Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

PERKAWINAN BEDA AGAMA


Dosen Pembimbing: Dr. H. Azmi Yahya Mm

DISUSUN OLEH KELOMPOK 6 :


1. ANITA ROSA (2018310279)
2. NADIA AMALIA HAQY (2018310294)
3. PUTI INTAN CLARIKHA (2018310488)

Jurusan Manajemen

Fakultas Ekonomi Dan Bisnis

Universitas Muhammadiyah Jakarta


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Perkawinan Beda Agama” ini tepat
pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Bapak Azmi yahya
pada mata kuliah Sistem Informasi Manajemen. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk
menambah wawasan tentang CRM bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Diana Hasan, selaku dosen mata kuliah SIM yang
telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jakarta, 20 Februari 2020

Kelompok 6
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia. Popularitas isu
ini sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk, khususnya dari segi agama dan etnis.
Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, tidak
hanya pemerintah tetapi juga komponen lain dari bangsa ini, sebut saja misalnya, LSM, lembaga
keagamaan, baik Islam maupun non Islam dan lain sebagainya.

Seringkali kita lihat di tengah masyarakat apalagi di kalangan orang berkecukupan dan kalangan
selebriti terjadi pernikahan beda agama, entah si pria yang muslim menikah dengan wanita non muslim
(nasrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang muslim menikah dengan pria non
muslim. Namun kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat mengagungkan
perbedaan agama (pemahaman liberal). Tak sedikit yang terpengaruh dengan pemahaman liberal
semacam itu, yang mengagungkan kebebasan, yang pemahamannya benar-benar jauh dari Islam. Paham
liberal menganut keyakinan perbedaan agama dalam pernikahan tidaklah jadi masalah.

Namun bagaimana sebenarnya menurut pandangan Islam yang benar mengenai status pernikahan
beda agama? Berangkat dari permasalahan itu kami mencoba untuk menjelas sekelumit tentang
bagaimana hukumnya pernikahan beda agama, menurut agama Islam itu sendiri.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan perkawinan lintas agama?

2. Bagaimana hukum perkawinan lintas agama menurut Islam?

C. Tujuan Pembahasan

1. Untuk mengetahui pengertian perkawinan lintas agama?

2. Untuk mengetahui hukum perkawinan lintas agama menurut Islam?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Perkawinan Lintas Agama

1. Pengertian Perkawinan

Perkawinan yang istilah agama disebut “nikah” secara bahasa bermakna penyatuan, perkumpulan,
atau dapat diartikan sebagai akad atau hubungan badan. Adapun menurut istilah syara’, nikah ialah akad
yang membolehkan seorang laki-laki berhubungan kelamin dengan perempuan. Jadi yang dimaksud
dengan nikah ialah melakukan suatu akad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki
dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antar kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan
keridhaan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa
kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang di ridhai oleh Allah SWT.

Menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal 1 merumuskan
pengertian perkawinan adalah sebagai ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai
suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Perjanjian dalam perkawinan ini mengandung tiga (3) karakter yang khusus,
yaitu :

a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak.

b. Kedua belah pihak yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk
memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukum-hukumnya.

c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing
pihak.

2. Pengertian Perkawinan Lintas Agama

Perkawinan lintas agama ialah perkawinan antar orang yang berlainan agama. Yang dimaksud
dengan “perkawinan antar orang yang berlainan agama” disini ialah perkawinan orang Islam (pria/wanita)
dengan orang bukan Islam (pria/wanita).[[3]]

Jadi, dapat disimpulkan bahwa perkawinan lintas agama adalahikatan lahir dan bathin antara seorang pria
dengan seorang wanita yang karena berbeda agama menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang
berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya
masing-masing dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa

B. Hukum Perkawinan Lintas Agama Menurut Islam


Syirik adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu. Dalam pandangan agama, musyrik
adalah siapa saja yang menyembah selain Allah (mempersekutukan Allah). Orang kristen yang percaya
tentang trinitas adalah musyrik menurut sudut pandang di atas, termasuk di dalamnya Ahlul Kitab.
Adapun menurut pandangan para pakar al-Quran, katamusyrik atau musyrikin dan musyrikat digunakan
al-Quran untuk kelompok tertentu, yaitu para penyembah berhala. Dengan demikian, istilah al-Quran
berbeda dengan istilah keagamaan di atas. Walaupun penganut agama kristen mempercayai trinitas, al-
Quran tidak menamai mereka musyrik, tetapi menamai mereka Ahlu Kitab. Perhatikan firman Allah
berikut:

)1 :‫ب َو ْال ُم ْش ِر ِكينَ ُم ْنفَ ِّكينَ َحتَّى تَأْتِيَهُ ُم ْالبَيِّنَةُ (البينة‬


ِ ‫لَ ْم يَ ُك ِن الَّ ِذينَ َكفَرُوا ِم ْن أَ ْه ِل ْال ِكتَا‬

Artinya: “Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak
akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata” (QS. al-Bayyinah: 1)

Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa orang kafir ada dua macam, yakni Ahlul Kitab dan Musyrik. Itulah
istilah yang digunakan al-Quran untuk satu substansi yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang
berbeda, yakni Ahlul kitab dan orang-orang musyrik.

1. Perempuan Muslim dengan Laki-laki Non-Muslim

Hukum perkawinan antara seorang perempuan yang beragama Islam dengan seorang laki-laki
non-muslim, apakah ahlul kitab ataukah musyrik, maka jumhur ulama sepakat menyatakan hukum
perkawinan tersebut haram, tidak sah. Pengharaman tersebut didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 221,
yang berbunyi:

‫ ٌر ِم ْن‬iْ‫ؤ ِم ٌن خَ ي‬i ْ ‫ ٌد ُم‬iْ‫وا َولَ َعب‬iُ‫ ِر ِكينَ َحتَّى ي ُْؤ ِمن‬i‫وا ْال ُم ْش‬iُ‫وْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم َوال تُ ْن ِكح‬iَ‫ ِر َك ٍة َول‬i‫ ٌر ِم ْن ُم ْش‬iْ‫ةٌ خَ ي‬iَ‫ت َحتَّى ي ُْؤ ِم َّن َوأل َمةٌ ُم ْؤ ِمن‬
iِ ‫َوال تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِركَا‬
‫ك َولَوْ أَ ْع َجبَ ُك ْم‬
ٍ ‫ ُم ْش ِر‬......

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu.” (QS.
al-Baqarah: 221)

Selain didasarkan pada QS. al-Baqarah ayat 221, larangan perkawinan antara perempuan muslim dengan
laki-laki non-muslim juga didasarkan pada QS. Al-Mumtahanah ayat 10.

ِ َّ‫وه َُّن إِلَى ْال ُكف‬ii‫ت فَال تَرْ ِج ُع‬


‫ ٌّل‬i‫ار ال ه َُّن ِح‬ ٍ ‫ت فَا ْمتَ ِحنُوه َُّن هَّللا ُ أَ ْعلَ ُم بِإِي َمانِ ِه َّن فَإِ ْن َعلِ ْمتُ ُموه َُّن ُم ْؤ ِمنَا‬
ٍ ‫اج َرا‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا َجا َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬
ِ َ‫َات ُمه‬
َ ُّ
‫لهُ ْم َوال هُ ْم يَ ِحلونَ له َُّن‬ َ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. al-Mumtahanah: 10)
Ayat ini, walaupun tidak menyebut Ahlul kitab, istilah yang digunakannya adalah “orang-orang kafir”,
dan Ahlul kitab adalah salah satu dari kelompok orang-orang kafir. Dengan demikian, walaupun ayat ini
tidak menyebut Ahlul kitab, ketidak-halalan tersebut tercakup dalam kata “orang-orang kafir”.[[6]]

Ada beberapa argumen tentang sebab diharamkannya perempuan muslim kawin dengan laki-laki non-
muslim, yakni sebagai berikut:

a. Laki-laki kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS. An-Nisa {4}: 141: ... dan
Allah takkan memberi jalan orang kafir itu mengalahkan orang mukmin

b. Laki-laki kafir dan Ahli Kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya yang muslimah, malah
sebaliknya mendustakan kitab dan mengingkari ajaran nabinya. Sedangkan apabila laki-laki muslim
kawin dengan perempuan Ahli Kitab maka dia akan mau mengerti agama, mengimani kitab, dan nabi dari
istrinya sebagai bagian dari keimanannya karena tidak akan sempurna keimanan seseorang tanpa
mengimani kitab dan nabi-nabi terdahulu.

c. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami isteri tidak mungkin bisa bertahan tinggal dan
hidup (bersama) karena perbedaan yang jauh.

2. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Musyrik

Islam melarang terjadinya ikatan perkawinan yang berakibat hancurnya keyakinan agama. Allah
melarang perkawinan orang Islam dengan orang musyrik karena orang musyrik telah berbuat dosa besar
yang tidak diampuni oleh Allah yaitu syirik, karena mengajak ke neraka (QS. al-Nisa’: 116), sedang
Allah dengan aturannya mengajak kepada kedamaian/kebahagiaan dan mendapat ampunan Ilahi (QS. al-
Baqarah: 221).

Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan wanita musyrik
hukumnya adalah mutlak haram. Madzhab Hambali juga berpendapat demikian, bahwa haram hukumnya
menikahi wanita-wanita musyrik. Masjfuk menegaskan bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang
pria Muslim dengan wanita musyrik. Berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221:

221:‫ (البقرة‬... ‫ى ي ُْؤ ِم َّن َوألَ َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِّم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم‬ iِ َ ‫( َوالَ تَ ْن ِكحُوْ ا ْال ُم ْش ِركا‬
َّ ‫ت َحت‬

“Janganlah kamu mengawini wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu”

Jumhur ulama juga sepakat mengharamkan laki-laki muslim kawin dengan perempuan musyrik.
Perempuan musyrik di sini mencakup perempuan penyembah berhala (al-watsaniyyah), zindiqiyyah
(ateis), penyembah api, dan penganut aliran libertin (al-ibahah), seperti pahamwujudiyah.

Hikmah dilarangnya perkawinan antara orang Islam (pria/wanita) dengan orang yang bukan Islam
(pria/wanita, selain Ahlul Kitab), ialah bahwa antara orang Islam dengan orang musyrik/kafir selain
Kristen dan Yahudi itu terdapat way of life dan filsafat hidup yang sangat berbeda. Sebab orang Islam
percaya sepenuhnya kepada Allah sebagai pencipta alam semesta, percaya kepada para Nabi, kitab suci,
malaikat dan percaya pula pada hari kiamat. Sedangkan orang musyrik/kafir pada umumnya tidak percaya
pada semuanya itu. Kepercayaan mereka penuh dengan khurafat dan irasional. Bahkan mereka selalu
mengajak orang-orang yang telah beragama/beriman untuk meninggalkan agamanya dan kemudian diajak
mengikuti “kepercayaan/ideologi” mereka.

3. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Ahli Kitab

Pada dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan (halal) mengawini perempuan Ahli Kitab berdasar
pengkhususan QS. Al-Maidah ayat 5.

َ iَ‫وا ْال ِكت‬iiُ‫َات ِمنَ الَّ ِذينَ أُوت‬


‫اب‬i ُ ‫صن‬َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬
ِ ‫َات ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنَا‬
ُ ‫صن‬ َ ْ‫ط َعا ُم ُك ْم ِحلٌّ لَهُ ْم َو ْال ُمح‬ َ ‫ات َوطَ َعا ُم الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
َ ‫َاب ِحلٌّ لَ ُك ْم َو‬ ُ َ‫ْاليَوْ َم أُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
ِ ‫َان َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِاإلي َما ِن فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهُ َوهُ َو فِي اآل ِخ َر ِة ِمنَ ْالخ‬
َ‫َاس ِرين‬ ٍ ‫صنِينَ َغ ْي َر ُم َسافِ ِحينَ َوال ُمتَّ ِخ ِذي أَ ْخد‬ ِ ْ‫ُوره َُّن ُمح‬ ُ
َ ‫ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم إِ َذا آتَ ْيتُ ُموه َُّن أج‬

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al
Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar
maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah:
5)

Di antara ulama’ ada yang berbeda pendapat tentang siapa yang dimaksud wanita kitabi, kitabiyah, atau
wanita Ahli Kitab. Syekh Ali Ahmad Jarjawi berpendapat bahwa Ahlul Kitab adalah orang-orang yang
berpegang kepada agama dan mempunyai kitab samawi yang diturunkan dari Allah Swt.

Madzhab Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama’ah berpendapat bahwa Ahlul kitab adalah mereka yang menganut
aliran sebagai berikut:

a) iman dan percaya kepada Allah

b) iman dan percaya kepada salah satu kitab sebelum al-Qur’an yang telah diturunkan oleh Allah Swt
kepada rasul-rasul sebelum Nabi Muhammad Saw

c) iman dan percaya kepada salah seorang rasul selain Nabi Muhammad Saw.

Mahmuddin Sudin berpendapat bahwa sekarang ini tidak ada lagi Ahli Kitab sebagai yang dimaksudkan
oleh QS. al-Maidah ayat 5; mereka dikategorikan musyrik.[[12]]

Satu hal yang membedakan antara perempuan musyrik dengan perempuan Ahli Kitab, menurut
As-Sayyid Sabiq adalah bahwa perempuan musyrik tidak memiliki agama yang melarang berkhianat,
mewajibkan berbuat amanah, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Apa yang
dikerjakan dan pergaulannya dipengaruhi ajaran-ajaran kemusyrikan, yakni khurafat dan spekulasi
(teologis) atau lamunan dan bayangan yang dibisikkan syetan. Inilah yang bisa menyebabkan ia
mengkhianati suaminya dan merusak akidah anak-anaknya. Sementara antara perempuan Ahli Kitab dan
laki-laki mukmin tidak terdapat distansi yang jauh. Perempuan Ahli Kitab mengimani Allah dan
menyembahNya, beriman kepada para nabi, hari akhirat (eskatologis) beserta pembalasannya, dan
menganut agama yang mewajibkan berbuat baik dan mengharamkan kemungkaran. Distansi yang
esensial hanyalah mengenai keimanan terhadap kenabian Muhammad. Padahal orang yang beriman
kepada kenabian universal tidak akan mempunyai halangan mengimani nabi penutup (khatam al-anbiya),
yakni Muhammad, kecuali karena kebodohannya. Sehingga perempuan (Ahli Kitab) yang bergaul dengan
suami yang menganut agama dan syari’at yang baik maka sangat terbuka peluang baginya untuk
mengikuti agama suaminya. Dan apa yang dikuatkan oleh Allah berupa ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas
niscaya akan mengantarkan kepada kesempurnaan keimanan dan keislaman.

Pengertian Ahli Kitab di sini mengacu pada dua agama besar sebelum Islam, yakni Yahudi dan
Nasrani. Ibnu Rusyd berpendapat bahwa para ulama sepakat akan kehalalan mengawini perempuan Ahli
Kitab dengan syarat ia merdeka (bukan budak), sedangkan mengenai perempuan Ahli Kitab yang dalam
status tawanan (bi al-milk) para ulama berbeda pendapat.[[14]]

Ibnu Munzhir berkata: Tidak ada dari sahabat yang mengharamkan (laki-laki muslim mengawini
perempuan Ahli Kitab). Qurthubi dan Nu’as mengatakan: Di antara sahabat yang menghalalkan antara
lain: Utsman, Talhah, Ibnu Abbas, Jabir, dan Hudzaifah. Sedangkan dari golongan tabi’in yang
menghalalkan: Sa’id bin Mutsayyab, Sa’id bin Jabir, al-Hasan, Mujahid, Thaawus, Ikrimah, Sya’bi,
Zhahak, dan lain-lain. As-Sayyid Sabiq menyatakan bahwa hanya ada satu sahabat yang mengharamkan,
yakni Ibnu Umar. Di antara sahabat ada yang mempunyai pengalaman mengawini perempuan Ahli Kitab.
Utsman r.a. kawin dengan Nailah binti Quraqishah Kalbiyyah yang beragama Nasrani, meskipun
kemudian masuk Islam, Hudzaifah mengawini perempuan Yahudi dari penduduk Madain, Jabir dan Sa’ad
bin Abu Waqas pernah kawin dengan perempuan Yahudi dan Nasrani pada masa penaklukan kota Makah
(fathul Makah).[[15]]

Adapun pendapat fuqaha empat madzab Sunni tentang laki-laki muslim mengawini perempuan Ahli
Kitab adalah sebagai berikut:

a. Madzhab Hanafi

Imam Abu Hanifah membolehkan mengawini wanita ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahli
kitab tersebut meyakini trinitas, karena menurut mereka yang terpenting adalah ahli kitab tersebut
memiliki kitab samawi. Menurut mazhab ini yang dimaksud dengan ahli kitab adalah siapa saja yang
mempercayai seorang Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang
percaya kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan kitab
Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.

Bahkan menurut madzhab ini mengawini wanita ahli kitab dzimmi atau wanita kitabiyah yang ada di
Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan dengan wanita kitabiyah yang ada
di Darul Harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid
yang besar, yakni seorang suami muslim yang kawin dengan perempuan ahli kitab dikhawatirkan akan
patuh terhadap istrinya yang berjuang memperbolehkan anaknya beragama dengan selain agamanya.
Sedangkan perkawinan dengan wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah
karena wanita ahlul kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.[[16]]

b. Madzhab Maliki

Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan dengan Ahli Kitab ini mempunyai dua pendapat yaitu :
pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-wanita non muslim
yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam) maupun harbiyah, namun makruh
menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini
akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.

Kedua, tidak makruh mutlak karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir
mazhab Maliki ini menggunakan pendektan Saddu al-Dzari’ah (menutup jalan yang mengarah kepada
kemafsadatan). Jika dikhawatirkan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama adalah
kemafsadatan, maka diharamkan.[[17]]

c. Madzhab Syafi’i

Demikian halnya dengan madzhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi wanita Ahli kitab, dan
yang termasuk golongan wanita ahli kitab menurut madzhab Syafi’i adalah wanita-wanita Yahudi dan
Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk
penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang dikemukakan madzhab ini adalah :

1) Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan bangsa
lainnya.

2) Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada dua
kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.

Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang menganut agama
tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu semenjak sebelum Al-Qur’an
diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan
tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min
qoblikum tersebut.

Para fuqaha madzab Syafi’i memandang makruh mengawini perempuan Ahli Kitab yang berdomisili di
Daru al-Islam, dan sangat dimakruhkan (tasydid al- Karahah) bagi yang berada di Daru al-Harb,
sebagaimana pendapat fuqaha Malikiyah. Ulama Syafi’iyah memandang kemakruhan tersebut apabila
terjadi dalam peristiwa berikut:[[18]]

1) Tidak terbesit oleh calon mempelai laki-laki muslim untuk mengajak perempuan Ahli Kitab
tersebut masuk Islam.

2) Masih ada perempuan muslimah yang shalikhah

3) Apabila tidak mengawini perempuan Ahli Kitab tersebut ia bisa terperosok ke dalam perbuatan
zina.

d. Madzhab Hambali

Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini, mengemukakan bahwa
haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita Yahudi dan Narani. Kelompok ini
dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam
Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa yang termasuk ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa
Israel saja, tetapi menyatakan bahwa semua wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat
Nabi Muhammad belum diutus menjadi Rasul, baik dari bangsa Israel maupun tidak.

4. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Shabi’ah, Majusi, dan Lainnya

Selain menyebut Yahudi dan Nasrani, Al-Qur’an juga beberapa kali menyebutkan pemeluk
agama Shabi’ah (QS. AL-Baqarah {2}: 62, QS. AL-Maidah {5}:69, al-Hajj {22}: 17); Majusi (QS. Al-
Hajj {22}: 17); serta orang-orang yang berpegang pada shuhuf (lembaran kitab suci) Nabi Ibrahim-yang
bernama Syit dan shuhuf Nabi Musa yang bernama Taurat (QS. Al-A’la [87]: 19), dan kitab Zabur yang
diturunkan kepada Nabi Dawud.

Penyebutan agama-agama ini mungkin sangat terkait dengan agama-agama yang pernah
berkembang dan dikenal masyarakat Arab pada saat itu. Mengenai perempuan shabi’ah, para fuqaha
madzhab Hanafi berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk Ahli-kitab, hanya saja kitabnya sudah
disimpangkan dan palsu. Mereka dipersamakan dengan pemeluk yahudi dan nasrani, sehingga laki-laki
mukmin boleh mengawininya. Sedangkan para fuqaha’ Syafi’iyah dan Hanabilah membedakan antara
Ahli Kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka, orang-orang yahudi dan nasrani sependapat
dengan islam dalam hal-hal pokok agama (ushul ad-din) membenarkan rasul-rasul dan mengimani kitab-
kitab. Barang siapa yang berbeda darinya dalam hal pokok-pokok agama (termasuk shabi’ah) maka ia
bukanlah termasuk golonganya. Oleh karena itu, hukum mengawininya juga seperti mengawini
penyembah berhala, yakni Haram.

Seorang muslim dilarang menikahi wanita Majusi. Sebab, orang Majusi bukan dari golongan Ahli
Kitab. Ini adalah pendapat mayoritas ulama. Karena Ahli Kitab adalah mereka yang beragama Yahudi
maupun Nasrani. Kitab Taurat diturunkan kepada kaum Yahudi dan Nabi mereka adalah Musa AS.
Sedangkan kitab Injil diturunkan kepada kaum Nasrani, dan Nabi mereka adalah Isa bin Maryam AS.
Namun Madzhab Zhahiriah membolehkan seorang muslim menikah dengan wanita majusi dengan hujjah
mereka termasuk golongan Ahli kitab.

Abu Tsaur mengatakan: “Boleh menikahi wanita Majusi berdasarkan sabda Rasulullah SAW.
yang artinya.“Berbuatlah kalian kepada mereka (orang-orang Majusi,-pent) sebagaimana berbuat kepada
golongan Ahli Kitab”

Alasan lain, karena diriwayatkan dalam sebuah riwayat bahwa Hudzaifah Radhiyallahu‘anhu
pernah menikahi wanita Majusi dan karena mereka masih ditetapkan membayar jizyah (pajak), sehingga
status mereka mirip dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani”

Namun, kebanyakan yang dijadikan pedoman adalah pendapat mayoritas ulama. Pasalnya, orang-
orang Majusi bukan termasuk golongan Ahli Kitab. Allah SWT berfirman yang artinya (Kami turunkan
Al-Qur'an itu) agar kamu (tidak) mengatakan: Bahwa kitab itu hanya diturunkan kepada 2 golongan saja
sebelum kami (Yahudi dan Nasrani)” (Al-An'am: 156).

Ini adalah sebuah bukti bahwa mereka tak memiliki kitab. Sesungguhnya yang dimaksudkan dari
hadits tersebut adalah dalam rangka melindungi darah mereka dan masih ditetapkan membayar jizyah,
bukan yang lain. Sedangkan mengenai riwayat bahwa Hudzaifah pernah menikahi wanita Majusi, setelah
diteliti, riwayat ini tak shahih dan Imam Ahmad telah mendha'ifkan (melemahkan) orang yang
meriwayatkan dari Hudzaifah bahwa beliau pernah menikahi wanita Majusi. Abu Wa'il menyatakan:
“(Orang yang meriwayatkan bahwa) beliau pernah menikahi wanita Yahudi itu lebih kuat daripada orang
yang meriwayatkan dari beliau bahwa beliau pernah menikahi wanita Majusi”. Sementara Ibnu Sirin
mengatakan: “Konon, istri Hudzaifah beragama Nasrani”

Sementara mengawini perempuan yang berkitab di luar Yahudi, Nasrani, Majusi, dan Shabi’ah
juga ada dua pendapat. Ulama madzhab Hanafi menyatakan: barangsiapa memeluk agama samawi, dan
baginya suatu kitab suci seperti shuhuf Ibrahim dan Dawud maka adalah sah mengawini mereka selagi
tidak syirik. Karena mereka berpegang pada semua kitab Allah maka dipersamakan dengan orang Yahudi
dan Nasrani. Sedangkan ulama madzhab Syafi’i dan Hambali tidak membolehkan. Alasannya karena
kitab-kitab tersebut hanya berisi nasehat-nasehat dan perumpamaan-perumpamaan, serta sama sekali
tidak memuat hukum.

C. Analisis Penalaran Hukum Perkawinan Lintas Agama

Jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa hukum perkawinan antara seorang perempuan yang
beragama Islam dengan seorang laki-laki non-Islam dan sebaliknya (laki-laki muslim dengan perempuan
non-Islam), baik Ahlul kitab ataupun musyrik adalah haram, tidak sah. Pengharaman tersebut didasarkan
pada QS. Al-Baqarah ayat 221, yang berbunyi:[[23]]

‫ك‬ ٍ ‫ت َحتَّى ي ُْؤ ِم َّن َوأل َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم َوال تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِكينَ َحتَّى ي ُْؤ ِمنُوا َولَ َع ْب ٌد ُم ْؤ ِم ٌن خَ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر‬
iِ ‫ال تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِركَا‬
‫ولَوْ أَ ْع َجبَ ُك ْم‬.....
َ

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu
menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu..” (QS.
al-Baqarah: 221)

Penggalan ayat tersebut menunjukkan arti larangan mutlak oleh Allah kepada Umat Islam, dimana ‫ ال‬pada
lafadz ‫ َوال تُ ْن ِكحُوا‬adalah Lam Nahi (yang menunjukkan arti larangan). Dan ْ‫ ال‬pada lafadz ‫ت‬ ِ ‫ ْال ُم ْش ِركَا‬dan
َ‫ ْال ُم ْش ِر ِكين‬adalah Al Ta’rif (Ma’rifat) yang menunjukkan arti umum, yakni mencakup semua lelaki musyrik
tanpa terkecuali. Dalam Tafsir al-Mishbah dijelaskan bahwa menurut kaca mata agama, yang dimaksud
dengan ‫ت‬ iِ ‫ ْال ُم ْش ِركَا‬atau َ‫ْال ُم ْش ِر ِكين‬ dalam ayat tersebut adalah siapa saja yang mempersekutukan Allah,
termasuk di dalamnya Ahlul kitab.

Larangan perkawinan antara perempuan muslim dengan laki-laki non-muslim juga didasarkan pada
keumuman QS. Al-Mumtahanah ayat 10.[[24]]

‫ ٌّل‬i‫ار ال ه َُّن ِح‬ِ َّ‫وه َُّن إِلَى ْال ُكف‬ii‫ت فَال تَرْ ِج ُع‬
ٍ ‫ت فَا ْمتَ ِحنُوه َُّن هَّللا ُ أَ ْعلَ ُم بِإِي َمانِ ِه َّن فَإِ ْن َعلِ ْمتُ ُموه َُّن ُم ْؤ ِمنَا‬
ٍ ‫اج َرا‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا َجا َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬
ِ َ‫َات ُمه‬
ُّ
‫لَهُ ْم َوال هُ ْم يَ ِحلونَ لَه َُّن‬

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan
mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang
kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (QS. al-Mumtahanah: 10)

Mengenai perkawinan antara lelaki muslim dengan wanita Ahlul kitab, para ulama’ masih berbeda
pendapat. Mereka yang membolehkan mengacu pada pengkhususan QS. al-Maidah aya 5:[[26]]

َ iَ‫وا ْال ِكت‬iiُ‫َات ِمنَ الَّ ِذينَ أُوت‬


‫اب‬i ُ ‫صن‬َ ْ‫ت َو ْال ُمح‬
ِ ‫َات ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنَا‬
ُ ‫صن‬ َ ‫ات َوطَ َعا ُم الَّ ِذينَ أُوتُوا ْال ِكت‬
َ ْ‫َاب ِحلٌّ لَ ُك ْم َوطَ َعا ُم ُك ْم ِحلٌّ لَهُ ْم َو ْال ُمح‬ ُ َ‫ْاليَوْ َم أُ ِح َّل لَ ُك ُم الطَّيِّب‬
ِ ‫َان َو َم ْن يَ ْكفُرْ بِاإلي َما ِن فَقَ ْد َحبِطَ َع َملُهُ َوهُ َو فِي اآل ِخ َر ِة ِمنَ ْالخ‬
َ‫َاس ِرين‬ ٍ ‫صنِينَ َغ ْي َر ُم َسافِ ِحينَ َوال ُمتَّ ِخ ِذي أَ ْخد‬ ِ ْ‫ُوره َُّن ُمح‬ َ ‫ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْم إِ َذا آتَ ْيتُ ُموه َُّن أُج‬

“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al
Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-
wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar
maskawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum
Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (QS. al-Maidah:
5)

Jika dilihat dari segi kaidah ushul fiqih, ayat 5 surat al-Maidah ini bersifat khusus (‫)لفظ الخاص‬,
yakni sebagai mukhoshish (pengkhusus) munfashil dari QS. al-Baqarah ayat 221 dan QS. al-Mumtahanah
ayat 10 yang masih bersifat ‘Am (Umum).

Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa keharaman menikahi non-Muslim, baik laki-laki maupun
perempuan, baik musyrik ataupun Ahlul Kitab, telah ditakhshish oleh QS. al-Maidah ayat 5 yang
menjelaskan bahwa dihalalkan mengawini wanita-wanita Ahlul Kitab. Oleh sebab itu, hukum menikahi
wanita Ahlul Kitab adalah halal menurut pendapat jumhur. Adapun menikahi wanita/lelaki musyrik tetap
dihukumi haram.

Dan didahulukannya penyebutan wanita-wanita mukminah pada ayat tersebut memberi isyarat
bahwa mereka yang seharusnya didahulukan, karena bagaimanapun persamaan agama dan pandangan
hidup sangat membantu melahirkan ketenangan, bahkan sangat menentukan kelanggengan rumah tangga.
Di antara imam madzhab fiqih yang membolehkan perkawinan lelaki muslim dengan wanita Ahlul kitab
adalah madzhab Hanafi, Syafi’i, dan Hambali, Namun Ahlul kitab yang dimaksud masih berada dalam
batas definisi dan pemahaman mereka masing-masing.

Adapun bagi mereka yang menghukumi makruh atau haram, seperti madzhab Maliki, mereka
beralasan karena adanya kekhawatiran bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi aqidah
anak-anaknya, sekaligus suaminya. Jika dilihat dari segi kaidah Ushul Fiqih, metodologi berpikir mazhab
Maliki ini menggunakan pendektan Saddu al-Dzari’ah ( ‫) َس ُّد ال َّذ ِر ْي َع ِة‬, yakni menutup jalan yang mengarah
kepada kemafsadatan. Yang dimaksud adalah jika dikhawatirkan yang akan muncul dalam perkawinan
beda agama tersebut adalah kemafsadatan (sumber kerusakan), maka diharamkan.

Mengenai perkawinan lelaki Muslim dengan perempuan Shabi’ah, para fuqaha madzhab Hanafi
berpendapat bahwa mereka sebenarnya termasuk Ahli-kitab, hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan
palsu.Ulama’ madzhab Hanafi ini meng-Qiyaskan perempuan Shabi’ah dengan perempuan Ahlul Kitab
(Yahudi dan Nasrani), dengan adanya Illat “sama-sama memperoleh kitab Samawi”, sehingga laki-laki
muslim dibolehkan mengawininya.

Sedangkan madzhab Syafi’iyah dan Hanabilah membedakan antara Ahli Kitab dengan penganut
agama Shabi’ah. Menurut mereka, Ahlul kitab sependapat dengan islam dalam hal-hal pokok agama
(ushul ad-din), adapun perempuan Shabi’ah tidak.[[29]] Dalam hal ini perempuan Shabi’ah di-Qiyas-kan
dengan perempuan penyembah berhala (Musyrik). Oleh sebab itu hukum mengawininya adalah haram.

Mengenai penganut agama Majusi, Jumhur ulama’ berpendapat bahwa perempuan majusi ini disamakan
dengan perempuan Shabi’ah, yang mana mereka berbeda dengan Ahlul Kitab. Sehingga Jumhur ulama’
melarang untuk mengawininya. Sementara mengawini perempuan yang berkitab di luar Yahudi, Nasrani,
Majusi, dan Shabi’ah, ulama madzhab Hanafi membolehkan, karena di-Qiyasikan dengan pemeluk agama
yahudi dan Nasrani (Ahlul Kitab). Adapun ulama madzhab Syafi’i dan Hambali tidak membolehkan.
Alasannya karena kitab-kitab tersebut hanya berisi nasehat-nasehat dan perumpamaan-perumpamaan,
serta sama sekali tidak memuat hukum.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan-pembahasan yang dilakukan dapat disimpulkan sbb:

1. Dalam perjalanan historisnya, persoalan perkawinan beda agama selalu menjadi kontroversi di
kalangan umat Islam sampai saat sekarang ini. hal itu dikarenakan adanya pihak yang menganggap
perkawinan beda agama merupakan sesuatu yang sudah final dan sangat tabu, sementara di sisi lain
pihak-pihak yang ingin melakukan rasionalisasi masalah tersebut sesuai dengan perkembangan zaman.

2. Untuk menentukan status hukum perkawinan beda agama perlu dilakukan pembacaan ulang
terhadap teks-teks yang berpotensi memperkuat dan memperkaya keputusan yang akan diambil
dengan menggunakan pendekatan komprehensif, kontekstual dan multi analisis. Disamping
memperhatikan hail-hasil penelitian terhadap pasangan beda agama, sehingga keputusan itu
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat yang multikultural tanpa menafikan dokterin-doktrin dan
kebenaran agama serta kearifan lokal yang ada
DAFTAR PUSTAKA

Khairul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqh II (Bandung: CV Pustaka Setia, 2001),.

Ichtiyanto, Perkawinan,

M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Quran Juz 3 (Jakarta:
Lentera Hati, 2002),

Sayyid Sabiq, Fiqh,.

Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan; Hukum Kewarisan

Ibid.

Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah (Jakarta: Logos, 1995), h.
147.

http://nengberbagi.blogspot.co.id/2014/06/perkawinan-lintas-agama-masil-fiqhiyah.html

Anda mungkin juga menyukai