensitifitas obat. Ukuran, bentuk dan muatan
molekul menentukan apakan obat tersebut akan berikatan dengan reseptor
spesifiknya. Perubahan struktur kimia obat secara drastis dapat
meningkatkan atau menurunkan afinitas obat baru untuk jenis reseptor yang
berbeda sehingga akan menyebabkan perubahan efek terapi maupun efek
toksik.
 Reseptor memediasi peran agonis maupun antagonis. Agonis maupun
antagonis bekerja pada respon tertentu baik pada reseptor yang sama
(kompetitif agonis) maupun bekerja pada reseptor yang berbeda (agonis non
kompetitif) (Rang, et al., 2011).

3.3 transmisi sinyal

3.4 interaksi reseptor dan tubuh

Jika dua atau lebih obat diberikan dalan waktu bersamaan maka dapat terjadi
interaksi yang berupa (Bijnsdrop, et al., 2011) :
 Addictive effect : jika respon dari obat obat tersebut mengikuti rumus
penjumlahan.
 Synergystic effect : jika respon dari obat-obat tersebut lebih besar dari efek
tunggalnya, tetapi lebih kecil dari efek penambahannya.
 Antagonistic effect : jika respon obat saling menghambat atau berlawanan.
3.5 antagonis obat
Dua obat atau lebih jika dibersamaan efek suatu obat dapat berupa efek terapi
yang diharapkan maupun efek yang tidak diharapkan (efek clamping dan efek
toksik).
Berbagai efek tersebut diperantarai ikatan ligan dengan reseptornya. Interaksi
antara ligan dengan reseptornya dapat dikategorikan menjadi :
a. Agonis
Suatu obat atau endogenous ligan yang berikatan dengan resptornya. Ikatan
yang terjadi antara agonis dengan reseptornya yang menghasilkan suatu efek
biologis.
b. Antagonis
Dua obat atau ligan yang mempunyai reseptor yang sama, sehingga akan
menduduki (meng-akupansi) reseptor yang sama. Misalnya, atropine menduduki
reseptor asetilkolin sehingg amenghalangi asetilkolin berikatan dengan reseptornya.
Kondisi ini mengakibatkan respon asetilkolih terhambat atau berkurang.
Peningkatan respon asetilkolin dapat ditingkatkan dengan menambahkan
dosis asetilkolin, ikatan antagonis bisa bersifat reversible (dapat dipengaruhi
konsentrasi agonisnya) ataupun dapat bersifat irreversible atau pseudoirreversible
dengan ikatan yang sangat kuat.
Obat yang berikatan dengan reseptor yang sama dengan agonis tetapi tidak
mempengaruhi atau menghambat ikatan agonis bekerja secara allosteric yang akan
meningkatkan atau menghambat aksi agonis. Sedangkan obat yang menghambat
ikatan agonis dengan reseptrnya disebut inhibitor (Katzung, et al., 2015)

Anda mungkin juga menyukai