Anda di halaman 1dari 11

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/307703592

Peranan Faktor Imun dan Profil Protein dalam Penelitian dan Pengembangan
Vaksin Malaria Iradiasi

Article · March 2014


DOI: 10.15294/biosaintifika.v6i1.2929

CITATION READS

1 5,181

1 author:

Mukh Syaifudin
PTKMR BATAN
48 PUBLICATIONS   315 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Malaria Vaccine View project

Detection Biomarker Gamma H2AX, 53BP1 in High Background Natural Radiation Area Resident View project

All content following this page was uploaded by Mukh Syaifudin on 25 April 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Biosaintifika 6 (1) (2014)

Biosaintifika
Journal of Biology & Biology Education

http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/biosaintifika

Peranan Faktor Imun dan Profil Protein dalam Penelitian dan Pengembangan
Vaksin Malaria Iradiasi

The Role of Immune Factor and Protein Profile in Research and Development of
Malaria Vaccine with Irradiation

Mukh Syaifudin

Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi, BATAN, Indonesia

Info Artikel Abstrak


Sejarah Artikel: Pengembangan vaksin terhadap malaria yang merupakan penyakit yang mematikan tetap
Diterima Januari 2014 menjadi satu prioritas kesehatan masyarakat global, termasuk pemanfaatan parasit iradiasi
Disetujui Februari 2014 sebagai bahan vaksin. Imunisasi dengan sporozoit iradiasi mampu memberikan imunitas
Dipublikasikan Maret 2014 protektif pada hewan coba dan sukarelawan. Mekanisme sistem kekebalan tubuh ini banyak
dipelajari karena merupakan faktor penting dalam pengembangan vaksin, demikian halnya
profil dan/atau ekspresi protein pasca iradiasi yang terkait erat dengan keamanan dan aspek
Keywords: lain dari bahan vaksin. Meskipun telah melalui penelitian yang ekstensif, vaksin yang aman
cytokines; immune dan protektif belum dapat diperoleh karena masih diperlukan pengetahuan yang lebih
response; irradiation; mendalam mengenai mekanisme imunitas dan protein dalam litbang malaria. Hasil penelitian
malaria vaccine; T-cells menunjukkan bahwa sel limfosit T berperan penting dalam pengaturan respon imun dan
pembentukan memori imunologik yang mengontrol dan mengeliminasi infeksi. Sitokin
proinflamasi seperti interleukin-12 (IL-12), interferon-gamma (IFN-γ), dan tumor necrosis
factor alpha (TNF-α) juga merupakan mediator esensial dari imunitas protektif pada malaria
eritrositik. Berbagai pendekatan lain terkait respon imun seperti genetika molekuler saat ini
sedang dilakukan. Studi juga menunjukkan bahwa profil protein bergantung pada beberapa
faktor yang akan dibahas lebih lanjut dalam makalah.

Abstract
The development of vaccine against malaria as the deadly disease remains the global public health
priority; and it includes the use of irradiated parasites as vaccine materials. Immunization with irradiated
sporozoites could provide protective immunity in animals and volunteers. The mechanism of this body
immunity system has been studied widely due to its important role in the development of vaccines and
profiles and/or protein expression post-irradiation which are closely related to safety and other aspects of
vaccine materials. Even though extensive research has been done, a safe and protective vaccine remains
elusive because more deeply knowledge on immunity mechanism and protein in malaria research is still
needed. Results showed that T-cell lymphocytes have an important role in the regulation of immune
response and in the formation of immunological memory which controls and eliminates the infection.
Pro-inflammatory cytokines such as interleukin-12 (IL-12), interferon-gamma (IFN-γ), and alpha tumor
necrosis factor (TNF-α) are also essential mediators of protective immunity in erythrocytic malaria.
Various other approaches related to immune response such as molecular genetics has been carried out.
The study also showed that protein profile is depended on some factors that will be discussed further in
the paper.

© 2014 Universitas Negeri Semarang



Alamat korespondensi: p-ISSN 2085-191X
Jl. Lebakbulus Raya No. 49 Po Box 7043 JKSKL Jakarta Indonesia 12070 e-ISSN 2338-7610
E-mail : mukh_syaifudin@batan.go.id
Mukh Syaifudin / Biosaintifika 6 (1) (2014)

PENDAHULUAN ini. Bentuk-bentuk parasit dalam eritrosit ada-


lah ring (cincin), tropozoit, schizon dan gameto-
Malaria menyebabkan sekitar 350-500 juta sit. Schizon dapat menyebabkan keadaan fatal
kasus infeksi pada manusia dengan sekitar 1-3 pada penderitanya karena dapat menyebabkan
juta kematian per tahun di seluruh dunia. Jika reaksi leukosit dan fagosit, sedangkan sporozoit
prevalensi malaria terus mengalami peningkatan dan gametosit tidak menimbulkan perubahan pa-
yang sama seperti saat ini, maka tingkat kema- tofisiologik (Francis & Warrell, 1993). Patofisi-
tian akan berlipat dua dalam duapuluh tahun ologi malaria sangat berhubungan dengan peng-
mendatang. Malaria ditemukan di lebih dari 100 hancuran eritrosit oleh parasit dan fagositosis
negara, terutama di daerah tropis dari benua Af- eritrosit baik yang mengandung parasit maupun
rika, Asia, dan Amerika Latin, termasuk Indone- yang tidak mengandung parasit, sehingga menye-
sia. Lebih dari 90% kasus malaria dan kebany- babkan anemia dan anoksia jaringan. Hemolisis
akan kematian akibat malaria terjadi di benua intravaskular yang terjadi dapat menyebabkan
Afrika (Joy et al., 2003; TDR, 2007). Berdasarkan hemoglobinuria (blackwater fever) dan gagal ginjal.
database Badan Kesehatan Dunia (WHO) tahun Di samping itu mediator endotoksin-makrofag
2000, Indonesia menempati urutan ke-26 dengan yang diduga berasal dari rongga saluran cerna.
jumlah kasus 919,8 per 100.000 orang (Globalis Parasit malaria dapat melepaskan faktor nekrosis
Indonesia, 2007). tumor (TNF) yang merupakan suatu monokin
Penyakit malaria pada manusia disebab- dalam darah hewan dan manusia penderita ma-
kan oleh 4 jenis plasmodium uniseluler yaitu P. laria. TNF dan sitokin lain menimbulkan de-
falciparum, P. vivax, P. malariae, dan P. ovale. Dan mam, hipoglikemia dan sindrom penyakit perna-
satu spesies lain yang diduga menginfeksi ma- fasan pada orang dewasa (adult respiratory distress
nusia melalui Macaca adalah P. knowlesi (Cox- syndrome) dengan sekuestrasi sel neutrofil dalam
Singh et al., 2008). P. falciparum paling banyak pembuluh darah paru. TNF juga dapat meng-
menyebabkan kematian karena plasmodium ini hancurkan P. falciparum in vitro dan dapat menin-
menghalangi jalan darah ke otak dengan mem- gkatkan perlekatan eritrosit mengandung parasit
bentuk suatu formasi rossetting (pengikatan eri- pada endotelium kapiler. Dan adanya sekuestrasi
trosit terinfeksi dengan eritrosit tidak terinfeksi) eritrosit yang terinfeksi parasit membentuk tonjo-
dan sekuestrasi/sitoaderen (pengikatan eritrosit lan-tonjolan pada permukaannya. Tonjolan terse-
terinfeksi pada sel endotel) dalam sel darah yang but mengandung antigen malaria dan bereaksi
menyebabkan koma dan kematian (Clyde, 1975). dengan antibodi dan berhubungan dengan afini-
Malaria dimulai ketika suatu bentuk Plas- tas eritrosit terhadap endotelium kapiler darah
modium sp. yang disebut sporozoit dimasukkan ke dalam organ, sehingga skizogoni berlangsung di
aliran darah inang vertebrata oleh gigitan vektor sirkulasi organ dalam, tidak di sirkulasi perifer.
nyamuk terinfeksi yang selanjutnya akan men- Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endo-
ginvasi sel-sel hati dan bertransformasi ke dalam telium kapiler darah dan membentuk gumpalan
tahap ekso-eritrositik (Clyde, 1975). Sejumlah ke- (sludge) yang membendung kapiler dalam organ-
cil sporozoit yang lolos dari penghancuran oleh organ dalam (Gambar 1).
sistem imun akan berkembang biak dalam hati. Salah satu upaya pencegahan/pengenda-
Sporozoit akan menuju eritrosit dan akan meng- lian paling tepat pada penyakit infeksi yang me-
hasilkan sekitar 40.000 merozoit di dalam sel matikan ini adalah vaksinasi, namun sampai saat

Gambar 1. Ilustrasi rossetting dan sekuestrasi yang terjadi pada sel darah merah yang terinfeksi P.
falciparum.

9
Mukh Syaifudin / Biosaintifika 6 (1) (2014)

ini belum ditemukan vaksin yang efektif hingga pemikiran terbaru pengembangan vaksin dan ter-
100% untuk mencegah infeksi malaria. Jumlah bukti imunogenik dengan suatu adjuvant.
kasus yang terbanyak disebabkan oleh P. falcipa- Protein yang merupakan kelompok bio-
rum dan P. vivax sehingga vaksin yang mendesak makromolekul yang sangat heterogen dapat me-
untuk dibuat adalah vaksin untuk mengatasi in- merankan fungsi sebagai bahan struktural kare-
feksi oleh kedua jenis plasmodium tersebut yang na, seperti halnya polimer lain, memiliki rantai
secara filogenetik dan sifat virulensinya cukup yang panjang dan juga dapat mengalami cross-
berbeda (Escalante & Ayala, 1994). Hasil peng- linking dan lain-lain. Studi efek radiasi terhadap
kajian menunjukkan bahwa imunitas terhadap profil protein dalam pengembangan vaksin ira-
malaria sangat kompleks karena melibatkan diasi juga berperan sangat penting dimana inten-
hampir seluruh komponen sistem imun baik imu- sitas (konsentrasi) protein dapat berubah akibat
nitas spesifik maupun imunitas non spesifik, imu- iradiasi sinar gamma, demikian halnya struktur
nitas humoral maupun selular yang timbul secara maupun ikatannya. Perubahan struktur dapat
alami maupun didapat (acquired). Salah satu sel diakibatkan oleh denaturasi dan degradasi pro-
yang bertanggung jawab terhadap imunitas selu- tein, maupun perubahan asam deoksiribonukleat
lar adalah limfosit khususnya sel limfosit T (Nu- (DNA). Perubahan DNA ini dapat menyebabkan
groho et al., 2000). peningkatan sintesis protein atau terbentuknya
Vaksin sangat bermanfaat untuk menurun- protein baru (Syaifudin, 2005).
kan morbiditas dan mortalitas penyakit malaria Kunci keberhasilan pengembangan vaksin
(Kwiatkowski & Marsh, 1997). Kendala besar da- adalah munculnya respon imun dalam inang baik
lam pengembangan vaksin adalah kemampuan melalui induksi antibodi yang mengeblok infasi
parasit untuk mengubah antigennya (Gardiner et parasit maupun memicu sel hati yang terinfeksi
al., 2005). Vaksin malaria yang efektif harus te- untuk melakukan program bunuh diri dan men-
pat sasaran yakni mampu mengatasi parasit pada gurangi sel-sel terinfeksi yang beredar dalam tu-
berbagai stadium perkembangannya, menghasil- buh. Permasalahannya adalah bahwa ternyata
kan respon imun humoral dan selular, dan meng- untuk menginduksi respon imun ini sangat su-
aktifkan sel memori. Dengan demikian vaksin ini lit karena parasit malaria senantiasa merubah
harus dapat mengarah ke bentuk-bentuk parasit protein antigenik yang bergantung pada siklus
ekso-eritrositik (tahap hati) dan eritrositik (tahap- hidupnya. Sementara suatu vaksin dibuat dari
darah), serta mampu memicu respon imun hu- satu antigen sasaran, di lain pihak parasit telah
moral dan seluler, mengatasi restriksi genetik dan merubah antigennya. Namun demikian ada ke-
menstimulasi sel memori (Caro-Aguilar et al., majuan signifikan dalam pengetahuanm imuni-
2002). Untuk keberhasilan pengembangan vaksin tas ini melalui riset intensif. Satu hal lainnya yang
malaria multi-valent diperlukan identifikasi anti- tidak kalah penting adalah berkaitan dengan ke-
gen potensial (Nardin & Nussenzweig, 1993). amanan bahan vaksin setelah iradiasi yang an-
Selain respon imun, para peneliti juga men- tara lain dapat ditentukan melalui uji profil dan/
gembangkan metode yang dapat mengungkap- atau ekspresi protein parasit sebagai antigen yang
kan profil/ekspresi antibodi, merupakan suatu dikode oleh banyak gen.
jenis protein, yang muncul setelah vaksinasi dan
mengidentifikasi antigen imunoreaktif yang di- METODE
harapkan dapat digunakan untuk bahan vaksin.
Sebagai contoh vektor ekspresi yang mengkode Untuk uji respon imun humoral dilakukan
protein P. falciparum yang dibuat dengan teknik dengan menggunakan metode enzyme linked im-
polymerase chain reaction (PCR)/cloning rekombi- munosorbent assay (ELISA) untuk mengukur an-
nasi. Saat ini telah dikenal teknik canggih yang tibodi dalam serum darah yang terbentuk setelah
dikenal sebagai analisis proteomik atau microarray pemberian vaksin. Uji respon imun juga dapat
yang mampu mengidentifikasi berbagai macam dilakukan dengan metode immunofluorescence an-
protein terkait imunoreaktivitas. Informasi yang tibody test (IFAT) yang prosedurnya sesuai dengan
diperoleh dari analisis ini akan mempermudah kit komersial yang digunakan. Untuk uji respon
identifikasi, pencuplikan basis molekuler imu- imun seluler seperti limfosit T sitotoksik dilaku-
nitas, memonitor outcome atau keberhasilan uji kan dengan teknik ELISPOT. Uji respon imun
coba vaksin, dan identifikasi imun terkait protek- melalui fagositosis sel terinfeksi dilakukan meng-
si (Doolan et al., 2008). Cloning antigen merozoite gunakan latex dalam kultur sel in vitro menurut
surface protein-1 (MSP-1) sebagai imunogen juga prosedur standard.
menjadi fokus usaha pengembangan vaksin. Fusi Untuk uji profil protein dilakukan den-
MSP-1 dan MSP-3 (suatu chimeric) juga menjadi gan metode sodium dodecyl sulfate-polyacrylamide

10
Mukh Syaifudin / Biosaintifika 6 (1) (2014)
gel electrophoresis (SDS-PAGE) menggunakan gel (Bull et al., 1998). Ketiga, tahapan seksual ketika
poliakrilamid yang dibuat dengan mencamp- merozoit berkembang menjadi gametosit jantan
urkan komponen-komponen meliputi deionized dan betina yang siap diisap nyamuk. Vaksin ta-
water, larutan 30% akril-bis-akrilamid, buffer, hap aseksual atau pencegahan transmisi akan
amonium persulfat 10% dan tetramethylethylenedi- menghasilkan antibodi melawan gametosit.
amine (TEMED). Bahan campuran ini dimasuk- Perkembangan di bidang imunologi dan
kan dalam suatu plat kaca yang telah dirangkai biologi molekuler telah menghasilkan berbagai
sedemikian sehingga diperoleh gel poliakrila- produk vaksin yang kemudian dapat digunakan
mid dengan tebal 1 mm. Setelah diproses awal, untuk diagnosis dan pencegahan malaria. Saat
sampel dielektroforesis pada gel selama sekitar ini terdapat beberapa peptida yang menunjukkan
70 menit, gel diwarnai dengan Commasie blue, potensi protektif pada binatang percobaan dan
difiksasi dan divisualisasi untuk mengetahui pro- disebut kandidat vaksin yakni merozoite surface
fil protein. antigen (MSA)-1, MSA-2, apical membrane anti-
Untuk litbang vaksin malaria iradiasi, ba- gen (AMA)-1, peptida berulang seperti NANP,
han vaksin berupa darah terinfesi parasit P. ber- EENV. MSA-1, MSA-2 dan AMA-1 merupakan
ghei diiradiasi sinar gamma dengan dosis 0, 150, antigen yang diharapkan dapat dikembangkan
175 dan 200 Gy. Setelah diiradiasi, darah disun- menjadi vaksin, karena dalam penelitian pato-
tikkan pada mencit dan kemudian diamati para- genesis menunjukkan adanya hubungan dengan
sitemianya setiap hari dengan membuat apusan pertahanan diri terhadap malaria di daerah en-
darah tipis menurut prosedur standard. demis. Jenis sitokin yang diproduksi dalam suatu
individu saat terkena penyakit atau saat terinfeksi
HASIL DAN PEMBAHASAN parasit dapat menunjukkan sel T yang berperan
dalam keadaan tersebut (Ramharter et al., 2003).
Berikut ini dipaparkan hasil-hasil pene- Adanya memori imunologik dan transfer
litian dan pengembangan vaksin malaria yang imunitas lewat serum atau imunoglobulin juga
telah dilakukan baik di BATAN maupun di luar dapat membentuk kekebalan terhadap malaria.
negeri. Penelitian vaksin terus mengalami kema- Individu yang sudah terpapar plasmodium dalam
juan antara lain melalui Malaria Vaccine Techno- waktu yang lama kemungkinan telah memben-
logy Roadmap yang bertujuan untuk mempercepat tuk sistem imunitas sehingga gejala infeksi tidak
pengembangan vaksin dan diharapkan pada ta- terlalu nyata, walaupun dari analisis apusan da-
hun 2025 telah diperoleh vaksin dengan efekti- rah tebal ditemukan adanya plasmodium. Oleh
vitas lebih dari 80% dengan daya proteksi lebih karena itu prinsip vaksinasi adalah membuat se-
dari 4 tahun serta aman. Namun pengembangan seorang yang tidak pernah terpapar plasmodium
menemui kendala yang rumit, sehingga berbagai menjadi imun dengan cara memaparkannya pada
macam pendekatan dicoba seperti pemanfaatan plasmodium yang dilemahkan. Konsep ini sudah
radiasi untuk melemahkan parasit sebagai bahan dicoba pada tahun 1970-an dengan melemahkan
dasar vaksin (WHO, 2005). Radiasi sinar gamma sporozoit menggunakan radiasi, namun kendala
dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan suatu perbedaan spesies plasmodium yang amat berva-
imunogen yang potensial dan dapat menghasil- riasi membuat konsep ini tidak terlalu berkem-
kan antibodi yang optimal dalam menahan se- bang pada saat itu (Nussenzweig et al., 1967).
rangan infeksi parasit (Hook et al., 2003). Salah satu kandidat vaksin malaria yang
Tiga tahapan berbeda dari siklus hidup par- pernah diuji di lapangan adalah RTS,S yang me-
asit merupakan sasaran potensial baik vaksin sub rupakan vaksin rekombinan yang mengandung
unit ataupun organisme utuh (whole-organism). protein permukaan sporozoit P. falciparum dari
Pertama, pada tahapan pra-eritrositik asimptom- fase pra-eritrositik yang digabungkan dengan
atik dimana nyamuk terinfeksi memasukkan spo- antigen permukaan virus hepatitis B sehingga di-
rozoit ke aliran darah inang. Vaksin pra-eritrosi- harapkan imunogenisitasnya meningkat. Bahan
tik ini akan memicu antibodi melawan sporozoit. adjuvan yang telah teruji klinis cukup baik imu-
Kedua adalah tahapan eritrositik atau darah ke- nogenisitasnya adalah monofosforil A dan QS21
tika hepatosit terinfeksi melepaskan merozoit ke (SBAS2). Hasil uji efektivitas kandidat vaksin ini
aliran darah, dimana tanda-tanda klinis muncul cukup baik, terutama pada anak-anak yang men-
seperti demam, anemia dan gagal ginjal. Vaksin capai 53% untuk kombinasi adjuvan AS01E dan
eritrositik akan memproduksi antibodi melawan 65.2% untuk adjuvan AS02D. Hasil uji keampu-
merozoit. Antibodi protektif diarahkan untuk han (efficacy) RTS/S yang dikombinasi dengan
melawan antigen target polimorfik seperti P. fal- berbagai adjuvant disajikan dalam Gambar 2 un-
ciparum erythrocyte membrane protein-1 (PfEMP-1) tuk tahun 1995 hingga 2013 (Abath, 2000).

11
Mukh Syaifudin / Biosaintifika 6 (1) (2014)

Gambar 2. Persentase keampuhan vaksin malaria RTS/S yang dikombinasi dengan berbagai adjuvant
pada penderita malaria

.
Vaksin diberikan dengan tujuan untuk kebal terhadap infeksi P. vivax, individu dengan
membentuk sistem imun yang kuat. Namun ber- Human Leucocyte Antigen (HLA) tertentu.
beda dengan penyakit akibat virus atau bakteri, b). Imunitas non-spesifik (non-adaptive/innate).
imunitas terhadap malaria sangat kompleks, me- Sporozoit yang masuk ke dalam darah segera
libatkan hampir seluruh komponen sistem imun dihadapi oleh respon imun non-spesifik teruta-
baik spesifik maupun non-spesifik, imunitas hu- ma dilakukan oleh magrofag dan monosit, yang
moral maupun seluler, yang timbul secara alami menghasilkan sitokin-sitokin seperti TNF, IL-1,
maupun didapat (acquired), akibat infeksi atau IL-2, IL-4, IL-6, IL-8, IL-10 dan langsung meng-
vaksinasi. Kemunculan imunitas spesifik berjalan hambat pertumbuhan parasit (sitostatik), mem-
lambat. Imunitas hanya bersifat jangka pendek bunuh parasit (sitotoksik).
(short lived) dan kemungkinan tidak ada imunitas c). Imunitas spesifik. Tanggapan sistem imun
yang permanen dan sempurna (Kremsner et al., terhadap infeksi malaria mempunyai sifat spesies
1990; Peyron et al., 1994). Antigen-antigen para- spesifik, strain spesifik, dan stadium spesifik.
sit merupakan pemicu pelepasan zat-zat tertentu Imunitas terhadap stadium siklus hidup
dari sel-sel imunitas tubuh yang disebut sitokin. parasit (stage specific), dibagi menjadi (Kern et al.,
Sitokin dihasilkan oleh makrofag atau mono- 1989) :
sit dan limfosit T. Sitokin yang dihasilkan oleh - Imunitas pada stadium eksoeritrositer (ekstra-
makrofag adalah TNF, IL-1 dan IL-6 sedangkan hepatik/stadium sporozoit). Respon imun pada
limfosit T menghasilkan tumor necrosis factor alpha stadium ini berupa antibodi yang menghambat
(TNF)-alfa, IFN-gamma, IL-4, IL-8, IL-10 dan masuknya sporozoit ke dalam hepatosit dan anti-
IL-12. IFN-gamma adalah protein alami yang bodi yang membunuh sporozoit melalui opsoni-
diproduksi oleh sel dari sistem imun pada seba- sasi. Eksoeritrositer intrahepatik, respons imun
gian besar vertebrata untuk merespon tantangan pada stadium ini berupa Limfosit T sitotoksik
benda asing seperti virus atau parasit. Sitokin CD8+ dan antigen/antobodi pada stadium he-
tersebut dapat berasal baik dari lengan innate patosit seperti liver stage antigen-1(LSA-1), LSA-2,
atau adaptif dari respon imun (Favre et al., 1997; LSA-3 (Gambar 3).
Stevenson et al., 1995). Adalah penting untuk me- - Imunitas pada stadium aseksual eritrositik ber-
nentukan kontribusi sitokin tersebut pada imuni- upa antibodi yang mengaglutinasi merozoit, anti-
tas dan patologi infeksi malaria, karena mereka bodi yang menghambat cytoadherance, antibodi
dapat mendukung aspek selama respon pro-infla- yang menghambat pelepasan atau menetralkan
masi (Artavanis-Tsakonas & Riley, 2002). toksin-toksin parasit.
Bentuk atau respon imunologi terhadap - Imunitas pada stadium seksual berupa antibodi
malaria dibedakan menjadi tiga kategori yaitu : yang membunuh gametosit, antibodi yang meng-
a). Imunitas alamiah non-imunologis berupa hambat fertilisasi, menghambat transformasi zi-
kelainan-kelainan genetik polimorfisme yang di- got menjadi ookinet, antigen/antibodi pada sta-
kaitkan dengan resistensi terhadap malaria. Mis- dium seksual prefertilisasi, dan antigen/antibodi
alnya hemoglobin S (sickle cell trait), hemoglobin pada stadium seksual post fertilisasi.
C, hemoglobin E, thalasemia α/β, defisiensi glu- Disamping antibodi, limfosit T yang terak-
kosa-6 fosfat dehidrogenase (G6PD), ovalositosis tivasi memegang peranan penting dalam infeksi
herediter, golongan darah Duffy negatif yang sporozoit intraseluler. Adanya infeksi sporozoit

12
Mukh Syaifudin / Biosaintifika 6 (1) (2014)

Gambar 3. Siklus hidup malaria yang menunjukkan antigen yang terekspresi dan suatu representasi
mekanisme efektor imun tahap hati, S : sporozoit; M :merozoit; G : gametosit.

Gambar 4. Tampilan mikroskopis makrofag (tanda panah) dalam sel darah yang terinfeksi parasit
untuk uji respon imun dalam litbang vaksin malaria iradiasi.

akan merangsang sub set sel T helper, dalam hal melawan infeksi tahap hati dan antibodi yang ter-
ini T helper 1 (Th1) untuk mensekresi limfokin libat dalam proteksi melawan sporozoit (Todryk
yaitu IFN-γ dan TNF-α. Sekresi kedua limfokin & Walther, 2005).
ini akan mengaktivasi makrofag, dimana makro- Ada dua macam respon imun yang ter-
fag akan menghasilkan nitrogen oksida dan seny- jadi apabila ada mikroba yang masuk ke dalam
awa lain untuk membunuh parasit. Peningkatan tubuh, yaitu respon innate dan adaptive. Sel yang
sekresi IFN-γ clan TNF-α oleh aktivasi makrofag berperan dalam innate response adalah sel fagosit
dapat meningkatkan reaksi pertahanan tubuh ter- (neutropil, monosit dan makrofag). Hasil peng-
hadap malaria terutama terhadap sporozoit pada amatan makrofag menggunakan latex dalam
fase ekstra-eritrosit (intraseluler) (Abath, 2000). pengembangan vaksin malaria iradiasi disajikan
Respon imun memerlukan bentuk dan target dalam Gambar 4. Hasil penelitian menunjuk-
yang cukup untuk melawan antigen yang sesuai, kan bahwa fagositosis lebih banyak terjadi pada
demikian juga dalam hal ekspresi antigennya. sel darah mencit yang disuntik parasit P. berghei
Respon imun yang dimediasi sel, terutama sel T iradiasi dosis 150 Gy (Darlina & Tetriana, 2007).
CD4+ dan CD8+, terimplikasikan dalam proteksi

13
Mukh Syaifudin / Biosaintifika 6 (1) (2014)

Profil Protein Pasca Iradiasi degradasi, gangguan ikatan hi­drogen dan pemu-
Protein berperan penting dalam pato- tusan ikatan disulfida antar molekul (Dogbevi et
genitas malaria. Protein di dalam kelenjar lu- al., 1999).
dah nyamuk Anopheles sp. dapat berfungsi seb- Protein dapat mengalami dua kemungki-
agai imunomodulator dan vasomodulator yang nan, yaitu pengembangan/pemanjangan rantai
memudahkan nyamuk dalam menghisap darah, peptida dan pemecahan protein menjadi unit
dan juga berperan sebagai antigen atau vaksin yang lebih kecil tanpa disertai pengembangan
yang mampu meningkatkan antibodi sistem molekul. Terjadinya kedua jenis denaturasi ini
imun manusia. Hasil penelitian memperlihatkan bergantung pada keadaan molekul. Yang perta-
bahwa terdapat perbedaan profil protein kelenjar ma terjadi pada rantai polipeptida, sedangkan
ludah antar spesies nyamuk. Di samping itu un- yang kedua terjadi pada bagian-bagian molekul
tuk membuat infeksi, parasit membawa protein yang tergabung dalam ikatan sekunder. Degra-
virulensi ke dalam sel eritrosit. Protein ini dapat dasi protein dapat menyebabkan protein tersebut
menembus sederet membran sel, termasuk mem- kehilangan fungsinya sebagai protein dan degra-
bran parasit, membran parasitophorous vacuole, dasi struktur dapat berasal dari hilangnya gugus
dan membran eritrosit. Peneliti berhasil mengi- samping (Syaifudin, 2005).
dentifikasi 400 protein eritrositik putative yang ter- Hasil penelitian yang telah dilakukan da-
kait sekitar 8% gen, dengan 225 protein virulensi lam hubungannya dengan litbang vaksin malaria
dan 160 protein terlibat perubahan dalam eritros- iradiasi berbasis sporozoit di BATAN menun-
it inang (Marti et al., 2004). Protein tersebut juga jukkan adanya perbedaan profil protein antara
berinteraksi satu dengan lainnya. kelenjar ludah Anopheles sp. terinfeksi dan tidak
Iradiasi yang digunakan untuk membuat terinfeksi. Terdapat penambahan jumlah pita
vaksin tentunya memiliki efek pada protein kare- protein pada dosis iradiasi lebih tinggi dimana
na dapat menyebabkan agregasi protein alamiah terdeteksi profil protein sporozoit P. berghei (BM
berupa rearrangement sub unit penyusunnya dan 62 kDa), tetapi tidak terdapat perbedaan profil
ikat silang (crosslinking) peptida membentuk dimer circumsporozoite protein (CSP) antar dosis ira-
atau tetramer melalui aksi radikal bebas. Iradiasi diasi gamma 150 dan 175 Gy (Gambar 5). Hasil
gamma mempengaruhi protein dengan merubah tersebut memberikan informasi dasar yang men-
konformasi, oksidasi asam amino dan pemben- garah pada studi lanjut tentang peranan protein
tukan radikal bebas protein (Afify & Shousha, sporozoit dalam pengembangan vaksin malaria
1988). Di samping itu juga terjadi perubahan (Syaifudin et al., 2014). Hasil litbang juga menun-
kimia seperti fragmentasi, agregasi dan oksidasi jukkan adanya perbedaan profil protein antar laju
oleh radikal oksigen hasil radiolisis air. Iradiasi dosis iradiasi. Lebih banyak ditemukan pita pro-
gamma yang optimal memiliki efek yang sedikit tein baru pada laju dosis iradiasi lebih tinggi (720
pada profil asam amino seperti direkomendasi- Gy/jam) dibandingkan dengan laju dosis rendah
kan untuk makanan oleh Badan Kesehatan Du- (380 Gy/jam).
nia (WHO) tahun 1999. Rearrangement molekular Hasil litbang profil protein pada darah
akan menyebabkan kondensasi atau polimerisasi, mencit juga menunjukkan bahwa mencit terin-

M 1 2 3

58,0

46,0

30,0
Gambar 5. Hasil uji profil protein dari sporozoit P. berghei yang diiradiasi gamma dengan dosis 0 Gy
(lajur 1), 150 Gy (lajur 2) dan 175 (lajur 3) pada SDS-PAGE. M, marker protein.

14
Mukh Syaifudin / Biosaintifika 6 (1) (2014)

Gambar 6. Persentase parasitemia dalam darah mencit pada hari-hari pasca penyuntikan P. berghei
iradiasi secara intraperitoneal.

feksi parasit berbeda dengan mencit tidak ter- dari satu kali dapat memperpanjang masa hidup
infeksi dimana lebih banyak pita terkait infeksi mencit dan lebih kebal dibandingkan dengan
yang menandakan adanya beberapa protein baru satu kali imunisasi. Sebagai ”state of the art” dari
(imported) dalam sel inang untuk proses patofisi- pengembangan vaksin dengan radiasi sinar gam-
ologi malaria, demikian halnya iradiasi yang juga ma adalah penelitian oleh Hoffman et al. (2002)
menyebabkan munculnya protein baru. Profil yang menyatakan bahwa stadium yang paling
protein juga dipengaruhi oleh persentase parasit efektif untuk mengatasi malaria adalah stadium
(komposisi/tahapan siklus hidup), spesies para- sporozoit dengan dosis iradiasi gamma antara
sit yang menginfeksi, dosis dan laju dosis iradiasi 150-200 Gy. Dosis radiasi optimum tersebut
serta faktor lain (Syaifudin et al., 2013). mampu mengatenuasi sporozoit, mempertahank-
an kemampuannya memasuki sel hati dan seba-
Litbang Vaksin Malaria Iradiasi gian berkembang biak tetapi mencegah menjadi
Pengembangan vaksin malaria iradiasi dia- shizon tahap-hati dewasa, dan oleh karenanya
wali oleh Nussenzweig et al. (1967) dari Depart- mengeliminir kemampuan menginfeksi eritrosit.
ments of Pathology and Medical and Molecular Pa- Dengan menggunakan sukarelawan, ter-
rasitology, New York University Medical Center, New bukti bahwa imunisasi dengan gigitan nyamuk
York, Amerika Serikat dimana imunisasi terha- terinfeksi P. falciparum strain tertentu yang diira-
dap sukarelawan dengan sporozoit iradiasi mam- diasi sinar gamma 150 Gy mampu memproteksi
pu melindungi serangan malaria. Studi tersebut tantangan gigitan nyamuk pembawa P. falciparum
menemukan adanya perlindungan hingga 93% dalam 2-9 minggu. Namun gigitan kurang dari
(13 dari 14 sukarelawan) dan 94% (33 dari 35) jumlah tertentu dan lebih dari 9 minggu tidak
pada uji tantang. Studi intensif serupa juga telah bersifat protektif lagi. Pemberian tantangan ked-
dilakukan oleh banyak peneliti lain. ua pada sukarelawan yang sebelumnya terpro-
Pada penelitian menggunakan bakteri oleh teksi juga mampu bersifat protektif hingga 23-42
Rachmilewitz et al. (2004) dan sel ragi oleh Demi- minggu. Hasil-hasil tersebut menyiratkan bahwa
cheli et al. (2006) diketahui bahwa vaksin irradiasi imunisasi dengan ribuan pemajanan terhadap
lebih efektif karena mampu menstimulasi respon nyamuk pembawa sporozoit dari P. falciparum ter-
protektif dari sel imun (sel T) melalui protein toll- atenuasi sinar gamma adalah aman dan terdapat
like receptor dan tidak perlu disimpan dalam ru- toleransi serta mampu bersifat protektif paling ti-
ang dingin berdasarkan beberapa hasil penelitian dak selama 42 minggu. Sifat protektif ini diketa-
yang membuktikan tidak ada efek penyimpanan. hui dengan mengamati respon imun dalam tubuh
Meskipun vaksin yang dibuat dengan pemanasan inang setelah uji tantang baik melalui uji ELISA
atau kimia lebih aman dan mudah dibuat akan untuk mengetahui antibodi yang terbentuk atau
tetapi respon imunnya lebih rendah. Yadev et al. uji sel-T dan IFN-gamma (Hoffman et al., 2002).
(1982) telah membuktikan bahwa pemberian vak- Hasil penelitian di BATAN menunjukkan bahwa
sin iradiasi dari parasit rodensia P. berghei lebih vaksin iradiasi 150 dan 175 Gy mampu menekan

15
Mukh Syaifudin / Biosaintifika 6 (1) (2014)
jumlah eritrosit yang terinfeksi parasit pada hari- ciparum and vivax malaria by use of attenuated
hari pengamatan dan memperpanjang masa hid- sporozoites. Am J Trop Med Hyg, 24(3), 397-401.
up mencit (Gambar 6). Cox-Singh, J., Davis, T. M., Lee, K. S., Shamsul , S.
S., Matusop, A. & Ratnam, S. (2008). Plasmodi-
SIMPULAN um knowlesi malaria in humans is widely distrib-
uted and potentially life threatening. Clin Infect
Dis., 46(2), 165-171. 
Vaksin diperlukan untuk menginduksi tim-
Darlina & Tetriana, D. (2007). Daya infeksi Plasmodi-
bulnya imunitas humoral maupun seluler untuk um berghei stadium eritrositik yang diiradiasi sinar
mengeliminasi atau mencegah infeksi. Uji profil gamma. Prosiding Pertemuan Ilmiah PTKMR
dan/atau ekspresi protein memainkan peranan Jakarta.
penting antara lain untuk menjamin keamanan Demicheli, M. C., Reis, B. S., Goes, A. M. & De An-
dan tolerabilitas vaksin terkait dengan kemurnian deade, A. S. R. (2006). Paracoccidioides brasil-
(purity). Uji ini dapat dilakukan dengan beberapa iensis: attenuation of yeast cells by gamma ir-
metode, antara lain elektroforesis sampel pada radiation. Mycoses, 49(3), 184-189.
gel poliakrilamid melalui proses SDS-PAGE dii- Dogbevi, M. K., Vachon, C. & Lacroix, M. (1999)
Physiochemical properties of dry red kidney
kuti pewarnaan gel dengan Commasie-Blue atau
Bean proteins and natural microflora as af-
pewarna lain, ELISA, flow sitometri, dan pro- fected by gamma irradiation. J. Food Sci., 4(3),
teomik. Uji ini dilakukan pada sampel bahan 40-42.
vaksin setelah diiradiasi baik untuk deteksi an- Doolan, D. L., Mu, Y., Unal, B., Sundaresh, S., Hirst,
tigen murni atau kompleks antigen-antibodi yang S. & Valdez, C. (2008). Profiling humoral im-
terbentuk setelah pemberian vaksin. Profil atau mune responses to P. falciparum infection with
ekspresi protein dapat berupa parasit itu sendiri protein microarrays. Proteomics, 8(22), 4680-
atau hasil rekombinan atau cloning dalam suatu 4694.
sel bakteri seperti Escherichia coli. Uji lebih lanjut Escalante, A. A. & Ayala, F. J. (1994). Phylogeny of
the malarial genus Plasmodium, derived from
misalnya adalah western blot analysis setelah pros-
rRNA gene sequences. Proc. Natl. Acad. Sci., 91,
es SDS-PAGE untuk karakterisisasi atau isolasi 11373-11377. USA.
antibodi dengan mentransfernya pada membran Favre, N., Ryffel, B., Bordmann, G. & Rudin, W.
nitroselulosa. Protein itu sendiri dapat berupa ho- (1997). The course of Plasmodium chabaudi cha-
molog atau heterolog. baudi infections in interferon-gamma receptor
deficient mice. Parasite Immunol, 19, 375-383.
DAFTAR PUSTAKA Francis, N. & Warrell, D. A. (Eds). (1993). Pathol-
ogy and Pathophysiology of human malaria,
Abath, F. G. C. (2000). Development of vaccines In : Bruce Schwatt’s Essential Malariology, (Eds.
against human parasitic diseases: tools, current Gilles H M and Warrell D A., 3rd Edition). pp
status and perspectives. Expert Opinion on Inves- 50-59.
tigational Drugs, 9(2), 301-310. Globalis Indonesia. (2007). Indonesia: Malaria
Afify, A. M. R. & Shousha, M. A. (1988). Effect of Cases (Online). Retrieved from http://
low-dose irradiation on soybean protein solu- globalis.gvu.unu.edu/indicator_detail.
bility, trypsin inhibitor activity and protein pat- cfm?IndicatorID=74&Country=ID. May 23,
terns separated by polyacrylamide gel electro- (2007.
phoresis. J. Agric. Food Chem, 36(4), 810-813. Hoffman, S. L., Goh, M. L. & Luke, T. C. (2002). Pro-
Artavanis-Tsakonas, K. & Riley, E. M. (2002). Innate tection of humans against malaria by immu-
immune response to malaria: rapid induction nization with radiation-attenuated Plasmodium
of IFN-gamma from human NK cells by live falciparum. The Journal of Infectious Diseases, 185,
Plasmodium falciparum-infected erythrocytes. J. 1155 – 1164.
Immunol, 169, 2956-2963. Hook, R. H., Green, T. J. & Stuart, M. K. (2003).
Bull, P. C., Lowe, B. S., Kortok, M., Molyneux, C. S., Rheumatoid factor-like IgM in Plasmodium ber-
Newbold, C. I. & Marsh, K. (1998). Parasite ghei (Apicomplexa Haemosporida) infections
antigens on the infected red cell surface are of Balb /C mice. Folia griculturecal, 50, 176-182.
targets for naturally acquired immunity to ma- Joy, D., Feng, X. & Mu, J. (2003). Early origin and
laria. Natl. Med, 4, 358-360. recent expansion of Plasmodium falciparum. Sci-
Caro-Aguilar, I., Rodriguez, A., Calvo-Calle, J. M., ence, 300, 318-21, 2003.
Guzman, F., De la Vega, P. & Patarroyo, M. E. Kern, P., Hemmer. C. J., Damme, J. V., Gruss, H. J. &
(2002). Plasmodium vivax promiscuous T-helper Dietrich, M. (1989). Elevated tumor necrosis
epitopes defined and evaluated as linear pep- factor alpha and interleukin-6 serum levels as
tide chimera immunogens. Infect. Immun., 70, markers for complicated Plasmodium falciparum
3479-3492. malaria. American Journal of Medicine, 87, 139-
Clyde, D. F. (1975). Immunization of man against fal- 143.
Kremsner, P. G., Zotter, G. M., Feldmeier, H., Gran-

16
Mukh Syaifudin / Biosaintifika 6 (1) (2014)

inger, W. & Rocha, R. M. (1990). Immune re- specific T cells in non-immune malaria pa-
sponse in patients during and after Plasmodium tients. Parasite Immunol. 25(4), 211-219.
falciparum infection. J. Infect. Dis., 161, 1025- Stevenson, M. M., Tam, M. F., Wolf, S. F. & Sher, A.
1028. (1995). IL-12-induced protection against blood-
Kwiatkowski, D. & Marsh, K. (1997). Development of stage Plasmodium chabaudi AS requires IFN-
a malaria vaccine. Lancet, 350, 1696-1701. gamma and TNF-alpha and occurs via a nitric
Marsh, K. (1992). Malaria-a neglected disease? Parasi- oxide-dependent mechanism. J. Immunol, 155,
tology, 104, S53-S69.  2545-2556.
Marti, M., Good, R. T., Rug, M., Knuepfer, E. & Cow- Syaifudin, M. (2005). Indikator biokimia sel terhadap
man, A. F. (2004). Targeting malaria virulence radiasi pengion. Buletin ALARA, 4, 125-131.
and remodeling proteins to the host erythro- Syaifudin, M., Darlina, Nurhayati, S., Rahardjo, T.,
cyte. Science, 306(5703), 1930-1933. Tetriana, D. & Alatas, Z. (2014). Evaluation of
Nardin, E. H. & Nussenzweig, R. S. (1993). T cell re- immune response in mouse blood post injec-
sponses to pre-erythrocytic stages of malaria: tion with gamma ray-attenuated sporozoites of
role in protection and vaccine development Plasmodium berghei. US-China Medical Journal,
against pre-erythrocytic stages. Annu. Rev. Im- In press.
munol., 11, 687-727. Syaifudin, M., Tetriana, D., Darlina & Nurhayati,
Nugroho, A., Harijanto, P. & Datau, E. (2000). Imu- S. (2013). Studies on the protein profiles of
nologi pada Malaria. In: Harijanto PN, editor. gamma ray induced blood stage of Plasmodium
Malaria. Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi berghei for developing candidate of malaria vac-
Klinis, & Penanganan, Jakarta, EGC. cine. International Journal of Engineering Research
Nussenzweig, R., Vanderberg, J., Most, H. & Orton, and Application, 3(1), 314-319.
C. (1967). Protective immunity produced by Todryk, S. M. & Walther, M. (2005). Building better
the injection of x-irradiated sporozoites of Plas- T-cell-inducing malaria vaccines. Immunology,
modium berghei. Nature, 216, 160-162. 115(2), 163–169.
Peyron, F., Burdin, N., Ringwald, P., Vuillez, J. P., World Health Organization. (1999). High-dose Irradia-
Rousset, F. & Banchereau, J. (1994). High lev- tion: Wholesomeness of Food Irradiated with Doses
els of circulating IL-10 in human malaria. Clin- above 10 kGy. WHO, Geneva.
ical and Experimental Immunology, 95,300-303. World Health Organization. (2005). Initiative for Vac-
Rachmilewitz, D., Katakura, K. & Karmeli, F. (2004). cine Research, State the art of vaccine research
Toll-like receptor 9 signaling mediates the anti- and development (Online). Retrieved from
inflammatory effects of probiotics in murine http:/www.who.int/vaccines-documents.
experimental colitis. Gastroenterology, 126, 520- Yadev, M. S., Sekaran, S. D. & Dhaliwal, J. S. (1982).
528. Induction of protection in rats and mice with
Ramharter, M., Willheim, M., Winkler, H., Wahl, K., radiation attenuate Plasmodiium berghei. In: Nu-
Lagler, H., Graninger, W. & Winkler, S. (2003). clear Techniques in the Study of Parasitic Infections,
Cytokine profile of Plasmodium falciparum- Proc. Symp. IAEA Vienna.

17

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai