Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

AL-RAHN (GADAI/ PINJAMAN DENGAN JAMINAN)

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas kelompok


mata kuliah Figh Muamalat

Disusun Oleh :

1. Desy Dwi Romadhoni (12020219140074)


2. Nada Aulia Rahman (12020219130140)
3. Shinta Nurul Fuadah (12020219120014)

PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM

FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2020
DAFTAR ISI

Daftar Isi........................................................................................................i
Kata Pengantar...............................................................................................ii
BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang...................................................................................1
B. Rumusan Masalah..............................................................................1
C. Tujuan Penulisan................................................................................2
D. Manfaat Penulisan..............................................................................2
BAB II Pembahasan
A. Pengertian dan Dasar Hukum Al-Rahn..............................................3
B. Rukun dan Syarat Al-Rahn................................................................5
C. Ketentuan Umum Pelaksanaan Al-Rahn dalam Islam.......................6
D. Pengambilan Manfaat Barang Gadai.................................................8
E. Risiko Kerusakan Barang yang Digadaikan......................................9
F. Masalah Riba dalam Gadai................................................................10
BAB III Penutup
A. Kesimpulan........................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................13

i
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta hidayah-Nya
terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga kami bias menyelesaikan tugas
makalah mata kuliah Figh Muamalat. Shalawat serta salam kita sampaikan kepada
Nabi besar kita Muhammad SAW yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-
Qur’an dan sunnah untuk keselamatan umat di dunia.

Penulisan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas kelompok figh


muamalat. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang ar-rahn atau gadai bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah


ini masih jauh dari kesempurnaan karena pengalaman dan pengetahuan penulis yang
terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan
demi terciptanya makalah yang lebih baik lagi untuk masa mendatang.

Semarang, 15 April 2020

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam agama yang sempurna yang meletakkan aturan atau kaidah dalam
kehidupan manusia baik dalam ibadah dan juga mu’amalah (hubungan antar
makhluk). Aturan islam dalam semua sisi kehidupan kita sehari-hari di antaranya
interaksi social dengan sesama manusia, khususnya berkenaan dengan berpindahnya
harta dari satu tangan ke tangan yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak
asing dengan kata gadai atau dalam Islam disebut Rahn. Ketika kita membutuhkan
dana dalam kondisi yang mendesak dan cepat, sedangkan kita tidak memiliki dana
cash atau tabungan maka pendanaan pihak ketiga menjadi alternative pemecahannya.
Di situlah kita bisa menggunakan akad rahn agar bisa mendapatkan dana untuk
kebutuhan tersebut. Pegadaian sudah ada sejak jaman Rasulullah SAW. Pengadaian
tersebut berdasarkan prinsip syariah sehingga disebut pengadaian syariah. Hukumnya
diperbolehkan dalam agama Islam jika memenuhi rukun dan syarat yang telah
ditentukan. Jika salah satu rukun dan syarat tersebut tidak terpenuhi maka rahn
tersebut tidak sah dan dilarang, karena dapat menimbulkan perselisihan antara kedua
belah pihak. Dalam Islam juga mengatur bagaimana pemanfaatan barang gadai
tersebut, namun terdapat berbagai pendapat yang sedikit berbeda dari beberapa ulama

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan hukum dasar ar-rahn/ gadai?
2. Apa rukun dan syarat syarat gadai?
3. Bagaimana ketentuan umum pelaksanaan rahn dalam islam?
4. Bagaimana pengambilan manfaat barang gadai?
5. Bagaimana resiko barang yang digadaikan?
6. Apa masalah riba dalam gadai?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui dan memaparkan pengertian dan hukum dasar ar-rahn/ gadai.
2. Untuk mengetahui dan memaparkan rukun dan syarat syarat gadai.
3. Untuk mengetahui dan memaparkan ketentuan umum pelaksanaan rahn dalam
Islam.
4. Untuk mengetahui dan memaparkan mengenai pengambilan manfaat barang
gadai.
5. Untuk mengetahui dan memaparkan resiko barang yang digadaikan.
6. Untuk mengetahui dan memaparkan masalah riba dalam gadai.

D. Manfaat Penulisan
Hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, khususnya kepada mahasiswa maupun pelajar untuk menambah
pengetahuan dan wawasan tentang gadai. Manfaat lain dari penulisan makalah ini
adalah dengan adanya penulisan makalah ini diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan dan acuan untuk pembelajaran lebih lanjut.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Ar-Rahn (Gadai)


Menurut etimologi ar-rahn berarti atsubuutu wa Dawamu artinya tetap dan
kekal, atau al-Habsu wa Luzumu artinya pengekangan dan keharusan dan bisa berarti
jaminan. Gadai dalam fiqh disebut rahn yang menurut bahasa adalah nama barang
yang dijadikan sebagai jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara’ artinya
menyandera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat
diambil kembali sebagai tebusan.
Adapun secara terminologi para ulama figh mendefinisikan sebagai berikut:
1. Menurut Sayyid, ar-rahn adalah menjadikan barang berharga menurut
pandangan syara’ sebagai jaminan utang.
2. Menurut Muhammad Rawwas Qal-ahji penyusunan buku ensiklopedi Fiqih
Umar bin Khattab r.a, berpendapat bahwa ar-rahn adalah menguatkan utang
dengan jaminan utang.
3. Menurut Masjfuq Zuhdi, ar-rahn adalah perjanjian atau akad pinjam
meminjam dengan menyerahkan barang sebagai tanggungan utang.
4. Menurut Nasrun Haroen, ar-rahn adalah menjadikan suatu (barang) sebagai
jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai pembayaran
hak (piutang) itu, baik keseluruhannya ataupun sebagiannya.
5. Menurut Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah, mengemukakan gadai (rahn)
adalah menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat
dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar
utangnya itu.
6. Menurut Hanafiyah, mendefinisikan rahn adalah menjadikan sesuatu (barang)
sebagai jaminan terhadap hak (piutang) yang mungkin dijadikan sebagai
pembayar hak (piutang) itu, baik seluruhnya maupun sebagian.
7. Menurut Malikiyah, mendefinisikan gadai (rahn) adalah sesuatu yang bernilai
harta yang diambil dari pemiliknya sebagai jaminan untuk utang yang tetap
(mengikat) atau menjadi tetap.
Berdasarkan hukum Islam, penggadaian merupakan suatu tanggungan atas
utang yang dilakukan apabila pengutang gagal menunaikan kewajibannya dan semua
barang yang pantas sebagai barang dagangan dapat dijadikan jaminan. Barang
jaminan itu baru boleh dijual/dihargai apabila dalam waktu yang disetujui kedua belah
pihak, utang tidak dapat dilunasi oleh pihak yang berutang. Oleh sebab itu, hak
pemberi piutang hanya terkait dengan barang jaminan, apabila orang yang berutang
tidak mampu melunasi utangnya.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas, bahwa ar-rahn adalah menjadikan


barang berharga sebagai jaminan utang. Dengan begitu jaminan tersebut berkaitan
erat dengan utang piutang dan timbul dari padanya. Sifat rahn secara umum
dikategorikan sebagai akad yang bersifat derma, sebab apa yang diberikan penggadai
(rahin) kepada penerima gadai (murtahin) tidak ditukar dengan sesuatu.

Hukum meminta jaminan itu mubah berdasarkan petunjuk Allah dalam al-
Qur’an dan penjelasan dari hadist Nabi. Para ulama fiqh mengemukakan bahwa akad
rahn dibolehkan dalam islam berdasarkan al-Quran dan sunnah Rasul. Dalam surat al-
Baqarah ayat 283 Allah berfirman:

Artinya: Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang
kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan
yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai
sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya
(hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu
(para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang
menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan
Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Yang menjadi landasan hukum atau dasar daripada akad Gadai (Rahn) selain Al-
Qur’an ialah beberapa hadits yang menjelaskan tentang akad Gadai sebagai berikut:

Hadis riwayat Aisyah ra., ia berkata:

‫ي طَ و ھ د ﻋﺎ ﻣﻦ‬ ‫ﻣﻦ‬ ‫ﻋﻠَ ْﯿﮫ وﺳﱠﻠَﻢ‬ ‫ﺻ‬ ‫ِﷲ‬ َ‫ﺸَﺔ ﺷﺘ‬ K‫ﻋﻦ ﻋﺎﺋ‬
‫َﻌﺎﻣﺎ َر َﻨﮫ ْر‬ ‫ﯾَ ُﮭﻮد‬ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﻰ‬K‫ﻠﱠ‬ ‫رﺳﻮل‬ ‫َﻗﺎَﻟﺖ ا َﺮى‬
‫ﺣ ِﺪﯾﺪ‬

“Rasulullah saw. pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan cara
menangguhkan pembayarannya, lalu beliau menyerahkan baju besi beliau sebagai
jaminan”. (shahih muslim)

Dari Abu Hurairah ra. Nabi SAW bersabda :

ُ‫ﻟَﮫ‬ ‫ﺻﺎ ﮫ اَﻟﱠ‬ ‫وﺳ ﱠﻠ ﻻ ﯾَ َْﻐﻠ ﻖ ھﻦ‬ َ‫ رﺳﻮ ﱠ ِﷲ ﺻ ُﱠﷲ ﻋﻠ‬:‫وﻋ ْﻨ ُﮫ ﻗَﺎ ل‬
,‫رھ َﻨ ُﮫ‬ ‫ﺣﺒِ ِﺬي‬ ‫اَﻟﺮ ﻣﻦ‬ ) :‫َﻢ‬ ‫ْﯿﮫ‬ ‫ﻰ‬K‫ ﻠﱠ‬- ‫ل‬ ‫َﻗﺎل‬
‫داو َد‬
‫ﻋ ْﻨ َﺪ‬ ‫ إِ ﱠﻻ أَ ن اَ ﺤ ُﻔﻮ َظ‬.‫ورﺟﺎﻟ ُﮫ ﺛِﻘَﺎت‬ ‫ﻏ ْﻨ ﻤ ْ ﯿﮫ ﻏ ( روا ُه اَﻟﺪا َر ُﻗ ﻄﻨِ ْ ﺤﺎ‬
‫أَﺑِﻲ‬ ‫ْﻟﻤ‬ ,‫ ﻟ ِﻛ ُﻢ‬,‫ﻲ‬ ُ ‫ وﻋَﻠ ْﺮ‬,‫ُﮫ‬
‫ﻣﮫ‬
‫و‬
‫ا‬
‫ﺳﺎل‬
ِ‫وﻏ ْﯿ ﺮ ِه إ‬
‫ْر‬

“Tidak terlepas kepemilikan barang gadai dari pemilik yang menggadaikannya. Ia


memperoleh manfaat dan menanggung resikonya.” (HR. Al-Hakim, al-Daraquthni
dan Ibnu Majah).

Para ulama sepakat bahwa ar-rahn diperbolehkan tetapi tidak diwajibkan,


sebab gadai hanya bersifat jaminan saja jika kedua belah pihak tidak saling
mempercayai. Menurut ayat yang tertera di atas, bahwasannya Al-Qur’an
memperbolehkan adanya hukum akad gadai, dengan mengecualikan jika adanya unsur
riba yang terdapat di dalamnya.

B. Rukun dan Syarat-syarat Gadai


Para ulama figh berbeda pendapat dalam menetapkan rukun ar-rahn. Menurut Jumhur
Ulama rukun ar-rahn ada empat, yaitu :
1. Orang yang berakad (ar-rahn dan murtahin).
2. Sighat (lafadz ijab dan qabul).
3. Utang (al-marhun bih).
4. Harta yang dijadikan jaminan (al-marhun).
Adapun ulama Hanafiah berpendapat bahwa rukun ar-rahn ini hanya ijab dan
qabul. Di samping itu, menurut mereka untuk sempurna dan mengikatnya akad rahn
ini, maka diperlukan adanya penguasaan barang oleh pemberi utang. Adapun kedua
orang yang melakukan akad (ar-rahn dan al-murtahin), harta yang dijadikan jaminan
(al-marhun) dan utang (al-marhun bih) menurut ulama Hanafiah hanya termasuk
syarat- syarat ar-rahn, bukan rukunnya.
Adapun syarat-syarat ar-rahn para ulama figh menyusunnya sesuai dengan
rukun ar-rahn itu sendiri. Dengan demikian syarat-syarat ar-rahn sebagai berikut:
1. Syarat terkait dengan orang berakad (ar-rahin dan al-murtahin) adalah cakap
bertindak hukum. Kecakapan bertindak hukum menurut Jumhur Ulama adalah
orang yang
2. Syarat terkait dengan sighat, ulama Hanafiah berpendapat dalam akad itu ar-
rahn tidak boleh dikaitkan oleh syarat tertentu.
3. Syarat terkait dengan utang (al-marhun bih) : (a) merupakan hak yang wajib
dikembalikan kepada yang memberi utang, (b) utang itu boleh dilunasi dengan
pinjaman, dan (c) utang itu jelas dan tertentu.
4. Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan pinjaman (al-marhun), yakni
menurut ulama figh: (a) barang jaminan boleh dijual dan nilainya seimbang
dengan utang, (b) berharga dan boleh dimanfaatkan, (c) jelas dan tertentu, (d)
milik sah orang yang berhutang, (e) tidak terkait dengan hak orang lain, (f)
merupakan harta yang utuh dan, (g) boleh diserahkan baik materinya maupun
manfaatnya.
C. Ketentuan Umum Pelaksanaan Rahn Dalam Islam
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan ar-rahn antara lain:
1. Kedudukan Barang Gadai.
Selama ada di tangan pemegang gadai, maka kedudukan barang gadai
hanya merupakan suatu amanat yang dipercayakan kepadanya oleh pihak
penggadai.
2. Pemanfaatan Barang Gadai.
Pada dasarnya barang gadai tidak boleh diambil manfaatnya baik oleh
pemiliknya maupun oleh penerima gadai. Hal ini disebabkan status barang
tersebut hanya sebagai jaminan utang dan sebagai amanat bagi penerimanya.
Apabila mendapat izin dari masing-masing pihak yang bersangkutan, maka
barang tersebut boleh dimanfaatkan. Oleh karena itu agar di dalam perjanjian
gadai itu tercantum ketentuan jika penggadai atau penerima gadai meminta
izin untuk memanfaatkan barang gadai, maka hasilnya menjadi milik bersama.
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari harta benda tidak berfungsi
atau mubazir.
3. Resiko Atas Kerusakan Barang Gadai
Ada beberapa pendapat mengenai kerusakan barang gadai yang di
sebabkan tanpa kesengajaan murtahin. Ulama mazhab Syafi’i dan Hambali
berpendapat bahwa murtahin (penerima gadai) tidak menanggung resiko
sebesar harga barang yang minimum. Penghitungan dimulai pada saat
diserahkannya barang gadai kepada murtahin sampai hari rusak atau hilang.
4. Pemeliharaan Barang Gadai
Para ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa biaya
pemeliharaan barang gadai menjadi tanggungan penggadai dengan alasan
bahwa barang tersebut berasal dari penggadai dan tetap merupakan miliknya.
Sedangkan para ulama’ Hanafiyah berpendapat lain, biaya yang diperlukan
untuk menyimpan dan memelihara keselamatan barang gadai menjadi
tanggungan penerima gadai dalam kedudukanya sebagai orang yang menerima
amanat.
5. Kategori Barang Gadai
Jenis barang yang biasa digadaikan sebagai jaminan adalah semua
barang bergerak dan tak bergerak yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Benda bernilai menurut hukum syara’
b. Benda berwujud pada waktu perjanjian terjadi
c. Benda diserahkan seketika kepada murtahin
6. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai.
Apabila sampai pada waktu yang sudah ditentukan, rahin belum juga
membayar kembali utangnya, maka rahin dapat dipaksa oleh marhun untuk
menjual barang gadaianya dan kemudian digunakan untuk melunasi
hutangnya.
7. Prosedur Pelelangan Gadai
Jumhur fukaha berpendapat bahwa orang yang menggadaikan tidak
boleh menjual atau menghibahkan barang gadai, sedangkan bagi penerima
gadai dibolehkan menjual barang tersebut dengan syarat pada saat jatuh tempo
pihak penggadai tidak dapat melunasi kewajibannya
D. Pengambilan Manfaat Barang Gadai
Siapa saja yang berhak memanfaatkan barang gadai, ar-rahin atau al-murtahin?
Untuk lebih jelasnya perhatikan uraian berikut.
1. Pemanfaatan barang gadai oleh ar-rahin

Di antara para ulama terdapat dua pendapat. Jumhur ulama selain


Syafi’iyah melarang ar-rahin untuk memanfaatkan barang gadai atau jaminan.
Sedangkan ulama Syafi’iyah membolehkannya sejauh tidak memudaratkan al-
murtahin. Secara rinci uraiannya sebagai berikut:

a. Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa ar-rahin tidak boleh memanfaatkan


barang gadai tanpa seijin al-murathin, begitu pula al-murtahin tidak boleh
memanfaatkannya tanpa seijin ar-rahin. Mereka beralasan bahwa barang gadai
harus tetap dikuasai oleh al-murtahin selamanya. Pendapat ini senada dengan
pendapat ulama Hanabilah, sebab manfaat pada barang gadai pada dasarnya
termasuk rahn atau gadai.
b. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa ar-rahin dibolehkan untuk
memanfaatkan barang gadai. Jika tidak menyebabkan barang gadai itu
berkurang, tidak perlu meminta ijin kepada al-murtahin, seperti
mengendarainya dan menempatinya. Akan tetapi, jika menyebabkan barang
gadai tersebut berkurang seperti pengolahan sawah, dan kebun, ar-rahin harus
meminta ijin kepada al-murtahin.
2. Jumhur ulama selain Hanabilah berpendapat bahwa al-murtahin tidak boleh
memanfaatkan barang gadai, kecuali bila ar-rahin tidak mau membiayai barang
gadai tersebut. Dalam hal ini al-murtahin dibolehkan mengambil manfaat sekedar
untuk mengganti ongkos pembiayaan. Ulama Hanabilah berpendapat bahwa al-
murtahin boleh memanfaatkan barang gadai, jika berupa kendaraan atau hewan
seperti dibolehkn untuk mengendarainya atau mengambil susunya, sekedar
pengganti pembiayaan. Lebih jauh pendpapat para ulama tentang pemanfaatan
barang gadai oleh al-murtahin sebagai berikut :
a. Ulama Hanafiyah berpendapat al-murtahin tidak boleh memanfaatkan barang
gadai sebab ia hanya berhak menguasainya dan tidak boleh memanfaatkannya
sebagaian ulama Hanfiyah, ada yang membolehkan untuk menanfaatkannya
jika
b. diijinkan oleh ar-rahin, tetapi sebagaian lainnya tidak membolehkannya
sekalipun ada ijin, bahkan mengategorikannya sebagai riba.
c. Ulama Malikiyah membolehkan al-murtahin memanfaatkan barang gadai, jika
diizinkan oleh ar-rahin atau disyaratkan ketika akad dan barang gadai tersebut
merupakan barang yang dapat diperjual belikan serta ditentukan waktunya
dengan jelas. Demikian juga pendapat Syafi’iyah
d. Pendapat ulama Hanabilah bebeda dengan pendapat Jumhur Ulama. Mereka
berpendapat jika barang gadai berupa hewan dan kendaraan, al-murtahin boleh
memanfaatkan seperti mengendarai atau mengambil susunya sekedar
mengganti biaya pemeliharaan meskipun tidak diizinkan ar-rahin. Adapun
barang gadai selain kendaraan atau hewan tidak boleh dimanfaatkan kecuali
atas izin ar-rahin.
E. Risiko Kerusakan Barang yang Digadaikan

Siapa yang menanggung risiko bila terjadi kerusakan barang yang digadaikan?
Hendi Suhendi dalam bukunya Fiqh Muamalah menyatakan, bahwa menurut
Syafi’iyah bila barang gadai atau al-marhun hilang di bawah penguasaan al-murtahin,
maka al- murtahin tidak wajib menggantinya, kecuali bila rusak atau hilangnya itu
karena kelalaian al-murtahin atau karena disia-siakan. Umpamanya, al-murtahin
bermain-main api lalu barang gadai itu terbakar, atau gudangnya tidak dikunci lalu
barang gadai itu dicuri orang. Konkretnya al-murtahin diwajibkan memelihara secara
layak dan wajar. Sebab bila tidak demikian, ketika ada cacat atau kerusakan apalagi
hilang menjadi tanggung jawab al-murtahin.

Dengan mengutip pendapat Hanafi dan Ahmad Ashar Basir, Hendi Suhendi
menyatakan bahwa al-murtahin yang memegang al-marhun menanggung risiko
kerusakan atau kehilangan al-marhun, bila al-marhun itu rusak atau hilang, baik
karena kelalaian atau tidak.

Perbedaan pendapat tersebut adalah jika menurut Hanafi al-murtahin harus


menanggung risiko kerusakan atau kehilangan al-marhun yang dipegangnya, baik al-
marhun itu hilang karena disia-siakan atau dengan sendirinya, sedangkan menurut
Syafi’iyah al-murtahun menanggung risiko kehilangan atau kerusakan al-marhun bila
al-marhun itu rusak atau hilang karena tidak diurus atau disia-siakan oleh al-murtahin.
F. Masalah Riba dalam Gadai
Perjanjian dalam gadai atau ar-rahn pada dasarnya adalah akad atau transaksi
utang piutang, hanya saja dalam gadai ada jaminannya. Persoalannya apakah dalam
gadai terdapat unsur riba? Menurut penelitian Hendi Suhendi, setidaknya ada tiga hal
yang memungkinkan pada gadai mengandung unsur riba, yaitu:
1. Apabila dalam akad gadai tersebut ditentukan bahwa ar-rahin atau
penggadai harus memberikan tambahan kepada al-murtahin atau penerima
gadai ketika membayar utangnya.
2. Apabila akad gadai ditentukan syarat-syarat, kemudian syarat tersebut
dilaksanakan.
3. Apabila ar-rahin tidak mampu membayar utangnya. Hingga pada waktu
yang telah ditentukan, kemudian al-murtahin menjual al-marhun dengan
tidak memberikan kelebihan harga al-marhun kepada ar-rahin. Padahal
utang ar-rahin lebih kecil nilainya dari al-marhun.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Islam sebagai agama yang sempurna telah mengatur segala kebutuhan


hambanya mulai dari yang bersifat vertikal (hablumminallah) sampai dengan yang
bersifat horisontal (hablumminannas). Dalam kaitannya dengan interaksi sosial, kata
gadai (Rahn) sangat familiar di telinga kita. Sejatinya aktifitas Rahn sudah ada sejak
zaman Rasulullah SAW. Pegadaian tersebut berdasarkan prinsip syariah sehingga
disebut pegadaian syariah. Hukumnya diperbolehkan dalam Islam asalkan
memenuhi rukun dan syaratnya. Secara etimologi, ar rahn berarti :

1. Atsubuutu wa Dawamu, artinya tetap dan kekal.


2. Alhabtsu wa Luzumu, artinya pengekangan dan keharusan dan bisa juga berarti
jaminan.

Sedangkan gadai (ar rahn) dalam fiqh, adalah nama barang yang dijadikan
sebagai jaminan kepercayaan. Adapun menurut syara' artinya menyandera sejumlah
harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali
sebagai tebusan. Sebagai dasar naqlinya adalah :

1. Qs. Al Baqarah (2) : 283.


2. Hadits Nabi SAW riwayat Aisyah R.A.
3. Hadits Nabi SAW dari Abu Hurairah R.A.

Perjanjian dalam gadai ( ar rahn) pada dasarnya adalah akad atau transaksi
utang piutang, hanya saja dalam gadai ada barang jaminannya ( agunan). Oleh
karena itu, harus dipenuhi rukun dan syarat gadai.

Menurut jumhur ulama, rukun ar rahn, ada 4 :

1. Orang yang berakal ( ar rahn dan al murtahin).


2. Sighat (lafadz ijab dan qabul).
3. Utang (al marhun bih).
4. Harta yg dijadikan jaminan (al marhun).
Adapun syarat-syarat ar rahn meliputi :

1. Syarat yang terkait dengan orang yang berakad ( ar rahn dan al murtahin).
2. Syarat yang terkait dengan sighat.
3. Syarat yang terkait dengan utang (al marhun bih).
4. Syarat yang terkait dengan barang yang dijadikan jaminan (al marhun).

Dalam pelaksanaan ar rahn, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Kedudukan Barang Gadai.


2. Pemanfaatan Barang Gadai.
3. Resiko atas Kerusakan Barang Gadai.
4. Pemeliharaan Barang Gadai.
5. Kategori Barang Gadai.
6. Pembayaran atau Pelunasan Utang Gadai.
7. Prosedur Pelelangan Gadai.
DAFTAR PUSTAKA

http://zezameirisenthia90.blogspot.com/2016/06/makalah-fiqh-muamalah-gadai-rahn.html

https://www.academia.edu/36622608/MAKALAH_PEGADAIAN_SYARIAH

https://www.academia.edu/38357841/fiqih_rahn.docx

Anda mungkin juga menyukai