Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

“PENTINGNYA PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI SEBAGAI UPAYA


PENCEGAHAN KORUPSI”

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH

“PENDIDIKAN ANTI-KORUPSI”

DOSEN PENGAMPU: NI WAYAN KURNIA WIDYAWATI, S.Si.T., M.Pd

DISUSUN OLEH:

NAMA : APRIAN FAHRIZA

NIM : 19D30552

KELAS : A (SEMESTER 2)

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HUSADA BORNEO

PROGRAM STUDI D3 PEREKAM & INFORMASI KESEHATAN

TAHUN AJARAN 2019/2020


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga pada akhirnya saya dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik.

Tujuan penulisan makalah ini dibuat untuk mendapatkan nilai tugas pada mata kuliah
“Pendidikan Anti-Korupsi”. Sebagai bahan penulisan diambil berdasarkan hasil dari beberapa
sumber yang mendukung penulisan ini.

Serta semua pihak yang terlalu banyak untuk disebut satu per satu sehingga
terwujudnya penulisan ini. Saya sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran baik secara tertulis ataupun
secara lisan yang bersifat membangun, khususnya kepada Dosen mata kuliah “Pendidikan
Anti-Korupsi” Ni Wayan Kurnia Widyawati, S.Si.T., M.Pd agar saya bisa mengembangkan
ilmu pengetahuan kami, khususnya memahami tentang data-data tentang rekam medis.

Akhir kata semoga makalah ini dapat berguna bagi penulis, khususnya dan bagi
pembaca yang berminat pada umumnya.

Banjarbaru, 01 April 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ....................................................................................................................... 3
1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 3
1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3. Tujuan ....................................................................................................... 4
BAB II ..................................................................................................................... 5
2.1. Pengertian Korupsi ................................................................................... 5
2.2. Bentuk dan Faktor Penyebab Korupsi .................................................... 6
2.2.1 Bentuk-bentuk korupsi ............................................................................... 6
2.2.2 Faktor-faktor penyebab korupsi ................................................................ 6
2.3. Dampak Korupsi ....................................................................................... 9
2.4. Strategi Pemberantasan Korupsi ........................................................... 11
2.5. Pentingnya Pendidikan Anti-Korupsi sebagai Strategi Pemberantasan
Korupsi .............................................................................................................. 13
2.5.1 Pengertian Pendidikan Anti-Korupsi ....................................................... 13
2.5.2 Latar Belakang Pendidikan Anti-Korupsi ............................................... 14
2.5.3 Tujuan Utama Pendidikan Anti-Korupsi ................................................. 14
2.5.4 Peranan Penting Pendidikan Anti-Korupsi sejak Dini unruk Mencegah
Tindak Korupsi ........................................................................................................ 18
2.5.5 Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Korupsi ........................................ 20
BAB III .................................................................................................................. 21
3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 21
3.2. Saran ....................................................................................................... 22
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 23
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


“Korupsi” kata ini mungkin sudah tak asing lagi di telinga kita, kata ini sering kita
baca di media masa dan bahkan kerap kali menghiasi layar kaca televisi kita. Dimana
pelaku korupsi biasanya berasal dari kalangan pejabat yang telah mendapat
kepercayaan dari masyarakat. Namun, dengan mudahnya mereka mengkhianati
kepercayaan rakyat. Dengan rasa tidak bersalah mereka menggelapkan uang Negara
dan berhura-hura dengan uang tersebut sementara itu Negaralah yang menjadi korban
ulah mereka dan harus menanggung kerugian yang mereka sebabkan.

Korupsi di negeri ini sekarang sedang merajalela bahkan telah menjadi suatu
“kebiasaan” bahkan bisa dikatakan sudah menjamur hingga sulit untuk dihilangkan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam menangani korupsi. Namun,
tetap saja korupsi masih terdapat di negeri ini. Salah satu mengapa orang berani
melakukan tindak pidana korupsi yaitu karena kurangnya kesadaran pribadi tentang
bahaya korupsi. Tentu saja kita tidak bisa menyadarkan para koruptor karena mereka
sudah terlanjur terbiasa dengan tindakan tersebut.

Salah satu upaya jangka panjang yang terbaik mengatasi korupsi adalah dengan
memberikan pendidikan anti korupsi dini kepada kalangan generasi muda sekarang
khususnya mahasiswa di Perguruan Tinggi. Karena mahasiswa adalah generasi
penerus yang akan menggantikan kedudukan para penjabat terdahulu. Juga karena
generasi muda sangat mudah terpengaruh dengan lingkungan di sekitarnya. Jadi, kita
lebih mudah mendidik dan memengaruhi generasi muda supaya tidak melakukan
tindak pidana korupsi sebelum mereka lebih dulu dipengaruhi oleh “budaya” korupsi
dari generasi pendahulunya.

3
1.2. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan korupsi?
2. Apa saja bentuk dan faktor penyebab korupsi?
3. Apa dampak dari korupsi?
4. Bagaimana upaya atau strategi untuk memberantas korupsi?
5. Apa yang dimaksud dengan pendidikan anti-korupsi?
6. Apa tujuan dari pendidikan anti-korupsi?
7. Bagaimana peran pendidikan anti-korupsi terhadap pencegahan
korupsi?
8. Apa peran mahasiswa dalam pencegahan korupsi?

1.3. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari korupsi
2. Untuk mengetahui bentuk dan factor penyebab dari korupsi
3. Untuk mengetahui apa saja dampak dari korupsi
4. Untuk mengetahui upaya atau strategi yang dilakukan untuk
memberantas korupsi
5. Untuk mengetahui pengertian pendidikan anti-korupsi
6. Untuk mengetahui tujuan dari pendidikan anti-korupsi
7. Untuk mengetahui peran pendidikan anti-korupsi dalam pencegahan
anti-korupsi
8. Untuk mengetahui peran mahasiswa dalam pencegahan korupsi

4
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Korupsi


Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin “corruptio” atau “corruptus”. Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih
tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian dikenal istilah “corruption, corrupt” (Inggris),
“corruption” (Perancis) dan “corruptie/korruptie” (Belanda). Dari asal usul bahasanya
korupsi bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat
dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan
publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.

Pengertian korupsi menurut hukum positif (UU No 31 Tahun 1999 No UU No.20 tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) adalah perbuatan setiap orang baik
pemerintahan maupun swasta yang melanggar hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara.
Sedangkan menurut KBBI, korupsi juga berarti penyelenggaraan atau penggelapan uang
negara atau perusahaan dan sebagainya untuk kepentingan pribadi maupun golongan.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-
unsur sebagai berikut:

1. Perbuatan melawan hukum;


2. Penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana;
3. Memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
4. Merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, di antaranya:

1. Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan);


2. Penggelapan dalam jabatan;
3. Pemerasan dalam jabatan;
4. Ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
5. Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa korupsi adalah menyalahgunakan


kewenangan, jabatan atau amanah secara melawan hukum untuk memperoleh keuntungan
atau manfaat pribadi dan atau kelompok tertentu yang dapat merugikan kepentingan
umum.

5
2.2. Bentuk dan Faktor Penyebab Korupsi
2.2.1 Bentuk-bentuk korupsi
- Penyuapan
Penyuapan merupakan sebuah perbuatan kriminal yang melibatkan sejumlah
pemberian kepada seorang dengan sedemikian rupa sehingga bertentangan
dengan tugas dan tanggung jawabnya. Sesuatu yang diberikan sebagai suap tidak
harus berupa uang, tapi bisa berupa barang berharga, rujukan hak-hak istimewa,
keuntungan ataupun janji tindakan, suara atau pengaruh seseorang dalam sebuah
jabatan publik.
- Penggelapan (embezzlement) dan pemalsuan atau penggelembungan
(froud)
Penggelapan merupakan suatu bentuk korupsi yang melibatkan pencurian uang,
properti, atau barang berharga. Oleh seseorang yang diberi amanat untuk
menjaga dan mengurus uang, properti atau barang berharga tersebut.
Penggelembungan menyatu kepada praktik penggunaan informasi agar mau
mengalihkan harta atau barang secara sukarela.
- Pemerasan (Extorion)
Pemerasan berarti penggunaan ancaman kekerasan atau penampilan informasi
yang menghancurkan guna membujuk seseorang agar mau bekerjasama. Dalam
hal ini pemangku jabatan dapat menjadi pemeras atau korban pemerasan.
- Nepotisme (nepotism)
Kata nepotisme berasal dari kata Latin “nepos” yang berarti “nephew”
(keponakan). Nepotisme berarti memilih keluarga atau teman dekat berdasarkan
pertimbagan hubunga, bukan karena kemamuannya.

2.2.2 Faktor-faktor penyebab korupsi


Perilaku korupsi menyangkut berbagai hal yang bersifat kompleks. Faktor-
faktor penyebabnya bisa dari internal pelaku-pelaku korupsi, tetapi bisa juga bisa
berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk melakukan
korupsi. Dengan demikian secara garis besar penyebab korupsi dapat
dikelompokan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
- Faktor Internal
Faktor internal merupakan faktor pendorong korupsi dari dalam diri,
yang dapat dirinci menjadi:

6
Aspek Perilaku Individu:
1) Sifat tamak/rakus manusia
Korupsi, bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membutuhkan makan.
Korupsi adalah kejahatan orang profesional yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi
serakah. Mempunyai hasrat besar untuk memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi
pada pelaku semacam itu datang dari dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus.
Maka tindakan keras tanpa kompromi, wajib hukumnya.
2) Moral yang kurang kuat
Seorang yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan
korupsi. Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak
yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
3) Gaya hidup yang konsumtif
Kehidupan di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseong konsumtif.
Perilaku konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan
membuka peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi
hajatnya. Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi.
Aspek Sosial:
Perilaku korupsi dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris
mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan
bagi orang untuk korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi
traits pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan
memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.

- Faktor Eksternal
Faktor eksternal, yaitu pemicu perilaku korup yang disebabkan oleh faktor di
luar diri pelaku.

Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi:


Pada umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang
dilakukan oleh segelintir oknum dalam organisasi. Akibat sifat tertutup ini pelanggaran
korupsi justru terus berjalan dengan berbagai bentuk. Oleh karena itu sikap masyarakat
yang berpotensi menyuburkan tindak korupsi terjadi karena Nilai-nilai di masyarakat
kondusif untuk terjadinya korupsi. Korupsi bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat.
Misalnya, masyarakat menghargai seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap

7
ini seringkali membuat masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana
kekayaan itu didapatkan.

Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah


masyarakat sendiri. Anggapan masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi, sosok
yang paling dirugikan adalah negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang
paling rugi adalah masyarakat juga, karena proses anggaran pembangunan bisa
berkurang sebagai akibat dari perbuatan korupsi.

Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi. Setiap perbuatan


korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari oleh masyarakat.
Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-hari
dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.

Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan


diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan.
Pada umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi adalah tanggung
jawab pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa
diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.

Aspek ekonomi:
Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada
kemung-kinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi.
Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil jalan pintas
diantaranya dengan melakukan korupsi.

Aspek Politis:
Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang
dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan
harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan menggerakkan
berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu
lembaga yang diorganisasikan secara politik, melalui lembaga-lembaga yang
dibentuknya. Dengan demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan
mempertahankan kekuasaan sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi.

Aspek Organisasi:
Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan. Posisi pemimpin dalam suatu
lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya.
Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya,
misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan mengambil
kesempatan yang sama dengan atasannya.

Tidak adanya kultur organisasi yang benar. Kultur organisasi biasanya punya
pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur organisasi tidak dikelola dengan
baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak kondusif mewarnai kehidupan
organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif, seperti korupsi memiliki peluang
untuk terjadi.

8
Kurang memadainya sistem akuntabilitas. Institusi pemerintahan umumnya
pada satu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan misi yang diembannya, dan
belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai dalam periode tertentu guna
mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instansi pemerintah sulit dilakukan
penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai sasaranya atau tidak. Akibat lebih
lanjut adalah kurangnya perhatian pada efisiensi penggunaan sumber daya yang
dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi organisasi yang kondusif untuk praktik
korupsi.

Kelemahan sistem pengendalian manajemen. Pengendalian manajemen


merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam sebuah organisasi.
Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah organisasi akan semakin
terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai di dalamnya.

Lemahnya pengawasan. Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu


pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh
pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan
masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor, diantaranya
adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya profesional
pengawas.

2.3. Dampak Korupsi


a. Demokrasi
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik,
korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance)
dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan
legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan;
korupsi di sistem pengadilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di
pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat.
Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena
pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan
jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi
pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

b. Ekonomi

Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan


ketidak efisienan yang tinggi. Dalam sektor private, korupsi meningkatkan ongkos niaga
karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan
pejabat korup, dan risiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan. Walaupun ada
yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah
birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan
menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru. Dimana
korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan

9
perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai
hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.

Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan


mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah
tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat
untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak
kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan,
lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan
pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran
pemerintah.

Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor


keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, terutama di Afrika, adalah
korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman
modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri (maka
adanya ejekan yang sering benar bahwa ada diktator Afrika yang memiliki rekening bank
di Swiss). Berbeda sekali dengan diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil
satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk
pembangunan, melalui investasi infrastruktur, ketertiban hukum, dan lain-lain. Pakar
dari Universitas Massachussetts memperkirakan dari tahun 1970 sampai 1996, pelarian
modal dari 30 negara sub-Sahara berjumlah US $187 triliun, melebihi dari jumlah utang
luar negeri mereka sendiri. (Hasilnya, dalam artian pembangunan (atau kurangnya
pembangunan) telah dibuatkan modelnya dalam satu teori oleh ekonomis Mancur Olson).
Dalam kasus Afrika, salah satu faktornya adalah ketidak-stabilan politik, dan juga
kenyataan bahwa pemerintahan baru sering menyegel aset-aset pemerintah lama yang
sering didapat dari korupsi. Ini memberi dorongan bagi para pejabat untuk menumpuk
kekayaan mereka di luar negeri, di luar jangkauan dari ekspropriasi di masa depan.

c. Kesejahteraan umum Negara


Korupsi politis ada di banyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi
warga negaranya. Korupsi politis berarti kebijaksanaanpemerintah sering
menguntungkan pemberi sogok, bukannya rakyat luas. Satu contoh lagi adalah
bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun
merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME). Politikus-politikus “pro-bisnis” ini
hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan
sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.

10
2.4. Strategi Pemberantasan Korupsi
1. Upaya pemberantasan korupsi
Strategi pemberantasan korupsi terdapat 3 (tiga) unsur utama, yaitu:
pencegahan, penindakan, dan peran serta masyarakat.
Pencegahan adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
perilaku koruptif. Pencegahan juga sering disebut sebagai kegiatan Anti-korupsi
yang sifatnya preventif. Penindakan adalah seluruh upaya yang dilakukan untuk
menanggulangi atau memberantas terjadinya tindak pidana korupsi. Penindakan
sering juga disebut sebagai kegiatan Kontra Korupsi yang sifatnya represif. Peran
serta masyarakat adalah peran aktif perorangan, organisasi kemasyarakatan, atau
lembaga swadaya masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Salah satu upaya pemberantasan korupsi adalah dengan sadar melakukan suatu
Gerakan Anti-korupsi di masyarakat. Gerakan ini adalah upaya bersama yang
bertujuan untuk menumbuhkan Budaya Anti Korupsi di masyarakat. Dengan
tumbuhnya budaya anti- korupsi di masyarakat diharapkan dapat mencegah
munculnya perilaku koruptif. Gerakan Anti Korupsi adalah suatu gerakan jangka
panjang yang harus melibatkan seluruh pemangku kepentingan yang terkait, yaitu
pemerintah, swasta dan masyarakat. Dalam konteks inilah peran mahasiswa
sebagai salah satu bagian penting dari masyarakat sangat diharapkan.
Seperti yang sudah kita ketahui bersama, pada dasarnya korupsi itu terjadi jika
ada pertemuan antara tiga faktor utama, yaitu: niat, kesempatan dan
kewenangan. Niat adalah unsur setiap tindak pidana yang lebih terkait dengan
individu manusia, misalnya perilaku dan nilai-nilai yang dianut oleh seseorang.
Sedangkan kesempatan lebih terkait dengan sistem yang ada. Sementara itu,
kewenangan yang dimiliki seseorang akan secara langsung memperkuat
kesempatan yang tersedia. Meskipun muncul niat dan terbuka kesempatan tetapi
tidak diikuti oleh kewenangan, maka korupsi tidak akan terjadi. Dengan demikian,
korupsi tidak akan terjadi jika ketiga faktor tersebut, yaitu niat, kesempatan, dan
kewenangan tidak ada dan tidak bertemu. Sehingga upaya memerangi korupsi
pada dasarnya adalah upaya untuk menghilangkan atau setidaknya meminimalkan
ketiga faktor tersebut.

11
Gerakan anti-korupsi pada dasarnya adalah upaya bersama seluruh komponen
bangsa untuk mencegah peluang terjadinya perilaku koruptif. Dengan kata lain
gerakan anti-korupsi adalah suatu gerakan yang memperbaiki perilaku individu
(manusia) dan sistem untuk mencegah terjadinya perilaku koruptif. Diyakini
bahwa upaya perbaikan sistem (sistem hukum dan kelembagaan serta norma) dan
perbaikan perilaku manusia (moral dan kesejahteraan) dapat menghilangkan, atau
setidaknya memperkecil peluang bagi berkembangnya korupsi di negeri ini.
Upaya perbaikan perilaku manusia antara lain dapat dimulai dengan
menanamkan nilai-nilai yang mendukung terciptanya perilaku anti-koruptif.
Nilai-nilai yang dimaksud antara lain adalah kejujuran, kepedulian,
kemandirian, kedisiplinan, tanggungjawab, kerja keras, kesederhanaan,
keberanian, dan keadilan. Penanaman nilai-nilai ini kepada masyarakat
dilakukan dengan berbagai cara yang disesuaikan dengan kebutuhan. Penanaman
nilai-nilai ini juga penting dilakukan kepada mahasiswa. Pendidikan anti- korupsi
bagi mahasiswa dapat diberikan dalam berbagai bentuk, antara lain kegiatan
sosialisasi, seminar, kampanye atau bentuk-bentuk kegiatan ekstrakurikuler
lainnya. Pendidikan anti korupsi juga dapat diberikan dalam bentuk perkuliahan,
baik dalam bentuk mata kuliah wajib maupun pilihan.

2. Penanganan Tindak Korupsi


Penanganan tindak korupsi dilakukan oleh beberapa cara, diantaranya adalah :
a. Penyidik
Pada saat ini penyidik tindak pidana korupsi dilakukan baik oleh Kejaksaan
maupun oleh Penyidik Polri. Adanya Penyidik Polri dalam penyidikan tindak
pidana korupsi, membingungkan sebagian pakar hokum pidana bahkan sempat
menjadi polemic dalam mas media.
b. Penyelidikan
Penyelidikan dalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapatatu tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam
undang-undang ini (Pasal 1 butir 5)
Tindak pidana korupsi data awal diperoleh dari laporan atau pengaduan, antara
lain dari :

12
- Menteri/Irjen/Irwailprop/Irwilkop
- Wakil Presiden melalui PO.BOX-5000
- BPKP
- Aparat Inteljen
- DPR
c. Penyidikan (Investigation)
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencarri serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti ini membuat terang tindak pidana yang terjadi dan
guna menemukan tersangkanya. Penyidik dilakukan oleh para aparat penyidik
d. Tahap Penuntutan
Pada tahap penuntutan pada umumnya telah ditunjuk penuntut umum (PU)
dan penuntut umum pengganti.
e. Perubahan atau pembaharuan
Dalam UU No.3 tahun 1971 dan UU No.31 tahun 1999 maka ada perubahan
atau pembaharuan antara lain, sanksi, peranan jaksa agung, pembuktian
terbalik, tersangka atau terdakwa meninggal dunia, kepentingan pihak ketiga
yang beritikad baik, keikutsertaan masyarakat dan KPK.

2.5. Pentingnya Pendidikan Anti-Korupsi sebagai Strategi Pemberantasan


Korupsi
2.5.1 Pengertian Pendidikan Anti-Korupsi
Pendidikan anti-korupsi adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
proses belajar mengajar yang kritis terhadap nilai-nilai anti korupsi. Dalam
proses tersebut, maka Pendidikan Antikorupsi bukan sekedar media bagi
transfer pengalihan pengetahuan(kognitif) namun juga menekankan pada
upaya pembentukan karakter (afektif) dan kesadaran moral dalam melakukan
perlawanan (psikomotorik) terhadap penyimpangan perilaku korupsi.

13
2.5.2 Latar Belakang Pendidikan Anti-Korupsi
1. Praktek korupsi di Indonesia telah terjadi sejak masa kerajaan di wilayah
nusantara, bahkan telah tersistematisasi mulai pada masa VOC dan
pemerintahan Hindia Belanda
2. Secara Faktual persoalan korupsi di Indonesia, dikatakan telah sampai
pada titik kulminasi yang akut tidak hanya mewabah di kultur dan struktur
birokrasi pemerintah juga menjadi fenomena multi dimensional telah
menggerogoti sendi-sendi kehidupan sosial dan kultural
3. Pergeseran pola hidup masyarakat yang tadinya menjunjung tinggi nilai-
nilai spiritual mulai bergeser pada nilai-nilai materialistis dan
konsumerisme.
4. Korupsi termasuk dalam extra ordinary crime, Upaya menjadikan musuh
bersama/commonenemy belum menjadi bagian dari gerakan moral bangsa
Karena itu pemberantasan korupsi harus dijadikan sebagai collective
ethics movement.

2.5.3 Tujuan Utama Pendidikan Anti-Korupsi


1. Membangun Budaya Anti Korupsi Melalui Dunia Pendidikan
Salah satu isu atau masalah yang paling krusial untuk dipecahkan oleh
bangsa dan pemerintah Indonesia adalah masalah korupsi. Maraknya korupsi
di Indonesia disinyalir terjadi di hampir semua bidang dan sektor
pembangunan, menyebar tidak hanya di tingkat pusat tetapi juga meluas ke
tingkat daerah. Korupsi tidak lagi sebagai suatu fenomena tetapi
dikhawatirkan sudah mengakar ke seluruh lapisan masyarakat.
Di sisi lain sebenarnya sebagian rakyat pada hampir semua
kebudayaan mengerti bahwa segala bentuk dan jenis korupsi, suap, pemerasan,
dan sebagainya merupakan perbuatan yang melawan rasa keadilan. Perbuatan
korupsi dan perbuatan lainnya yang serupa merupakan permasalahan mental
di mana nilai-nilai agama dan nilai-nilai moral diabaikan dan lebih dipenuhi
oleh masalah-masalah dunia yang cenderung materialistik. Kekhawatiran akan
bencana yang diakibatkan oleh perbuatan korupsi muncul dari berbagai
elemen masyarakat yang peduli terhadap masalah bangsa dan mencoba untuk
mencari solusinya. Dunia pendidikan sebagai salah satu pilar yang sangat

14
penting dalam pembangunan manusia juga merasa bertanggung jawab akan
fenomena menjamurnya perbuatan korupsi tersebut.
Pemikiran pentingnya memasukkan pendidikan antikorupsi dalam
kurikulum pendidikan nasional seharusnya dapat diakomodasi oleh seluruh
lembaga pendidikan di Indonesia. Berkaitan dengan ini pendidikan berarti
harus mampu menjadikan dirinya sebagai salah satu instrumen perubahan
menuju pada perbaikan sosial.

2. Pendidikan Antikorupsi sebagai Pendidikan Moral


Pendidikan sebagai tugas imperatif manusia selalu membawa implikasi
individual dan sosial. Secara individual, pendidikan merupakan sarana
untuk mengembangkan potensi manusia (jasmani, rohani, akal).
Pendidikan yang baik seharusnya dapat mengembangkan potensi manusia
tersebut secara bertahap menuju kebaikan dan kesempurnaan (insan
kamil) yaitu kuat dan sehat jasmaninya, cerdas otaknya, serta kualitas
spiritual yang baik. Secara sosial, pendidikan merupakan proses pewarisan
kebudayaan yang berupa nilai-nilai, perilaku dan teknologi yang telah
dimiliki generasi sebelumnya harus selalu dipelihara dan dikembangkan
sehingga pada generasi berikutnya bisa melahirkan generasi yang mampu
berkreasi secara lebih positif
Dalam konteks pendidikan antikorupsi, proses pendidikan harus
bersifat sistematis yaitu dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran,
integritas dan sebagainya secara intensif. Pendidikan anti korupsi juga
harus dilakukan secara massif, dalam arti penanaman nilai-nilai
antikorupsi tersebut dilakukan pada berbagai lembaga pendidikan di
segala statata pendidikan. Realitas pendidikan harus menempatkan nilai-
nilai pendidikan tidak hanya berhenti pada verbalisme dan indoktrinasi,
tetapi harus menyentuh pada pendidikan nilai dan watak yang
menjadikan nilai anti korupsi sebagai way of life bangsa. Pendidikan nilai
mestinya lebih ditekankan pada pemahaman, penghayatan, dan
pengamalan nilai-nilai.
Dalam kapasitasnya sebagai “transfer of value”, nilai kejujuran,
kebajikan menjadi sangat penting. Nilai-nilai ini harus terinternalisasi

15
dalam diri peserta didik, sebagai generasi muda. Hal ini sangat
berpengaruh terhadap kepribadian peserta didik karena pembentukan
kepribadian manusia ditentukan oleh proses sosialisasi, baik melalui
pendidikan yang terencana misalnya dalam mata pelajaran yang berkaitan
dengan pembentukan karakter/watak dan kepribadian maupun melalui
pengalaman peserta didik di dalam interaksi sosialnya.
Mendidik manusia yang cerdas dan terampil harus dibarengi dengan
pendidikan moral. Pendidikan moral, yaitu pendidikan yang memiliki
komitmen tentang langkah-langkah apa yang seharusnya dilakukan
pendidik untuk mengarahkan generasi muda pada nilai-nilai (values) dan
kebajikan (virtues) yang akan membentuknya menjadi manusia yang baik
(good people) (Zubaidi, 2005:5). Melahirkan manusia yang baik tentulah
memerlukan proses yang tidak sebentar karena menanamkan nilai (values)
merupakan proses sosialisasi yang berlangsung sejak manusia lahir
sampai mati.
Dalam pendidikan, sosialisasi nilai juga dilakukan secara sadar dan
tidak sadar. Orangtua, guru, kepala sekolah biasanya akan melakukan
upaya sedemikian rupa agar nilai-nilai terinternalisasi oleh peserta didik.
Namun yang penting adalah jangan sampai terjebak dalam sosialisasi nilai
yang serba fomialistis dan verbal saja. Artinya, pendidikan nilai jangan
sekedar berupa “ceramah” di sekolah, tetapi tidak terinternalisasi dengan
baik. Jangan sampai ada ungkapan-ungkapan yang ironis seperti “NATO”,
No Action Talk Only, mampu bicara, tapi tidak mampu melakukan.
Peserta didik tidak hanya membutuhkan seruan-seruan tentang moral,
tetapi yang jauh lebih penting adalah membentuk budaya bermoral dalam
lembaga pendidikan. Seluruh personal dalam lembaga pendidikan secara
bersama-sama melaksanakan tindakan yang sesuai dengan nilai-nilai dan
norma masyarakat Faktor keteladanan menjadi sangat penting dalam
internalisasi nilai-nilai ke dalam pribadi peserta didik. Jadi, pendidikan
nilai-nilai moral
seharusnya bertugas untuk membimbing generasi muda agar secara
sukarela mengikatkan diri pada norma-norma atau nilai-nilai (to guide the
young towards voluntary personal commitment

16
to values) (Zubaidi, 2005:6). Oleh karena peserta didik tidak belajar
tentang nilai dari "apa yang dikatakan, tetapi dari apa yang dilakukan".
Pendidikan moral harus memberikan perhatian pada tiga komponen
karakter yang baik (components of the good character), yaitu moral
knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling (perasaan tentang
moral), dan moral action (perbuatan bermoral) (Zubaidi, 2005:6).
Karakter moral yang baik tidak hanya meliputi pengetahuan terhadap
nilai-nilai, tetapi juga menumbuhkan "rasa" terhadap nilai-nilai moral.
Pengetahuan tentang moral diperlukan karena peserta didik perlu
mengetahui tentang berbagai nilai dan norma masyarakat, mengenai apa
yang baik dan tidak baik, apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang boleh
dan tidak boleh dilakukan dalam masyarakat. Penanaman moral knowing
meliputi moral awareness (kesadaran moral), knowing moral values
(pengetahuan nilai-nilai moral), moral reasoning (alasan moral), decision
making (mengambil keputusan moral), dan self-knowledge (pengetahuan
diri). (Zubaidi, 2005:6).
Persoalan "rasa" menjadi sangat penting pula karena setelah
mengetahui sistem moral yang berlaku, maka internalisasi ke dalam hati
dan jiwa agar nilai-nilai moral tidak berhenti pada dataran verbal.
Pembentukan moral feeling meliputi enam aspek yang diperlukan
seseorang untuk menjadi manusia berkarakter, yaitu conscience
(kesadaran), self-esteem (kepercayaan diri), empathy (merasakan
penderitaan orang lain), loving the good (cinta terhadap kebaikan),
selfcontrol (kontrol diri), humility (kerendahan hati). Moral knowing dan
moral feeling berperan dalam pembentukan peserta didik sebagai pribadi
yang "normal", yaitu pribadi yang mampu bertindak sesuai dengan
konteks sosialnya dan mampu berpemikir secara objektif perilaku diri
sendiri dari sudut pandang orang lain. Hasil perpaduan dari dua komponen
tersebut, maka akan lahir perbuatan atau tindakan moral. Munculnya
perbuatan moral didorong oleh tiga aspek, yaitu competence
(kompetensi), will (keinginan), dan habit (kebiasaan).
Jadi, pendidikan antikorupsi sebagai pendidikan moral harus dapat
memberikan moral knowing tentang korupsi, yaitu moral awareness

17
(kesadaran moral) terhadap bahaya korupsi, knowing moral values
(pengetahuan nilai-nilai moral), moral reasoning (alasan moral) mengapa
korupsi harus ditolak, decision making (mengambil keputusan moral)
untuk melawan dan memberantas korupsi dan self-knowledge
(pengetahuan diri) untuk tidak menjadi koruptor. Moral feeling terhadap
korupsi, yaitu conscience (kesadaran) bahwa korupsi adalah termasuk
kejahatan terhadap kemanusiaan, self-esteem (kepercayaan diri) untuk
hidup bersih tanpa korupsi, empathy (merasakan penderitaan orang lain)
sehingga merasakan penderitaan yang ditimbulkan akibat perilaku
korupsi, loving the good (cinta terhadap kebaikan), self-control (kontrol
diri) dengan cara mengendalikan diri agar tidak terjebak konsumerisme
dan keserakahan, humility (kerendahan hati) (Zubaidi, 2005:7). Dengan
cara tersebut, maka akan lahir manusia yang memiliki kompetensi untuk
memberantas korupsi, memiliki keinginan kuat untuk melawan korupsi,
dan memillki kebiasaan hidup yang tanpa korupsi, ketiganya
merefleksikan pribadi yang antikorupsi.

2.5.4 Peranan Penting Pendidikan Anti-Korupsi sejak Dini unruk Mencegah


Tindak Korupsi
Berdasarkan sumber dari internet dinyatakan bahwa, Indonesia
tercatat sebagai salah satu negara yang memiliki kasus korupsi yang cukup
tinggi di dunia. Hal ini dapat disimpulkan dari hasil pengumuman negara-
negara korup yang dikeluarkan oleh Transparency International –sebuah
organisasi internasional yang bertujuan untuk memerangi korupsi- pada tahun
2010 yang menempatkan Indonesia di ranking ke-110 dengan IPK (Indeks
Presepsi Korupsi) 2,8. Prestasi yang memalukan ini tidak terlepas dari tingkah
laku dan tindak tanduk para pejabat yang menduduki posisi-posisi penting di
pemerintahan. Maraknya kasus korupsi di Indonesia dapat diartikan sebagai
lemahnya kontrol diri para pejabat terkait dan tidak berdayanya instansi-
instansi pemerintahan maupun non-pemerintahan yang menjadi pengamat
kasus ini. Oleh karena itu, dibutuhkan sebuah antisipasi yang dapat menekan
laju pertumbuhan kasus korupsi Indonesia di masa mendatang.
Pendidikan anti-korupsi sejak dini adalah salah satu cara untuk menekan laju

18
tersebut. Mengingat pendidikan merupakan salah satu penuntun generasi
muda untuk ke jalan yang benar. Pendidikan, sebagai awal pencetak pemikir
besar, termasuk koruptor sebenarnya merupakan aspek awal yang dapat
merubah seseorang menjadi koruptor atau tidak. Pedidikan merupakan salah
satu tonggak kehidupan masyarakat demokrasi yang madani, sudah
sepantasnya mempunyai andil dalam hal pencegahan korupsi. Salah satu yang
bisa menjadi gagasan baik dalam kasus korupsi ini adalah penerapan anti
korupsi dalam pendidikan karakter bangsa di Indonesia.
Betapa pentingnya pendidikan anti-korupsi sejak dini bisa dianalogikan
sebagai betapa pentingnya merawat, menjaga dan mempersiapkan bibit-bibit
tanaman yang hendak ditumbuhkan menjadi sebuah pohon yang memberikan
banyak manfaat. Yang keberadaanya tak hanya bisa menyerap sari tanah
dengan akarnya tetapi juga bisa menghasilkan buah-buah yang segar untuk
dikonsumsi serta dahan yang rindang untuk dijadikan tempat berteduh. Ini
sejalan dengan misi pendidikan anti-korupsi sejak dini. Dengan penanaman
nilai-nilai moral, pembekalan ilmu pengetahuan tentang hukum, adat istiadat
ketimuran serta religiusitas kepercayaan pada Tuhan diharapkan bisa
mencetak calon-calon figure pemangku kekuasaan yang bersih dari korupsi.
Pendidikan anti-korupsi sejak dini pun diharapkan bisa menumbuhkan
pemikiran yang kritis bagi peserta didik. Nantinya diharapkan, anak-anak
terdidik ini bisa menjadi garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi
di Indonesia. Pendidikan anti korupsi sejak dini itu penting. Akan tetapi, akan
menjadi lebih penting dan powerful jika dibarengi dengan pendidikan agama
yang dilaksanakan secara konsisten dan berkelanjutan.
Maraknya kasus korupsi di Indonesia memang tidak bisa secara serta merta
diberantas dan hilang begitu saja. Perlu antisipasi dini untuk menekan laju
peningkatan kasus korupsi ini. Dengan adanya pendidikan anti korupsi,
diharapkan beberapa tahun kemudian ketika bibit-bibit calon pemimpin yang
kini masih menjadi tunas menjabat bisa menghilangkan kegelisahan
masyarakat akan kasus korupsi yang tak kunjung berakhir. Dan Indonesia bisa
menjadi salah satu negara di dunia yang bersih dari korupsi.

19
2.5.5 Peran Mahasiswa dalam Pencegahan Korupsi
a. Menciptakan lingkungan bebas dari korupsi di kampus
Hal ini terutama dimulai dari kesadaran masing-masing mahasiswa yaitu
menanamkan kepada diri mereka sendiri bahwa mereka tidak boleh
melakukan tindakan korupsi walaupun itu hanya tindakan sederhana, misalnya
terlambat datang ke kampus, menitipkan absen kepada teman jika tidak masuk
atau memberikan uang suap kepada para pihak pengurus beasiswa dan macam-
macam tindakan lainnya. Memang hal tersebut kelihatan sepele tetapi
berdampak fatal pada pola pikir dan dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan
bahkan yang lebih parah adalah menjadi sebuah karakter.

b. Memberikan pendidikan kepada masyarakat tentang bahaya melakukan


korupsi
Upaya mahasiswa ini misalnya memberikan penyuluhan kepada
masyarakat mengenai bahaya melakukan tindakan korupsi karena pada
nantinya akan mengancam dan merugikan kehidupan masyarakat sendiri.
Serta menghimbau agar masyarakat ikut serta dalam menindaklanjuti
(berperan aktif) dalam memberantas tindakan korupsi yang terjadi di sekitar
lingkungan mereka. Selain itu, masyarakat dituntut lebih kritis terhadap
kebijakan pemerintah yang dirasa kurang relevan. Maka masyarakat sadar
bahwa korupsi memang harus dilawan dan dimusnahkan dengan mengerahkan
kekuatan secara massif, artinya bukan hanya pemerintah saja melainakan
seluruh lapisan masyarakat.

c. Menjadi alat pengontrol terhadap kebijakan pemerintah


Mahasiswa selain sebagai agen perubahan juga bertindak sebagai agen
pengontrol dalam pemerintahan. Kebijakan pemerintah sangat perlu untuk
dikontrol dan dikritisi jika dirasa kebijakan tersebut tidak memberikan dampak
positif pada keadilan dan kesejahteraan masyarakat dan semakin
memperburuk kondisi masyarakat. Misalnya dengan melakukan demo untuk
menekan pemerintah atau melakukan jajak pendapat untuk memperoleh hasil
negosiasi yang terbaik.

20
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Korupsi adalah perbuatan yang busuk, tidak jujur, dan amoral. Korupsi adalah
suatu perilaku yang dengan sengaja memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
kelompok dengan cara yang menyimpang dan illegal, dimana perilaku tersebut
merugikan negara atau pemerintah atau rakyat atau sebuah instansi. Korupsi adalah
penghianatan, dalam hal ini adalah penghianatan terhadap rakyat yang telah
memberikan amanah dalam mengemban tugas tertentu dan Korupsi juga merupakan
hal yang melanggar hukum, dimana para pelaku korupsi harus dikenakan hukuman
pidana sesuai peraturan dalam Undang-undang RI No. 31 Tahun 1999. Terdapat
beberapa bentuk korupsi, yaitu: penyerapan, penggelapan, pemalsuan, pemerasan dan
nepotisme.
Penyebab utama korupsi adalah perilaku inidividu itu sendiri. Apabila individu
tersebut memiliki cara pandang yang menyimpang dalam melihat kekayaan, maka hal
itu dapat mendorong individu untuk melakukan korupsi. Individu yang termasuk
dalam golongan tersebut adalah mereka yang bersifat tamak, kurang iman, dan
konsumtif. Kemudian perilaku individu tersebut didukung dengan adanya kesempatan.
Kesempatan itu dapat berasal dari beberapa aspek, seperti aspek lingkungan, politik,
hukum, ekonomi, dll. Pemerintah menerapkan berbagai strategi untuk melakukan
pemberantasan korupsi seperti tindakan represif berupa penindakan koruptor di
pengadilan, perbaikan sistem pemerintahan serta edukasi dan kampanye. Salah satu
bentuk edukasinya ialah dengan diterapkannya pendidikan anti-korupsi di sekolah dan
perguruan tinggi.
Pendidikan antikorupsi menjadi sangat penting sebagai upaya sistematis dan
masif dalam pemberantasan korupsi. Guna mencapai hal tersebut, maka pendidikan
harus mengedepankan proses yang benar-benar ditujukan kepada pembentukan
kepribadian, kecerdasan, dan keterampilan. Sudah saatnya, distorsi dalam pendidikan
dan pengabaian nilai-nilai moral diperbaiki agar melahirkan generasi muda yang tidak
toleran terhadap korupsi. Pendidikan antikorupsi sangat signifikan untuk dimasukkan
dalam kurikulum pendidikan nasional di Indonesia. Pendidikan harus mampu

21
mentransformasikan nilai-nilai moral, pendidikan juga berfungsi melakukan “rekayasa
sosial” guna membangun modal sosial yang efektif. Dengan adanya penanaman nilai-
nilai agama dan moral antikorupsi secara lebih spesifik, maka akan mampu
memberikan kontribusi pada pembangunan mental dan moral yang bersih dan jujur.
Lebih dari itu pendidikan anti korupsi ini jangan hanya berhenti di tingkat program
pendidikan tetapi harus diupayakan menjadi sebuah gerakan yang melibatkan berbagai
elemen masyarakat.

3.2. Saran
Dengan makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar dapat
memilih manfaat yang tersirat didalamnya dan dapat dijadikan sebagai kegiatan
motivasi agar kita tidak terjerumus oleh hal-hal korupsi dan dapat menambah wawasan
dan pemikiran yang intelektual khususnya dalam mata kuliah pendidikan anti-korupsi.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ki Hajar Dewantoro. (1977). Pendidikan, Cet. Kedua, Yogyakarta : Majelis Luhur Taman
Siswa.

Mudyahardjo, Redja. (2002) Pengantar Pendidikan Sebuah Studi Awal Tentang DasarDasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT. Rajagrafindo
Persada.

Zubaidi. (2005). Pendidikan Berbasis Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anonim. (2013). Pendidikan Anti-Korupsi. Diambil dari


https://mistarppkn.wordpress.com/2013/05/15/pendidikan-anti-korupsi-artikel/,
diakses pada 2 April 2020.

Priyandono. (2013). Perlukah Pendidikan Anti-Korupsi Itu?. Diambil dari


https://guru.or.id/perlukah-pendidikan-antikorupsi-itu.html, diakses pada 2 April
2020.

Putra, Mahardika. (2011). Pentingnya Pendidikan Anti-Korupsi Sejak Dini. Diambil dari
http://mahardhikaputra31.blogspot.com/2011/11/pentingnya-pendidikan-anti-
korupsi.html, diakses pada 2 April 2020.

Komisi Pemberantasan Korupsi. (2006). Memahami Untuk Membasmi: Buku Saku Untuk
Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: KPK-IKAPI.

Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. (2003). Undang-undang Republik


Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sekretariat
Negara. Jakarta: KPK-IKAPI.

Puspito, N & Tim Penyusun. 2011. Pendidikan Anti-Korupsi Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:
Kemendikbud.

Satya Widyananda, Adhyta. (2014). Peran Pendidikan Anti Korupsi Dini Dalam Mencegah
Terjadinya Tindak Korupsi. Makalah. Tidak diterbitkan. Malang. Univesrsitas Negeri
Malang

Pusat Edukasi Antikorupsi. (2020). Apa itu korupsi?. Diambil dari


https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/apa-itu-
korupsi, diakses pada 2 April 2020.

Pusat Edukasi Antikorupsi. (2020). Penyebab Korupsi. Diambil dari


https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/penyebab-
korupsi, diakses pada 2 April 2020.

23
Pusat Edukasi Antikorupsi. (2020). 3 Strategi Pemberantasan Korupsi. Diambil dari
https://aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/3-strategi-
pemberantasan-korupsi, diakses pada 1 April 2020

24

Anda mungkin juga menyukai