Anda di halaman 1dari 18

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penyalahgunaan Narkoba

Narkotika dan Obat-obatan terlarang (NARKOBA) atau Narkotik,

Psikotropika, dan Zat Aditif (NAPZA) adalah bahan atau zat yang dapat

mempengaruhi kondisi kejiwaan atau psikologi seseorang (pikiran, perasaan, dan

perilaku) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Narkotika

menurut UU RI No 22/1997, yaitu zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan

tanaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri,

dan dapat menimbulkan ketergantungan. Bahaya menyalahgunakan narkoba sangat

besar, bukan hanya merusak tubuh, tetapi juga masa depan. Penyalahgunaan narkoba

mengakibatkan rusaknya organ tubuh selain itu juga menimbulkan penyakit yang

berbahaya sulit untuk disembuhkan, seperti kanker, paru, HIV/AIDS, hepatitis,

bahkan penyakit jiwa.

(http://dedihumas.bnn.go.id/read/section/artikel/2014/03/10/929/pengertian-narko ba,

diakses tanggal 22 Juli 2014, pukul 00.07 WIB)

Penyalahgunaan narkoba adalah penggunaan narkoba yang bukan untuk

tujuan pengobatan dan penelitian, serta digunakan tanpa mengikuti aturan atau dosis

yang benar, sehingga dapat menyebabkan gangguan kesehatan fisik, gangguan

13

Universitas Sumatera Utara


kesehatan jiwa, dan kehidupan sosialnya. Ada tiga faktor (alasan) yang dapat

dikatakan sebagai pemicu seseorang dalam penyalahgunakan narkoba. Ketiga faktor

tersebut adalah faktor individu, faktor lingkungan, dan faktor kesediaan narkoba itu

sendiri.

Pertama, faktor individu, diakibatkan rasa penasaran yang menimbulkan

keinginan untuk mencoba, waktu luang atau situasi dan kesempatan untuk

menggunakan narkoba dan tekanan atau jebakan atau rayuan dari pihak pengedar.

Kedua, faktor lingkungan, ada beberapa hal yang mempengaruhi seseorang

menggunakan narkoba. Faktor itu antara lain pengertian yang salah bahwa mencoba

sekali-sekali tidak masalah, ajakan teman sebaya dan tawaran gratis untuk memakai

serta lingkungan yang mendukung kebebasan memakai atau mengedarkan narkoba.

Ketiga, faktor ketersediaan narkoba, di mana narkoba semakin mudah untuk

didapatkan dan dibeli.

Hukuman bagi penyalahgunaan narkotika telah diatur secara khusus oleh UU

No.22 tahun 1997 tentang narkotika. Dalam pasal-pasal tersebut, UU narkotika

dijelaskan ketentuan pidana dan jenis pidana yang diberikan pada pihak yang

menyalahgunakan narkotika secara ilegal. Adapun sanksi yang diberikan berupa

pidana penjara dan denda.

2.2 Pengertian Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi, maka dalam masa remaja seakan-akan

anak berpijak pada dua kutub, yaitu masa anak yang akan ditinggalkan dan masa

14

Universitas Sumatera Utara


dewasa yang akan dimasuki. Masa remaja juga mempunyai ciri-ciri tersendiri yaitu

adanya perubahan-perubahan yang menonjol baik dalam jasmani dan rohani dalam

psikisnya. Perubahan dalam segi jasmani, pada masa ini mulai bekerjanya hormon-

hormon seksual, sehingga anak, misalnya anak wanita mulai menstruasi dan anak

laki-laki mengeluarkan sperma dan sebagainya.

Aristoteles dan Walgito (dalam Puspita Sari : 2008) membagi umur dan masa

dalam perkembangan manusia sebagai berikut:

1. Masa anak kecil, masa bermain : umur 0 – 7 tahun

2. Masa anak, masa belajar : umur 7 – 14 tahun

3. Masa remaja/masa peralihan kemasa dewasa : umur 14 – 21 tahun

Remaja dalam kamus bahasa Indonesia diartikan dengan mulai dewasa, sudah

sampai pada untuk kawin. Istilah remaja dalam bahasa Indonesia disebut juga

pubertas. Pubertas berasal dari bahasa Inggris, yaitu dari kata puberty yang

mempunyai arti remaja. Dikatakan bahwa remaja adalah manusia pada usia tertentu

yang sedang dinamik, sehingga dalam usia tersebut remaja banyak dihadapkan oleh

masalah yang timbul baik itu berasal dari dirinya sendiri maupun dari lingkungannya.

Terjadinya pemakaian narkotika di kalangan remaja sangat banyak

disebabkan oleh pergaulan yang terjadi di kalangan remaja itu sendiri. Hal ini

disebabkan karena dalam usia remajalah seseorang biasanya ingin mengetahui

sesuatu, dengan jalan mencoba-coba sesuatu yang baru tanpa memikirkan akibatnya

kelak. (http://elibrary.ub.ac.id/bitstream/123456789/20405/1/ Pemidanaan-Terhadap-

15

Universitas Sumatera Utara


Penyalahgunaan-Narkotika-di-Kalangan-Remaja-dan-Upa ya-Penanggulangan-oleh-

Polri.pdf, diakses tanggal 29 November 2014, pkl 20.35 WIB)

2.3 Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang adalah perilaku dari para warga masyarakat yang

dianggap tidak sesuai dengan kebiasaan, tata aturan, atau norma sosial yang berlaku.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa seseorang berperilaku menyimpang apabila

menurut anggapan sebagian besar masyarakat perilaku atau tindakan tersebut di luar

kebiasaan, adat-istiadat, aturan, nilai-nilai, atau norma sosial yang berlaku. Dengan

kata lain, penyimpangan merupakan segala macam pola perilaku yang tidak berhasil

menyesuaikan diri (conformity) terhadap kehendak masyarakat.

Beberapa contoh perilaku orang-orang yang dianggap menyimpang adalah

suka minum-minuman keras atau terlibat narkotika, disebut juga penyimpangan

tunggal, atau bila seseorang mengembangkan berbagai perilaku yang melanggar

sejumlah aturan atau norma yang berlaku, misalnya selain berprofesi sebagai pencuri

atau perampok, mereka acap kali juga seorang alkoholik, gemar melacur, dan suka

menggunakan tindak kekerasan. Tindakan tersebut dapat dikatakan sebagai

penyimpangan jamak. (Narwoko, 2013:98)

16

Universitas Sumatera Utara


2.3.1 Bentuk Perilaku Menyimpang

Perilaku menyimpang dapat dibedakan atas dua bentuk, yakni:

1. Perilaku Menyimpang Primer (Primary Deviance)

Penyimpangan yang dilakukan seseorang dimulai dari penyimpangan-

penyimpangan kecil yang mungkin tidak disadarinya. Penyimpangan ini

dialami oleh seseorang mana kala ia belum memiliki konsep sebagai

penyimpang atau tidak menyadari jika perilakunya menyimpang. Bentuk

penyimpangan primer ini biasanya dialami oleh seseorang yang tidak

menyadari bahwa perilakunya dapat menjurus ke arah penyimpangan yang

lebih berat.

2. Perilaku Menyimpang Sekunder (Secondary Deviance)

Penyimpangan yang lebih berat akan terjadi apabila seseorang sudah

sampai pada tahap Secondary Deviance. Tindakan menyimpang yang

berkembang ketika perilaku dari si penyimpang itu mendapat penguatan

(reinforcement) melalui keterlibatannya dengan orang atau kelompok yang

juga menyimpang. Bentuk penyimpangan sekunder itu juga berasal dari

hasil penguatan penyimpangan primer. (Narwoko, 2013:106)

2.4 Teori Kontrol Sosial

Penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan kontrol atau pengendalian

sosial. Teori ini dibangun atas dasar pandangan bahwa setiap manusia cenderung

17

Universitas Sumatera Utara


untuk tidak patuh pada hukum atau memiliki dorongan untuk melakukan pelanggaran

hukum. Teori kontrol sosial pada dasarnya beranggapan bahwa individu dalam

masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama yakni berperilaku menyimpang

dan tidak menyimpang. Benar dan salahnya perilaku manusia sangat bergantung pada

kondisi masyarakat serta kesepakatan masyarakat atas standard perilaku manusia itu

sendiri yang ada dalam masyarakat yang bersangkutan.

Teori kontrol sosial yang dikembangkan oleh Nye (dalam Syamsi 2008:135),

sebagai pelopor teori kontrol mengungkapkan bahwa ada kekuatan pendorong pada

diri manusia untuk melakukan deviasi. Nye semata-mata mendasarkan diri pada teori

S Freud yang mengatakan bahwa manusia memiliki instink hewaniah menjadi satu-

satunya pendorong. Bahwa semua manusia memiliki kecenderungan untuk

melakukan pelanggaran norma, akan tetapi tidak semua melakukan, karena ada

kontrol sosial. Masyarakat melakukan kontrol sosial untuk menahan kecenderungan

terjadinya deviasi sehingga individu menjadi patuh terhadap negara. Jika kontrol

sosial lemah, maka deviasi akan terjadi. Ada beberapa tipe atau bentuk teori kontrol

sosial, yaitu (1) Kontrol internal yang berjalan secara langsung, sosialisasi melalui

nilai-nilai, norma oleh orang tua kepada anak-anaknya dan menginternalisasikan

menjadi kata hatinya. (2) Kontrol internal tidak langsung, apabila hubungan afektif

antara orang tua atau orang dewasa dan anak-anak sudah merupakan kontrol tidak

langsung. (3) Kontrol eksternal yang langsung, dipercayakan pada institusi-institusi

seperti para guru, polisi, jaksa, hakim, penegak hukum yang lain. Misalnya dapat

berupa ancaman, ejekan, penjara atau pengucilan.

18

Universitas Sumatera Utara


(http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/penelitian/Dr.%20Ibnu%20Syamsi,%20%20

M.Pd./B19%20%20Sosiologi%20Deviasi.pdf, diakses pada tanggal 19 November

2014, pkl 23.52 WIB).

Nye memandang hubungan individu secara sosiologik tentang bagaimana

masyarakat melakukan kontrol sosial terhadap individu (faktor eksternal). Sementara

itu, Hirschi memandang hubungan individu dengan individu lain secara psikologik

bagaimana individu mengikatkan diri dengan masyarakat. Ia mengajukan beberapa

proposisi teoritisnya, yaitu:

1. Bahwa berbagai bentuk pengingkaran terhadap aturan-aturan sosial adalah

akibat dari kegagalan mensosialisasi individu warga masyarakat untuk

bertindak konform terhadap aturan atau tata tertib yang ada;

2. Penyimpangan dan bahkan kriminalitas atau perilaku kriminal, merupakan

bukti kegagalan kelompok-kelompok sosial konvensional untuk mengikat

individu agar tetap konform, seperti: keluarga, sekolah, atau institusi

pendidikan dan kelompok-kelompok dominan lainnya;

3. Setiap individu seharusnya belajar untuk konform dan tidak melakukan

tindakan menyimpang atau kriminal;

4. Kontrol internal lebih berpengaruh daripada kontrol eksternal.

Ada empat unsur utama di dalam kontrol sosial internal, yaitu attachement

(kasih sayang); commitment (tanggung jawab); involvement (keterlibatan atau

partisipasi), dan believe (kepercayaan/keyakinan).

19

Universitas Sumatera Utara


Attachment atau kasih sayang adalah sumber kekuatan yang muncul dari hasil

sosialisasi di dalam kelompok primernya, sehingga individu punya komitmen kuat

untuk patuh pada aturan.

Commitment atau tanggung jawab yang kuat pada aturan dapat memberikan

kerangka kesadaran tentang masa depan. Misalnya, adanya kesadaran bahwa masa

depannya akan suram apabila ia melakukan tindakan menyimpang.

Involvement, artinya dengan adanya kesadaran tersebut, maka individu akan

terdorong berperilaku partisipatif dan terlibat di dalam ketentuan-ketentuan yang

telah ditetapkan oleh masyarakat.

Believe atau kepercayaan, kesetiaan, dan kepatuhan pada norma-norma sosial

atau aturan masyarakat pada akhirnya akan tertanam kuat pada diri seseorang dan itu

berarti aturan sosial bagi setiap individu telah semakin kokoh. (Setiadi, 2011:241-

243)

2.5 Sosialisasi

Sosialisasi sebagai proses dimana seseorang memperoleh pengetahuan,

kemampuan dan dasar yang membuat mereka mampu atau tidak mampu menjadi

anggota dari suatu kelompok. Pengertian ini memandang sosialisasi sebagai suatu

proses belajar dimana individu belajar dan mendapatkan nilai dari kelompok-

kelompok yang dimasukinya. Sosialisasi juga merupakan suatu kemampuan individu

untuk dapat berinteraksi secara baik dengan lingkungan dan memperoleh nilai-nilai

yang sesuai dengan lingkungannya. Sosialisasi ini dipengaruhi oleh lingkungan

dimana seseorang itu berada

20

Universitas Sumatera Utara


Melalui proses sosialisasi, setiap individu belajar mengetahui dan memahami

tentang tingkah laku mana yang harus dilakukan dan yang tidak harus dilakukan di

dalam masyarakat, dan mengetahui peranan masing-masing. Jadi, ketertiban sosial itu

tidak terwujud dengan sendirinya (secara kodrati), tapi harus ada proses transfer nilai

dan norma sosial melalui proses sosialisasi, serta melakukan kontrol sosial.

(Narwoko, 2013:74)

Setiap individu dalam masyarakat yang berbeda, mengalami proses sosialisasi

yang berbeda pula, karena proses sosialisasi banyak ditentukan oleh susunan

kebudayaan dan lingkungan sosial yang bersangkutan. Jadi, sosialisasi dititikberatkan

soal individu dalam kelompok melalui pendidikan dan perkembangannya. Oleh

karena itu, proses sosialisasi melahirkan kepribadian seseorang terhadap diri sendiri

dan memandang adanya pribadi orang lain di luar dirinya. (Hartomo, 2008:117)

Tanpa mengalami proses sosialisasi yang memadai, maka nyaris mustahil

individu dapat hidup sewajarnya dalam masyarakat karena ia takkan memiliki

pemahaman mengenai nilai dan norma sosial yang berlaku sehingga pada akhirnya

mengalami kesulitan menyesuaikan pola perilakunya.

2.5.1 Agen Sosialisasi

Agen sosialisasi adalah pihak-pihak yang membantu seorang individu

menerima nilai-nilai atau tempat di mana seorang individu belajar terhadap

segala sesuatu yang kemudian menjadikannya dewasa. Ada beberapa media

sosialisasi yang utama, yaitu keluarga, kelompok bermain, sekolah, dan media

massa. (Narwoko, 2013:92)

21

Universitas Sumatera Utara


2.5.1.1 Keluarga

Pada awal kehidupan manusia, agen sosialisasi terdiri atas orang

tua dan saudara kandung. Namun, dalam masyarakat yang mengenal

sistem keluarga luas, agen sosialisasi juga mencakup paman, bibi,

kakek, dan nenek. Keluarga merupakan institusi paling penting

pengaruhnya terhadap proses sosialisasi manusia. Hal ini

dimungkinkan karena berbagai kondisi yang dimiliki oleh keluarga.

Pertama, keluarga merupakan kelompok primer yang selalu tatap

muka di antara anggotanya, sehingga dapat selalu mengikuti

perkembangan anggota-anggotanya. Kedua, orang tua mempunyai

kondisi yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya, sehingga

menimbulkan hubungan emosional. Ketiga, adanya hubungan sosial

yang tetap, maka dengan sendirinya orang tua mempunyai peranan

yang penting terhadap proses sosialisasi anak. (Narwoko, 2013:92)

Pola sikap, perilaku, dan nilai-nilai yang ditanamkan orang tua

kepada anak melalui pengasuhannya tersebut merupakan landasan

fundamental bagi perkembangan kepribadian maupun tingkah laku

anak selanjutnya. Orang tua juga berperan membentuk sistem interaksi

yang intim dan berlangsung lama ditandai oleh loyalitas pribadi, cinta

kasih, dan hubungan yang penuh kasih sayang. Peran orang tua adalah

membenahi mental anak.

22

Universitas Sumatera Utara


2.5.1.2 Kelompok Bermain

Kelompok bermain merupakan agen sosialisasi yang

pengaruhnya besar dalam membentuk pola-pola perilaku seseorang,

baik yang berasal dari kerabat, tetangga, maupun teman sekolah. Di

dalam kelompok bermain, individu akan mempelajari berbagai

kemampuan baru yang berbeda dengan apa yang mereka pelajari dari

keluarganya, mempelajari nilai-nilai dan norma-norma, kultural, peran,

dan semua persyaratan lainnya yang dibutuhkan individu untuk

memungkinkan partisipasinya efektif di dalam kelompoknya.

(Narwoko, 2013:94)

2.5.1.3 Sekolah

Di sini seseorang mempelajari hal baru yang belum dipelajarinya

dalam keluarga ataupun kelompok bermain. Pendidikan formal

mempersiapkannya untuk penguasaan peran-peran baru di kemudian

hari, di kala seseorang tidak tergantung lagi pada orangtuanya. Sekolah

merupakan suatu peralihan antara keluarga dan masyarakat. Sekolah

memper- kenalkan aturan baru yang diperlukan bagi anggota

masyarakat, dan aturan baru tersebut sering berbeda dan bahkan dapat

bertentangan dengan aturan yang dipelajari selama sosialisasi

berlangsung di rumah. (Sunarto, 2004:25)

Melalui lembaga pendidikan ini, individu diasah kecerdasan dan

keahliannya. Dalam lingkungan pendidikan, sosialisasi lebih diarahkan

23

Universitas Sumatera Utara


pada penanaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan moralitas. Disinilah

seorang peserta didik dikenalkan dengan nilai dan norma yang bersifat

resmi. (Setiadi, 2011: 179)

2.5.1.4 Media Massa

Media massa merupakan media sosialisasi yang kuat dalam

membentuk keyakinan-keyakinan baru atau mempertahankan

keyakinan yang ada. Proses sosialisasi melalui media massa, ruang

lingkupnya lebih luas dari media sosialisasi yang lainnya. Media massa

yang terdiri dari media cetak (surat kabar, majalah) maupun elektronik

(radio, televisi, film, internet) merupakan bentuk komunikasi yang

menjangkau sejumlah besar orang. Iklan-iklan yang ditayangkan media

massa, misalnya, menyebabkan terjadinya perubahan pola konsumsi,

bahkan gaya hidup warga masyarakat. (Narwoko, 2013:96)

Pesan-pesan yang ditayangkan melalui media massa dapat

mengarahkan khalayak ke arah perilaku prososial dan antisosial,

menyampaikan informasi terkini, menyebarluaskan nilai-nilai budaya

yang dimiliki masyarakat, memperkenalkan masyarakat dengan nilai

dan norma yang dianut bangsa-bangsa atau masyarakat di belahan

dunia lain sehingga dapat membantu terjadinya perubahan sosial.

24

Universitas Sumatera Utara


2. 6 Norma-norma Sosial

Nilai dan norma tidak dapat dipisahkan, nilai dan norma selalu berkaitan.

Bedanya secara umum, norma mengandung sanksi yang relatif tegas terhadap

pelanggarnya. Norma lebih banyak penekanannya sebagai peraturan-peraturan yang

selalu disertai oleh sanksi-sanksi yang merupakan faktor pendorong bagi individu

ataupun kelompok masyarakat untuk mencapai ukuran nilai-nilai sosial tertentu yang

dianggap terbaik untuk dilakukan. (Basrowi, 2005:88)

Setiap masyarakat memiliki sistem norma sebagai pedoman setiap anggota

masyarakat untuk berperilaku sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh atau

sebagian besar anggota masyarakat tersebut. Norma adalah aturan-aturan yang berisi

petunjuk mengenai tingkah laku yang boleh atau tidak boleh dilakukan manusia, dan

sifatnya mengikat. Manusia wajib menaati norma yang berlaku di dalam masyarakat.

Norma sangat diperlukan untuk memberi pedoman bagi masyarakat dalam

bertingkahlaku agar tercipta ketertiban, ketenteraman, keamanan, dan keharmonisan

dalam masyarakat. Pada awalnya, norma-norma di masyarakat terbentuk secara tidak

disengaja. Namun, lama-kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Norma-

norma yang ada di dalam masyarakat memiliki kekuatan yang berbeda-beda. Ada

norma yang lemah, yang sedang sampai yang terkuat daya ikatnya. Pada yang

terakhir, umumnya anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya.

(Soekanto, 2009:174)

Untuk dapat membedakan kekuatan norma-norma tersebut, maka secara

sosiologis dikenal ada empat bagian norma-norma sosial, yaitu cara (usage),

kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores), adat-istiadat (custom), akan tetapi oleh

25

Universitas Sumatera Utara


sosiolog lainnya ditambah satu lagi, yaitu hukum (laws), sehingga keberadaannya

menjadi lima jenis.

2.6.1 Cara (Usage)

Norma yang disebut cara hanya mempunyai kekuatan yang dapat

dikatakan sangat lemah dibandingkan dengan norma yang lainnya. Cara lebih

banyak terjadi pada hubungan-hubungan antar individu dengan individu dalam

kehidupan masyarakat. Jika terjadi pelanggaran terhadap norma tersebut,

seseorang hanya mendapatkan sanksi-sanksi yang ringan, seperti berupa

cemoohan atau celaan dari individu lain yang dihubunginya. Perbuatan

seseorang yang melanggar norma (dalam tingkatan cara) tersebut dianggap

orang lain sebagai perbuatan yang tidak sopan, misalnya makan berdecak,

makan berdiri, dan lain-lain. (Abdulsyani, 2007: 55)

2.6.2 Kebiasaan (Folkways)

Folkways dimaksudkan untuk menyebutkan seluruh norma-norma sosial

yang terlahir dari adanya pola-pola perilaku yang selalu diikuti oleh orang-

orang kebanyakan dalam kehidupan sehari-harinya karena dipandang sebagai

suatu hal yang lazim. Walaupun folkways itu semula merupakan sesuatu

kebiasaan dan kelaziman belaka, namun karena dikerjakan secara berulang-

ulang maka berangsur-angsur terasa kekuatannya sebagai hal yang bersifat

standar dan wajib dijalani.

26

Universitas Sumatera Utara


Apabila di dalam segala hal orang mencoba menyimpang dari norma-

norma folkways, pastilah dia akan tersisih dari kontak-kontak sosial dan

dipandang sebagai orang yang aneh, eksentrik, dan sulit dimengerti. Kalau

sudah tersisih demikian, pasti dia akan menghadapi kehidupan sosial yang agak

sulit, baik dalam kehidupan fisiknya maupun dalam kehidupan mental dan

rohaninya. Sanksi-sanksi folkways itu relatif tidak berat, dan sifatnya tidak

formal, terencana, dan teratur, melainkan bersifat informal, seperti berupa

sindiran, pergunjingan, atau olok-olok. (Narwoko, 2013:48-50)

2.6.3 Tata Kelakuan (Mores)

Tata kelakuan adalah suatu kebiasaan yang diakui oleh masyarakat

sebagai norma pengatur dalam setiap berperilaku. Tata kelakuan lebih

menunjukkan fungsi sebagai pengawas kelakuan oleh kelompok terhadap

anggota-anggotanya. Tata kelakuan memiliki kekuatan pemaksa untuk berbuat

atau tidak berbuat sesuatu, jika terjadi pelanggaran, maka dapat mengakibatkan

jatuhnya sanksi, berupa pemaksaan terhadap pelanggarnya untuk kembali

menyesuaikan diri dengan tata kelakuan umum sebagaimana telah ditetapkan.

Bentuk hukumannya biasanya dikucilkan oleh masyarakat dari pergaulan,

bahkan mungkin terjadi pengusiran dari tempat tinggalnya. (Basrowi, 2005:89)

Mores itu dipandang lebih esensial bagi terjaminnya kesejahteraan

masyarakat. Oleh karena itu selalu dipertahankan oleh ancaman-ancaman

sanksi yang jauh lebih keras. Mores yang dirumuskan dalam bentuk larangan

disebut tabu, contohnya larangan perkawinan antara orang-orang yang

27

Universitas Sumatera Utara


dipandang masih berdarah dekat, larangan berzinah, dan lain-lain. (Narwoko,

2013:51)

2.6.4 Adat Istiadat (Custom)

Adat istiadat pola-pola kelakuan yang tidak tertulis, tetapi memiliki

kekuatan mengikat kepada para anggotanya, sehingga bagi yang melanggar adat

istiadat tersebut akan menderita sanksi yang lebih keras. Anggota masyarakat

yang melanggar adat-istiadat, akan mendapatkan sanksi umum, baik formal dan

informal. Sanksi hukum formal biasanya melibatkan alat negara berdasarkan

undang-undang yang berlaku dalam memaksa pelanggarnya untuk menerima

sanksi hukum, misalnya pemerkosaan. Sedangkan, sanksi hukum informal

biasanya diterapkan dengan kurang atau bahkan tidak rasional, yaitu lebih

ditekankan pada kepentingan masyarakat. (Basrowi, 2005:89)

2.6.5 Hukum (Law)

Di samping adanya folkways dan mores, diperlukan pula adanya kaidah

lain, yang lazim disebut hukum, untuk menegakkan keadaan tertib sosial.

Berbeda halnya dengan folkways dan mores, pada hukum didapati adanya

organisasi, politik khususnya, yang secara formal dan berprosedur bertugas

memaksakan ditaatinya kaidah-kaidah sosial yang berlaku. Dibandingkan

dengan folkways dan mores, hukum tertulis itu adalah jauh lebih terpikir dan

lebih terlafalkan secara tegas. Hukum tertulis betul-betul merupakan hasil suatu

perencanaan dan pikiran-pikiran yang sadar sehingga karenanya memperoleh

28

Universitas Sumatera Utara


pentaatan yang spontan dari warga masyarakat. (Narwoko, 2013:53-55).

Hukum merupakan salah satu norma yang memiliki alat kelengkapan, seperti

undang-undang, aparat hukum seperti polisi, jaksa, hakim, pengadilan, penjara,

sekolah, hukum, dan sebagainya, sedangkan norma lainnya tidak memiliki

unsur-unsur yang ada pada hukum.

2.7 Nilai Sosial

Menurut Horton dan Hunt, nilai adalah gagasan mengenai apakah suatu

pengalaman itu berarti atau tidak berarti. Nilai pada hakekatnya mengarahkan

perilaku dan pertimbangan seseorang, tetapi ia tidak menghakimi apakah sebuah

perilaku tertentu itu salah atau benar. Nilai adalah suatu bagian penting dari

kebudayaan. Suatu tindakan dianggap sah, artinya secara moral dapat diterima, kalau

harmonis dengan nilai-nilai yang disepakati dan dijunjung oleh masyarakat di mana

tindakan itu dilakukan. (Setiadi, 2011:119)

Nilai sosial merupakan tolok ukur, patokan, anggapan, dan keyakinan yang

dianut oleh sebagian besar anggota dalam suatu masyarakat tertentu mengenai yang

benar, pantas, luhur, serta baik untuk diamalkan. Nilai menjadi orientasi bagi setiap

tindakan melalui interaksi sosial. Di dalam masyarakat yang terus berkembang, nilai

senantiasa akan ikut berubah. Pergeseran nilai dalam banyak hal juga akan

memengaruhi perubahan folkways dan mores. Di wilayah pedesaan, sejak berbagai

siaran dan tayangan televisi swasta yang mulai dikenal, dengan perlahan-lahan

terlihat bahwa di dalam masyarakat itu mulai terjadi pergeseran nilai, misalnya nilai

29

Universitas Sumatera Utara


tentang kesopanan. Kebiasaan dan tata kelakuan masyarakat ikut berubah seiring

dengan berubahnya nilai-nilai yang diyakini masyarakat itu. (Narwoko, 2013:55)

30

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai