Anda di halaman 1dari 15

Epilepsy and Its Complication: How to Control it

Andre Prawiradinata

A. Definisi Epilepsi
Epilepsi didefinisikan secara konseptual pada tahun 2005, yaitu sebuah kelainan
pada otak dengan karakteristik adanya kecenderungan untuk menimbulkan kejang
epilepsi yang terus menerus dan memiliki konsekuensi neurobiologis, kognitif,
psikologis, dan sosial. Epilepsi dapat didiagnosis apabila terdapat dua kejang yang tidak
diprovokasi yang terjadi berbeda waktu lebih dari 24 jam. Sedangkan, kejang epilepsi
didefinisikan sebagai suatu kejadian yang ditandai dengan aktivitas neuron pada otak
yang abnormal dan berlebih.1
Definisi epilepsi kemudian ditinjau ulang oleh The International League Against
Epilepsy (ILAE) Task Force pada tahun 2014 dengan tujuan untuk mewujudkan definisi
yang klinis operasional. Epilepsi kemudian didefinisikan sebagai suatu penyakit agar
lebih dikenal baik oleh masyarakat awam. Berdasarkan ILAE Task Force tahun 2014,
definisi klinis operasional epilepsi yaitu, suatu penyakit pada otak yang ditandai dengan
kondisi berikut 1:
1. Sekurang-kurangnya dua kejang tanpa provokasi (atau refleks) yang terjadi
berbeda waktu lebih dari 24 jam.
2. Satu kejang tanpa provokasi (atau refleks) dan kemungkinan untuk terjadinya
kejang serupa di masa mendatang dengan risiko rekurensi (sekitar 60%)
setelah dua kejang tanpa provokasi, yang terjadi dalam 10 tahun ke depan.
3. Terdiagnosis sindrom epilepsi. 1

Pasien dengan epilepsi dianggap bebas epilepsi/resolved apabila pasien dengan


sindrom epilepsi age-dependent namun sudah melewati usia untuk sindrom epilepsi
tersebut, atau yang telah bebas kejang selama 10 tahun, dan tanpa pengobatan kejang
dalam 5 tahun terakhir. 1

B. Sejarah Epilepsi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan serius pada otak yang paling sering.
Epilepsi juga merupakan kondisi medis tertua yang pernah tercatat, dideskripsikan oleh
Hippocrates lebih dari 3.500 tahun yang lalu, dan juga dikenal dalam sistem medis
Aryuveda di India selama lebih dari 200 tahun. Kata “epilepsi” berasal dari terminology
Yunani epilambanein, yang artinya “dirasuki” atau “dikejutkan”. Berdasarkan mitologi
Yunani, epilepsi dianggap sebagai fenomena supranatural. Epilepsi dikenal sebagai nama
lain, yaitu Apasmara di India dan Sri Lanka, Mirgee/Lata/Laran di India Utara, Khichuni
di Bangladesh, Ayan di Indonesia, dan Rake Lom Ba Mu atau Roke Lom Chak di
Thailand.2
Masyarakat terutama pada Asia Tenggara banyak yang menyalahartikan penyakit
epilepsi ke dalam mitos-mitos. Epilepsi dianggap sebagai suatau hukuman akibat
perbuatan jahat. Gejala-gejala dan kebiasaan aneh yang muncul pada pasien-pasien
dengan epilepsi membentuk suatu kepercayaan bahwa epilepsi disebabkan oleh
kerasukan roh. Hal ini menyebabkan orang-orang dengan epilepsi tidak segera dibawa
untuk diperiksakan ke tenaga medis.2

C. Epidemiologi Epilepsi
3
Berdasarkan Singh dan Trevick pada tahun 2016, sebanyak 70 juta orang di
dunia mengidap epilepsi dan 90% diantaranya berada pada negara-negara berkembang.
Estimasi prevalensi rata-rata epilepsi pada negara-negara berkembang, pada daerah
pedesaan mencapai 1,54% (0,48-4,96%), sedangkan pada area perkotaan mencapai
1,03% (0,28%-3,8%). Secara global, sebanyak 2,4 juta orang diestimasikan terdiagnosis
epilepsi setiap tahunnya. Pada negara-negara dengan penghasilan tinggi, kasus baru
setiap tahunnya mencapai 30-50 per 100.000 orang. Sedangkan pada negara-negara
dengan penghasilan menengah sampai rendah, dapat mencapai 2 kali lipatnya. Hal ini
terjadi diduga karena meningkatnya kasus-kasus penyakit endemic, seperti malaria atau
neurosistiserkosis, peningkatan cedera karena kecelakaan atau saat lahir, perbedaan
infrastruktur dan sarana medis, dan ketersediaannya program preventif dan pelayanan
yang terjangkau. Hal tersebut diperkirakan 90% terdapat pada negara-negara
berkembang. Prevalensi epilepsi pada negara maju mencapai 4 hingga 10 kasus per 1000
penduduk. Sedangkan pada negara-negara berkembang dan negara-negara tropis
mencapai 14 hingga 57 kasus per 1000 penduduk. Pada negara maju, insidensi epilepsi
paling banyak terjadi pada usia bayi dan anak hingga lansia, sedangkan pada negara-
negara berkembang lebih banyak terjadi pada orang dewasa. 3
Sedangkan di Indonesia, studi epidemiologi untuk epilepsi pernah diadakan oleh
Kelompok Studi Epilepsi PERDOSSI pada tahun 2013 selama 6 bulan di 18 rumah sakit
di 15 kota. Didapatkan 2288 pasien terdiri atas 487 kasus baru dan 1801 kasus lama.
Rerata usia kasus baru menunjukkan usia 25,06 ± 16,9 tahun, sedangkan pada kasus lama
menunjukkan rerata usia 29,2 ± 16,5 tahun. Sebanyak 77,9% pasien berobat pertama kali
ke dokter spesialis saraf, 6,8% berobat ke dokter umum, dan sisanya berobat ke dukun
atau tidak berobat. 4
Angka harapan hidup pada pasien epilepsi, berdasarkan Moshe et al (2015)5, pada
pasien dengan epilepsi idiopatik atau kriptogenik (atau kategori tidak diketahui sesuai
dengan terminologi ILAE 2010) berkurang sebanyak 2 tahun, sedangkan pada pasien
dengan epilepsi simtomatik (atau kategori epilepsi dengan lesi struktural atau metabolik
berdasarkan terminologi 2010) berkurang sebanyak 10 tahun.5
Angka mortalitas pada pasien dengan epilepsi pada pasien di negara dengan
penghasilan tinggi mencapai 2 hingga 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum.
Sedangkan, pada negara dengan penghasilan rendah mencapai 37 kali lebih tinggi,
terutama pada usia muda (10-29 tahun).5

D. Etiologi Epilepsi
Etiologi epilepsi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, sebagai berikut:
1. Idiopatik
Tidak terdapat adanya lesi struktural di otak ataupun defisit neurologis.
Diperkirakan etiologi ini berkaitan dengan predisposisi genetik dan umumnya
berhubungan dengan usia.
2. Kriptogenik
Dianggap simtomatis tetapi penyebabnya belum diketahui. Termasuk ke dalam
kategori ini yaitu, sindrom West, sindrom Lennox-Gestaut, dan epilepsi mioklonik.
3. Simtomatis
Merupakan bangkitan epilepsi disebabkan oleh kelainan/lesi struktural pada otak,
misalnya adanya cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat, kelainan kongenital, lesi
desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat-obatan),
metabolik, dan kelainan neurodegeneratif sebelumnya.6

E. Patofisiologi Epilepsi
1. Neurobiologi kejang epilepsi
Paroxysmal depolarization shift (PDS) atau perpindahan depolarisasi paroksismal
merupakan fenomena patofisiologis seluler yang menjadi dasar patofisiologi dari
keseluruhan tipe kejang epilepsi dan abnormalitas EEG epileptiform interiktal
(spikes). PDS merupakan suatu fenomena potensial aksi berulang yang cepat yang
tidak diikuti periode refrakter, sehingga menyebabkan depolarisasi yang
berkepanjangan (lebih lama dibangingkan respon terhadap excitatory postsynaptic
potential (EPSP) yang normal). Adanya gelombang spike interiktal terjadi karena
PDS terjadi secara sinkron pada sejumlah besar neuron dan tiap neuron yang terlibat
memunculkan PDS dalam waktu bersamaan. 7
Kecenderungan suatu neuron untuk masuk ke dalam fase patologis, dimana akan
terbentuk PDS dapat bergantung pada keadaan intrinsik neuron, seperti adanya
disfungsi ionofor pada kanalopati genetik, sehingga menyebabkan ketidakseimbangan
ion Na+ dan K+ dalam melewati membran yang dapat memunculkan potensial aksi
yang mengakibatkan depolarisasi yang terus menerus. Selain itu, dapat juga terjadi
karena mekanisme ekstrinsikm yaitu karena konsentrasi neurotransmitter inhibitor
yang tidak adekuat atau konsentrasi asam amino eksitator atau eksitotoksin eksogen
yang berlebih. 7
Gambar 1. Elemen dasar patofisiologi terjadinya kejang (iktogenik)5

Pada gambar diatas dijelaskan mengenai mekanisme terjadinya kejang, dijelaskan


sebagai berikut5:
(A) Modulasi eksitabilitas neuronal yang terjadi setelah pelepasan neurotransmitter
dari vesikel sinaps yang kemudian keluar dari membrane presinaps (i), menuju
celah sinaps (ii), secara langsung mengaktifkan reseptor post-sinaps (iii).
Neurotransmitter juga dapat terbebas ke area ekstrasinaps (iv) lalu mengaktivasi
reseptor ekstrasinaps (v) atau meregulasi pelepasan neurotransmitter presinaps
melalui reseptor presinaps (vi). Sel glia juga memiliki peran penting dalam
neuromodulasi melalui cara yang berbeda; pengambilan neurotransmitter yang
terbebas (vii), melepaskan senyawa neuroaktif (seperti sitokin, neurotransmitter,
ATP, asam amino), sintesis prekursor neurotransmitter (seperti glutamin),
mengontrol volum ekstrasel (via aquaporin), dan mengontrol sawar darah-otak.
Adanya peningkatan aktivitias eksitasi atau penurunan inhibisi dapat
menimbulkan terjadinya kejang.
(B) Peran disinhibisi dalam jaringan neuronal penyebab kejang. Jaringan-jaringan
ini (digambarkan dengan sirkuit oval oranye) berlokasi pada area orak yang
sama atau berseberangan dan meliputi tipe sel yang berbeda-beda dengan
interaksi intrinsik yang kompleks. Pada kondisi fisiologis, jaringan ini dikontrol
oleh neuron inhibitor (digambarkan pada neuron sirkular berwarna biru)
sehingga dapat mencapai fungsi normal. Apabila neuron inhibitor tersebut
diinhibisi (neuron sirkular berwarna cyan), terjadi disinhibisi yang dapat
memicu terjadinya kejang. Dengan demikian, interaksi interneuronal yang lebih
luas antara neuron inhibisi dan eksitasi dapat menyebabkan hipersinkronisasi
neuron patologis dan kejang.
(C) Jaringan thalamo-kortikal merupakan salah satu jaringan iktogenik yang
memiliki interaksi yang kompleks. Aktivitas eksitasi dari korteks serebral
daapat mengaktivasi interneuron GABA pada nukleus retikularis talamik (i).
Namun neuron GABA nukleus retikularis talamik dapat menghambat neuron
thalamo-kortikal, sehingga menghasilkan potensial inhibisi cepat dan lambat
post-sinaps (ii), yang sesuai dengan komponen gelombang lambat pada
kompleks spike. Aktivasi sekuens dari hiperpolarisasi oleh karena kanal ion K+
dan ambang bawah kanal kalsium pada neuron thalamo-kortikal dapat memicu
komponen spike, potensial eksitasi post-sinaps, dan ledakan potensial aksi pada
neuron thalamo-kortikal.
(D) Hantaran potensial thalamo-kortikal kemudian dapat mengaktivasi neuron
korteks. Ledakan aktivitas yang sinkron pada neuron thalamo-kortikal dan sel
korteks sesuai dengan komponen spike pada pelepasan gelombang spike pada
EEG.
2. Epileptogenesis
Epileptogenesis merupakan suatu proses yang awalnya diawali oleh fungsi otak
yang normal kemudian berubah dan terganggu yang menyebabkan terjadinya
aktivitas elektrik yang abnormal dan menjadi kejang yang kronik. Konsep terkait
mekanisme epilepsi merujuk pada kondisi biologis dari otak yang menimbulkan
kejang tanpa provokasi dan sering rekuren. Contoh dari kondisi biologis ini, antara
lain perubahan molekuler, anatomis ataupun sirkuit, seperti kematian sel atau
disregulasi kanal ion atau reseptor neurotransmitter. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa mekanisme epilepsi ini merupakan suatu proses awal epileptogenik. 8
Proses epileptogenesis ini umumnya terjadi dalam tiga fase, yaitu:
1. Terjadinya cedera pencetus,
2. Terjadinya periode laten sebagai proses perubahan dari otak yang normal
menjadi otak epileptik,
3. Terjadi fase kronik dan epilepsi ditegakkan. 8

F. Klasifikasi Epilepsi
Titik awal dalam penegakan diagnosis kejang dan epilepsi yaitu dengan
menentukan tipe kejang yang dialami seseorang tersebut atau mencurigai suatu tipe
tertentu pada seorang pasien. Konsensus yang disusun oleh International League Against
Epilepsy (ILAE) menyusun suatu sistem klasifikasi elektroklinis pada tahun 1981 yang
digunakan selama 3 dekade (Tabel 1.). 7
Tabel 1. Klasifikasi kejang epilepsi ILAE 19814
Bangkitan parsial (fokal, Bangkitan tak
Bangkitan umum
terlokalisasi) tergolongkan
1. Bangkitan parsial sederhana 1. Lena
a. Dengan gejala motorik a. Tipikal lena
b. Dengan gejala b. Atipikal lena
somatosensorik 2. Mioklonik
c. Dengan gejala otonom 3. Klonik
d. Dengan gejala psikis 4. Tonik
2. Bangkitan parsial kompleks 5. Tonik-klonik
a. Bangkitan parsial 6. Atonik/astatik
sederhana yang diikuti
dengan gangguan
kesadaran
b. Bangkitan yang disertai
gangguan kesadaran
sejak awal bangkitan
3. Bangkitan parsial yang
menjadi umum sekunder
a. Parsial sederhana
menjadi umum
b. Parsial kompleks
menjadi umum
c. Parsial sederhana
menjadi parsial
kompleks, lalu menjadi
umum

Tabel 2. Klasifikasi ILAE 1989 untuk epilepsi dan sindrom epilepsi4


Fokal/parsial (localized related)
1. Idiopatik (berhubungan dengan usia awitan)
a. Epilepsi benigna dengan gelombang paku di daerah sentrotemporal (childhood
epilepsy with centrotemporal spikes)
b. Epilepsi benigna dengan gelombang paroksismal pada daerah oksipital
c. Epilepsi primer saat membaca (primary reading epilepsy)
2. Simtomatis
a. Epilepsi parsial kontinu yang kronis progresif pada anak-anak (Kojenikow’s
syndrome)
b. Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangsangan (kurang
tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, refleks epilepsi, stimulasi fungsi
kortikal tinggi, membaca)
c. Epilepsi lobus temporal
d. Epilepsi lobus frontal
e. Epilepsi lobus parietal
f. Epilepsi oksipital
3. Kriptogenik
Epilepsi umum
1. Idiopatik (sindrom epilepsi berurutan sesuai dengan usia awitan)
a. Kejang neonates familial benigna
b. Kejang neonates benigna
c. Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
d. Epilepsi lena pada anak
e. Epilepsi lena pada remaja
f. Epilepsi mioklonik pada remaja
g. Epilepsi dengan bangkitan umum tonik-klonik pada saat terjaga
h. Epilepsi umum idiopatik lain yang tidak termasuk salah satu diatas
i. Epilepsi tonik-klonik yang dipicu dengan aktivitas yang spesifik
2. Kriptogenik atau simtomatis (berurutan sesuai dengan peningkatan usia)
a. Sindrom West (spasme infantile dan spasme salam)
b. Sindrom Lennox-Gestaut
c. Epilepsi mioklonik astatik
d. Epilepsi mioklonik lena
3. Simtomatis
a. Etiologi nonspesifik:
1) Ensefalopati mioklonik dini
2) Ensefalopati pada infantile dini dengan burst suppression
3) Epilepsi simtomatis umum lainnya yang tidak termasuk di atas
b. Sindrom spesifik
c. Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain
Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan fokal atau umum
1. Bangkitan umum dan fokal
a. Bangkitan neonatal
b. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
c. Epilepsi dengan gelombang paku kontinu selama tidur dalam
d. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
e. Epilepsi yang tidak termasuk klasifikasi di atas
2. Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
Sindrom khusus
1. Bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
a. Kejang demam
b. Bangkitan kejang/status epilepticus yang timbul hanya sekali/isolated
c. Bangkitan yang hanya terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau toksis,
alkohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi nonketotik.
d. Bangkitan berkaitan dengan pencetus spesifik (epilepsi refrektorik).

Kemudian pada tahun 2010, diajukan suatu klasifikasi baru oleh ILAE yang
serupa dengan klasifikasi tahun 1981 namun menghilangkan subtipe bangkitan onset
parsial, namun mempertimbangkan perubahan kesadaran dan bangkitan umum sebagai
penjelas dari subtipe bangkitan fokal yang menjadi bangkitan umum (Tabel 3.). 7
Tabel 3. Klasifikasi ILAE 2010 untuk kejang epilepsi7
Bangkitan fokal Bangkitan umum
1. Tanpa gangguan kesadaran 1. Kejang tonik-klonik
a. Dengan komponen motorik 2. Lena
atau otonomik yang dapat a. Tipikal
diobservasi b. Atipikal
b. Hanya melibatkan fenomena c. Lena dengan ciri khusus
psikis atau sensoris yang 1) Lena mioklonik
subjektif 2) Mioklonik pada kelopak mata
2. Dengan gangguan kesadaran 3. Mioklonik
3. Berevolusi menjadi bangkitan a. Mioklonik
kejang yang bilateral. b. Mioklonik atonik
c. Mioklonik tonik
4. Klonik
5. Tonik
6. Atonik
7. Tidak diketahui
a. Spasme epileptik

Pada tahun 2017, diajukan kembali sistem klasifikasi baru sebagai


penyempurnaan dari klasifikasi yang diratifikasi terakhir pada tahun 1989. Sistem
klasifikasi ini merupakan sistem multilevel yang disusun untuk dapat disesuaikan pada
lingkungan klinis yang berbeda-beda (Tabel 4.). 9
Tabel 4. Klasifikasi ILAE 2017 untuk kejang epilepsi10
Onset fokal Onset umum Onset tidak diketahui
1. Ada/tidaknya gangguan 1. Motorik 1. Motoik
kesadaran a. Tonik-klonik a. Tonik-klonik
a. Sadar/tidak ada b. Klonik b. Spasme epileptik
gangguan kesadaran c. Tonik 2. Non-motorik
b. Ada gangguan d. Mioklonik a. Behavior arrest
kesadaran e. Mioklonik-tonik- 3. Tidak tergolongkan
2. Motor onset klonik
a. Automatisme f. Mioklonik-atonik
b. Atonik g. Atonik
c. Klonik h. Spasme epileptic
d. Spasme epileptic 2. Non-motorik (lena)
e. Hiperkinetik a. Tipikal
f. Myoklonik b. Atipikal
g. Tonik c. Mioklonik
3. Non motor onset d. Mioklonik kelopak
a. Otonomik mata
b. Behavior arrest
c. Kognitif
d. Emosional
e. Sensoris
4. Bangkitan fokal menjadi
bilateral tonik-klonik

G. Efek Epilepsi terhadap Penderita Epilepsi


Salah satu hal utama yang menjadi masalah kompleks dalam penanganan epilepsi
adalah efek yang terjadi pada penderita epilepsi. Efek yang dapat terjadi, antara lain 15:
1. Gangguan kognitif
Efek epilepsi terhadap gangguan kognitif terjadi oleh karena adanya
perubahan neurogenesis dan synaptogenesis serta perubahan keseimbangan
eksitasi dan inhibisi.15
2. Gangguan memori
Hal ini terjadi terutama karena kejang pada fokus lobus temporal dan
limbik yang berperan dalam proses belajar dan proses memori. 16
3. Kelainan psikiatri
Terjadinya komplikasi psikiatri pada penderita epilepsi merupakan efek
akibat interaksi kompleks proses endogen, genetic, terapetik dan lingkungan.
Adapun kelainan psikiatri yang umu terjadi adalah psikosis, psikosis postictal,
dan kelainan depresif postiktal.17
4. Kematian
Sudden unexpected death in epilepsy (SUDEP) merupakan penyebab
utama mortalitas pada pasien dengan epilepsi. Hal ini utamanya terjadi karena
disfungsi pernafasan sewaktu terjadi kejang ataupun terjadinya aritmia oleh
karena kejang. 18

H. Manajemen Epilepsi
Sekitar 70% pasien akan mencapai keadaan bebas kejang apabila rutin menjalani
terapi obat antiepilepsi (OAE) dengan tepat, dengan tingkat respon yang bervariasi
5
bergantung pada sindrom epilepsi, penyakit yang mendasari, dan faktor lainnya.
Penentuan terapi OAE bergantung pada berapa besar kemungkinan untuk terjadi
bangkitan berulang, berapa besar kemungkinan terjadinya konsekuensi psikososial,
masalah pekerjaan, atau keadaan fisik akibat bangkitan selanjutnya, serta juga harus
dipertimbangkan manfaat dan kerugian antara pengobatan yang diberikan dengan efek
samping yang akan ditimbulkan. Tujuan utama terapi epilepsi adalah mengupayakan
penyandang epilepsi dapat hidup normal dan tercapai kualitas hidup yang optimal. Terapi
epilepsi terbagi atas terapi non farmakologi dan farmakologi. 4
Prinsip terapi farmakologi epilepsi yaitu:4
1. Terapi OAE pada pasien epilepsi, diberikan apabila:
a. Diagnosis epilepsi sudah tegak
b. Terdapat minimal dua bangkitan dalam setahun
c. Pasien dan keluarga sudah menerima penjelasan terkait tujuan dan kemungkinan
efek samping OAE.
d. Bangkitan terjadi berulang walaupun faktor pencetus sudah dihindari.
2. Terapi dimulai dengan monoterapi, menggunakan OAE sesuai dengan jenis bangkitan
dan jenis sindrom epilepsi.
3. Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikan bertahap sampai dosis efektif
tercapai atau timbul efek samping.
4. Kadar obat dalam plasma ditentukan bila:
a. Bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif
b. Diduga ada perubahan farmakokinetik OAE (disebabkan oleh kehamilan,
penyakit haati, penyakit ginjal, dan gangguan absorpsi OAE)
c. Diduga penderita tidak patuh pada pengobatan
d. Setelah penggantian dosis/regimen OAE
e. Untuk melihat interaksi antara OAE atau obat lain.
5. Bila dengan penggunaan OAE pertama dosis maksimum tidak dapat mengontrol
bangkitan, maka diganti dengan OAE kedua. Penggantian regimen diberikan dengan
cara OAE pertama diturunkan dosisnya secara bertahap (tapering off), dan bila terjadi
bangkitan saat penurunan OAE pertama, maka kedua OAE tetap diberikan. Namun
apabila respon buruk, maka kedua OAE harus diganti.
6. OAE kedua harus dimiliki mekanisme kerja yang berbeda dengan OAE pertama.
7. Penderita dengan bangkitan tunggal, direkomendasikan untuk dimulai terapi bila
kemungkinan kekambuhan tinggi.

Penghentian OAE

Pada penderita dewasa, penghentian OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah
3-5 tahun bebas bangkitan. OAE dapat dihentikan tanpa kekambuhan pada 60% pasien.
Adapun syarat penghentian OAE adalah sebagai berikut:
1. Setelah minimal 3 tahun bebas bangkitan dan gambaran EEG normal
2. Penghentian OAE disetujui oleh penderita dan keluarga
3. Harus dilakukan secara bertahap, 25% dari dosis semula setiap bulan dalam jangka
waktu 3-6 bulan
4. Bila dilakukan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE yang bukan
utama.4

5. Fisher RS, Acevedo C, Arzimanoglou A, et al. A practical clinical definition of epilepsy.


Epilepsia, 2014; 55(4): 475-482.
6. WHO Regional Office for South East Asia. Epilepsy in South-East Asia Region:
Bridging the Gap. The Global Campaign Against Epilepsy. 2005. Available from:
http://www.who.int/mental_health/neurology/epilepsy/searo_report.pdf.
7. Singh A, Trevick S. The epidemiology of global epilepsy. Neurol Clin, 2016; 34, 834-
847.
8. PERDOSSI. Pedoman tatalaksana epilepsi Edisi ke-5. Surabaya: Airlangga University
Press; 2014.
9. Moshe SL, Perucca E, Ryvlin P, Tomson T. Epilepsy: new advances. Lancet, 2014; 1-15.
10. Panayiotopoulus CP. The epilepsies seizure, syndrome and management. UK: Blandom
Medical Publishing; 2005: 1-26.
11. Henry TR. Seizures and epilepsy: pathophysiology and principles of diagnosis. Epilepsy
Board Review Manual, Vol 1, Part 1. 2012: 1-26.
12. Goldberg EM, Coulter DA. Mechanism of epileptogenesis: a convergence on neural
circuit dysfunction. Nature reviews, Vol 14, 2013; 337-349.
13. Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, et al. ILAE classification of the epilepsies: position
paper of the ILAE Commissioin for Classification and Terminology. Epilepsia, 2017;
58(4):512-521.
14. Fisher RS, Cross JH, D’Souza C, et al. Instruction manual for the ILAE 2017 operational
classification of seizure types. Epilepsia, 2017;58(4); 531-542.
15. Holmes GL. Effect of seizures on the developing brain and cognition. Semin Pediatr
Neurol; 2016; 23(2): 120-126.
16. Baram TZ. The brain, seizures, and epilepsy throughout life: understanding a moving
target. Epilepsy currents, 2012; 12(4); 7-12.
17. Kanner AM, Palac S. Neuropsychiatric complications of epilepsy. Curren Neurology and
Neuroscience Reports, 2002, 2;365-372.
18. Jones LA, Thomas RH. Sudden death in epilepsy: insights from the last 25 years. Seizure,
2017, 44; 232-236.

Anda mungkin juga menyukai