KARDIOTOKOGRAFI
Oleh:
Preseptor:
Dr. dr. H. Defrin, SpOG (K)
i
DAFTAR TABEL
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
kondisi denyut jantung janin, sebagian besar digunakan pada kehamilan dengan
risiko tinggi. Pada KTG terdapat tiga bagian besar kondisi yang dipantau yaitu
denyut jantung janin (DJJ), kontraksi rahim dan gerak janin, serta korelasi
yang berkaitan dengan hipoksia janin, seberapa jauh gangguan tersebut, dan
Cara pemantauan ini bisa dilakukan secara langsung yakni dengan alat
pemantau yang dimasukkan ke dalam rongga rahim atau secara tidak langsung
yakni dengan alat yang dipasang pada dinding perut ibu. Pada saat ini cara
eksternal yang lebih popular karena bisa dilakukan selama antenatal maupun
intranatal.2,3
1
1.1 Batasan Masalah
tentang kardiotokografi.
Makalah ini ditulis dengan merujuk dari berbagai kepustakaan dan literatur.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Baroreseptor
Reseptor ini letaknya pada arkus aorta dan sinus karotid. Bila tekanandarah
meningkat, baroreseptor akan merangsang nervus vagus dan nervus
glossofaringeus pada batang otak. Akibatnya akan terjadi penekanan aktivitas
jantung berupa penurunan frekuensi DJJ dan curah jantung.
3
Kemoreseptor
Kemoreseptor terdiri dari dua bagian, yaitu bagian perifer yang terletak
didaerah karotid dan korpus aortik; dan bagian sentral yang terletak dibatang
otak. Reseptor ini berfungsi mengatur perubahan kadar oksigendan
karbondioksida dalam darah dan cairan serebrospinal. Bila kadar oksigen
menurun dan karbondioksida meningkat, akan terjadi refleks darireseptor
sentral berupa takikardia dan peningkatan tekanan darah. Hal ini akan
memperlancar aliran darah, meningkatkan kadar oksigen, dan menurunkan
kadar karbon dioksida. Keadaan hipoksia atau hiperkapnia akan mempengaruhi
reseptor perifer dan menimbulkan refleks bradikardia.Interaksi kedua macam
reseptor tersebut akan menyebabkan bradikardi dan hipotensi.
4
Sinyal-sinyal tersebut diteruskan ke cardioregulatory center (CRC)
kemudian ke cardiac vagus dan saraf simpatis, selanjutnya menuju nodus
sinoatrial sehingga timbul akselerasi DJJ.
2.2 Definisi
Kardiotokografi (KTG) adalah suatu alat elektronik yang digunakan untuk
memonitor hubungan antara denyut jantung janin dan kontraksi uterus. Biasanya
digunakan pada trisemester ketiga kehamilan.1,2
KTG secara luas digunakan dalam kehamilan untuk memperkirakan kondisi
denyut jantung janin, sebagian besar digunakan pada kehamilan dengan risiko
tinggi. Pada KTG terdapat tiga bagian besar kondisi yang dipantau yaitu denyut
jantung janin (DJJ), kontraksi rahim dan gerak janin, serta korelasi diantara ketiga
parameter tersebut.3,4
5
Metode Internal (Invasif/ langsung)
Pencatatan langsung dengan cara lain bisa dilakukan, setelah
ketuban pecah dengan menggunakan selang bertekanan yang dimasukkan
ke rongga amnion melalui vagina. Pengamatan janin secara langsung
ataupun internal hanya mungkin setelah ketuban pecah dan serviks agak
dilatasi.
Perekaman yang segera dan terus menerus terhadap frekwensi
denyut jantung janin, khususnya dalam hubungannya dengan kontraksi
uterus, memberikan suatu penilaian terhadap kesejahteraan janin.
Perubahan pada frekwensi jantung janin merupakan petunjuk paling awal
dari insufisiensi uteroplasenter atau kompresi tali pusat. Jika kontraksi
spontan tidak terjadi pada 30 menit, dapat dirangsang dengan merangsang
puting susu. Variasi denyut jantung yang berkaitan dengan kontraksi dicatat.
Jika janin letargik, maka dapat dirangsang untuk bergerak dengan
melakukan ketukan pada uterus secara lembut.
6
Indikasi pemeriksaan KTG sebelum dan selama persalinan menurut Berg, yaitu:
a. Indikasi Absolut, dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
7
5. Lakukan pemeriksaan Leopold untuk menentukan letak, presentasi dan
punktum maksimum DJJ.
6. Hitung DJJ selama satu menit; bila ada his, dihitung sebelum dan segera
setelah kontraksi berakhir.
7. Pasang transduser untuk tokometri di daerah fundus uteri dan DJJ di daerah
punktum maksimum.
8. Setelah transduser terpasang baik, beri tahu ibu bila janin terasa bergerak,
pencet bel yang telah disediakan dan hitung berapa gerakan bayi yang
dirasakan oleh ibu selama perekaman KTG.
9. Hidupkan komputer dan alat KTG.
10. Lama perekaman adalah 30 menit (tergantung keadaan janin dan hasil yang
ingin dicapai).
11. Lakukan pencetakkan hasil rekaman KTG.
12. Lakukan dokumentasi data pada komputer (data untuk rumah sakit).
13. Matikan komputer dan mesin KTG. Bersihkan dan rapikan kembali alat
pada tempatnya.
14. Beritahu pada pasien bahwa pemeriksaan telah selesai.
15. Berikan hasil rekaman KTG kepada dokter penanggung jawab atau
paramedik untuk membantu membacakan hasil interpretasi komputer secara
lengkap kepada dokter. Paramedik (bidan) dilarang memberikan interpretasi
hasil CTG kepada pasien.
8
2.6.1 Frekuensi Dasar DJJ
Frekuensi dasar DJJ adalah frekuensi rata-rata DJJ yang terlihat selama
periode 10 menit, tanpa disertai periode variabilitas DJJ yang berlebihan (lebih dari
25 dpm), tidak terdapat perubahan periodik atau episodik DJJ, dan tidak terdapat
perubahan frekuensi dasar yang lebih dari 25 denyut per menit(dpm). Dalam
keadaan normal, frekuensi dasar DJJ berkisar antara 120 – 160 dpm. Frekuensi
dasar DJJ yang lebih dari 160 dpm disebut takikardia, bila kurang dari 120 dpm
disebut bradikardia. Ada juga yang memakai batasan normal 115 – 160 dpm
atau110 – 160 dpm.4,6
Takikardia dapat terjadi pada keadaan hipoksia ringan janin, akan tetapi
gambaran tersebut biasanya tidak berdiri sendiri. Bila takikardia disertai dengan
variabilitas DJJ yang normal, biasanya janin masih dalam keadaan baik. Takikardia
dapat juga terjadi oleh sebab lain yang bukan hipoksia, seperti:4,5,7
- Janin pada kehamilan kurang dari 30 minggu
- Infeksi pada ibu atau janin (khorioamnionitis)
- Anemia janin.
- Ibu gelisah.
- Kontraksi uterus yang terlampau sering (takhisistolik)
- Ibu hipertiroid
- Obat (atropin, skopolamin, ritrodrin, isoxsuprin, dsb)
- Takiaritmia janin (biasanya diatas 200 dpm)
9
Gambar 2.4 Gambaran Hasil KTG Takikardi
Bradikardia dapat terjadi sebagai respons awal keadaan hipoksia akut. Pada
hipoksia ringan frekuensi DJJ berkisar antara 100-120 dpm danvariabilitas DJJ
masih normal. Hal ini menunjukkan bahwa janin masih mampu mengadakan
kompensasi terhadap stres hipoksia. Bila hipoksia semakin berat janin akan
mengalami dekompensasi terhadap stres tersebut.Pada keadaan ini akan terjadi
bradikardia yang kurang dari 100 dpm, disertai dengan berkurang atau
menghilangnya variabilitas DJJ.6,7,8
10
Bradikardia yang tidak disertai perubahan gambaran DJJ lainnya bukan
petunjuk bahwa janin mengalami hipoksia. Bradikardia dapat juga disebabkan oleh
keadaan lain yang bukan hipoksia berat, seperti:4,5,6
- Kehamilan posterm
- Hipotermia
- Janin dalam posisi oksiput posterior atau oksiput melintang
- Obat (propanolol, analgetika golongan –kain)
- Bradiaritmia janin.
11
b. Variabilitas jangka panjang (long term variability)
Variabilitas ini merupakan gambaran osilasi yang lebih kasar dan
lebih jelas tampak pada rekaman KTG dibanding dengan variabilitas jangka
pendek. Rata-rata mempunyai siklus 3-6 kali permenit. Penilaian
variabilitas DJJ yang paling mudah adalah dengan mengukur besarnya
amplitudo dari variabilitas jangka panjang (long term variability).
Berdasarkan besarnya amplitudo tersebut, variabilitas DJJ dapat
dikategorikan menjadi:
- Variabilitas normal: amplitudo berkisar antara 5 – 25 dpm
- Variabilitas berkurang: amplitudo 2 – 5 dpm
- Variabilitas menghilang: amplitudo kurang dari 2 dpm
- Variabilitas berlebih (saltatory): amplitudo lebih dari 25 dpm.
12
Beberapa keadaan bukan hipoksia yang dapat menyebabkan variabilitas DJJ
berkurang:9,10
- Janin tidur (suatu keadaan fisiologis dimana aktivitas otak berkurang)
- Janin anensefalus (korteks serebri tidak terbentuk)
- Janin preterm (sistem persarafan belum sempurna)
- Obat (narkotik, diazepam, MgSO4, betametason)
- Blokade vagal
- Defek jantung bawaan.
13
Gambar 2.7. Perubahan periodik DJJ – Akselerasi
14
Gambar 2.8. Perubahan periodik DJJ – Deselerasi dini
15
ini disebabkan oleh penekanan kepala janin oleh jalan lahir yang
mengakibatkan hipoksia dan merangsang reflex vagal.9,10
16
ringan, akan tetapi pada keadaan hipoksia yang berat bisa bradikardi
17
Penanganan apabila ditemukan deselerasi lambat adalah
memberikan infus, ibu tidur miring, berikan oksigen, menghentikan
kontraksi uterus dengan memberikan obat-obatan tokolitik, dan segera
direncanakan terminasi kehamilan dengan seksio sesarea.9
18
Ciri-ciri deselerasi variabel adalah sebagai berikut:9
- Gambaran deselerasi bervariasi, baik saat timbulnya, lamanya,
amplitude maupun bentuknya
- Saat dimulai dan berakhirnya deselerasi terjadi dengan cepat dan
penurunan frekuensi dasar DJJ (amplitudo) bisa sampai 60 dpm
- Biasanya terjadi akselerasi sebelum (akselerasi predeselerasi) atau
sesudah (akselerasi pasca deselerasi) terjadinya deselerasi variabel
- Bila terjadi deselerasi variabel yang berulang terlalu sering, atau
deselerasi variabel memanjang (prolonged) harus waspada terhadap
kemungkinan terjadinya hipoksia janin yang berlanjut.
19
30 dpm dan lamanya lebih dari 2,5 menit. Deselerasi variabel
merupakan jenis deselerasi yang paling sering dijumpai, yaitu pada
sekitar 50% - 80% partus kala II; dan kebanyakan tidak berbahaya bagi
janin. Tanda-tanda deselerasi variabel yang tidak berbahaya bagi janin
adalah sebagai berikut:9,10
- Timbul dan menghilangnya deselerasi berlangsung cepat
- Variabilitas DJJ masih normal
- Terdapat akselerasi DJJ pada saat kontraksi.
Tanda-tanda deselerasi variabel yang berbahaya bagi janin adalah
sebagai berikut:8,10
- Terjadinya lebih lambat dari saat timbulnya kontraksi
- Pemulihan (menghilangnya) deselerasi berlangsung lambat.
- Variabilitas DJJ berkurang, atau meningkat secara berlebihan
- Menghilangnya akselerasi pra- dan pasca-deselerasi
- Semakin beratnya derajat deselerasi variabel
Derajat beratnya deselerasi variabel ditentukan oleh amplitude,
frekuensi, dan lamanya deselerasi. Deselerasi variabel yang terjadi hanya
sekali tidak berarti abnormal, oleh karena mungkin terjadi akibat
pemeriksaan dalam (PD), atau akibat perubahan posisi.9,10
20
frekuensi dasar (baseline), variabilitas, timbulnya akselerasi sesuai
dengan gerak janin.
Interpretasi NST:
- Reaktif, terdapat paling sedikit 2 kali gerakan janin dalam waktu
20 menit pemeriksaan yang disertai dengan adanya akselerasi
paling sedikit 10-15 dpm. frekuensi dasar DJJ diluar gerakan
janin antara 120-160 dpm. Variabilitas DJJ 6- 25 dpm.
- Nonreaktif, tidak terdapat gerakan janin selama 20 menit
pemeriksaan atau tidak ditemukan adanya akselerasi pada setiap
gerakan janin.
- Meragukan, terdapat gerakan janin tetapi kurang dari 2 kali
selama 20 menit pemeriksaan atau terdapat akselerasi yang
kurang dari 10 dpm, variabilitas DJJ masih normal. Pada hasil
yang meragukan, pemeriksaan hendaknya diulangi dalam waktu
24 jam atau dilanjutkan dengan pemeriksaan Contraction Stress
test (CST).
- Abnormal, apabila ditemukan bradikardi dan deselerasi 40 dpm
atau lebih dibawah frekuensi dasar atau DJJ mencapai 90 dpm,
yang lamanya 60 detik atau lebih. Pada keadaan ini dilakukan
terminasi kehamilan bila janin sudah viabel atau pemeriksaan
ulang setiap 12-24 jam bila janin belum viabel.
21
- Positif, terdapat deselerasi lambat yang berulang pada sedikitnya
50% dari jumlah kontraksi. Terdapat deselerasi lambat yang
berulang, meskipun kontraksi tidak adekuat, variabilitas DJJ kurang
atau menghilang.
- Mencurigakan, terdapat deselerasi lambat yang kurang dari 50%
dari jumlah kontaksi, terdapat deselerasi variabel, frekuensi dasar
DJJ abnormal. Bila hasil CST mencurigakan, pemeriksaan harus
diulangi dalam 24 jam.
- Tidak memuaskan. Hasil rekaman tidak representatif, misalnya
karena ibu gemuk, gelisah atau gerakan janin berlebihan, tidak
terjadi kontraksi uterus yang adekuat. Pemeriksaan harus diulangi
dalam 24 jam.
- Hiperstimulasi, kontraksi uterus lebih dari 5 kali dalam 10 menit,
lamanya lebih dari 90 detik, seringkali terjadi deselerasi lambat atau
bradikardi.
22
BAB 3
KESIMPULAN
23
DAFTAR PUSTAKA
24
13. Abnormalitis of the placenta, umbilical cord and membranes. In: Cunningham
FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al eds. Williams Obstetrics. 22nd ed.
New York: McGraw Hill; 2005: 625
14. Gravett NG, Sampson JE. Other infectious conditions. In: James DK, Steer PJ,
Weiner CP, et al. High Risk Pregnancy Management Options. London: WB
Saunders Co Ltd ; 1996: 513-5
15. Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infection and preterm
delivery. New England Journal Of Medicine. 2000. http://www.nejm.org
16. Gibbs RS, Sweet RL, DufF WP. Maternal and Fetal Infectious Disorder. In :
Creasy RK, Resnik R, eds. Matemal-Fetal Medicine. 5th ed. Philladelphia :
WB Saunders. 2004: pp 741-99
17. Sherman MP, Otsuki K. Maternal Korioamnionitis. E-Medicine 2003.
http://www.emedicine.com/specialties/neonatology
18. Fahey JO. Clinical management of intra-amniotic infection and
korioamnionitis: a review of literature. J Midwifery Womens Health.
2008;53(3):227-235.
19. Tita, Alan T.N. Diagnosis and Management of Korioamnionitis.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/
20. Arias F. Premature Rupture of Membrane. Practical Guide to: High Risk
Pregnancy and Delivery, 2nd ed. St Louis: Mosby Year Book; 1993: 100-113
21. Newton, Edward R. Chorioammnionitis and Intraamniotic Infection. Clinical
Obstetrics and Gynecology Vol 36, Number 4. Lippincot Co. 1993; 795-808
22. Pueperal infection. In: Cunningham FG, Gant NE, Leveno KJ, Bloom SL, et al
eds Williams Obstetrics. 22nd ed. New York: McGraw Hill; 2005: 712
23. Perkumpulan Obstetri Ginekologi Indonesia. Diagnosis dan Tatalaksana Pre-
eklampsia. 2016.
24. Cunningham L, Bloom, Dashe. Hypertensive Disorders. Williams Obstetric 25
ed. New York: Mc Graw Hill; 2018.p.1086-8.
25. Magee LA, von Dadelszen P. State of the Art Diagnosis and Treatment of
Hypertension in Pregnancy. Mayo Clinic proceedings. 2018;93(11):1664- 77.
25
26. Angsar MD. Hipertensi dalam kehamilan. Dalam: Ilmu kebidanan Sarwono
Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo;
2013.h. 530-50.
27. Lim KH. Preeclampsia. Medscape: Updated; Dec 28 2015. [Online].
http://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview
28. Prawiroharjo S. Ilmu kebidanan. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono
Prawiroharjo;2010.
29. Krisnadi SR, Mose JC, Effendi JS. Hipertensi Kehamilan. Dalam:Pedoman
diagnosis dan terapi obstetric dan ginekologi rumah sakit Dr. Hasan Sadikin.
Edisi ke 2. Bagian pertama. Bandung: FK UNPAD; 2005. h. 60-70.
30. POGI. Pedoman nasional pelayanan kedokteran: pengelolaan kehamilan
dengan pertumbuhan janin terhambat. 2016.
31. WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and
assessment of severity. Vitamin and Mineral Nutrition Information System.
Geneva, World Health Organization. 2011 Available from:
http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin.pdf
32. Depkes RI. Faktor Resiko Kejadian Anemia pada Ibu Hamil.Depkes RI. 2018.
Tersedia di: http://www.bppsdmk.depkes.go.id/
33. Defrin.Anemia dalam kehamilan dan persalinan. Seminar kelainanmedik pada
kehamilan dan persalinan. Jakarta. 2015
34. Sharma D, Shastri S, Sharma P. Intrauterine growth restriction: Antenatal &
postnatal aspects. Clinical Medicine Insights: Pediatrics 2016:10 67–83
35. Wiknjosastro GH, Rachmhadhli T. Ilmu kebidanan edisi Ke 4 cetakan ke 3.
Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 2010.
36. Sehested LT, Pedersen P. Prognosis and risk faktors for intrauterine growth
retardation. Dan Med J. 2014;61(4): A4826. .
37. Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Obestetri patologi edisi 3. EGC.
2013.
38. Hariadi R. Ilmu kedokteran fetomaternal. Surabaya: Himpunan kedokteran
fetomaternal perkumpulan obstetri dan ginekologi Indonesia. 2004.
26