Anda di halaman 1dari 9

PERUBAHAN SOSIAL BUDAYA

A. Pengertian Perubahan Sosial


Perubahan sosial secara sederhana dapat diartikan sebagai proses
dimana dalam suatu sistem sosial terdapat perbedaan-perbedaan yang
dapat diukur yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Menurut pendapat
beberapa ahli:
a. Menurut Selo Soemardjan, perubahan-perubahan pada lembaga
kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang memenuhi sistem
sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perilaku
diantara kelompok-kelompok di dalam masyarakat. Tekanan pada
definisi tersebut terletak pada lembaga-lembaga kemasyarakatan
sebagai himpunan pokok manusia, yang kemudian mempengaruhi
segi-segi struktur masyarakat lainnya.
b. Gilin dan gilin mengatakan perubahan-perubahan sosial sebagai suatu
variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, baik karena
perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan, materiil,
komposisi pendudk, ideologi maupun karena adanya difusi ataupun
penemuan-penemuan baru dalam masyarakat.
c. Emile Durkheim, Perubahan sosial terjadi sebagai hasil dari faktor-
faktor ekologis dan demografis, yang mengubah kehidupan masyarakat
dari kondisi tradisional yang diikat solidaritas mekanistik, ke dalam
kondisi masyarakat modern yang diikat oleh solidaritas organistik.
d. Kingsley Davis Perubahan sosial sebagai perubahan-perubahan yang
terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.

Dari Pendapat para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa


perubahan sosial-budaya merupakan perubahan-perubahan yang terjadi di
ruang lingkup masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi geografis,
norma-norma yang berlaku dan kemajuan pola pikir masyarakat, tatanan
serta fungsi masyarakat.

1
B. Teori perubahan Sosial dan Budaya
Ada beberapa teori perubahan sosial yang dikeluarkan oleh
berbagai ahli sosiologi. Dalam tulisan ini akan dikemukakan beberapa
teori yaitu teori siklik, teori evolusioner, teori non evolusioner, teori
fungsional dan teori konflik, serta teori-teori yang banyak digunakan oleh
ahli sosiologi dalam melihat perubahan sosial di negara-negara di dunia
III.
1. Teori Siklus
Ada ungkapan bahwa hidup manusia bagaikan sebuah roda yang
berputar, kadang manusia ada di atas dalam arti hidupnya makmur
tetapi juga kadang di bawah dalam arti hidupnya tidak beruntung.
Seperti itulah sebenarnya pola pikir dari teori siklus tersebut.
Penekanan dari teori siklus ini adalah bahwa sejarah peradaban
manusia tidak berawal dan tidak berakhir melainkan suatu periode
yang di dalamnya mengandung kemunduran dan kemajuan,
keteraturan dan kekacauan. Artinya proses peralihan masyarakat
bukanlah berakhir pada tahap terakhir yang sempurna melainkan
berputar kembali pada tahap awal untuk menuju tahap peralihan
berikutnya.
Arnold Toynbee melihat bahwa peradaban muncul dari masyarakat
primitif melalui suatu proses perlawanan dan respons masyarakat
terhadap kondisi yang merugikan mereka. Peradaban meliputi
kelahiran, pertumbuhan, kemandegan dan disintegrasi karena
pertempuran antara kelompok-kelompok dalam memperebutkan
kekuasaan. Secara jelas Pitirim Sorokin ahli sosiologi dari Rusia yang
menjelaskan bahwa perubahan yang menyebabkan masyarakat
bergerak naik turun terjadi dalam tiga siklus kebudayaan yang berputar
tanpa akhir, yaitu :
a. Kebudayaan ideasional (ideasional culture) yang menekankan pada
perasaan atau emosi dan kepercayaan terhadap unsur supernatural.
b. Kebudayaan idealistis (idealistic culture) yang merupakan tahap
pertengahan yang menekankan pada rasionalitas dan logika dalam
menciptakan masyarakat ideal.
c. Kebudayaan sensasi (sensate culture) dimana sensasi merupakan
tolok ukur dari kenyataan dan tujuan hidup.

2. Teori Evolusioner
Para ahli teori ini cenderung melihat bahwa perubahan sosial yang
terjadi merupakan suatu proses yang linear, artinya semua masyarakat
berkembang melalui urutan perkembangan yang sama dan bermula
dari tahap perkembangan awal sampai tahap akhir. Tatkala tahap akhir
telah tercapai maka pada saat itu perubahan secara evolusioner telah
berakhir. Tokoh dari teori ini antara lain adalah Auguste Comte,
seorang sarjana Perancis, yang melihat bahwa masyarakat bergerak
dalam tiga tahap perkembangan yaitu:
a. Tahap teologis (theological stage) dimana masyarakat diarahkan
oleh nilai-nilai supernatural.
b. Tahap metafisik (methaphysical stage) merupakan tahap peralihan
dari kepercayaan terhadap unsur supernatural menuju prinsip-
prinsip abstrak yang berperan sebagai dasar perkembangan budaya.
c. Tahap positif atau ilmiah (positive stage) dimana masyarakat
diarahkan oleh kenyataan yang didukung oleh prinsip-prinsp ilmu
pengetahuan.
d. Tokoh lain yang perlu juga dipelajari adalah Emile Durkheim,
yang lebih melihat bahwa perubahan sosial terjadi karena
masyarakat beralih dari masyarakat dengan solidaritas mekanik
menjadi masyarakat dengan solidaritas organik. Solidaritas
mekanik ditandai oleh masyarakat yang anggotanya sedikit
sehingga hubungan sosial yang terjadi cenderung bersifat informal
di mana setiap orang akan saling mengenal serta mempunyai
karakteristik sosial yang bersifat homogen seperti pekerjaan.
Sedangkan masyarakat dengan solidaritas organik ditandai oleh
masyarakat yang berskala besar dalam jumlah penduduknya,
hubungan satu sama lain cenderung bersifat formal yang cenderung
didasarkan pada fungsi sosial masing-masing individu.

3. Teori Nonevolusioner
Teori nonevolusioner yang sebenarnya teori ini masih juga
menganut ide pokok dari teori evolusi tetapi beberapa ahli membuat
perbaikan atas ide-ide teori evolusioner yang cenderung dalam
menganalisis perubahan sosial menekankan pada pendekatan unilinear
dan teori evolusioner tidak terbukti karena tidak sesuai dengan
kenyataan. Teori ini lebih melihat bahwa masyarakat bergerak dari
tahap evolusi tetapi proses tersebut dilihat secara multilinear artinya
bahwa perubahan dipengaruhi oleh berbagai faktor.
Meskipun ada kesamaan dengan teori yang sebelumnya tetapi tidak
semua masyarakat berubah dalam arah dan kecepatan yang sama.
Tokoh teori ini antara lain adalah Gerhard Lenski, yang menyatakan
bahwa masyarakat bergerak dalam serangkaian bentuk masyarakat
seperti berburu, bercocok tanam, bertani dan masyarakat industri
berdasarkan bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Dalam mempelajari konsep dari Lensky maka perlu juga
mempelajari konsep kunci dalam pernyataan Lenski yaitu adanya
continuity, inovation dan extinction.
Ketiga elemen tersebut mengarah pada adanya keberagaman dan
kemajuan di mana masyarakat menjadi semakin beragam selagi proses
differensiasi terjadi dan kemajuan terjadi tidak hanya karena kondisi
hidup yang semakin membaik tetapi juga pada perkembangan
teknologi. Ketiga elemen tersebut di atas dapat dirinci sebagai berikut:
a. Keberlanjutan atau continuity mengacu pada kenyataan bahwa
meskipun masyarakat itu mengalami perubahan tetapi tetap ada
unsur-unsur di dalamnya yang tidak berubah, misalnya peraturan
lalu lintas, sistem kalender serta sistem abjad. Unsur-unsur itu
tidak berubah karena sangat berguna dan menjawab kebutuhan
semua lapisan masyarakat.
b. Sedangkan inovasi dihasilkan dari penemuan-penemuan maupun
proses difusi dari budaya lain. Masing-masing masyarakat akan
mempunyai tingkat inovasi yang berbeda-beda tergantung pada:
seberapa banyak orang yang dapat menghasilkan inovasi, seberapa
banyak orang yang menyebarkan inovasi tersebut, seberapa penting
inovasi itu bagi masyarakat yang bersangkutan serta apakah
masyarakat tersebut mau menerima ide-ide baru itu.
c. Sedangkan kepunahan atau extinction berarti menghilangnya
kebudayaan atau masyarakat itu sendiri.

4. Teori Fungsional
Salah satu tokoh dari teori fungsional ini adalah Talcott Parson. Ia
melihat bahwa masyarakat seperti layaknya organ tubuh manusia, di
mana seperti tubuh yang terdiri dari berbagai organ yang saling
berhubungan satu sama lain maka masyarakat pun mempunyai
lembaga-lembaga atau bagian-bagian yang saling berhubungan dan
tergantung satu sama lain. Parson menggunakan istilah sistem untuk
menggambarkan adanya koordinasi yang harmonis antar bagian. Selain
itu karena organ tubuh mempunyai fungsinya masing-masing maka
seperti itu pula lembaga di masyarakat yang melaksanakan tugasnya
masing-masing untuk tetap menjaga stabilitas dalam masyarakat.

5. Teori Konflik
Teori konflik sebenarnya tidak mempunyai penjelasan yang khusus
membahas tentang perubahan sosial. Menurut teori ini konflik akan
muncul ketika masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar yaitu
yang berkuasa (bourjuis) dan yang dikuasai (proletar).
Hasil dari pertentangan antar kelas tersebut akan membentuk suatu
revolusi dan memunculkan masyarakat tanpa kelas, maka pada kondisi
tersebut terjadilah apa yang disebut dengan perubahan sosial. Karena
konflik di masyarakat itu selalu muncul terus menerus maka perubahan
akan terus pula terjadi. Setiap perubahan akan menunjukkan
keberhasilan kelas sosial tertentu dalam memaksakan kehendaknya
terhadap kelas sosial lainnya.
Ralf Dahrendorf, sebagai salah satu tokoh dalam teori konflik,
percaya bahwa dalam setiap masyarakat beberapa anggotanya akan
menjadi korban pemaksaan oleh anggota yang lainnya. Artinya bahwa
konflik kelas merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari sehingga
perubahan sosial sebagai dampak dari konflik itu juga tidak terelakkan
pula. Dahrendorf menyatakan pula bahwa ia percaya jika
perkembangan masyarakat, kreativitas dan inovasi muncul terutama
dari konflik antar kelompok maupun individu.

C. Proses Perubahan Sosial dan Budaya


1. Penyeseuaian Masyarakat terhadap Perubahan
Keserasian atau harmoni dalam masyarakat (social equilibrium)
merupakan keadaaan yang diidam-idamkan setiap masyarakat.
Keserasian masyarakkat dimaksudkan sebagai suatau keadaaan dimana
lembaga-lembaga kemsyarakatan yang pokok benar-benar berfungsi
dan salaing mengisi. Setiap kali terjadi gangguan terhadap terjadi
gangguan terhadap keadaan keserasian, masyarakat dapat menolaknya
atau mengubah susunan lembaga-lembaga kemasyarakatannya dengan
maksud menerima unsur yang baru.
Adakala unsur-unsur baru dan lama yang bertentangan secara
bersamaan mempengaruhi norma-norma dan nilai-nilai yang kemudian
berpengaruh pula pada warga masyarakat. Itu berarti adanya gangguan
yang kontinu terhadap keserasian masyarakat. Keadaan tersebut berarti
bahwa ketegangan-ketegangan serta kekecewaan di antara para warga
tidak mempunyai saluran pemecahan. Apabila ketidakserasian dapat
dipulihkan kembali setelah terjadi suatu perubahan, keadaan tersebut
dinamakan penyesuaian (adjusment). Bila sebaliknya yang terjadi,
maka dinamakan ketidakpenyesuaian sosial (maladjustment).
2. Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan
Saluran-saluran perubahan sosial dan kebudayaan (channel of
change) merupakan saluran-saluran yang dilalui oleh suatu proses
perubahan. Umumnya saluran-saluran tersebut adalah lembaga-
lembaga kemasyarakatan dalam bidang pemerintahan, ekonomi,
pendidikan, agama dan seterusnya. Lembaga kemasyarakat yang
menjadi titik tolak perubahan tergantung pada cultural focus
masyarakat pada suatu masa tertentu.
Lembaga kemasyarakatan yang pada suatu waktu mendapat penilaian
tertinggi dari masyarakat cenderung menjadi saluran utama perubahan
sosial dan kebudayaan.
3. Disorganisasi (disintegrasi) dan reorganisasi (reintegrasi)
Disorganisasi atau disintegrasi dapat dirumuskan sebagai suatu
proses pudarnya norma-norma dan nilai-nilai dalam masyarakat karena
perubahan-perubahan yang terjadi pada lembaga-lembaga
kemasyarakatan. Sementara itu, reorganisasi atau reintegrasi adalah
suatu proses pembentukan norma-norma dan nilai-nilai baru agar
serasi dengan lembaga kemasyarakatan yang telah mengalami
perubahan.
Adapun gejala-gejala yang menyebabkan disintegrasi sosial adalah
sebagai berikut:
a. Tidak adanya persepsi atau persamaan pandangan di antara
anggota masyarakat yang semula dijadikan pedoman oleh anggota
masyarakat.
b. Norma-norma masyarakat tidak berfungsi dengan baik.
c. Ada pertentangan norma-norma dalam masyarakat.
d. Tidak ada sanksi yang tepat bagi pelanggar norma.
e. Tindakan-tindakan dalam masyarakat sudah tidak lagi sesuai
dengan norma-norma masyarakat.
f. Interaksi sosial yang terjadi ditandai dengan proses sosial yang
disosiatif.

Tahap reorganisasi dilaksanakan apabila norma-norma dan nilai-


nilai yang baru telah melembaga dalam diri warga masyarakat.
Berhasil atau tidaknya proses pelembagaan tersebut dalam masyarakat
mengikuti formula sebagai berikut. Efektifitas menanam merupakan
hasil positif penggunaan tenaga manusia, alat, organisasi dan metode
di dalam menanamkan lembaga baru. Semakin besar kemampuan
tenaga manusia, alat-alat yang dipakai dan sistem penanaman sesuai
dengan kebudayaan masyarakat makin besar pula hasil yang dapat
dicapai oleh usaha penanaman lembaga baru itu.
Akan tetapi, setiap usaha untuk menanam sesuatu unsur yang baru
pasti akan mengalami reaksi dari beberapa golongan masyarakat yang
merasa dirugikan. Kekuatan menentang masyarakat, itu mempunyai
pengaruh negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses
pelembagaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa apabila efektivitas
menanam kecil, sedangkan kekuatan menentang masyarakat besar,
kemungkinan suksesnya proses pelembagaan menjadi kecil atau
bahkan hilang sama sekali. Sebaliknya apabila efektivitas menanam
besar dan kekuatan menentang masyarakat kecil, jalannya proses
pelembagaan menjadi lancar.
Gambaran mengenai disorganisasi dan reorganisasi dalam
masyarakat pernah digambarkan oleh William I Thomas dan Florian
Znaniecki dalam karya klasiknya The Polish Peasant in Europe and
America. Khusus tentang disorganisasi dan reorganisasi, mereka
membentangkan pengaruh dari suatu masyarakat yang tradisional dan
masyarakat yang modern terhadap jiwa para anggotanya. Watak atau
jiwa seseorang paling tidak merupakan pencerminan kebudayaan
masyarakat.
Pada masyarakat-masyarakat tradisional, aktivitas seseorang
sepenuhnya berada di bawah kepentingan masyarakatnya. Segala
sesuatu didasarkan pada tradisi dan setiap usaha untuk mengubah satu
unsur saja. Itu berarti bahwa sedang ada usaha untuk mengubah
struktur masyarakat seluruhnya. Struktur dianggap sesuatu yang suci,
tak dapat diubah-ubah dengan drastis dan berjalan lambat sekali.
Perubahan dari suatu masyarakat tradisional menjadi masyarakat yang
modern akan mengakibatkan pula perubahan dalam jiwa setiap
anggota masyarakat.
Thomas dan Znaniecki menggambarkan betapa para petani
Polandia yang pindah dari Eropa ke Amerika mengalami disorganisasi
karena di tempat asalnya, mereka merupakan bagian dari masyarakat
yang tradisional dan di Amerika mereka berhadapan dengan
masyarakat modern yang mempunyai pola kehidupan yang berbeda.
Timbullah disorganisasi, misalnya dalam keluarga batih. Orang tua di
Eropa mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap anak-anaknya,
tetapi di Amerika kekuasaan tadi menjadi pudar dan melemah. Dan
dalam reorganisasi, timbullah norma-norma baru yang mengatur
hubungan antara orang tua dengan anak-anak.

Anda mungkin juga menyukai