Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman akan
alamnya. Keanekaragaman alam tersebut meliputi tumbuh-tumbuhan,
hewan dan mineral. Negara berkembang termasuk indonesia banyak
melakukan penelitian-penelitian terhadap beberapa jenis tanaman yang
dapat dimanfaatkan untuk pencegahan, pengobatan penyakit, serta untuk
meningkatkan daya tahan tubuh. Penggunaan obat tradisional di
Indonesia sudah berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu, sebelum obat
modern ditemukan dan dipasarkan. Hal itu tercermin antara lain pada
lukisan di relief Candi Borobudur dan resep tanaman obat yang ditulis
dari tahun 991 sampai 1016 pada daun lontar di Bali. Indonesia yang
beriklim tropis merupakan negara dengan keanekaragaman hayati
terbesar kedua di dunia setelah Brazil. Indonesia memiliki sekitar 25.000-
30.000 spesies tanaman yang merupakan 80% dari jenis tanaman di dunia
dan 90 % dari jenis tanaman di Asia (Dewoto, 2007).
Seiring pengembangan obat tradisional Indonesia menjadi obat
herbal terstandar dan fitofarmaka, standarisasi dan persyaratan mutu
simplisia obat tradisional merupakan hal yang perlu diperhatikan.
Simplisia merupakan bahan baku yang berasal dari tanaman yang belum
mengalami 2 pengolahan, kecuali pengeringan. Standarisasi simplisia
dibutuhkan karena kandungan kimia tanaman obat sangat bervariasi .
Standarisasi simplisia diperlukan untuk mendapatkan efek yang dapat
diulang (reproducible). Kandungan kimia yang dapat digunakan sebagai
standar adalah kandungan kimia yang berkhasiat, atau kandungan kimia
yang hanya sebagai petanda (marker), atau yang memiliki sidik jari
(fingerprint) pada kromatogram (Dewoto, 2007).

1
1.2 Tujuan
1. Mengetahui konten buku Materia Medika Indonesia dan Farmakope
Herbal Indoneisa sebagai pedoman standarisari bahan alam.
2. Mengetahui perbedaan buku Materia Medika Indonesia dan
Farmakope Herbal Indonesia.

1.3 Rumusan Masalah


1. Apa saja konten-konten yang terdapat dalam buku farmakope herbal
Indonesia?
2. Apa saja konten-konten yang terdapat dalam buku Materia Medika
Indonesia?
3. Apa saja perbedaan buku Materia Medika Indonesia tiap edisi?
4. Apa saja perbedaan buku Materia Medika Indonesia dan Farmakope
Herbal Indonesia?

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Standarisasi adalah serangkaian parameter, prosedur, dan cara


pengukuran yang hasilnya merupakan unsur-unsur terkait seperti
paradigma mutu yang memenuhi standar dan jaminan stabilitas produk
(BPOM RI, 2005).
Persyaratan mutu simplisia dan ekstrak sejumlah tanaman tertera
dalam buku Farmakope Herbal Indonesia (FHI), Ekstra Farmakope
Indonesia, atau Materia Medika Indonesia. Materia Medika Indonesia
(MMI) yang dikeluarkan oleh Direktorat Pengawasan Obat Tradisional
yang memuat persyaratan baku mutu bahan alam meliputi standarisasi
simplisia dan ekstrak baik secara kualitatif (macam-macam senyawa
metabolit sekunder) maupun kuantitatif (jumlah kadar senyawa metabolit
sekunder). Standarisasi dilakukan sebagai upaya peningkatan mutu dan
keamanan produk yang diharapkan dapat lebih meningkatkan
kepercayaan terhadap manfaat obat yang berasal dari bahan alam. Salah
satu penelitian yang telah dilakukan adalah pembuatan ekstrak tumbuhan
berkhasiat obat yang dilanjutkan dengan standardisasi kandungannya
untuk memelihara keseragaman mutu, keamanan, dan khasiatnya
(BPOM, 2005).
Standarisasi terhadap tanaman obat di Indonesia masih belum
optimal dan hanya pada beberapa tanaman tertentu yang tercantum dalam
MMI dan FHI yaitu 257 simplisia dan menurut Monografi Ekstrak 3
Tumbuhan Obat Indonesia (METOI) terdapat 65 ekstrak, sedangkan
tanaman di Indonesia berdasarkan BPOM RI terdapat lebih dari 30.000
jenis tumbuhan dan lebih dari 1.000 jenis tumbuhan obat yang
dimanfaatkan dalam industri obat tradisional. Standarisasi tumbuhan obat
meliputi bahan awal, bahan antara, atau bahan produk jadi. Tumbuhan
sebagai bahan awal dianalogikan dengan komoditi bahan baku obat yang
dengan teknologi fitofarmasi diproses menjadi produk jadi. Ekstrak
sebagai bahan antara merupakan bahan yang dapat diproses lagi menjadi

3
fraksi-fraksi, isolat senyawa tunggal ataupun tetap sebagai campuran
dengan ekstrak lain. Adapun jika sebagai produk jadi berarti ekstrak yang
berada dalam bentuk sediaan obat jadi yang siap digunakan (Tenriugi,
Gemini dan Faisal, 2010).

4
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 KONTEN-KONTEN YANG TERDAPAT DALAM BUKU


FARMAKOPE HERBAL INDONESIA
A. Sejarah Buku Farmakope
Obat tradisional (OT) merupakan salah satu warisan budaya bangsa
indonesia yang telah digunakan selama berabad abad untuk pemeliharaan
dan peningkatan kesehatan serta pencegahan dan pengobatan penyakit.
Berdasarkan bukti secara turun temurun dan pengalaman (empiris), OT
hingga kini masih digunakan masyarakat indonesia dan dibanyak negara
lain. Sebagai warisan budaya bangsa yang telah terbukti banyak memberi
konstribusi pada pemeliharaan kesehatan, jamu sebagai OT asli indonesia
perlu dilestarikan dan dikembangkan.
Dalam perjalanan sejarahnya, dengan didorong dan ditunjang oleh
perkembangan iptek serta kebutuhan upaya kesehatan modern, OT telah
banyak mengalami perkembangan. Perkembangan yang dimaksud
mencakup aspek pembuktian khasiat dan keamanannya, jaminan mutu,
bentuk sediaan, cara pemberian, pengemasan dan penampilan serta
teknologi produksi. Untuk mendorong peninggkatan pemanfaatan OT
indonesia sekaligus menjamin pelestarian jamu, indonesia
memprogramkan pengembangan secara berjengjang kedalam kelompok
jamu, obat herbal terstandar dan fitofarmaka. Jamu adalah OT indonesia
yang digunakan secara turun menurun berdasarkan pengalaman
menggunakan bahan yang belum terstandar. Obat herbal terstandar adalah
hasil pengembangan jamu atau hasil penelitian sediaan baru yang khasiat
dan keamanannya telah dibuktikan secara ilmiah melalui uji praklinik.
Fitofarmaka adalah hasil pengembangan jamu atau obat herbal terstandar
atau hasil penelitian sediaan baru yang khasiat dan keamanannya sudah
dibuktikan melalui uji klinik.

Program pengembangan OT secara berjenjang tersebut merupakan


implementasi strategis dari ketentuan UU NO 23 Tahun 1992 tentang

5
kesehatan sekaligus upaya pendayagunaan sumber daya alam indonesia
secara berkesinambungan (sustainable use) dalam UU no 23 Tahun 1992
tentang kesehatan disebutkan bahwa OT harus memenuhi standar yang
ditetapkan. Sesuai penjelasan UU No 23 Tahun 1992, standar yang
dimaksud adalah Materia Medika Indonesia (MMI) atau standar lain yang
ditetapkan. Upaya pembuatan standar bahan OT sudah dimulai jauh
sebelum UU no 23 tahun 1992 ditetapkan.

Pada tahun 1977 indonesia telah menerbitkan Materia Medika


Indonesia jilid 1 (MMI I). MMI I berisi 20 monografi simplisia, MMI II
berisi 21 monografi simplisia, MMI III berisi 20 monografi simplisia,
MMI IV berisi 20 monografi simplisia, MMI V berisi 116 monografi
simplisia dan pada tahun 1995 diterbitkan MMI IV berisi 60 monografi
simplisia. MMI belum ditetapkan sebagai standar wajib karena lebih
merupakan spesifikasi simplisia yang menjadi acuan dalam pemeliharaan
dan pengawasan mutu.

Dalam perjalanan sejarah selanjutnya sekitar 3 dasawarsa terakhir,


teknologi pembuatan OT mengalami banyak perubahan sejalan dengan
meningkatnya permintaan pembuktian khasiat dan keamanan secara
ilmiah. Penggunaan bahan OT bentuk serbuk mulai diganti dengan
ekstrak. Untuk mengantisipasi peredaran dan penggunaan ekstrak
tumbuhan obat yang tidak memenuhi persyaratan, pada tahun 2000
departemen kesehatan telah menerbitkan buku parameter standar umum
ekstrak tumbuhan obat. Pada tahun 2004 Badan Pengawas Obat dan
Makanan (BPOM) menindak lanjuti dengan menyusun dan menerbitkan
Monografi Ekstrak Tumbuhan Obat Indonesia (METOI) Vol.I yang
berisi 35 monografi ekstrak dan pada tahun 2006 diterbitkan METOI
Vol.II yang memuat 30 Monografi ekstrak.

Untuk mencegah atau mengurangi dampak negatif dari perkembangan


lingkungan eksternal seperti perdagangan bebas multilateral dan
perkembangan faktor internal terhadap kesehatan masyarakat dan industri

6
nasional, Departemen Kesehatan menerbitkan kebijakan Obat Tradisional
Nasional (Kotranas) tahun 2007. Kotranas mempunyai tujuan :

1. Mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan tradisional


secara berkelanjutan untuk digunakan sebagai obat tradisional dalam
upaya peningkatan pelayanan kesehatan;
2. Menjamin pengelolaan potensi alam indonesia secara lintas sektor
agar mempunyai daya saring tinggi sebagai sumber ekonomi
masyarakat dan devisa negara yang berkelanjutan.
3. Tersedianya OT yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya, teruji
secara ilmiah dan dimanfaatkan secara luas, baik untuk pengobatan
sendiri maupun dalam pelayanan kesehatan formal.
4. Menjadikan OT sebagai komoditi unggul yang memberikan multi
manfaat yaitu meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat,
memberikan peluang kesempatan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Untuk mencapai tujuan tersebut ditetapkan beberapa langkah


kebijakan antara lain peningkatan produksi, mutu dan daya saing
komoditi tumbuhan obat indonesia serta penyusunan Farmakope Obat
Tradisional Indonesia. Produksi komoditi tumbuhan obat indonesia harus
memenuhi persyaratan cara budi daya dan pengolahan pasca panen yang
baik sehingga simplisia yang dihasilkan dapat memenuhi standar yang
ditetapkan.
Sebagai pelaksanaan dari langkah kebijakan tersebut, pada tahun 2008
Departemen Kesehatan bersama BPOM serta pakar dari perguruan tinggi
dan Lembaga Penelitian menyusun naskah Farmakope Obat Tradisional
Indonesia yang merupakan buku standar simplisia dan ekstrak tumbuhan
obat. Dalam proses pembahasan yang intensif di sidang pleno, disepakati
nama buku diubah terakhir menjadi Farmakope Herbal Indonesia (FHI).
Dasar pertimbangan rapat pleno sampai pada kesepakatan
menggunakan nama Farmakope Herbal Indonesia karena istilah “obat
herbal” sudah lazim digunakan secara global yang mencakup tidak hanya

7
bahan dan produk berbasis pembuktian empiris tetapi juga bahan hasil
penelitian ilmiah.

Nama farmakope sejenis milik negara- negara lain juga menggunakan


istilah herbal seperti British Herbal Pharmacopoeia, USA Herbal
Pharmacopoeia, Indian Herbal Pharmacopoeia, The Korean Herbal
Pharmacopoeia dan sebagainya. Pengertian obat herbal (herbal medicine)
secara eksplisit disebutkan oleh WHO-WIPRO mencakup bahan atau
ramuan bahan dari tumbuhan, hewan dan mineral.

Dalam FHI edisi I ini baru memuat bahan yang berasal dari tumbuhan.
Untuk menyusun FHI edisi I telah ditetapkan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 374/Menkes/SK/IV/2008 tentang Panitia Farmakope
Obat Tradisional Indonesia dan Keputusan Direktur Jendral Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan No. HR.00.DJ.III.272.1 tentang Panitia
Pelaksana Penyusunan Farmakope Obat Tradisional Indonesia.

B. Ketentuan Umum
a. KETENTUAN UMUM DAN PERSYARATAN UMUM
Ketentuan umum dan persayaratan umum, untuk selanjutnya
disebut “ketentuan umum” ketentuan umum menetapkan prosedur
singkat pedoman dasar untuk penafsiran dan penerapan standar,
pengujian, penetapan kadar, dan spesifikasi lain dari FHI.
Jika dibuat pengecualian terhadap Ketentuan Umum, maka
dalam monografi atau lampiran pengujian mum yang
bersangkutan akan diungkapkan terlebih dahulu dan dijelaskan
secara khusus tujuan atau maksud pengecualian tersebut. Untuk
menekankan bahwa pengecualian seperti itu ada, Ketentuan
Umum menggunakan ungkapan “kecuali dinyatakan lain”. Jadi,
harus diterima sebagai kenyataan bahwa jika ada perbedaan
dengan Ketentuan Umum, maka ungkapan kata-kata khusus
dalam standar, pengujian, penetapan kadar, dan spesifikasi lain
tersebut bersifat mengikat. Demikian juga, jika tidak ada kata-
kata khusus yang bertentangan, maka berlaku Ketentuan Umum.

8
b. FARMAKOPE
Farmakope ini bernama Farmakope Herbal Indonesia, berisi
monografi simplisia dan sediaan ekstrak. Farmakope ini
merupakan standar simplisia dan ekstrak yang digunakan untuk
pengobatan. Singkatan nama buku ini adalah FHI.
Jika digunakan istilah FHI tanpa keterangan lain, selama
periode berlakunya FHI ini, maka yang dimaksudkan adalah
Farmakope Herbal Indonesia dan semua suplemennya.

c. SYARAT MUTU
Syarat mutu adalah semua paparan yang tertera dalam
monografi merupakan syarat mutu simplisia dan ekstrak yang
bersangkutan. Suatu simplisia dan ekstrak tidak dapat dikatakan
bermutu FHI jika tidak memenuhi syarat mutu tersebut. Syarat
mutu ini berlaku bagi simplisia dan ekstrak dengan tujuan
pemeliharaan kesehatan dan pengobatan, tidak berlaku untuk
keperluan lain.

d. SIMPLISIA
Simplisia atau herbal adalah bahan alam yang telah
dikeringkan yang digunakan untuk pengobatan dan belum
mengalami pengolahan. Kecuali dinyatakan lain suhu
pengeringan simplisia tidak lebih dari 60%.
Simplisia segar adalah bahan alam segar yang belum
dikeringkan.
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan
utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Eksudat
tumbuhan adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tumbuhan
atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau zat nabati
lain yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tumbuhannya.
Serbuk simplisia nabati adalah bentuk serbuk dari simplisia
nabati dengan ukuran kehalusan tertentu. Sesuai dengan derajat

9
kehalusannya, dapat berupa serbuk sangat kasar, kasar, agak
kasar, halus dan sangat halus. Serbuk simplisia nabati tidak boleh
mengandung fragmen jaringan dan benda asing yang bukan
merupakan komponen asli dari simplisia yang bersangkutan
antara lain telur nematoda, bagian dari serangga dan hama serta
sisa tanah.
Nama latin simplisia ditetapkan dengan menyebut nama
marga (genus), nama jenis (species) dan bila memungkinkan
petunjuk jenis (varietas) diikuti bagian yang digunakan.
Nama latin dengan pengecualian ditetapkan dengan
menyebut nama marga umtuk simplisia yang sudah lazim disebut
dengan marganya.
Nama lain adalah nama indonesia yang paling lazim,
didahului dengan bagian tumbuhan yang digunakan.
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair dibuat dengan
menyari simplisia nabati atau hewani menurut cara yang cocok,
diluar pengaruh cahaya matahari langsung.

e. SUHU
Suhu kecuali dinyatakan lain, semua suhu dalam FHI dinyatakan
dalam derajat celcius (º).
Suhu ruang adalah suhu pada ruang kerja. Suhu ruang terkendali
adalah suhu ruang yang diatur 15º sampai dengan 30º.
Hangat adalah suhu 30º sampai dengan 40º.
Sejuk adalah suhu 8º sampai dengan 15º.
Dingin adalah suhu yang kurang dari 8º.
Lemari pendingin mempunyai suhu 2º sampai dengan 8º.
Lemari pembeku mempunyai suhu -20º sampai dengan 10º.
Penyimpanan kecuali dinyatakan lain, simplisia di simpan di
tempat terlindung dari sinar matahari dan pada suhu ruang.

10
f. BOBOT DAN UKURAN
Bobot dan Ukuran yang digunakan dalam FHI adalah sistem
metrik. Satuan bobot dan ukuran serta singkatannya yang sering
digunakan adalah sebagai berikut :
kg : Kilogram
g : Gram
mg : Miligram
µg : Mikrogram
L : Liter
mL : Mililiter
µL : Mikroliter
m : Meter
cm : Sentimeter
mm : Milimeter
nm : Nanometer

g. KADAR LARUTAN
Molaritas diberi simbol M, adalah jumlah gram molekul zat yang
dilarutkan dalam pelarut hingga volume 1 L.
Normalitas diberi simbol N, adalah jumlah bobot ekuivalen yang
dilarutkan dalam pelarut hingga volume 1 L.
Persen bobot per bobot (b/b) menyatakan jumlah gram zat dalam
100 g larutan atau campuran.
Persen bobot per volume (b/v) menyatakan jumlah gram zat
dalam 100 Ml larutan, sebagai pelarut dapat digunakan air atau
pelarut lain.
Persen volume per volume (v/v) menyatakan jumlah mL zat
dalam 100 mL larutan.
Persen volume per bobot (v/b) menyatakan jumlah mL zat dalam
100 g bahan.

11
Pernyataan persen tanpa penjelasan lebih lanjut untuk campuran
padat atau setengah padat, yang dimaksud adalah b/b, untuk
larutan dan suspensi suatu zat padat dalam cairan yang dimaksud
adalah b/v, untuk larutan cairan didalam cairan yang dimaksud
adalah v/v, dan untuk larutan gas dalam cairan yang dimaksud
adalah b/v.

h. PENAFSIRAN ANGKA, PENIMBANGAN DAN


PENGUKURAN
Penafsiran Angka signifikan yang tertera pada FHI,
tergantung pada tingkat ketelitian yang dikehendaki. Bilangan
yang merupakan batasan, mempunyai ketelitian sampai
persepuluh satuan angka terakhir bilangan yang bersangkutan;
misalnya pernyataan tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari
100,5% berarti tidak kurang dari 99,50% dan tidak lebih dari
100,50%.
Bilangan yang tidak merupakan batasan mempunyai
ketelitian 0,5 kebawah dan keatas harga satuan angka terakhir
bilangan yang bersangkutan; misalnya bilangan 10,0 mempunyai
nilai antara 9,95 dan 10,05.
Penimbangan dan Pengukuran Pengertian lebih kurang dari
pernyataan untuk jumlah bahan yang diperlukan untuk
pemeriksaan atau penetapan kadar, berarti bahwa jumlah yang
harus ditimbang atau diukur tidak boleh kurang dari 90% dan
tidak boleh lebih dari 110 % jumlah yang tertera. Hasil
pemeriksaan atau penetapan kadar didasarkan pada penimbangan
atau pengukuran secara saksama sejumlah bahan tersebut.
Dengan memakai pipet atau buret yang memenuhi syarat
yang tertera pada bobot dan ukuran. Pengukuran saksama dapat
juga dinyatakan dengan perkataan pipet atau ukuran penambahan
angka 0 dibelakang koma angka terakhir bilangan yang
bersangkutan; misalnya dengan pernyataan Dengan pernyataan

12
timbang seksama dimaksudkan bahwa penimbangan dilakukan
sedemikian rupa sehingga batas kesalahan penimbangan tidak
boleh lebih dari 0,1% jumlah yang ditimbang; misalnya dengan
pernyataan timbang saksama 50 mg, berarti bahwa batas
kesalahan penimbangan tidak lebih dari 0,05 mg. Penimbangan
saksama dapat juga dinyatakan dengan menambahkan angka 0
dibelakang koma angka terakhir bilangan yang bersangkutan;
misalnya dengan pernyataan timbang 10,0 mg dimaksudkan
bahwa penimbangan harus dengan saksama.
Dengan pernyataan ukur saksama dimaksudkan bahwa
pengukuran dilakukan pipet 10 ml atau ukur 10,0 ml
dimaksudkan bahwa pengukuran harus dilakukan dengan
saksama.
Bobot Tetap penimbangan dengan dinyatakan sudah
mencapai bobot tetap apabila perbedaan 2 kali penimbangan
berturut-turut setelah dikeringkan atau dipijarkan selama 1 jam
tidak lebih dari 0,25% atau perbedaan penimbangan seperti
tersebut diatas tidak melebihi 0,5 mg pada penimbangan dengan
timbangan analitik.

i. HAMPA UDARA
Hampa Udara kecuali dinyatakan lain, istilah dalam hampa
udara dimaksudkan kondisi tekanan udara kurang dari 20 mmHg.
Apabila dalam monografi disebutkan pengeringan dalam
hampa udara diatas pengering, dapat digunakan desikator vakum
atau piston pengering vakum atau alat pengering vakum lainnya
yang sesuai.

13
j. PENGUJIAN DAN PENETAPAN KADAR
Alat spesifikasi dari ukuran tertentu, jenis wadah atau alat
dalam pengujian atau penetapan kadar hanya diberikan sebagai
rekomendasi.
Apabila disebutkan labu tentupur atau alat ukur, atau alat
timbang dengan ketepatan tertentu, harus digunakan alat tersebut
atau alat lain dengan ketelitian paling sedikit sama dengan alat
tersebut. Apabila disebutkan wadah kaca dengan aktinik rendah
atau tidak tembus cahaya, dapat digunakan wadah bening yang
telah dilapisi bahan yang sesuai atau dibungkus agar kedap
cahaya.
Tangas uap jika dinyatakan penggunaan tangas uap yang
dimaksud ialah tangas dengan uap panas mengalir. Dapat juga
digunakan pemanas lain yang dapat diatur, hingga suhu sama
dengan suhu uap mengalir.
Tangas air jika dinyatakan penggunaan tangas air, tanpa
menyebutkan suhu tertentu yang dimaksud adalah tangas air yang
mendidih kuat.
prosedur penetapan kadar dan pengujian diberikan untuk
menetapkan kesesuaian dengan persyaratan identitas, kadar, mutu,
dan kemurnian yang tertera dalam FHI.
Semua bahan resmi yang beredar apabila diuji menggunakan
prosedur yang telah ditetapkan dalam FHI harus memenuhi
persyaratan yang tercantum dalam monografi. Prosedur lain yang
tidak tercantum dalam FHI dapat digunakan asal dapat dibuktikan
memberikan ketelitian dan ketetapan yang paling sedikit sama
dengan metode FHI. Apabila prosedur lain, atau metode alternatif
memberikan hasil yang berbeda dengan metode FHI, maka yang
dianggap benar adalah hasil yang menggunakan prosedur FHI.
Apabila dalam syarat kadar bahan dalam monografi ada
pernyataan “dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan”, zat
yang bersangkutan tidak perlu dikeringkan terlebih dahulu

14
sebelum dilakukan penetapan kadar. Penetapan kadar
diperhitungkan terhadap zat yang telah dikeringkan dengan
menggunakan faktor yang diperoleh dari hasil penetapan susut
pengeringan, seperti yang tertera pada monografi yang
bersangkutan.
Apabila dalam pengujian disebutkan “menggunakan zat yang
sebelumnya telah dikeringkan dan tidak mengandung minyak
menguap” dan tidak ada penjelasan mengenai cara
pengeringannya, maka digunakan cara seperti yang tertera pada
penetapan susut pengeringan atau penetapan kadar air metode
gravimetri. Jika dalam pengujian disebutkan “menggunakan zat
yang sebelumnya telah dikeringkan dan mengandung minyak
menguap” dan tidak ada penjelasan mengenai cara pengeringan
nya maka digunakan cara seperti yang tertera pada penetapan
kadar air metode destilasi.

k. PENANDAAN
Penandaan pada wadah harus diberi label yang berisi
sekurang-kurangmya Nama Indonesia dan Nama Latin Simplisia.

l. SENYAWA IDENTITAS DAN PEMBANDING


Senyawa identitas kandungan kimia simplisia yang dapat
digunakan untuk identifikasi. Dalam hal senyawa identitas tidak
tersedia, identifikasi simplisia dan sediaannya dapat
menggunakan zat pembanding.
Zat pembanding bahan yang sesuai sebagai pembanding
dalam pengujian dan penetapan kadar yang telah disetujui, yang
dibuat, ditetapkan dan diedarkan. Jika suatu pengujian atau
penetapan kadar perlu menggunakan monografi dalam FHI
sebagai pembanding maka dapat digunakan suatu bahan yang
memenuhi semua persyaratan monografi FHI.

15
C. Monografi
Berisi mengenai :
1. Nama simplisia
2. Identitas simplisia, meliputi :
- Pemerian
- Mikroskopis
- Senyawa identitas
3. Parameter-parameter standar simplisia, meliputi :
- Pola kromatografi
- Susut pengeringan
- Abu total
- Abu tidak larut asam
- Sari larut air
- Sari larut etanol
- Kandungan kimia simplisia
- Kadar minyak atsiri
- Kadar trans-anetol
4. Parameter-parameter standar ekstrak kental pada tumbuhan obat

3.2 KONTEN-KONTEN YANG TERDAPAT PADA MATERIA


MEDIKA INDONESIA
A. KETENTUAN UMUM
1. Definisi
Simplisia ialah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat
yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali
dinyatakan lain, berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh,
bagian tanaman atau eksudat tanaman. Eksudat ialah isi sel yang
secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel dengan cara tertentu
dikeluarkan dari selaya, atau zat-zat nabati lainnya yang dengan car
tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia
murni.

16
Simplisia hewani ialah simplisia yang berupa hewan utuh, bagian
atau zat-zat berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat
kimia murni.
Simplisia pelikan (mineral) ialah simplisia yang berupa bahan
pelikan (mineral) yang belum di olah atau telah di olah dengan cara
sederhana dan belum berupa zat kimia murni.

2. Tatanama
Nama latin simplisia ditetapkan dengan menyebutkan nama
marga (Genus), atau nama jenis (species) atau petunjuk jenis (specific
epithet) dari tanaman asal diikuti dengan bagian tanaman yang
dipergunakan. Ketentuan ini tidak berlaku untuk simplisia nabati yang
diperoleh dari macam tanaman yang berbeda-beda marganya maupun
untuk eksudat tanaman. Nama latin simplisia hewani ditetapkan
dengan menyebutkan nama latin yang paling umum dari simplisia
tersebut. Nama lain simplisia plikan ditetapkan dengan menyebutkan
nama latin yang paling umum dari simplisia tersebut. Nama latin,
dengan beberapa perkecualian, ditulis dalam bentuk tunggal dan
diperlakukan sebagai kata benda netral deklinasi kedua. Nama
indonesia dari simplisia nabati, simplisia hewani atau simplisia plikan
ditulis dengan menyebut nama daerah yang paling lazim. Jika
simplisia nabati berupa bagian tanaman, nama daerah tersebut
didahului dengan nama bagian tanaman yang dipergunakan.

3. Syarat bakau dan berlakunya syarat baku


Semua paparan yang tertera dalam persyaratan simplisia,
merupakan syarat baku bagi simplisia yang bersangkutan. Suatu
simplisia tidak dapat dinyatakan bermutu Materia Medika Indonesia
jika tidak memenuhi syarat baku tersebut. Syarat baku yang tertera
dalam Materia Medika Indonesia berlaku untuk simplisia yang akan
dipergunakan untuk keperluan pengobatan, tetapi tidak berlaku bagi

17
bahan yang dipergunakan untuk keperluan lain yang dijual dengan
nama yang sama.

4. Kemurnian simplisia
Dalam perdagangan tidak selalu mungkin untuk memperoleh
simplisia yang sepenuhnya murni, bahan asing yang tidak berbahaya
dalam jumlah yang sangat sedikit yang terdapat dalam simplisia,
ataupun yang ditambahkan atau dicampurkan, pada umumnya tidak
merugikan. Simplisia nabati harus bebas dari serangga, fragmen
hewan atau kotoran hewan, tidak boleh menyimpang bau dan
warnanya, tidak boleh mengandung lendir dan cendawan atau
menunjukan tanda-tanda pengotor lain, tidak boleh mengandung
bahan lain yang beracun atau berbahaya. Jika dalam beberapa hal
khusus ada sedikit penyimpangan dari beberapa ketentuan mengenai
morfologik dan miskroskopik yang tertera dalam MMI-III sedangkan
semua persyaratan lain dipenuhi, maka simplisia yang bersangkutan
dapat dianggap memenuhi persyaratan MMI-III. Simplisia hewani
harus bebas dari fragmen hewan asing atau kotoran hewan, tidak
boleh menyimpang bau dan warnanya, tidak boleh mengandung
cendawan atau tanda-tanda pengotoran lainnya, tidak boleh
mengandung bahan lain yang beracun atau yang berbahaya. Simplisia
pelikan harus bebas dari pengotoran oleh tanah, batu, hewan, fragmen
hewan dan bahan asing lainnya. Pada penetapan Kadar abu, Kadar
abu yang tidak larut dalam asam, Kadar abu yang larut dalam air,
Kadar sari yang larut dalam etanol, Kadar sari yang larut dalam air,
dan penetapan kadar lain, perhitungan didasarkan pada simplisia yang
belum dikeringkan secara khusus.

5. Pengawetan
Simplisia nabati boleh diawetkan dengan penambahan kloroform,
karbon tetraklorida, etilenoksida atau bahan pengawet lain yang
cocok, yang mudah menguap dan tidak meninggalkan sisa. Simplisia

18
untuk isolasi zat berkhasiat. Simplisia nabati yang dipergunakan
sebagai bahan untuk memperoleh minyak atsiri, alkaloida, glikosida
atau zat berkhasiat lain, tidak perlu memenuhi semua persyaratan yang
tertera pada monografi yang bersangkutan. Simplisia hewani dan
pelikan yang dipergunakan sebagai bahan untuk memperoleh zat
berkhasiat, tidak perlu memenuhi semua persyaratan yang tertera pada
monografi yang bersangkutan.

6. Uraian mikroskopik
Kecuali dinyatakan lain, uraian mikroskopik mencakup
pengamatan terhadap penampang melintang simplisia atau bagian
simplisia dan terhadap fragmen pengenal serbuk simplisia.

7. Reaksi Identifikasi
Reaksi warna dilakukan untuk pemastian identifikasi dan
kemurnian simplisia. Reaksi warna dilakukan terhadap hasil penyarian
zat berkhasiat, terhadap hasil mikrosublimasi atau langsung terhadap
irisan atau serbuk simplisia.
 Lignin
Basahi irisan atau serbuk dengan floroglusin LP, periksa
dalam asam klorida P, dinding sel yang berlignin berwarna
merah.
 Suberin, kutin, minyak lemak dan minyak atsiri
Pada bahan yang diperiksa diatas kaca obyek, tambahkan
beberapa Sudan III LP. Bahan dapat dijernihkan lebih dahulu
dengan kloralhidrat LP, kecuali jika bahan mengandung minyak
atsiri. Biarkan selama 30 menit sampai 48 jam dalam bejana
tertutup yang di dalamnya terdapat cawan berisi etanol (90%) P.
Bagian bahan yang mengandung suberin, kutin, minyak lemak
atau minyak atsiri berwarna jingga.

19
 Pati dan aleuron
Bahan yang diperiksa di atas kaca obyek tambahkan
yodium 0,1 N, pati berwarna biru, aleuron berwarana kuning
coklat sampai coklat.
 Lendir
Pada bahan kering atau serbuk di atas kaca obyek,
tambahkan beberapa tetes merah rutenium LP, tutup dengan
kaca penutup, biarkan selama 15 menit, lendir asam dan pektin
berwarna merah intensif. Untuk pembedaan yang jelas, sebelum
diperiksa, bahan dicuci lebih dahulu dengan timbal (II) asetat P
9,5% b/v.
 Zat Samak
Pada bahan tambahkan besi amonia sulfat LP, yang telah
diencerkan 5 kali. Zat samak dan senyama tanat lainnya
berwarna hijau atau biru sampai hitam.
 Tururan Katekol
Pada bahan atau serbuk di atas kaca obyek, tambahkan
larutan vanilin P 10% b/v dalam etanol (90%) P. Kemudian
dalam asam klorida P bagian yang mengandung turunan katekol
berwarna merah intensif.
 1,8-dioksiantrakinon bebas
Pada bahan atau serbuk tambahkan kalium hidroksida
etanol (90%) terjadi warna merah.
 Fenol yang mudah menguap
1. Pada hasil mikrosublimasi, tambahkan fosfomolibdad asam
sulfat LP, terjadi warna biru.
2. Pada hasil mikrosublimasi, tambahkan asam diazo benzen
sulfonat LP, terjadi warna jingga sampai merah.
 Asam silikat
Bukan bahan, asam silikat terdapat dalam bentuk yang khas.

20
8. Air
Kecuali dinyatakan lain, yang dimaksudkan dengan air adalah air
suling atau air demineralisata. Ketentuan ini hanya berlaku untuk
persyaratan simplisia.

9. Penafsiran angka
Penafsiran angka yang berarti yang tertera dalam MMI ,
tergantung pada tingkat ketelitian yang dikehendaki. Bilangan yang
tidak merupakan batasan, mempunyai ketelitian 0,5 ke bawah dan ke
atas harga satuan angka terakhir bilangan yang bersangkutan,
misalnya bilangan 10,0 mempunyai nilai antara 9,95 dan 10,05.
Bilangan yang merupakan batasan, mempunyai ketelitian sampai
persepuluh satuan angka terakhir bilangan yang bersangkutan,
misalnya pernyataan tidak kurang dari 99,5% dan tidak lebih dari
100,5% berarti tidak kurang dari 99,50% dam tidak lebih dari
100,50%.

10. Logaritma
Logaritma yang digunakan adalah logaritma dengan bilangan
pokok 10.

11. Suhu
Suhu dinyatakan dalam derajat Celcius.

12. Persen
Persen dinyatakan dengan salah satu daari empat cara berikut :
- % b/b (persen bobot per bobot) menyatakan jumlah g zat dalam
100 g bahan atau hasil akhir.
- % b/v (persen bobot per volume), menyatakan jumlah g zat
dalam 100 ml bahan atau hasil akhir
- % v/v (persen volume per volume), menyatakan jumlah ml zat
dalam 100 ml bahan atau hasil akhir.

21
- % v/b (persen volume per bobot), menyatakan jumlah ml zat
dalam 100 g bahan atau hasil akhir.
Kecuali disertai penjelasan lain, yang dimaksudkan dengan
persen (%) adalah persen bobot per bobot.

13. Bagian
Kecuali dinyatakan lain, yang dimaksud dengan bagian adalah
bagian bobot.
Untuk cairan eluasi pada kromatografi lapisan tipis, perbandingan
yang disebutkan adalah perbandingan bagian volume.

14. Pemeriksaan dan penetapan kadar


Cara pemeriksaan dan penetapan kadar yang diberikan dalam
MMI adalah cara utama yang dapat memberikan hasil yang sesuai
dengan persyaratan yang ditetapkan bagi masing-masing simplisia.

15. Cara lain untuk menunjukan zat asing


Dapat difahami bahwa zat asing akan mengakibatkan suatu
penyimpangan dari syarat baku, tetapi tidak mungkin dalam tiap
monografi diberikan cara pemeriksaan untuk menunjukan setiap
pengotoran ataupun pemalsuan. Pembuktian penyimpangan ini dapat
dilakukan dengan suatu metoda ilmiah yang telah diakui, baik metoda
yang tertera dalam MMI maupun tidak.

16. Penimbangan dan pengukuran


Pengertian lebih kurangdalam pernyataan untuk jumlah bahan
yang diperlukan untuk pemeriksaan atau penetapan kadar, berarti
bahwa jumlah yang harus ditimbang atau diukur tidak boleh kurang
dari 90% dan tidak boleh lebih dari 110% dari jumlah yang tertera.
Hasil pemeriksaan atau penetapan kadar didasarkan pada
penimbangan atau pengukuran secara saksama sejumlah bahan
tersebut.

22
Dengan pernyataan timbang saksamadimaksudkan bahwa
penimbangan dilakukan sedemikian rupa sehingga batas kesalahan
penimbangan tidak lebih dari 0,1 % dari jumlah yang ditimbang ;
misalnya dengan pernyataan timbang saksama 50 mg, berarti bahwa
batas kesalahan penimbangan tidak lebih dari 0,05 mg. Penimbangan
saksama dapat juga dinyatakan dengan menambahkan angka 0
dibelakang koma angka terakhir bilangan yang bersangkutan ;
misalnya dengan pernyataan timbang 10,0 mg dimaksudkan bahwa
penimbangan harus dilakukan dengan saksama.
Dengan pernyataan ukur saksamadimaksudkan bahwa
pengukuran dilakukan dengan memakai pipet atau buret yang
memenuhi syarat yang tertera pada bobot dan ukuran . pengukuran
saksama dapat juga dinyatakan dengan perkataan pipet atau dengan
menambahkan angka 0 dibelakang koma angka terakhir bilangan yang
bersangkutan ; misalnya dengan pernyataan pipet 10ml atau ukur 10,0
ml dimaksudkan bahwa pengukuran dilakukan saksama.

17. Bobot tetap


Dengan pernyataan bobot tetapyang tertera pada penetapan kadar
sari dan kadar abu dimaksudkan bahwa 2 kali penimbangan berturut
turut berbeda tidak lebih dari 0,5 mg tiap g sisa yang ditimbang.
Penimbangan dilakukan setelah zat dikeringkan lagi selama 1jam.

18. Pengeringan simplisia nabati


Kecuali dinyatakan lain, pengeringan simplisa nabati dilakukan
diudara, terlindung dari sinar matahari langsung.

19. Hampa udara


Kecuali dinyatakan lain, yang dimaksudkan dengan hampa udara
adalah tekanan tidak lebih dari 5 mmHg.

23
20. Indikator
Kecuali dinyatakan lain, jumlah larutan percobaan (LP) yang
digunakan sebagai indikator lebih kurang 0,2 ml atau 3 tetes.

21. Wadah dan bungkus


Wadah atau bungkus tidak boleh mempengaruhi bahan yang
disimpan didalamnya baik secara kimia maupun secara fisika yang
dapat mengakibatkan perubahan potensi, mutu atau kemurnian.
Jika pengaruh itu tidak dapat dihindarkan, maka perubahan yang
terjadi tidak boleh sedemikian besar sehingga menyebabkan bahan
yang disimpan tidak memenuhi syarat baku.

Wadah tertutup baik harus melindungi isinya terhadap masuknya


bahan padat dari luar dan mencegah kehilangan waktu pengurusan,
pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan dalam keadaan biasa dan
dengan cara biasa.

Wadah tertutup rapatharus melindungi isinya terhadap masuknya


bahan padat atau lengas dari luar dan mencegah kehilangan,
pelapukan, pencairan dan penguapan pada waktu pengurusan,
pengangkutan, penyimpanan dan penjualan dalam keadaan biasa dan
dengan cara biasa.

22. Pengemasan simplisia


Simplisia yang telah memenuhi persyaratan baku yaitu yang siap
pakai untuk produksi, disimpan dalam wadah tertutup baik atau wadah
tertutup rapat di beri label yang mencantumkan nama dan tanggal
pengemasan simplisia.

23. Penyimpanan simplisia


Semua simplisia harus disimpan sedemikian rupa sehingga
perubahan karena cahaya atau lengas sejauh mungkin dihindarkan.
Simplisa yang mudah menyerap air harus disimpan dalam wadah
tertutup rapat yang berisi kapur tohor.

24
Disimpan terlindung cahaya, berarti bahwa simplisa harus
disimpan dalam wadah atau botol yang dibuat dari kaca inaktinik
berwarna hitam, merah atau cokelat tua.
Disimpan pada suhu kamar, jika tidak disertai penjelasan lain,
berarti disimpan pada suhu antara 15o dan 30o.
Disimpan ditempat sejuk, jika tidak disertai penjelasan lain,
berarti disimpan pada suhu antara 5o dan 15o
Disimpan ditempat dingin, jika tidak disertai penjelasan lain,
berarti disimpan pada suhu antara 0o dan 5o

24. Kandungan simplisia


Kandungan didalam masing-masing simplisia yang tertera pada
masing-masing monografi tidak dimaksudkan sebagai persyaratan dari
simplisia yang bersangkutan.

25. Penggunaan simplisia


Penggunaan merupakan petunjuk mengenai kerja farmakologik
atau penggunaan secara tradisioanal untuk pengobatan dan tidak
berarti bahwa simplisia yang bersangkutan tidak mempunyai khasiat
dan penggunaan lain. Dosis lazim yang tertera dalam MMI hanya
merupakan petunjuk dan tidak mengikat.

26. Etiket
Pada wadah simplisia harus tertera etiket yang menyebutkan :
a. Nama latin simplisia
b. Nama indonesia simplisia
Untuk simplisia nabati dan hewani, yang tersedia di laboratorium pada
etiketnya harus pula tertera :
1. Nama latin tanaman atau hewan asal
2. Nama familia dari tanaman atau hewan yang bersangkutan.

27. Pembuatan serbuk simplisia untuk percobaan laboratorium.

25
Bersihkan simplisia dari bahan organik asing dan pengotoran lain
secara mekanik atau dengan cara lain yang cocok, keringkan pada
suhu yang cocok, haluskan, ayak. Kecuali dinyatakan lain seluruh
simplisia harus dihaluskan menjadi serbuk (4/18).

B. MONOGRAFI
a. Nama tumbuhan obat
b. Pemerian
c. Makroskopik
d. Identifikasi simplisia
e. Kadar abu
f. Kadar abu yang tidak larut asam
g. Kadar sari yang larut dalam air
h. Kadar sari yang larut dalam etanol
i. Pemyimpanan simplisia
j. Kandungan simplisia
k. Penggunaan simplisia
l. Nama daerah

3.3 PERBEDAAN BUKU MATERIA MEDIKA INDONESIA TIAP


EDISI
Untuk setiap edisi buku Materia Medika Indonesia tidak terdapat
perbedaan mengenai konten konten yang terdapat pada buku, hanya saja
tiap edisi membahas mengenai monografi simplisia tanaman obat yang
berbeda.

3.4 PERBEDAAN BUKU MATERIA MEDIKA INDONESIA DAN


FARMAKOPE HERBAL INDONESIA.
A. Dalam Farmakope Herbal Indonesia dicantumkan sejarah mengenai
Farmakope Herbal Indonesia, sedangkan dalam buku Materia Medika
Indonesia tidak terdapat sejarah Materia Medika Indonesia.

26
B. Dalam Farmakope Herbal Indonesia membahas konten-konten
mengenai ketentuan umum, nama simplisia, identitas simplisia,
parameter-parameter standar simplisia, parameter-parameter standar
ekstrak kental pada tumbuhan
C. Dalam buku Materia Medika Indonesia hanya terdapat konten-konten
mengenai ketentuan umum dan monografi.
D. Dalam buku Farmakope Herbal Indonesia membahas mengenai
ekstrak kental dari simplisia, sedangkan dalam Materia Medika
Indonesia hanya membahas simplisianya saja.

27
BAB IV
PENUTUP

4.1. KESIMPULAN
Dalam menentukan standarisasi tanaman obat diperlukan suatu
pedoman seperti buku Farmakope Herbal Indonesia yang berisi
mengenai nama simplisia, identitas simplisia, parameter-parameter
simplisia,parameter-parameter ekstrak kental pada tumbuhan obat dan
buku Materia Medika Indonesia berisi mengenai ekstrak kental dari
simplisia, sedangkan dalam Materia Medika Indonesia hanya membahas
simplisianya saja.

28
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Kesehatan RI, 1995. Materia Medika Indonesia Edisi I. Depkes


RI.

Departemen Kesehatan RI, 1978. Materia Medika Indonesia Edisi II. Depkes
RI.

Departemen Kesehatan RI, 1979. Materia Medika Indonesia Edisi III. Depkes
RI.

Departemen Kesehatan RI, 1980. Materia Medika Indonesia Edisi IV. Depkes
RI.

Departemen Kesehatan RI, 1995. Materia Medika Indonesia Edisi V. Depkes


RI.

Departemen Kesehatan RI, 1995. Materia Medika Indonesia Edisi VI. Depkes
RI.

Departemen Kesehatan RI, 2008. Faramakope Herbal Indonesia Edisi I.


Depkes RI.

Dewoto, H.R., 2007. Pengembangan Obat Tradisional Indonesia menjadi


Fitofarmaka, Majalah Kedokteran Indonesia.

BPOM RI. 2005. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK 00.05.41.1384 tentang Kriteria dan Tata
Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar dan
Fitofarmaka. Jakarta : Kepala BPOM.

Tenriugi, D., Gemini A., Faisal A. 2010. Standarisasi Mutu Ekstrak Daun
Gedi (Abelmoschusmanihot (L) Medik) dan Uji Efek Antioksidan dengan
Metode DPPH. Bogor : Institut Pertanian Bogor.

29
LAMPIRAN

1. Materia Medika Indonesia Edisi I


2. Materia Medika Indonesia Edisi II
3. Materia Medika Indonesia Edisi III
4. Materia Medika Indonesia Edisi IV
5. Materia Medika Indonesia Edisi V
6. Materia Medika Indonesia Edisi VI
7. Farmakope Herbal Indonesia Edisi I

30

Anda mungkin juga menyukai