Andre Prawiradinata
A. Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan secara konseptual pada tahun 2005, yaitu sebuah kelainan
pada otak dengan karakteristik adanya kecenderungan untuk menimbulkan kejang
epilepsi yang terus menerus dan memiliki konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial. Epilepsi dapat didiagnosis apabila terdapat dua kejang yang tidak
diprovokasi yang terjadi berbeda waktu lebih dari 24 jam. Sedangkan, kejang epilepsi
didefinisikan sebagai suatu kejadian yang ditandai dengan aktivitas neuron pada otak
yang abnormal dan berlebih.1
Definisi epilepsi kemudian ditinjau ulang oleh The International League Against
Epilepsy (ILAE) Task Force pada tahun 2014 dengan tujuan untuk mewujudkan definisi
yang klinis operasional. Epilepsi kemudian didefinisikan sebagai suatu penyakit agar
lebih dikenal baik oleh masyarakat awam. Berdasarkan ILAE Task Force tahun 2014,
definisi klinis operasional epilepsi yaitu, suatu penyakit pada otak yang ditandai dengan
kondisi berikut 1:
1. Sekurang-kurangnya dua kejang tanpa provokasi (atau refleks) yang terjadi
berbeda waktu lebih dari 24 jam.
2. Satu kejang tanpa provokasi (atau refleks) dan kemungkinan untuk terjadinya
kejang serupa di masa mendatang dengan risiko rekurensi (sekitar 60%)
setelah dua kejang tanpa provokasi, yang terjadi dalam 10 tahun ke depan.
3. Terdiagnosis sindrom epilepsi. 1
B. Sejarah Epilepsi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan serius pada otak yang paling sering.
Epilepsi juga merupakan kondisi medis tertua yang pernah tercatat, dideskripsikan oleh
Hippocrates lebih dari 3.500 tahun yang lalu, dan juga dikenal dalam sistem medis
Aryuveda di India selama lebih dari 200 tahun. Kata “epilepsi” berasal dari terminology
Yunani epilambanein, yang artinya “dirasuki” atau “dikejutkan”. Berdasarkan mitologi
Yunani, epilepsi dianggap sebagai fenomena supranatural. Epilepsi dikenal sebagai nama
lain, yaitu Apasmara di India dan Sri Lanka, Mirgee/Lata/Laran di India Utara, Khichuni
di Bangladesh, Ayan di Indonesia, dan Rake Lom Ba Mu atau Roke Lom Chak di
Thailand.2
Masyarakat terutama pada Asia Tenggara banyak yang menyalahartikan penyakit
epilepsi ke dalam mitos-mitos. Epilepsi dianggap sebagai suatau hukuman akibat
perbuatan jahat. Gejala-gejala dan kebiasaan aneh yang muncul pada pasien-pasien
dengan epilepsi membentuk suatu kepercayaan bahwa epilepsi disebabkan oleh
kerasukan roh. Hal ini menyebabkan orang-orang dengan epilepsi tidak segera dibawa
untuk diperiksakan ke tenaga medis.2
C. Epidemiologi Epilepsi
3
Berdasarkan Singh dan Trevick pada tahun 2016, sebanyak 70 juta orang di
dunia mengidap epilepsi dan 90% diantaranya berada pada negara-negara berkembang.
Estimasi prevalensi rata-rata epilepsi pada negara-negara berkembang, pada daerah
pedesaan mencapai 1,54% (0,48-4,96%), sedangkan pada area perkotaan mencapai
1,03% (0,28%-3,8%). Secara global, sebanyak 2,4 juta orang diestimasikan terdiagnosis
epilepsi setiap tahunnya. Pada negara-negara dengan penghasilan tinggi, kasus baru
setiap tahunnya mencapai 30-50 per 100.000 orang. Sedangkan pada negara-negara
dengan penghasilan menengah sampai rendah, dapat mencapai 2 kali lipatnya. Hal ini
terjadi diduga karena meningkatnya kasus-kasus penyakit endemic, seperti malaria atau
neurosistiserkosis, peningkatan cedera karena kecelakaan atau saat lahir, perbedaan
infrastruktur dan sarana medis, dan ketersediaannya program preventif dan pelayanan
yang terjangkau. Hal tersebut diperkirakan 90% terdapat pada negara-negara
berkembang. Prevalensi epilepsi pada negara maju mencapai 4 hingga 10 kasus per 1000
penduduk. Sedangkan pada negara-negara berkembang dan negara-negara tropis
mencapai 14 hingga 57 kasus per 1000 penduduk. Pada negara maju, insidensi epilepsi
paling banyak terjadi pada usia bayi dan anak hingga lansia, sedangkan pada negara-
negara berkembang lebih banyak terjadi pada orang dewasa. 3
Sedangkan di Indonesia, studi epidemiologi untuk epilepsi pernah diadakan oleh
Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI pada tahun 2013 selama 6 bulan di 18 rumah sakit
di 15 kota. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama.
Rerata usia kasus baru menunjukkan usia 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan pada kasus lama
menunjukkan rerata usia 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali
ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, dan sisanya berobat ke dukun
atau tidak berobat. 4
Angka harapan hidup pada pasien epilepsi, berdasarkan Moshe et al (2015)5, pada
pasien dengan epilepsi idiopatik atau kriptogenik (atau kategori tidak diketahui sesuai
dengan terminologi ILAE 2010) berkurang sebanyak 2 tahun, sedangkan pada pasien
dengan epilepsi simtomatik (atau kategori epilepsi dengan lesi struktural atau metabolik
berdasarkan terminologi 2010) berkurang sebanyak 10 tahun.5
Angka mortalitas pada pasien dengan epilepsi pada pasien di negara dengan
penghasilan tinggi mencapai 2 hingga 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
Sedangkan, pada negara dengan penghasilan rendah mencapai 37 kali lebih tinggi,
terutama pada usia muda (10-29 tahun).5
D. Etiologi Epilepsi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
1. Idiopatik
Tidak terdapat adanya lesi struktural di otak ataupun defisit neurologis.
Diperkirakan etiologi ini berkaitan dengan predisposisi genetik dan umumnya
berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk ke dalam
kategori ini yaitu, sindrom West, sindrom Lennox-Gestaut, dan epilepsi mioklonik.
3. Simtomatis
Merupakan bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak,
misalnya adanya cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat, kelainan kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat-obatan),
metabolik, dan kelainan neurodegeneratif sebelumnya.6
E. Patofisiologi Epilepsi
1. Neurobiologi kejang epilepsi
Paroxysmal depolarization shift (PDS) atau perpindahan depolarisasi paroksismal
merupakan fenomena patofisiologis seluler yang menjadi dasar patofisiologi dari
keseluruhan tipe kejang epilepsi dan abnormalitas EEG epileptiform interiktal
(spikes). PDS merupakan suatu fenomena potensial aksi berulang yang cepat yang
tidak diikuti periode refrakter, sehingga menyebabkan depolarisasi yang
berkepanjangan (lebih lama dibangingkan respon terhadap excitatory postsynaptic
potential (EPSP) yang normal). Adanya gelombang spike interiktal terjadi karena
PDS terjadi secara sinkron pada sejumlah besar neuron dan tiap neuron yang terlibat
memunculkan PDS dalam waktu bersamaan. 7
Kecenderungan suatu neuron untuk masuk ke dalam fase patologis, dimana akan
terbentuk PDS dapat bergantung pada keadaan intrinsik neuron, seperti adanya
disfungsi ionofor pada kanalopati genetik, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
ion Na+ dan K+ dalam melewati membran yang dapat memunculkan potensial aksi
yang mengakibatkan depolarisasi yang terus menerus. Selain itu, dapat juga terjadi
karena mekanisme ekstrinsikm yaitu karena konsentrasi neurotransmitter inhibitor
yang tidak adekuat atau konsentrasi asam amino eksitator atau eksitotoksin eksogen
yang berlebih. 7
Gambar 1. Elemen dasar patofisiologi terjadinya kejang (iktogenik)5
F. Klasifikasi Epilepsi
Titik awal dalam penegakan diagnosis kejang dan epilepsi yaitu dengan
menentukan tipe kejang yang dialami seseorang tersebut atau mencurigai suatu tipe
tertentu pada seorang pasien. Konsensus yang disusun oleh International League Against
Epilepsy (ILAE) menyusun suatu sistem klasifikasi elektroklinis pada tahun 1981 yang
digunakan selama 3 dekade (Tabel 1.). 7
Tabel 1. Klasifikasi kejang epilepsi ILAE 19814
Bangkitan parsial (fokal, Bangkitan tak
Bangkitan umum
terlokalisasi) tergolongkan
1. Bangkitan parsial sederhana 1. Lena
a. Dengan gejala motorik a. Tipikal lena
b. Dengan gejala b. Atipikal lena
somatosensorik 2. Mioklonik
c. Dengan gejala otonom 3. Klonik
d. Dengan gejala psikis 4. Tonik
2. Bangkitan parsial kompleks 5. Tonik-klonik
a. Bangkitan parsial 6. Atonik/astatik
sederhana yang diikuti
dengan gangguan
kesadaran
b. Bangkitan yang disertai
gangguan kesadaran
sejak awal bangkitan
3. Bangkitan parsial yang
menjadi umum sekunder
a. Parsial sederhana
menjadi umum
b. Parsial kompleks
menjadi umum
c. Parsial sederhana
menjadi parsial
kompleks, lalu menjadi
umum
Kemudian pada tahun 2010, diajukan suatu klasifikasi baru oleh ILAE yang
serupa dengan klasifikasi tahun 1981 namun menghilangkan subtipe bangkitan onset
parsial, namun mempertimbangkan perubahan kesadaran dan bangkitan umum sebagai
penjelas dari subtipe bangkitan fokal yang menjadi bangkitan umum (Tabel 3.). 7
Tabel 3. Klasifikasi ILAE 2010 untuk kejang epilepsi7
Bangkitan fokal Bangkitan umum
1. Tanpa gangguan kesadaran 1. Kejang tonik-klonik
a. Dengan komponen motorik 2. Lena
atau otonomik yang dapat a. Tipikal
diobservasi b. Atipikal
b. Hanya melibatkan fenomena c. Lena dengan ciri khusus
psikis atau sensoris yang 1) Lena mioklonik
subjektif 2) Mioklonik pada kelopak mata
2. Dengan gangguan kesadaran 3. Mioklonik
3. Berevolusi menjadi bangkitan a. Mioklonik
kejang yang bilateral. b. Mioklonik atonik
c. Mioklonik tonik
4. Klonik
5. Tonik
6. Atonik
7. Tidak diketahui
a. Spasme epileptik
H. Manajemen Epilepsi
Sekitar 70% pasien akan mencapai keadaan bebas kejang apabila rutin menjalani
terapi obat antiepilepsi (OAE) dengan tepat, dengan tingkat respon yang bervariasi
5
bergantung pada sindrom epilepsi, penyakit yang mendasari, dan faktor lainnya.
Penentuan terapi OAE bergantung pada berapa besar kemungkinan untuk terjadi
bangkitan berulang, berapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi psikososial,
masalah pekerjaan, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya, serta juga harus
dipertimbangkan manfaat dan kerugian antara pengobatan yang diberikan dengan efek
samping yang akan ditimbulkan. Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan
penyandang epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup yang optimal. Terapi
epilepsi terbagi atas terapi non farmakologi dan farmakologi. 4
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yaitu:4
1. Terapi OAE pada pasien epilepsi, diberikan apabila:
a. Diagnosis epilepsi sudah tegak
b. Terdapat minimal dua bangkitan dalam setahun
c. Pasien dan keluarga sudah menerima penjelasan terkait tujuan dan kemungkinan
efek samping OAE.
d. Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE sesuai dengan jenis bangkitan
dan jenis sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping.
4. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:
a. Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
b. Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan,
penyakit haati, penyakit ginjal, dan gangguan absorpsi OAE)
c. Diduga penderita tidak patuh pada pengobatan
d. Setelah penggantian dosis/regimen OAE
e. Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.
5. Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Penggantian regimen diberikan dengan
cara OAE pertama diturunkan dosisnya secara bertahap (tapering off), dan bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Namun
apabila respon buruk, maka kedua OAE harus diganti.
6. OAE kedua harus dimiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama.
7. Penderita dengan bangkitan tunggal, direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi.
Penghentian OAE
Pada penderita dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah
3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien.
Adapun syarat penghentian OAE adalah sebagai berikut:
1. Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal
2. Penghentian OAE disetujui oleh penderita dan keluarga
3. Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6 bulan
4. Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama.4