Anda di halaman 1dari 12

BAB II

Tinjauan Pustaka

1. Anestesi Umum
A.Definisi Anestesi Umum
Anestesi umum akan melewati beberapa tahapan dan tahapan tersebut tergantung pada
dosis yang digunakan. Tahapan teranestesi umum secara ideal dimulai dari keadaan
terjaga atau sadar kemudian terjadi kelemahan dan mengantuk (sedasi), hilangnya respon
nyeri (analgesik), tidak bergerak dan relaksasi (immobility), tidak sadar
(unconsciousness), dan kematian pada dosis berlebih (Miller, 2010).

Pengaruh obat anestesi menimbulkan efek trias anestesi, pasien akan mengalami
keadaan tidak sadar, reflek-reflek proteksi menghilang akibat mati rasa dan kelumpuhan
otot rangka termasuk otot perafasan. Di samping pengaruh trias anestesi tersebut pasien
juga menderita manipulasi bedah, mulai dari derajat ringaan sampai berat. Sehigga pada
keadaan demikian pasien sangat memerlukan tindakan bantuan kehidupan selama prosedur
anestesi/diagnostik (Mangku, 2010).

Menurut Mangku (2010) General anestesi merupakan tindakan meniadakan nyeri


secara entral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversible). General
anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke jaringan otak dengan tekanan
setempat yang tinggi. Selama masa induksi pemberian obat bius harus cukup untuk beredar
didalam darah dan tinggal didalam jaringan tubuh. Anestesi umum yang baik dan ideal
umumnya harus memenuhi kriteria trias anestesi (sedasi, analgesi, dan relaksasi),
penekanan refleks, ketidaksadaran, aman untuk sistem vital (sirkulasi dan respirasi), mudah
diaplikasikan, dan ekonomis. Dengan demikian, tujuan utama dilakukan tindakan anestesi
umum adalah upaya untuk menciptakan kondisi sedasi, analgesi, relaksasi, dan penekanan
refleks yang optimal dan adekuat untuk dilakukan tindakan dan prosedur diagnostik atau
pembedahan tanpa menimbulkan hemodinamik, respiratorik, dan metabolik yang dapat
mengancam.

B. Mekanisme Kerja Anestesi Umum

Menurut Mangku (2010) anestesi umum menurut dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:

1) Anestesi umum intravena

Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah vena. induksi
intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apa lagi sudah terpasang jalur vena,
karena prosesnya cenderung berlangsung cepat. Induksi intravena hendaknya dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi bolus disuntikan
dengan kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan
tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada
pasien yang koperatif.

2) Anestesi umum inhalasi

Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan memberikan
kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap
melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. Beberapa teknik general anestesi
inhalasi antara lain :

a. Inhalasi sungkup muka

Inhalasi melalui sungkup muka dengan pola nafas spontan. Komponen trias anestesi
yang dipenuhinya adalah hipnotik, analgetik dan relaksasi otot ringan. Dilakukan pada
operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh, berlangsung singkat dan posisinya
terlentang.
b. Inhalasi sungkup laring Laringeal Mask Airway (LMA)

Pemakaian salah satu kombinasi obat seperti tersebut diatas secara inhalasi melalui
sungkup laring Laringeal Mask Airway (LMA) dengan pola nafas spontan. Komponen
trias anestesia yang dipenuhinya adalah : hipnotik, analgesia dan relaksasi otot ringan.
Dilakukan pada operasi kecil dan sedang di daerah permukaan tubuh, berlangsung singkat
dan posisinya terlentang.

c. Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas spontan

Pemakaian salah satu kombinasi obat seperti tersebut diatas secara inhalasi melalui
PET dengan pola nafas spontan. Komponen trias anestesi yang dipenuhinya adalah
hipnotik, analgetik dan relaksasi otot (ringan).Dilakukan pada operasi di daerah kepala-
leher dengan posisi terlentang, berlangsung singkat dan tidak memerlukan relaksasi otot
yang maksimal.

d. Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas kendali

Pemakaian salah satu kombinasi obat seperti tersebut diatas secara inhalasi melalui
PET dan pemakaian obat pelumpuh otot non depolarisasi, selanjutnya dilakukan nafas
kendali. Komponen trias anestesi yang dipenuhinya adalah hipnotik, analgetik dan
relaksasi otot. Teknik ini dilakukan pada operasi yang berlangsung lama (> 1 jam),
kraniotomi, torakotomi, laparatomi, operasi dengan posisi lateral dan pronasi.

3) Anestesi imbang

Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat – obatan baik obat
anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik anestesi umum
dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.

C. Stadium Anestesi Umum

Menurut Sardjana dan Kusumawati (2011), stadium anastesi umum dibagi menjadi
empat tingkatan.
Stadium I (stadium analgesia) yang dikenal juga sebagai stadium eksitasi yang disadari
atau disorientasi, stadium ini berlangsung antara saat induksi dilakukan sampai hilangnya
kesadaran hewan penderita. Pada stadium ini pupil tidak melebar (midriasis) akibat
terjadinya rangsangan psikosensorik.

Stadium II dimulai dari hilangnya kesadaran, terjadi reaksi berlebihan maupunrefleks


yang tidak terkendali terhadap segala bentuk rangsangan, refleks faring yang berhubungan
dengan menelan dan muntah meningkat. Pada stadium ini pupil mengalami midriasis
akibat rangsangan simpatik pada otot dilatator. Stadium I dan II adalah stadium
menyulitkan ahli anestesi karena bisa berbahaya bagi hewan penderita, oleh karena itu
diupayakan bisa melewati secepatnya untuk mencapai stadium III (Sardjana dan
Kusumawati, 2011).

Stadium III adalah stadium anestesi (stadium pembedahan), pupil mengalami midriasis
disebabkan pelepasan adrenalin. Stadium pembedahan ini dilakukan bila pupil dalam posisi
terfiksasi di tengah dan respirasi teratur. Pada anestesi yang dalam pupil mengalami
dilatasi maksimal akibat paralisis saraf kranial III. Stadium pembedahan ini dibagi menjadi
4 plane. Plane 1, ventilasi teratur bersifat torakoabdominal, pernafasan dada dan perut
seimbang, pernafasan teratur, spontan, terjadi gerakan bola mata yang tidak menurut
kehendak, pupil miosis, refleks cahaya positif, lakrimasi meningkat, refleks faring dan
muntah negatif, tonus otot menurun,belum tercapai relaksasi otot lurik yang
sempurna.Plane 2, operasi kecil dapat dilakukan pada tingkat ini. Pernafasan teratur tetapi
kurang dalam dibandingkan tingkat I, ventilasi teratur bersifat abdomino torakal, bola mata
tidak bergerak, pupil midriasis, refleks cahaya menurun dan refleks kornea negatif, refleks
laring negatif, relaksasi otot sedang, tonus otot menurun,refleks laring hilang sehingga
dapat dikerjakan intubasi. Semua operasi dapat dilakukan pada tingkat ini. Plane 3,
pernafasan perut lebih nyata daripada pernafasan dada karena otot interkostal mulai
mengalami paralisis, pupil melebar, tonus otot makin menurun, relaksasi otot lurik
sempurna, refleks laring dan peritonium negatif. Semua operasi dapat dilakukan pada
tingkat ini. Plane 4, ventilasi tidak teratur, tonus otot menurun, pernafasan perut sempurna
karena kelumpuhan otot interkostal sempurna, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat
lebar dan refleks cahaya hilang.
Stadium IV disebut stadium overdosis, hewan mengalami henti napas dan henti
jantung yang berakhir dengan kematian (Sardjana dan Kusumawati, 2011)

D. Premedikasi

Pemberian premedikasi juga untuk mengurangi metabolisme basal sehingga induksi


dan pemeliharaan anestesi menjadi lebih mudah dan memerlukan obat anestesi yang lebih
sedikit dengan mengurangi dosis anestesi, akan membuat hewan penderita sadar lebih
cepat setelah operasi selesai. Trauma pembedahan sering menyebabkan gerak refleks dari
hewan penderita sehingga pemberian analgetika dapat diberikan untuk menekan refleks
yang tidak diinginkan atau mencegah gerak tubuh yang tidak disadari (Sardjana dan
Kusumawati, 2011).

Pemilihan premedikasi dipertimbangkan sesuai dengan spesies, status fisik pasien,


derajat pengendalian, jenis operasi, dan kesulitan dalam pemberian anestetikum.
Premedikasi yang paling umum digunakan pada hewan adalah atropin, acepromazin,
xylazin, diazepam, midazolam, dan opioid atau narkotik. Atropin digunakan untuk
mengurangi salivasi, peristaltik, dan mengurangibradikardia akibat anestesi. Xylazin,
medetomidin, diazepam, dan midazolam digunakan sebagai agen sedatif dan merelaksasi
otot (Mangku, 2010).
2. Anestesi Lokal
A. Definisi Anestesi Lokal

Anestesi lokal adalah suatu upaya untuk menghilangkan berbagai macam sensasi
seperti rasa nyeri untuk sementara waktu yang terjadi pada beberapa bagian tubuh tanpa
diikuti dengan hilangnya kesadaran .Bahan anestesi local yang digunakan dengan kadar
yang cukup dapat menghambat penghantaran impuls ke ujung saraf bebas dengan
menghasilkan blockade gerbang sodium yang akan menurunkan sensassi rasa sakit pada
sebagian tubuh tanpa merusak serabut atau sel saraf dan sifatnya adalah reversible.
Anestesi local bersifat ringan dan hanya digunakan untuk tindakan yang memerlukan
waktu singkat, karena efek yang diberikan bahan anestetikum local hanya dapat bertahan
selama kurun waktu sekitar 30menit setelah diinjeksikan (Malamed,2014).

Anestesi lokal secara garis besar tersusun atas tiga gugus yaitu gugus lipofilik, gugus
hidrofilik, dan gugus perangkai atau gugus antara, yakni gugus yang menyambungkan
gugus lipofilik dan hidrofilik. Gugus lipofilik biasanya suatu gugus aromatik sedangkan
gugus hidrofilik biasanya suatu gugus amino. Gugus perangkai berupa gugus ester atau
gugus amida. Gugus lipofilik adalah suatu struktur aromatik yang mengandung cincin
benzene sedangkan gugus hidrofilik tersusun atas amin sekunder atau amin tersier. Gugus
perangkai, gugus ester atau gugus amida umunya bersifat polar. Kedua kelompok
tersebut berbeda dalam cara dimetabolismenya di dalam tubuh (Sumawinata, 2013).
Anestetikum local sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf
secara permanen, harus efektif dengan pemberian injeksi atau penggunaan setempat pada
membrane mukosa dan memiliki toksisitan sistemik yang rendah. Mula kerja bahan
anestetikum local harus sesingkat mungkin, sedangkan masa kerja harus cukup lama
sehingga operator memiliki waktu yang cukup untuk melakukan tindakan operasi, tetapi
tidak demikian lama sampai memperpanjang masa pemulihan. Zat anestesi local juga
harus mudah larut dalam air dan menghasilkan larutan yang stabil, serta pemanasan bila
disterilkan tanpa mengalami perubahan (Malamed, 2014).
B. Indikasi dan Kontraindikasi
a. Indikasi
i.Tindakan pembedahan yang menyebabkan rasa nyeri (Pencabutan gigi, bedah
periodontal, dan kista)
ii. Mengurangi rasa nyeri saat penetrasi jarum pada mukosa mulut.
iii. Insisi abses.
iv. Pasien yang sangat sensitive mencetak rahang.
v. Mengurangi nyeri pasca operasi (Mangku,2010).
b. Kontraindikasi
i. Adanya infeksi akut pada daerah operasi.
ii. Penderita penyakit gangguan darah yang langka seperti hemophilia, penyakit
van wiliie brand menyebabkan pendarahan didaerah injeksi.
iii. Tempat inflamasi pada daerah tempat penyuntikan.
iv. Keadaan lingkungan periodontal yang tidak memungkinkan pemberian
anestesi yang sepurna.
v. Anak dibawah umur yang belum mengerti akibat anestesi.
vi. Penderita lemah saraf dan penakut.
vii Pasien yang tidak dapat membuka mulut yang lebar (fraktur tulang rahang).
viii. Pasien yang alergi terhadap bahan anestesi local.
ix. Pasien dengan penyakit sistemik yang tidak terkontrol.
x. Pasien yang tidak kooperatoif (Mangku,2010)

C. Farmakokinetik
Kehadiran anestesi lokal dalam sistem peredaran darah membuktikan bahwa obat ini disalurkan ke
seluruh tubuh. Anestesi lokal mempunyai kemampuan untuk mengubah fungsi beberapa sel. Pada
hal ini anestesi lokal dapat memblokir konduksi saraf di akson dari sistem saraf peripheral
(Malamed, 2014).
D. Absorbsi
Pada saat diinjeksikan ke jaringan lunak, anestesi lokal menghasilkan reaksi farmakologi
pada pembuluh darah. Semua jenis anestesi lokal memiliki tingkatan reaksi yang berbeda, yang
sering terjadi yaitu vasodilatasi pembuluh darah ketika di deposit, dan beberapa juga menimbulkan
vasokontriksi. Reaksi yang timbul berpengaruh pada konsentrasi yang diberikan. Efek signifikan
dari vasodilatasi meningkat ketika anestesi lokal sudah diserap oleh pembuluh darah, sehingga
menurunkan durasi dan kualitas dari rasa sakit, tetapi meningkatkan konsentrasi anestesi lokal pada
pembuluh darah dan potensi overdosis (reaksi toksik). Tingkatan reaksi anestesi lokal yang diserap
oleh pembuluh darah dan mencapai level maksimum bervariasi sesuai dengan cara pemberiannya
(Malamed, 2014).
E. Distribusi
Setelah diserap ke pembuluh darah, anestesi lokal disalurkan ke seluruh jaringan dalam
tubuh. Organ yang sangat perfusi yaitu otak, hepar, ginjal, paru-paru, limfe memiliki kadar anestesi
yang paling tinggi dibandingkan dengan organ yang kurang perfusi. Otot-otot skeletal walaupun
tidak berperfusi dengan tinggi, tetapi mengandung anestesi lokal dengan persentasi yang tinggi
dibandingkan organ atau jaringan lain karena memiliki massa jaringan yang paling banyak di dalam
tubuh. Konsentrasi plasma dari anestesi lokal memiliki pengaruh pada organ tertentu yang dapat
menyebabkan potensi toksisitas (Malamed, 2014).
F. Metabolisme
Perbedaan yang signifikan antara dua jenis anestesi lokal yaitu ester dan amida adalah
mampu mengubah kerja anestesi lokal secara biologis menjadi obat yang tidak berpengaruh secara
farmakologi lagi. Metabolisme (biotransformasi dan detoksifikasi) anestesi lokal sangat penting
karena secara keseluruhan toksisitasnya ditentukan oleh keseimbangan antara laju penyerapannya
ke dalam aliran darah dengan laju pembuangannya dari pembuluh darah dan proses metabolism
(Malamed, 2014).
G. Ekskresi
Metabolit dan sisa yang tidak termetabolisme, baik dari golongan amida maupun ester akan
dieksresikan oleh ginjal. Sebagian kecil anestesi dieskresikan dalam keadaan tidak mengalami
perubahan. Senyawa anestesi golongan ester biasanya jarang dijumpai pada urin karena golongan
ini hampir sempurna dimetabolisme di dalam darah; dalam urin, dijumpai sebagai PABA, dan
2%nya tidak mengalami perubahan. Pada pasien dengan penyakit ginjal terminal, baik senyawa
induk maupun metabolitnya akan terakumulasi. Oleh karena itu, penggunaan anestesi lokal, baik
golongan ester maupun golongan amida, merupakan kontraindikasi relatif bagi pasien dengan
penyakit ginjal yang signifikan, misalnya pasien yang menjalani hemodialisis, glomerulonefritis
kronis, atau pielonefritis ( Sumawinata, 2013).

H. Farmakodinamik
Ketika anestesi lokal mencapai saluran sodium saraf, menyebabkan terganggunya
aktifitas saraf dengan memblok konduksinya. Untuk memaksimalkan blok konduksi saraf,
saluran sodium saraf harus dalam keadaan tidak aktif sebanyak 75%. Saluran sodium dapat
aktif dan terbuka, tidak aktif dan tertutup, istirahat dan tertutup selama berbagai aktifitas
potensial terjadi. Pada saat aktif dan terbuka, saluran sodium dapat memperbanyak impuls.
Anestesi lokal dapat mengikat saluran agar tetap terbuka dan mengubah menjadi tidak aktif
atau tertutup. Kecepatan anestesi lokal membuka dan menutup saluran merupakan hasil
kerja dari agen spesifiknya. Agen intermedit (lidokain, mepivakain) memiliki waktu kerja
yang pendek dan agen bupivakain memiliki waktu kerja yang cepat ( Ganda, 2013).
Anestesi lokal juga dapat mengikat saluran sodium menjadi tidak aktif, tetapi
kekuatan mengikatnya lemah. Pada serabut saraf mielin, pemblokiran saraf dapat terjadi
pada nodus ranvier dengan menghalangi sinyal propagasi yang menyebabkan terjadinya
lompatan depolarisasi antara nodus ranvier. Serabut mielin lebih peka terhadap blok
konduksi daripada serabut non-mielin karena memblok dua nodus dapat meningkatkan
kemungkinan kematian impuls, sementara memblok tiga atau lebih nodus dapat
menyebabkan kematian impuls yang lebih banyak. Kematian impuls pada serabut saraf
non-mielin meningkatkan pemanjangan serat yang terlihat oleh agen anestesi lokal. Serat
yang kecil lebih 19 peka pada pemblokiran oleh anestesi lokal karena pada serabut yang
bermielin, ada jarak pendek antara nodus, sedangkan pada serabut non-mielin saraf terlihat
lebih panjang dan terpapar dengan serabut saraf yang lebih besar (Ganda, 2013).
I.Efek Samping Obat
i. Eksitasi Sistem saraf pusat dan neurotoksisitas local
ii. Kolaps kardiovaskular
iii. Kejang
iv. Hipertensi
v. Stroke ( Katzung, 2015)
J. Teknik Pemberian
Anestesi local dapat membantu dokter menjalin kerjasama yang baik dengan
pasien karena selain sebagai pereda nyeri, pasien masih dalam keadaan sadar selama
melakukan perawatan.
3. Anestesi Topikal
Teknik anestesi topikla dilakukan dengan mengaplikasikan sediaan anestesi pada daerah
membrane mukosa yang dapat dipenetrasi sehingga mencapai ujung sara superfisial, teknik anestesi
intraligamen dilakukan dengan syringe khusus melalui jaringan periodontal gigi dan larutan
dideponirkan saraf pada ujung akar. Anestesi topical adalah obat bius lokal yang digunakan untuk
mematikan permukaan bagian tubuh saja. Semua bahan anestesi local dapat menganastesi sedalam
2-3 mm dari permukaan jaringan dan dapat memberikan efek anesteso selama 10 menit apabila
digunakan dengan tepat ( Malamed, 2013).
Contoh obat:
i. Kokain
ii. Dibukain
iii. Tetrakain
iv. Benzokain
v. Lidocaine
4. Anestesi Infiltrasi
Anestesi infiltrasi merupakan teknik yang paling umum untuk anestesi local pada rahang
atas. Teknik infiltrasi ini adalah teknik anestesi yang relative mudah oleh karena itu memiliki
tingkat keberhasilan yang tinggi. Suntikan subperiosteal harus dihindari untuk pencabutan gigi
lebih dari satu, biopsy jaringan lunak, atau prosedur tindakan lainnya karena jaringan periosteum
dari tulang dapat menyebabkan pecahnya pembuluh darah yang akan menyebabkan darah
berpentrasi ke dalam tulang dan dapat menyebabkan hematoma subperiostal serta nyeri pasca
operasi yang berkepanjangan. Suntikan subperioteal akan memberikan anestesi local yang lebih
baik ketika metide subperiostal tidak efektif (Malamed, 2013).
Contoh Obat :
i. Prokain
ii. Lidokain
iii. Bupivakain
iv. Mepivakain
v. Prilokain
DAFTAR PUSTAKA

Berman, Audrey, et.al. 2012. Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis Kozier & Erb.Edisi 5. Jakarta:
EGC.

Destiara, A.P., Yadi, D.F. and Kadarsah, R.K., 2016. Perbandingan Waktu Awitan dan Lama
Kerja Kombinasi Bupivakain 0, 5% dan Lidokain 2% dengan Bupivakain 0,5% pada
Blokade Infraklavikular untuk Operasi Lengan Bawah. Jurnal Anestesi Perioperatif,
Vol  4(3) : 183-190

Djauzi, A., Sundaru, H., Mahdi, D. Sukmada, N. Alergi Obat. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid 1. Edisi 6. Jakarta : Internal Publishing; 2017
Fitriyani, j., Alrastida, F. 2019. STEVENS JOHNSON SYNDROME. Jurnal Averrous. Vol.5 (1)

FK UI. 2016. Farmakologi dan Terapi Edisi 6. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.

Ganda K. 2013. Dentist guide to medical conditions and complications. Iowa: Wiley-Blackwell.
Handoko, Tony. 2012. Farmakologi dan Terapi. Edisi 8. Jakarta: Gaya Baru FK UI.
Handoko, Tony. 2012. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: Gaya Baru FK UI.

Karen, J. M., et al. 2014. Ilmu Kesehatan Anak Esensial Edisi Keenam. Singapore : Saunder
Elevasier.
Katzung, Bertran G., Masters, Susan B., Trevor, Anthony J. 2015. Farmakologi Dasar & Klinik
Edisi 12 . Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Longnecker, David E., David L.B., Mark F.N., Warren M.Z. 2009. Anesthesiology Edisi
2. United States : The McGraw-Hill Company

Malamed, S.F. 2014. Handbook of Local Anesthesia 6th edition. St. Louis : Elsevier.
Mangku, G. dan Senapathi, I.G.A. 2010 .Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi. Jakarta :
Indeks Jakarta.

Miller RD. 2010. Anesthesia for obstetrics. United Kingdom: Elsevier Churchill Livingstone

Pemayun, I.G.A.G.P. and Sudisma, I.G.N., 2018. Anestesi Tetes Infus Gravimetrik
Ketapol sebagai Alternatif Bius Umum Secara Inhalasi Guna Menjaga Status Teranestesi
pada Babi. Jurnal Veteriner,Vol 19(1) : 126-136.

Sarjana, I.K.W., Kusumawati, D. 2011. Anestesi Veteran.Yogyakarta: Universitas Gajah Mada

Simanjuntak, V.E., Oktaliansah, E. and Redjeki, I.S., 2013. Perbandingan Waktu Induksi,
Perubahan Tekanan Darah, dan Pulih Sadar antara Total Intravenous Anesthesia Profopol
Target Controlled Infusion dan Manual Controlled Infusion. Jurnal Anestesi
Perioperatif, Vol 1(3) : 158-166.

Sularsito SA, Suria D. Stevens-johnson syndrome. Dalam: Djuanda A, editor. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. Edisi ke-6. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2013
Sumawinata N. 2013.Anestesia lokal dalam perawatan konservasi gigi. Jakarta: EGC.

Waller, D. G., et al. 2014. Medical Pharmacology and Therapeutics. UK: Elsevier
Windasari, P. 2015. Infomasi Dasar untuk Laboratorium Farmakologi. Jurnal Farmakologi.

22(5): 203-208.

Anda mungkin juga menyukai