Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

DASAR ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

MASALAH GIZI DI INDONESIA

DOSEN PEMBIMBING
Dr. Helmizar, S.KM, M. Biomed

DISUSUN OLEH
Noura Rizki
1911213030

PRODI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS ANDALAS

2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan nikmat serta
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga saya bisa
menyelesaikan makalah mata kuliah “Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat”.
Shalawat serta salam kita sampaikan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW
yang telah memberikan pedoman hidup yakni Al-Qur’an dan sunnah untuk
keselamatan umat di dunia.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Dasar Ilmu Kesehatan
Masyarakat di program studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan
Masyarakat dengan judul makalah “Masalah Gizi di Indonesia”.
Penulis menyadari bahwa terdapat banyak kekurangan dalam penulisan makalah
ini, maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Padang, 2 November 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................1
1.3 Tujuan..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Masalah Gizi..................................................................3
2.2 Masalah Gizi di Indonesia...........................................................4
2.3 Cara Mengatasi Masalah Gizi.....................................................18
2.4 Indikator Mengkur Status Gizi....................................................20
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................24
3.2 Saran............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................25

ii
BAB I
PEDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
disebabkan oleh banyak faktor, sehingga penanggulangannya tidak
cukup dengan pendekatan medis maupun pelayanan kesehatan saja
(Supariasa dkk, 2012). Menurut Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia (2013), prevalensi gizi buruk di Indonesia tahun 2007 (5,4%),
tahun 2010 (4,9%), dan tahun 2013 (5,7%), sedangkan target Millenium
Development Goals (MDGs) tahun 2014 sebesar 3,6%. Jadi prevalensi
gizi buruk di indonesia masih di bawah target.
Gizi adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi individu atau
masyarakat, salah satu faktor utama kualitas sumber daya manusia, dan
salah satu indikator keberhasilan pembangunan. Persoalan gizi dalam
pembangunan kependudukan merupakan persoalan yang masih dianggap
menjadi masalah utama dalam tatanan kependudukan dunia. Di Indonesia
sendiri, persoalan gizi merupakan salah satu persoalan utama dalam
pembangunan manusia. Sebagai salah satu negara dengan kompleksitas
kependudukan yang sangat beraneka ragam, Indonesia masih mengalami
permasalahan dinamika persoalan gizi terutama kasus gizi buruk pada
balita.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi masalah gizi?
2. Apa masalah gizi di Indonesia?
3. Bagaimana cara mengatasi masalah gizi pada
masyarakat?
4. Apa indikator mengukur status gizi?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

1
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk
memenuhi tugas mata kuliah Pengantar Dasar Ilmu
Kesehatan Masyarakat yang diberikan dosen yang
bersangkutan serta memberitahukan dan
menjelaskan apa-apa saja isu-isu mengenai masalah
gizi di Indonesia.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui definisi masalah gizi
2. Untuk mengetahui masalah gizi di Indonesia
3. Untuk mengetahui cara mengatasi masalah gizi
pada masyarakat
4. Untuk mengetahui indikator mengukur status gizi

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Masalah Gizi


Masalah gizi adalah gangguan kesehatan dan kesejahateraan seseorang,
kelompok orang atau masyarakat sebagai akibat adanya
ketidakseimbangan antara asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh akan
makanan dan pengaruh interaksi pennyakit (infeksi). Ketidakseimbangan
ini bisa mengakibatkan gizi kurang maupun gizi lebih.
Menurut Depkes RI status gizi adalah tingkat keadaan gizi seseorang yang
dinyatakan menurut jenis dan beratnya keadaan gizi ; contohnya gizi
lebih, gizi baik, gizi kurang, dan gizi buruk. Sedangkan menurut Jellife
dan Beck status gizi adalah keadaan yang seimbang antara kebutuhan zat
gizi dan konsumsi makanan. Menurut Waspadji yang dikatakan status
gizi optimal adalah adanya keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat
gizi.
Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian pada
bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat
(zat tenaga) dan protein (zat pembangun) akan mengakibatkan anak
menderita kekurangan gizi yang disebut Kurang Energi dan Protein
(KEP) tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka akan
berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya perkembangan mental
dan terganggunya sistem pertahanan tubuh, sehingga dapat menjadikan
penderita KEP tingkat berat dan sangat mudah terserang penyakit infeksi.
Gizi kurang merupakan salah satu masalah gizi utama pada balita di
Indonesia. Prevalensi yang tinggi banyak terdapat pada anak-anak di
bawah umur 5 tahun (balita). Anak balita merupakan kelompok umur yang
rawan gizi. Kelompok ini merupakan kelompok umur yang paling sering

3
terjadi status gizi kurang. Balita merupakan salah satu kelompok rawan
gizi yang perlu mendapatkan perhatian khusus, kekurangan gizi akan
menyebabkan hilangnya masa hidup sehat pada balita. Dampak yang lebih
serius dari kekurangan zat gizi ini adalah terjadinya gizi buruk yang
mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian. Menurut
Sediaotama (2006) kelompok paska usia ini terutama balita merupakan
kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi
terutama pada balita 2 tahun ke atas karena merupakan masa tansisi dari
makanan bayi ke makanan orang dewasa, sehingga ini yang dapat
menyebabkan kondisi bahwa anak balita yang berumur 2 tahun lebih
rawan untuk terjadinya gizi kurang dan terganggunya kesehatan.
Kekurangan gizi disebabkan karena kurangnya asupan makanan di tingkat
rumah tangga, anak tidak mau makan, cara pemberian makanan yang
salah, serta dari segi faktor psikososialnya. Konsumsi makanan adalah
salah satu faktor terjadinya kekurangan gizi. Rendahnya konsumsi
terhadap pangan mengakibatkan seseorang mudah terkena infeksi
penyakit, daya tahan tubuh menurun, turunnya kemampuan bekerja. Hal
ini akan berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Apalagi anak-
anak yang termasuk kelompok rawan gizi, protein sangat dibutuhkan
untuk pertumbuhan serta perkembangan otak.

2.2 Masalah Gizi di Indonesia


Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
disebabkan oleh banyak faktor, sehingga penanggulangannya tidak
cukup dengan pendekatan medis maupun pelayanan kesehatan saja
(Supariasa dkk, 2012). Menurut Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia (2013), prevalensi gizi buruk di Indonesia tahun 2007 (5,4%),
tahun 2010 (4,9%), dan tahun 2013 (5,7%), sedangkan target Millenium
Development Goals (MDGs) tahun 2014 sebesar 3,6%. Jadi prevalensi
gizi buruk di indonesia masih di bawah target.
Periode dua tahun pertama kehidupan seorang anak merupakan masa
kritis, karena mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang sangat

4
pesat. Oleh karena itu, terjadinya gangguan gizi di masa tersebut dapat
bersifat permanen dan tidak dapat pulih walaupun kebutuhan gizi di
masa selanjutnya terpenuhi (Dinas Kesehatan Kabupaten Magetan,
2013). Secara nasional, prevalensi gizi buruk dan kurang pada anak
balita sebesar 19,6%, yang berarti 212 masalah gizi berat dan kurang di
Indonesia masih menjadi masalah kesehatan masyarakat dan mendekati
prevalensi tinggi, sedangkan sasaran Sustainable Development Goals
(SDGs) tahun 2019 yaitu 17%. Oleh karena itu, prevalensi gizi buruk
dan kurang secara nasional harus diturunkan sebesar 2,6% dalam
periode 2015 sampai 2019.
Masalah gizi kurang dan buruk di Indonesia pada umumnya banyak
dialami oleh balita. Balita adalah penerus dan harapan bangsa untuk
kedepannya. Pemeliharaan gizi yang kurang tepat dan penundaan
pemberian perhatian gizi akan menurunkan nilai potensi mereka sebagai
sumber daya pembangunan masyarakat dan ekonomi nasional. Oleh
karena itu balita memerlukan penggarapan gizi yang baik dan cukup sedini
mungkin apabila kita menginginkan peningkatan potensi mereka untuk
pembangunan bangsa di masa depan.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) terjadi
peningkatan prevalensi berat kurang yaitu 18,4% tahun 2007 dan 19,6 %
tahun 2013. Perubahan ini terjadi pada gizi buruk yaitu 5,4% di tahun
2007 dan 5,7% tahun 2013. Sedangkan prevalensi gizi kurang meningkat
sebesar 0,9% dari 13% pada tahun 2007 menjadi 13,9% tahun 2013,
dan prevalensi anak pendek naik 1,2% dari 18% tahun 2007 menjadi
19,2% pada tahun 2013. Sumatera barat termasuk daerah yang memiliki
prevalensi gizi buruk dan kurang di atas prevalensi nasional yaitu 21,2 %.
Peningkatannya dapat dilihat pada grafik dibawah ini.

5
25.0%

20.0%

15.0%

Gizi Buruk
10.0% Gizi Kurang

5.0%

0.0%
Riskesdas 2007Riskesdas 2013 SUMBAR
(Prevalensi)

Gambar 2.2.1 Data Prevalensi Gizi Buruk dan Kurang di Indonesia

Berikut masalah gizi yang terjadi di Indonesia:


1. Kurang Energi Protein (KEP)
Kekurangan energi protein adalah keadan kurang gizi yang disebabkan
rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari
sehingga tidak memenuhi angaka kecukupan gizi. faktor-faktor
penyebab kurang energi protein dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Penyebab primer
1) Susunan makanan yang salah
2) Penyedia makanan yang kurang baik
3) Kemiskinan
4) Ketidaktahuan tentang nutrisi dan kebiasan makan yang salah
b. Penyebab sekunder
1) Gangguan pencernaan (seperti malabsorbsi, gizi tidak baik,
kelainan struktur saluran)
2) Gangguan psikologis
Kekurangan Energi Protein merupakan masalah gizi utama di
Indonesia. Keadaan ini banyak diderita oleh balita. Anak balita
dengan KEP tingkat berat akan menunjukan tanda klinis kwaskiokhor
dan marasmus. Masalah KEP sebenarnya hampir selalu berhubungan

6
dengan masalah pangan. Berdasarkan data Susenas, dari 5 juta
anak  (27%), 3,6 juta anak (19,2 %) mengalami KEP. KEP disebabkan
oleh multifaktor yang saling terkait sinergis secara klinis maupun
lingkungannya. Pencegahan hendaknya meliputi faktor secara
konsisten.
Tindakan yang diperlukan untuk mengatasi KEP :
a. Mengendalikan penyakit-penyakit infeksi, khususnya diare,
melalui :
1) Perbaikan sanitasi, personal, lingkungan, terutama makanan dan
peralatan
2) Pendidikan : dasar, kesehatan, gizi
b. Program imunisasi pencegahan penyakit erat kaitannya dengan
lingkungan seperti TBC, Malaria, DHF, parasit (cacing).
c. Memperkecil dampak penyakit infeksi terutama diare diwilayah
yang sanitasi lingkungannya belum baik.
d. Deteksi dini dan menejemen awal / ringan
1) Memonitor tumbang dan status gizi balita secara kontinu
2) Perhatikan khusus faktor resiko tinggi yang akan berpengaruh
terhadap  kelangsungan status gizi (kemiskinan, ketidaktahuan
penyakit infeksi)
e. Memelihara status gizi
1) Dimulai sejak dalam kandungan, ibu hamil dengan gizi yang
baik, diharapkan melahirkan  bayi dengan status gizi yang baik
pula.
2) Setelah lahir segera diberi ASI ekslusif sampai 4 bulan
3) Pemberian makanan tambahan (pendamping) ASI mulai usia 4
bulan secara bertahap
4) Memperpanjang masa menyusui selama mungkin selama bayi
menghendaki (maksimal 2 tahun).
2. GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium)
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditanggulangi secara

7
sungguh-sungguh. Penduduk yang tinggal di daerah kekurangan
iodium akan mengalami GAKI kronis yang menyebabkan
pertumbuhan fisik terganggu dan keterbelakangan mental yang tidak
dapat disembuhkan sehingga menjadi beban masyarakat. GAKI
mengakibatkan penurunan kecerdasan dan produktivitas penduduk
sehingga menghambat pengembangan sumber daya manusia.
Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (Iodine Deficiency Disorder)
adalah gangguan tubuh yang disebabkan oleh kekurangan iodium
sehingga tubuh tidak dapat menghasilkan hormon tiroid.
Definisi lain, GAKY merupakan suatu masalah gizi yang disebabkan
karena kekurangan Yodium, akibat kekurangan Yodium ini dapat
menimbulkan penyakit salah satu yang sering kita kenal dan ditemui
dimasyarakat adalah Gondok. Dimana akibat defisiensi iodium ini
merupakan suatu spektrum yang luas dan mengenai semua segmen
usia, dari fetus hingga dewasa. Dengan demikian jelaslah bahwa
gondok tidak identik dengan GAKI.
Faktor – Faktor yang berhubungan dengan masalah GAKI antara lain :
a. Faktor Defisiensi Iodium dan Iodium Excess
Defisiensi iodium merupakan sebab pokok terjadinya masalah
GAKI. Hal ini disebabkan karena kelenjar tiroid melakukan proses
adaptasi fisiologis terhadap kekurangan unsur iodium dalam
makanan dan minuman yang dikonsumsinya
b. Faktor Geografis dan Non Geografis
GAKI sangat erat hubungannya dengan letak geografis suatu
daerah, karena pada umumnya masalah ini sering dijumpai di
daerah pegunungan seperti pegunungan Himalaya, Alpen, Andres
dan di Indonesia gondok sering dijumpai di pegunungan seperti
Bukit Barisan Di Sumatera dan pegunungan Kapur Selatan.
c. Faktor Bahan Pangan Goiterogenik
Kekurangan iodium merupakan penyebab utama terjadinya
gondok, namun tidak dapat dipungkiri bahwa faktor lain juga ikut

8
berperan. Salah satunya adalah bahan pangan yang bersifat
goiterogenik.
Dalam waktu tertentu GAKY dapat menyebabkan berbagai dampak
terhadap pertumbuhan, dan kelangsungan hidup penderitanya
diantaranya :
a. Terhadap Pertumbuhan
1) Pertumbuhan yang tidak normal.
2) Pada keadaan yang parah terjadi kretinisme
3) Keterlambatan perkembangan jiwa dan kecerdasan
4) Tingkat kecerdasan yang rendah
b. Kelangsungan hidup
Wanita hamil didaerah Endemik GAKY akan mengalami
berbagai  gangguan kehamilan antara lain :
1) Abortus
2) Bayi Lahir mati
3) Hipothryroid pada Neonatal
Penyebab tingginya kasus GAKY adalah disebabkan karena beberapa
hal diantaranya :
a. Masih rendahnya kesadaran masyarakat untuk menggunkan garam
beryodium
b. Masih rendahnya pengetahuan masyarakat akan mamfaat garam
beryodium
c. Garam Non Yodium masih banyak beredar ditengah masyarakat.
d. Adanya perbedaan harga yang relatif besar antara garam yang
beryodium dengan garam non yodium.
e. Pengawasan mutu garam yodium belum dilaksanakan secara
menyeluruh dan terus menerus serta belum adanya sangsi tegas
bagi produksi garam non yodium.
f. Pendistribusian garam beryidium masih belum merata terutama
untuk daerah-daerah terpencil.

9
3. Anemia Gizi Besi (AGB)
Anemia gizi besi ini timbul akibat kosongnya cadangan zat besi tubuh
sehingga cadangan zat besi untuk eritropoesis berkurang yang
menyebabkan kadar Hemoglobin (Hb) dalam darah kurang dari
normal. Prevalensi anemia gizi besi di Indonesia cukup tinggi.
Menurut data yang dikeluarkan Depkes RI, pada kelompok usia balita
prevalensi anemia gizi besi pada tahun 2001 adalah 47,0%, kelompok
wanita usia subur 26,4%, sedangkan pada ibu hamil 40,1%.
Mengingat, 1 dari 2 orang di Indonesia beresiko anemia. Lebih
memprihatinkan lagi, prevalensi anemia terjadi bukan hanya pada
orang dewasa, namun juga sudah menyerang anak-anak.Penyebab
anemia atau yang biasa disebut kalangan awam dengan penyakit
kurang darah, selain kekurangan gizi juga adanya penyakit yang
merusak sel darah merah. Selain itu, Prevalensi ibu hamil yang terkena
anemia sekitar 40-50 persen, hal ini berarti 5 dari 10 ibu hamil
mengalami anemia.
Anemia gizi besi biasanya ditandai dengan menurunnya kadar Hb total
di bawah nilai normal (hipokromia) dan ukuran sel darah merah lebih
kecil dari normal (mikrositosis). Tanda-tanda ini biasanya akan
menggangu metabolisme energi yang dapat menurunkan produktivitas.
Penyebab anemia gizi besi bisa disebabkan oleh beberapa hal. Seperti
kurang mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi, menderita
penyakit ganguan pencernaan sehingga menggangu penyerapan zat
besi. Terjadi luka yang menyebabkan pendarahan besar, persalinan,
menstruasi, atau cacingan serta penyakit kronis seperti kanker, ginjal
dan penyakit. 
Adapun dampak dari Anemia Gizi Besi (AGB) adalah :     
a. Pada Anak-anak berdampak
1) Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar.
2) Menghambat pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasan
otak.

10
3) Meningkatkan risiko menderita penyakit infeksi karena daya
tahan tubuh menurun
b. Dampak pada Wanita
1) Anemia akan menurunkan daya tahan tubuh sehingga mudah
sakit
2) Menurunkan produktivitas kerja
3) Menurunkan kebugaran
c. Dampak pada Remaja putri
1) Menurunkan kemampuan dan konsentrasi belajar
2) Mengganggu pertumbuhan sehingga tinggi badan tidak
mencapai optimal
3) Menurunkan kemampuan fisik olahragawati
4) Mengakibatkan muka pucat.
d. Dampak pada Ibu hamil
1) Menimbulkan perdarahan sebelum atau saat persalinan
2) Meningkatkan risiko melahirkan Bayi dengan Berat Lahir
Rendah atau BBLR (<2,5 kg)
3) Pada anemia berat, bahkan dapat menyebabkan kematian ibu
dan/atau bayinya.
AGB bisa diderita siapa saja, namun ada masa rentan AGB.
Diantaranya pada masa kehamilan, balita, remaja, masa dewasa muda
dan lansia.. Ibu hamil rentan terhadap AGB disebabkan kandungan zat
besi yang tersimpan tidak sebanding dengan peningkatan volume darah
yang terjadi saat hamil, ditambah dengan penambahan volume darah
yang berasal dari janin. Wanita secara kodrat harus kehilangan darah
setiap bulan akibat menstruasi, karenanya wanita lebih tinggi risikonya
terkena AGB dibandingkan pria. Anak-anak dan remaja juga usia rawan
AGB karena kebutuhan zat besi cukup tinggi diperlukan semasa
pertumbuhan. Jika asupan zat besinya kurang maka risiko AGB
menjadi sangat besar.

11
4. KVA ( Kurang Vitamin A)
Vitamin A merupakan nutriention essensial, yang hanya dapat
dipenuhi dari luar tubuh, dimana jika asupannya berlebihan bisa
menyebabkan keracunan karena tidak larut dalam air. Keurangan
asupan vitamin A bisa menyebabkan diare yang bisa be3rujung pada
kematian dan pneumonia.
Prevalensi tertinggi terjadi pada balita. Hal ini disebabkan oleh intake
makanan yang mengandung vitamin A kurang atau rendah, rendahnya
konsumsi vitamin A dan pro vitamin A pada ibu hamil sampai
melahirkan sehingga mempengaruhi kadar vitamin A yang terkandung
dalam ASI. Selain itu dapat disebabkan oleh MP-ASI  yang kurang
kandungan vitamin A, gangguan absorbs vitamin A dan pro vitamin A
( penyakit pancreas, diare kronik, KEP ), gangguan konversi pro
vitamin A menjadi vitamin A.
Akibat kekurangan vitamin A
a. Menurunnya daya tahan tubuh sehingga mudah terserang infeksi
( misalnya sakit batuk, diare dan campak ).
b. Rabun senja ( anak dapat melihat suatu benda , jika ia tiba-tiba
berjalan dari tempat yang terang ke tempat yang gelap ). Rabun
senja dapat berakhir pada kebutaan.
Cara mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin A :
a. Setiap hari anak diberi makanan yang mengandung vitamin A,
seperti hati ayam.
b. Setiap hari anak dianjurkan makan sayuran hijau dan buah-buahan
berwarna.
c. Sebaiknya sayuran ditumis menggunakan minyak atau dimasak
dengan santan, sebab vitamin A larut dalam minyak santan
d. Kapsul vitamin A dosis tinggi diberikan pada anak setiap 6 bulan
di Posyandu
e. Kapsul vitamin  A dosis tinggi diberikan pada ibu segera setelah
melahirkan.

12
Pemerintah terus berupaya menanggulangi penyakit gizi ini hingga
sejak tahun 2006 telah dapat ditangani, namun karena kekurangan
vitamin A ( KVA ) pada balita dapat menurunkan daya tahan tubuh.
Maka, suplementasi vitamin A tetap harus diberika pada balita. Berikut
upayah yang telah dilakukan pemerintah
a. Penyuluhan agar meningkatakan konsumsi vitamin A dan pro
vitamin A
b. Fortifikasi vitamin A ( susu, MSG, tepung terigu, mie instan )
c. Distribusi kapsul vitamin A dosis tinggi pada balita 1-5 tahun
(200.000 IU pada bulan februari dan agustus ), ibu nifas ( 200.000
IU ), anak usia 6-12 bulan ( 100.000 IU )
5. Stunting
Stunting adalah gangguan dalam pertumbuhan dan perkembangan
anak yang membuatnya tinggi badannya terhambat, sehingga tidak
sesuai dengan anak seusianya. Stunting merupakan masalah gizi yang
kronis yang terjadi akibat berbagai penyebab dari di masa lalu.
Meliputi asupan gizi yang buruk, mengalami penyakit infeksi
berulang, dan berat badan lahir rendah (BBLR). Atau dengan kata lain,
stunting bisa dikatakan sebagai kondisi kurang gizi pada anak-anak
yang telah berlangsung sejak lama.
Bahkan asupan ibu sebelum dan saat hamil sangat memengaruhi
apakah si kecil berpeluang alami stunting atau tidak. Maka itu,
masalah gizi yang satu ini memang berakar dari berbagai hal, bisa jadi
gizi ibu atau bayi yang tak tercukupi dengan baik.
Imbasnya membuat anak mengalami stunting di kemudian hari.
Perkembang stunting umumnya dimulai sejak anak berusia 3 bulan,
hingga kemudian berangsur-angsur melambat saat usianya menginjak
3 tahun. Jika dilihat dalam GPA dengan menggunakan pengukuran
TB/U,  anak stunting akan masuk kategori  kurang dari -2 standar
deviasi (SD). Ini artinya, di dalam grafik pertumbuhan si kecil akan
berada di bawah garis merah.

13
Biasanya, anak dengan stunting akan lebih pendek dibandingan dengan
rata-rata tinggi teman seusianya. Tinggi badan anak tersebut tidak akan
kembali normal hingga ia dewasa, alias tingginya akan selalu di bawah
rata-rata
Gejala anak yang mengalami stunting berupa:
a. Postur anak lebih pendek dari teman-teman seusianya.
b. Proporsi tubuh mungkin tampak normal, tapi anak terlihat lebih
muda atau kecil untuk usianya.
c. Berat badan rendah untuk anak seusianya.
d. Pertumbuhan tulang terhambat
6. Marasmus
Marasmus adalah kekurangan gizi yang terjadi karena anak tidak
mendapatkan asupan energi dalam waktu yang cukup lama. Hal ini
menyebabkan anak marasmus tergolong ke dalam status gizi buruk dan
harus cepat ditangani.
Tanpa adanya nutrisi penting tersebut, otomatis persediaan energi pada
tubuh sangatlah rendah. Bukan itu saja, berbagai fungsi tubuh tentu
akan ikut terganggu, sehingga menimbulkan berbagai masalah.
Gejala khas yang muncul pada anak dengan marasmus yakni:
a. Berat badan anak yang merosot pesat
b. Kulit keriput seperti orang tua
c. Perut cekung
d. Cenderung cengeng
7. Kwashiorkor
Kwashiorkor adalah kekurangan gizi akibat dari rendahnya asupan
protein. Padahal, protein berperan penting sebagai zat untuk
membangun dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak.
Hal utama yang membedakan kwashiorkor dan marasmus, yakni
tampak pada perutnya. Anak yang mengalami kwashiorkor memiliki
perut yang membesar akibat adanya penggumpalan cairan (asites).
Namun, ciri khas dari kwashiorkor biasanya tidak membuat berat
badan anak turun drastis. Ini karena tubuh anak memiliki banyak

14
cairan sehingga membuat berat badannya tetap normal, meski
sebenarnya anak tersebut kurus. Gejala kwashiorkor lainnya seperti:
a. Perubahan warna kulit
b. Rambut rambut seperti jagung
c. Bengkak (edema) di beberapa bagian, seperti kaki, tangan, dan
perut
d. Wajah bulat dan sembab (moon face)
e. Penurunan masa otot
f. Diare dan lemas
8. Marasmik-kwashiorkor
Marasimik-kwashiorkor adalah gabungan kondisi dan gejala dari
marasmus serta kwashiorkor. Kondisi ini biasanya disebabkan oleh
pola makan, khususnya karena tidak tercukupinya asupan zat gizi
tertentu seperti kalori dan protein.
Anak yang mengalami marasmik-kwashiorkor akan mengalami gejala
seperti:
a. Tubuh sangat kurus
b. Muncul tanda-tanda tubuh kurus (wasting) di beberapa bagian
tubuh. Misalnya jaringan dan massa otot hilang, serta tulang yang
langsung kentara pada kulit seolah tidak terlapisi oleh daging.
c. Mengalami penumpukan cairan di beberapa bagian tubuh (asites).
9. Wasting (kurus)
Anak dikatakan bertubuh kurus (wasting) jika berat badannya jauh
berada di bawah normal, atau tidak sesuai dengan tinggi
badannya. Indikator yang biasanya dipakai untuk menentukan wasting
adalah berat badan berbanding tinggi badan (BB/TB), untuk usia 0-60
bulan.
Wasting juga kerap disebut sebagai kekurangan gizi akut atau berat.
Kondisi ini biasanya disebabkan karena anak tidak memperoleh asupan
zat gizi yang cukup, atau mengalami penyakit yang mengakibatkan
kehilangan berat badan, seperti diare.

15
Gejala yang muncul ketika anak mengalami wasting yakni tubuh
tampak sangat kurus akibat berat badan rendah.
10. Underweight (berat badan kurang)
Underweight menandakan kondisi berat badan anak yang kurang jika
dibandingkan usianya. Indikator yang biasanya dipakai untuk
menentukan berat badan kurang adalah berat badan berbanding usia
(BB/U) untuk anak 0-60 bulan. Sementara anak usia 5-18 tahun
menggunakan indeks massa tubuh berbanding usia (IMT/U).
Tanda paling kentara ketika anak mengalami berat badan kurang yakni
tubuhnya terlihat kurus dan berat badannya kurang jika dibandingkan
dengan teman-teman seusianya. Hal ini terjadi karena jumlah asupan
energi yang masuk tidak setara dengan energi yang keluar.
Anak dengan underweight biasannya lebih rentan terserang penyakit
infeksi, sulit berkonsentrasi, mudah lelah, hingga tidak berenergi saat
beraktivitas.
11. Overweight (kelebihan berat badan)
Anak dikatakan overweight (kegemukan) ketika berat badannya tidak
sebanding dengan tinggi badannya. Kondisi ini tentu akan membuat
tubuh anak tampak gemuk dan kurang ideal. Selain memiliki tubuh
yang gemuk, anak dengan berat badan berlebih juga memiliki ciri
ukuran lingkar pinggan dan pinggul di atas normal.
Kondisi ini juga kerap membuat anak mengalami kelelahan parah serta
nyeri otot dan sendi. Lebih buruknya, overweight berisiko membuat
anak terserang berbagai penyakit. Mulai dari penyakit jantung, stroke,
diabetes, hingga gangguan muskuloskeletal seperti arthritis.
12. Obesitas
Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan
lemak tubuh yang berlebihan. Setiap orang memerlukan
sejumlah lemak tubuh untuk menyimpan energi, sebagai penyekat
panas, penyerap guncangan dan fungsi lainnya. Perbandingan yang
normal antara lemak tubuh dengan berat badan adalah sekitar 25-30%
pada wanita dan 18-23% pada pria. Wanita dengan lemak tubuh lebih

16
dari 30% dan pria dengan lemak tubuh lebih dari 25% dianggap
mengalami osbesitas.
Seseorang yang memiliki berat badan 20% Perhatian tidak hanya
ditujukan kepada jumlah lemak yang ditimbun, tetapi juga kepada
lokasi penimbunan lemak tubuh. Secara ilmiah, obesitas terjadi akibat
mengonsumsikalori lebih banyak dari yang diperlukan oleh tubuh.
Obesitas meningkatkan risiko terjadinya sejumlah penyakit menahun
seperti Diabetes tipe 2 (timbul pada masa dewasa),tekanan darah
tinggi (hipertensi), stroke, serangan jantung (infark miokardium), gagal
jantung, kanker kanker tertentu, misalnya kanker prostat dan kanker
usus besar),batu kandung empedu dan batu kandung
kemih, Gout dan artritis gout, serta osteoartritis.lebih tinggi dari nilai
tengah kisaran berat badannya yang normal dianggap mengalami
obesitas.Obesitas digolongkan menjadi 3 kelompok:
a. Obesitas ringan : kelebihan berat badan 20-40%
b. Obesitas sedang : kelebihan berat badan 41-100%
c. Obesitas berat : kelebihan berat badan >100% (Obesitas berat
ditemukan sebanyak 5% dari antara orang-orang yang gemuk).
Anak-anak yang mengalami obesitas dapat berisiko lebih besar
mengidap penyakit jantung, diabetes dan gangguan akibat kelebihan
berat badan lainnya dari yang terpikirkan. Fakta ini diketahui
berdasarkan studi baru tentang dampak obesitas selama masa kanak-
kanak dan perkembangan kesehatan di masa dewasa.Dibanding anak-
anak dan remaja yang berbobot ideal, anak dengan obesitas lebih
berisiko menderita gangguan kesehatan yang memicu penyakit jantung
dan diabetes. Seperti, tekanan darah tinggi, kadar kolesterol tinggi, dan
gula darah tinggi.  
Di Indonesia terdapat 19,1 persen kasus obesitas pada penduduk
berusia di atas 15 tahun. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) Indonesia pada 2010, menunjukkan 27,7 juta jiwa
penduduk Indonesia berusia di atas 18 tahun,

17
mengalamiobesitas. Jumlah ini sama dengan 11,7 persen dari
keseluruhan penduduk Indonesia.

2.3 Cara Mengatasi Masalah Gizi


1. Meningkatkan sosialisasi
Kurangnya sosialisasi program peningkatan kesejahteraan, tidak dapat
dipungkiri pada dasarnya ada beberapa usaha pemerintah untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Namun jika ditilik lebih jauh
nampaknya pelaksanaannya masih membutuhkan berbagai perbaikan,
diantaranya mengenai sosialisasi. Sebagus apapun program yang
ditawarkan, jika sosialisasinya gagal maka percuma saja. Untuk
program-program peningkatan kesejahteraan, misalnya bantuan
langsung tunai (BLT) yang diberikan kepada masyarakat berkategori
miskin hendaknya merata dengan sosialisasi yang baik.
2. Perbaiki asupan nutrisi
Penanganan bagi para penderita kurang gizi yang paling utama yakni
dengan pemberian nutrisi secara layak dan mencukupi, mulai dari
menu karbohidrat layaknya dalam bentuk nasi dan roti, protein dalam
segala jenis lauk pauk baik dari nabati seperti tahu ataupun dari hewani
layaknya menu olahan telur dan seterusnya, perhatikan pula
kandungan asupan vitamin yang bisa diperoleh dari ragam jenis
sayuran atau juga pada buah-buahan segar, pemberian susu yang kaya
akan nutrisi mencukupi juga layak dijadikan pilihan, yang pasti
pemberian asupan nutrisi mencukupi haruslah dilakukan secara berkala
dan kontinyu, hal ini demi memaksimalkan adaptasi tubuh dalam
penyerapan nutrisi secara maksimal.
Perhatikan pula untuk pencegahan maka asupan nutrisi pada kalangan
tertentu semisal ibu hamil dan menyusui haruslah ditingkatkan sesuai
dengan kebutuhan yang mencukupi demi terhindar dari hal yang tak
diinginkan selanjutnya, karena bagaimanapun dua kondisi ini pada
umumnya membuat para wanita utamanya memiliki beban yang

18
memebihi dari waktu biasanya jadi perlu untuk diberikan perhatian
khusus lebih lanjut.
3. Pengobatan
Prosedur yang satu ini harus dilakukan secara spesifik apabila memang
ditemukan gejala penyakit yang memang melatarbelakangi munculnya
kekurangan gizi tersebut, semisal pengobatan secara intensif pada diare
lantaran infeksi maupun permasalahan pencernakan lain yang
berhubungan langsung dengan sistem serap nutrisi pada tubuh yang
umumnya terletak pada saluran usus, fokus terapi untuk penyakit
pemicu ini akan semakin dapat memaksimalkan pula penanganan pada
gejala kekurangan gizi secara sekaligus.
4. Budaya Instanisasi
Budaya Instanisasi adalah budaya serba instan atau dengan kata lain
budaya tidak produktif. Budaya  ini tengah merambah ke berbagai
aspek kehidupan bangsa Indonesia. Jika dilihat dari aspek ketahanan
pangan di Indonesia, budaya Instanisasi inilah yang tengah menjajah
bangsa ini sehingga melahirkan generasi yang malas, tidak produktif
yang berdampak pada berbagai aspek kehidupan diantaranya adalah
pola konsumsi masyarakat. Ketika budaya ini mewabah ke seluruh
sendi kehidupan bangsa Indonesia, budaya menanam bahan pangan di
halaman sendiri  sudah hampir terkikis bahkan tidak ada. Masyarakat
lebih menyukai membeli produk-produk instan seperti fast
food dan junk food yang memiliki kadar gizi relatif rendah. Hal ini
diperparah dengan menjamurnya waralaba yang bisa ditemui di setiap
tempat sehingga mewadahi budaya instanisasi ini.
5. Minimalisir kebiasaan buruk
Beberapa kebiasaan kurang sehat layaknya salah diet ketat ataupun
merokok harus diminimalisir secara ketat, lantaran kegiatan seperti ini
sama sekali tidak membawa manfaat baik bagi tubuh dan justru sangat
membahayakan, baiknya lakukan kegiatan yang lebih positif
dampaknya bagi tubuh karena jika dibiarkan terus berlanjut tak ayal
maka ragam masalah kesehatan pun akan mengintai di kemudian

19
harinya jadi cobalah untuk senantiasa bijak dalam memilah gaya hidup
anda demi kesehatan anda sampai hari mendatang.
6. Pemaksimalan keseimbangan ekonomi
Masalah Gizi tidak terlepas dari masalah ekonomi. Peningkatan
ekonomi masyarakat dengan sendirinya akan meningkatkan daya beli,
sehingga masyarakat bisa mengkonsumsi makanan yang mempunyai
nilai gizi lebih baik. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan yang
utama dan luas juga ikut andil secara nyata demi menjaga
keseimbangan supaya perbaikan ekonomi juga dapat dirasakan oleh
masyarakat kelas bawah, dan juga kebiasaan untuk menggalakkan
empati pada sesama layak juga untuk dijadikan alternatif demi
memperhatikan sesama kita yang berada pada ujung kemiskinan,
bantuan sembako dan bahan pangan secara tepat sasaran semoga dapat
menjadi langkah nyata yang dapat mengurangi merebaknya wabah
kekurangan gizi di kalangan bawah.

2.4 Indikator Mengukur Status Gizi


Status gizi anak bisa diukur dengan beberapa indikator tertentu, yaitu:
1. Jenis kelamin
Penilaian status gizi anak laki-laki tentu tidak sama dengan anak
perempuan. Hal ini disebabkan karena tumbuh kembangnya pun
berbeda, biasanya anak perempuan akan tumbuh jauh lebih cepat
ketimbang laki-laki.
Itu sebabnya, dalam melakukan penilaian terhadap status gizi anak,
penting untuk memerhatikan jenis kelamin. Sebab pola pertumbuhan
anak laki-laki berbeda dengan perempuan.
2. Usia
Faktor usia sangat penting untuk menentukan dan melihat apakah
status gizi anak sudah baik atau belum. Dengan mengetahui usia anak
akan memudahkan mendeteksi apakah anak punya tinggi dan berat
badan yang sesuai dengan usianya atau tidak.

20
3. Berat badan
Berat badan adalah salah satu indikator dari penilaian status gizi anak
yang paling sering dipakai. Berat badan dianggap dapat memberikan
gambaran mengenai kecukupan jumlah zat gizi makro dan mikro yang
ada di dalam tubuh.
Tak seperti tinggi badan yang perubahannya membutuhkan waktu
yang agak lama, berat badan bisa sangat cepat berubah. Perubahan
berat badan bisa menunjukkan perubahan status gizi pada anak.
Indikator ini digunakan oleh anak usia 0-60 bulan, dengan tujuan
untuk mengukur berat badan sesuai dengan usia anak. Penilaian BB/U
dipakai untuk mencari tahu kemungkinan seorang anak mengalami
berat badan kurang, sangat kurang, atau lebih.
Berikut rerata berat badan ideal menurut Kementerian Kesehatan RI:
a. 0-6 bulan: 3,3-7,9 kg
b. 7-11 bulan: 8,3-9,4 kg
c. 1-3 tahun: 9,9-14,3 kg
d. 4-6 tahun: 14,5-19 kg
e. 7-12 tahun: 27-36 kg
f. 13-18 tahun: 46-50 kg
Namun, indikator ini biasanya tidak bisa dipakai jika umur anak tidak
diketahui secara pasti. Status gizi anak berdasarkan BB/U yakni:
a. Berat badan normal: ≥-2 SD sampai 3 SD
b. Berat badan kurang: <-2 SD sampai -3 SD
c. Berat badan sangat kurang: <-3 SD
4. Tinggi badan atau panjang badan
Perubahan tinggi badan tidak begitu cepat dan dipengaruhi oleh
banyak hal dari masa lampau, tidak hanya saat ini saja. Pertumbuhan
tinggi badan sangat berkaitan dan tergantung dengan kualitas makanan
yang diberikan pada anak sejak kecil, bahkan mulai dari ia lahir.
Apakah anak diberikan ASI eksklusif atau kualitas makanan
pendampingnya sejak kecil.

21
Indikator ini digunakan oleh anak usia 0-60 bulan, dengan tujuan
untuk mengukur tinggi badan sesuai dengan usia anak. Penilaian TB/U
dipakai untuk megindentifikasi penyebab jika anak memiliki tubuh
pendek.
Akan tetapi, indikator TB/U hanya bisa digunakan bagi anak usia 2-18
tahun dengan posisi berdiri. Sementara jika usianya masih di bawah 2
tahun, pengukurannya menggunakan indikator panjang badan atau
PB/U dengan posisi berbaring.
Bila anak berusia di atas 2 tahun diukur tinggi badannya dengan cara
berbaring, maka nilai TB harus dikurangi dengan 0,7 sentimeter (cm).
Berikut rerata tinggi badan ideal menurut Kementerian Kesehatan RI: 
a. 0-6 bulan: 49,9-67,6 cm
b. 7-11 bulan: 69,2-74,5 cm
c. 1-3 tahun: 75,7-96,1 cm
d. 4-6 tahun: 96,7-112 cm
e. 7-12 tahun: 130-145 cm
f. 13-18 tahun: 158-165 cm 
Status gizi anak berdasarkan TB/U yakni:
a. Tinggi badan di atas normal: >2 SD
b. Tinggi badan normal: -2 SD sampai dengan 2 SD
c. Pendek (stunting): -3 SD sampai dengan <-2 SD
d. Sangat pendek (severe stunting): <-3 SD
5. Lingkar kepala
Selain indikator yang sudah disebutkan sebelumnya, lingkar kepala
termasuk hal yang biasanya diukur untuk tahu status gizi si kecil.
Meski tidak menggambarkan secara langsung, lingkar kepala harus
selalu diukur setiap bulan hingga anak menginjak usia 2 tahun.
Pasalnya, lingkar kepala dapat memberi gambaran bagaimana ukuran
dan tumbuh kembang otak anak saat itu. Pengukuran biasanya
dilakukan di dokter, bidan, atau posyandu, dengan menggunakan pita
ukur yang dilingkarkan di kepala bayi.

22
Setelah diukur, maka lingkar kepala anak akan dikelompokkan ke
dalam kategori normal, kecil (mikrosefali), atau besar (makrosefali).
Lingkar kepala yang berukuran terlalu kecil atau besar merupakan
tanda ada masalah dengan perkembangan otak anak.

23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Masalah gizi adalah gangguan kesehatan dan kesejahteraan seseorang,
kelompok orang atau masyarakat sebagai akibat adanya
ketidakseimbangan antara asupan (intake) dengan kebutuhan tubuh
akan makanan dan pengaruh interaksi pennyakit (infeksi).
Ketidakseimbangan ini bisa mengakibatkan gizi kurang maupun gizi
lebih.
Masalah gizi merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
penanggulangannya tidak dapat ditanggulangi dengan pendekatan
medis dan pelayanan masyarakat saja. Banyak faktor yang dapat
menyebabkan masalah gizi, oleh karena itu pendekatan
penanggulangannya harus melibatkan berbagai sektor yang terkait.
Kejadian gizi buruk akan menyebabkan daya tahan tubuh anak
menurun dan akan mudah terkena penyakit infeksi. Gizi buruk jika
tidak ditanggulangi dengan cepat, maka akan mempengaruhi kualitas
pada generasi selanjutnya.
3.2 Saran
Pemerintah sebaiknya memberikan perhatian dan sistem kontrol yang
lebih komprehensif terhadap masalah gizi pada masyarakat, seperti
meningkatkan sosialisasi kesehatan pada masyarakat, peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan dan kebijakan kesehatan lainnya yang
dapat meningkatkatkan kualitas kesehatan masyarakat.

24
DAFTAR PUSTAKA

eprints.ums.ac.id/44524/5/BAB%20I.pdf

scholar.unand.ac.id/17534/2/BAB%20I%20Pendahuluan%20pdf.pdf

www.kemkes.go.id/article/view/19081600004/kemenkes-tingkatkan-status-gizi-
masyarakat.html

25

Anda mungkin juga menyukai