Anda di halaman 1dari 15

alquranassyifa

Smile! You’re at the best WordPress.com site ever


Menu
Skip to content

“TAFSIR BI AL-MA’TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA’YI”


Posted on Oktober 24, 2013 by muhammadabdulghofir

MAKALAH

“TAFSIR BI AL-MA’TSUR DAN TAFSIR BI AL-RA’YI”

Disusun Guna Memenuhi Tugas Matakuliah ‘Ulumul Qur’an III

Dosen Pengampu : Muhammad Chirzin

Disusun Oleh :

Muhammad Abdul Ghofir (11530071)

M. Yusuf A (11530067)

Ali Mustajab (11530069)

JURUSAN TAFSIR HADITS

FAKULTAS USHULUDDIN, STUDI AGAMA DAN PEMIKIRAN ISLAM

UNIVERSITAS NEGERI SUNAN KALIJAGA


YOGYAKARTA

2013

BAB I

PENDAHULUAN

Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt adalah untuk menjadi petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa. Bahkan al-Qur’an juga semestinya menjadi
petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim atau tidak. Selain sebagai
petujuk, al-Qur’an juga menjadi penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara
yang haq dan yang bathil, yang salah dan yang benar.

Berkedudukan sebagai petunjuk hidup, maka al-Qur’an harus dipahami oleh


umat manusia, khususnya umat Islam. Untuk itulah dibutuhkan perangkat
yang namanya ilmu tafsir.

Ilmu tafsir itulah yang bisa dipakai untuk menguraikan maksud yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, mengingat al-Qur’an diturunkan
selain dengan gaya bahasa yang sangat tinggi, juga terdapat ayat-ayat yang
muhkam dan mutasyabih. Dalam hal ini para ulama’ sering mengklaim
bahwa al-Qur’an diturunkan dengan kalimat yang ringkas namun membawa
unsur-unsur uslub (gaya) bahasa yang padat makna sehingga membuat para
ahli bahasa zaman dahulu (bahkan sampai sekarang) tidak mampu
menandingi al-Qur’an. Selain itu, juga tidak setiap orang memiliki
kompetensi untuk menafsirkan al-Qur’an.
Dalam buku Membumikan al-Qur’an, Quraish Shihab menjelaskan bahwa
pada abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sebagian ulama bahkan bila ditanya
mengenai satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apapun.
[1]Keengganan mereka untuk menjelaskan ayat al-Qur’an bisa dimengerti
mengingat masih ada Rasulullah yang berkompeten dalam menjelaskannya,
selain karena mereka umumnya takut apabila salah dalam menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Namun pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat
bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selama ia
memiliki syarat-syarat tertentu seperti : pengetahuan bahasa yang
mencakup Nahwu, Sharaf, Balaghah, juga Ilmu Ushuluddin,
Ilmu  Qira’ah, Asbab al- Nuzul, Nasikh- Mansukh, dan lain sebagainya.
Makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian, batasan dan metodologi
dalam menafsirkan al-Qur’an yang diklasifikasikan dalam dua metode, bi al
ma’tsur dan bi al-ra’yi.
BAB II
PEMBAHASAN

1. A.    Tafsir bi al-Ma’tsur
Sebelum menjelaskan mengenai tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-
ra’yi, maka alangkah baiknya kita lihat pengertian tafsir terlebih dahulu.
Menurut ‘Ibn Hayyan ialah tafsir suatu ilmu yang membahas cara
menuturkan/ membunyikan lafadz-lafadz al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik
mengenai kata tunggal maupun mengenai kata tarkib dan makna-maknanya
yang digantungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi
yang demikian seperti, Nasakh, Asbab al-Nuzul, kisah yang mengatakan apa
yang tidak terang di dalam al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai
hubungan erat dengannya.[2]
Menurut al-Zarkasyi, istilah tafsir bi al-ma’tsur merupakan gabungan dari
tiga kata; itafsir, bi dan al-ma’tsur. Secara leksikal tafsir berarti mengungkap
atau menyingkap. Kata bi berarti ‘dengan’ sedangkan al-ma’tsur berarti
ungkapan yang dinukil oleh khalaf dari salah. Dengan demikian secara
etimologis tafsir bi al-ma’tsur berarti menyingkap isi kandungan al-Qur’an
dengan penjelasan yang dinukil oleh khalaf dari salaf.
Sedangkan secara terminologis pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu:
‫ او بالسنة ﻷ نها‬,‫ على صحيح المنقول بالمراتب التي ذ كرت سابقا في شروط المفسر من تفسر القران بالقران‬#‫هو الذى يعتمد‬
‫ ذ لك غالبا‬ ‫ﻷنهم تلقوا‬  ‫ او بماقاله كبار التابعين‬.‫ او بما روي عن الصحاب نهم اعلم الناس لكتاب هللا‬.‫ لكتاب هللا‬#‫جاءت مبينة‬
‫عن الصحابة‬

Artinya : “Tafsir bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat


yang Shahih, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan
sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan
para Sahabat  karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau
dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’yn karena pada
umumnya mereka menerima dari para Sahabat”.[3]
Penafsiran yang bersumber dari periwayat atau yang sering disebut
dengan tafsir al –ma’tsur adalah suatu penafsiran yan paling tua dan yang
pertama kali muncul dalam khazanah intelektual tafsir al-Qur’an. Tafsir ini
sekarang masih tetap di pakai dan dapat di jumpai dalam kitab-kitab tafsir,
seperti kitab Tafsir al-Thabari, Tafsir Ibn Katsir, Tafsir Ibn ‘Athiyyah dan yang
lainnya.

Menjelaskan makna yang terkandung dalam ayat al-Qur’an, itulah yang


dimaksud dengan “tafsir”; dan yang bertindak menjelaskan ayat-ayat
tersebut disebut “mufassir”. Penafsir pertama dan utama yang menjelaskan
makna al-Qur’an itu kepada umat, ialah Allah sendiri. Kemudian, jika masih
belum jelas, maka barulah Nabi Muhammad saw menjelaskannya. Dengan
demikian tafsir telah dimulai sejak turunnya ayat pertaa dari al-Qur’an itu,
sehingga dapat dikatakan sama usianya dengan al-Qur’an itu sendiri.
[4] Coba perhatikanlah ayat yang pertama turun:
َ ‫ ا ْق َر ْأ َو َر ُّب‬,‫ان مِنْ َعلَ ٍق‬
َ ‫ َعلَّ َم اإل ْن َس‬,‫ الَّذِي َعلَّ َم ِب ْال َقلَ ِم‬,‫ك األ ْك َر ُم‬
(.5-1 : ‫ان َما لَ ْم َيعْ لَ ْم )العلق‬ َ ‫ا ْق َر ْأ ِباسْ ِم َر ِّب‬
َ ‫ َخلَ َق اإل ْن َس‬,‫ك الَّذِي َخلَ َق‬
            Kecuali penafsiran Nabi Muhammad saw, ayat-ayat tertentu juga
berfungsi menafsirkan ayat yang lain. Ada yang langsung ditunjukkan oleh
Nabi bahwa ayat-ayat tersebut ditafsirkan oleh ayat lain;ini termasuk
kelompok tafsir bi al-ma’tsur (tafsir melalui riwayat) seperti
kata Zhulm (aniaya) dalam:  ‫ون‬ َ ‫ظ ْل ٍم أُولَ ِئ‬
#َ ‫ك لَ ُه ُم األمْ نُ َو ُه ْم ُم ْه َت ُد‬ ُ ‫ِين آ َم ُنوا َولَ ْم َي ْل ِبسُوا إِي َما َن ُه ْم ِب‬
َ ‫( الَّذ‬al
An’am:82) ditafsirkan oleh Rasulullah dengan syirk (menyekutukan Allah)
yang terdapat dalam ayat 13 dari Luqman:” “‫ظ ْل ٌم َعظِ يم‬ ُ َ‫ك ل‬ َ ْ‫ال ُت ْش ِركْ ِباهَّلل ِ إِنَّ ال ِّشر‬.

Ada pula yang ditunjukkan oleh ulamaberdasarkan ijtihad, dan ini termasuk 
kategori tafsir bi al-ra’yi seperti ‫ت َعلَي ِْه ْم‬ َ ‫ أَ ْن َع ْم‬dalam ayat ke-7 dari Al Fatihah
misalnya, ditafsirkan dengan ayatke 69 dari surat al-Nisa’ ‫ِين‬ َ ‫ص ِّديق‬ َ ‫م َِن ال َّن ِبي‬
ِّ ‫ِّين َوال‬
َ ‫وال ُّش َهدَ ا ِء َوالصَّالِح‬.
‫ِين‬ َ Meskipun ini penafsiran ayat dengan ayat, tetapi ia termasuk
kategori tafsir bi al-ra’yi karena tafsiran tersebut tidak diwarisi oleh Nabi saw
atau sahabat beliau, melainkan berasal dari ijtihad para ulama tafsir.

Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi saw


secara musyafahat(dari mulut ke mulut), demikian pula generasi berikutnya,
sampai datang masa tadwin (pembukuan) ilmu-ilmu Islam, termasuk tafsir
sekitar abad ke-3 H. Cara penafsiran serupa ituah yang merupakan cikal-
bakal apa yang disbut dengan tafsir bi al-ma’tsur atau disebut juga
dengan tafsir bi al-riwayat. Dengan demikian para sahabat umumnya dapat
menafsirkan al-Qur’an. Namun yng paling menonjol diantara mereka yaitu
“khalifah yang empat, Ibn Mas’ud, Ibn Abbas, Ubayy bin Ka’b, Zaid bin
Tsabit, Abu Musa Al Asy’ari, dan Abdullah bin Zubayr’.[5]
Dalam studi tafsir kalasik, riwayat merupakan komponen yang sangat
penting dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Secara global, tafsir seperti
ini hanya mengandalkan riwayat sebagai pedoman dan landasan dalam
penafsiran terhadap ayat al-Qur’an.

Mengenai tafsir ini, terdapat suatu kesenjanagn dan perbedaan pandangan


dari dari beberapa pengkaji  tafsir, baik dalam mendefinisikan tafsir bi al-
ma’tsurataupun ketika mencontohkan beberapa kitab tafsir yang masuk
dalam klasifikasi tafsir al ma’tsur.  Menurut al-Dzahabi, yang dimaksud
dengan tafsir al-ma’tsuradalah tafsir yang berasal dari riwayat-riwayat Nabi
saw. (hadits), sahabat, da tabi’in. Mengenai alasan al-Dzahabi memasukkan
tafsir dari golongan tabi’in kedalam kategori al’ma’tsur adalah hanya
semata-mata melihat tafsir sekelas at-Thabari (mayoritas ulama
menyepakatinya sebagai tafsir riwayat) yang mencantumkan riwayat-riwayat
dari tabi’in (meskipun para tabi;in tidak menerima tafsir (haditsnya) secara
langsung dari Nabi saw).

Sedangkan al-Zarqani mendefiisikannya dengan menambahkan tafsir


yangberasal dari al-Qur’an itu sendiri (tafsir antar ayat) dan tidak mengikut
sertakan tafsir yang berasal dari tabi’in kedalam kategori al-ma’tsur. Alasan
al-Zarqani tidak memasukkan riwayat-riwayat dari tabin adalah
ketudakbersamman mereka dengan Nabi saw, langkanya sanad yang shahih
dari tafsir yang diriwayatkan tabiin, dan cerita-cerita israiliyyat yang
mendominasi riwayat mereka. Manna’ al-Qatthan hampir senada dengan al-
Zarqani. Bedanya al-Qatthan memasukkan riwayat dari para pembesar tabiin
sebaagai sember tafsir al-ma’tsur. Al-Qattahan memandang bahwa
penafsiran atau riwayat yang berasal dari tabiin layak masuk dalm kategori
dari sumber tafsir al-ma’tsur karena mereka mayoritas bertemu dan berguru
langsung (talaqqi) pada sahabat.[6]
Meskipun terbilang sebagai tafsir yang paling di ridahi oleh para ulama,
tafsir al-ma’tsur (khususnya yang bersumber dari sahabat dan tabiin)
memilikibeberapa kelemahan. Secara garis besar, kelemahan tersebut
dantaranya adalah:

1. Banyaknya riwayat-riwayat palsu dalam tafsir ma’tsur.


2. Banyaknya riwayat-riwayat yang diselipkan oleh orang-orang yang benci
kepada Islam seperti orang-orang Yahudi.
3. Fanatisme madzhab yang mempengaruhi penggunaan riwayat sebagai dalil
atau senjata untuk mengukuhkan posisi madzhabnya, seperti madzhab
muktazilah yang berkibar saat Dinasti ‘Abbasiyah berkuasa. Mereka
memunculkan riwayat-riwayat yang dinisbatkan pada sahabat Ibn Abbas
sebagai upaya untu melanggengkan pengaruh muktazilah dibawah pengaruh
Muktazilah di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah.
4. Banyaknya riwayat-riwayat israiliyyatyang masuk, yang tidak dapat ditolerir
oleh syariat.
5. Pembuangan rantai sanad riwayat.[7]
Tafsir yang bersumber dari riwayat ini tercatat sebagai tafsir yang disepakati
kebolehannya dari pada tafsir yang berlandaskan nalar-ijtihad (tafsir bi al-
ra’yi) yang masih diperselisihkan oleh beberapa ulama. Kendatipun
demikian, tafsir seperti ini justru ini justru membuat penafsiran atas ayat-
ayat Al-Qur’an karena ketergantungan terhadap riwayat yang ada. Karya-
karya tafsir ma’tsur yang belakangan pada umumnya hanya berupa ulangan
dan nukilan dari karya-karya tafsir pendahulunya. Hal ini bisa dilihat dalam
tafsir Ibn Katsir ataupun setelahnya, yang banyak memiliki kesamaan
dengan pendahulunya seperti Al-Thabari, Ibn ‘Athiyyah dan lainnya. Yang
membedakannya hanyyalah penyajian dan pembahsannya saja.

1. B.     Tafsir bi al-Ra’yi
setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H., dan peradaban Islam
semakinmaju dan berkembang, maka lahilah berbagai madzhab dan aliran
dikalangan umat. Masing-masing golongan berusaha mengikutkan
pengikutnya dala memnegmbangkan faham mereka. Untuk mencapai
maksud itu, mereka mencari hadis-hadis Nabi saw, lalu mereka tafsirkan
sesuai sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah mulai
berkembang tafsir dengan bentuk al-ra’yu(tafsir melalui pemikiran atau
ijtihad). Kaum fuqaha’ (ahli fikih) menafsirkannya dari sudut hukum fikih
seperti al Jashshash, al- Qurtubi, dan lain-lain; kaum teolog menafsirkannya
dari sudut-sudut pemahaman teologis seperti al-Kasysyaf, karangan al-
Zamakhsary; dan kaum sufi juga menafsirkan Al-Qur’an  menurut
pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti Tafsir Al-Qur’an
al-‘Adzim oleh al-Tustari; Futuhat Makiyyat oleh Ibn ‘Arabi ; dan lain-lain.
Selain itu dalam bidang juga lahir tafsir, seperti al-bahr al-muhith oleh abu
haayyan; dan alin-lain. Pendek kata, berbagai corak tafsir bi al-ra’y muncul di
kalangan-kalangan ulama muta’akhkhirin; sehingga di abad modern lahir lagi
tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains seperti Tafsir al-manar  dan al-
jawahir. Melihat perkembangan tafsir bi al-ra’yyang demikian pesat, maka
tepatlah apa yang dikatakan manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi al-
ra’y mengakahkan pekembangan al-ma’tsur.[8]
Tafsir bi al-ra’yi berasal dari kata tafsir, bi dan al-ra’yi. Secara semantik al-
ra’yi  berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi juga identik dengan
ijtihad. Berdasarkan pengertian semantik tersebut, para pakar ilmu tafsir
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi adalah
menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh
akal.
Menurut istilah tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan
menetapkan rasio sebagai titik tolak. Corak ini dinamakan juga dengan al-
Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena
penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir.
Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih
mungkin terjadi, dibandingkan al- Tafsir bi al-ma’tsur. Karena alasan
tersebut, beberapa ulama menolak penafsiran dengan corak ini, dan
menyebutnya sebagai al- Tafsir bi al- Hawa (tafsir atas dasar hawa nafsu).
Namun, banyak para ulama yang dapat menerima tafsir corak ini juga, tapi
dengan syarat-syarat tertentu pula. Penerimaan mereka didasarkan atas
ayat-ayat al-Qur’an sendiri, yang menurut mereka, memang menganjurkan
manusia untuk memikirkan dan memahami kandungannya. Adapun ayat-
ayat yang mendukung kebolehan tafsir corak ini, sebagaimana yang dikutip
Shubhi al-Shalih, adalah sebagai berikut.[9]
‫ب أَ ْق َفالُ َها‬
ٍ ‫آن أَ ْم َعلَى قُلُو‬ َ ‫أَ َفال َي َتدَ َّبر‬
َ ْ‫ُون ْالقُر‬

Artinya : “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati


mereka terkunci”. (Q.S. Muhammad: 24).

‫ب‬ ْ ‫ك لِ َي َّد َّبرُوا آ َيا ِت ِه َولِ َي َت َذ َّك َر أُولُو‬


ِ ‫األل َبا‬ ٌ ‫ار‬ َ ‫ِك َتابٌ أَ ْن َز ْل َناهُ إِلَ ْي‬
َ ‫ك ُم َب‬

Artinya: “Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan
berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang
mempunyai pikiran dapat memperoleh pelajaran darinya”. (Q.S. as-Shad:
29).

Perlu dijelaskan, meskipun mufassir dalam hal ini menggunakan pemikiran,


namun ia tidaklah bebas mutlak. Mufassir harus bertolak dari
pemahamannya terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam al-Qur’an dan
Sunnah Nabi SAW. Akan tetapi pemahaman tersebut tidak cukup untuk
menjamin penafsiran cara ini. Karena itu, dalam menggunakan corak tafsir
ini diberlakukan syarat-syarat mufassir dan kaedah-kaedah penafsiran yang
ketat, antara lain:

1) Memiliki pengetahuan bahasa Arab dan segala seluk beluknya.

2) Menguasai ilmu-ilmu al-Qur’an.

3) Menguasai ilmu- ilmu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu al-Qur’an,


seperti hadis, Ushul fiqh dan lain sebagainya.

4) Beraqidah yang benar.

5) Mengetahui prinsip-prinsip pokok agama Islam.

6) Menguasai ilmu yang berhubungan dengan pokok bahasan ayat yang


ditafsirkan.[10]
Yang dimaksud ar-ra’yi di sini adalah “ijtihad” yang berdasarkan pada
prinsip-prinsip yang benar, dan kaidah-kaidah yang benar yang umum
berlaku, yang wajib dimiliki oleh siapa saja yang mau terjun langsung
kedalam dunia penefsiran Al-Qur’an, atau siapa saja yang mau menyingkap
keterangan artinya.

Dan maksudnya dalam hal ini bukan bukan hanya semata-mata ijtihad, atau
karna hobbi, atau hanya cukup dengan apa yang terdidik di benaknya, atau
semaunya sendiri.[11]
Al-Qurthubie berkata : barang siapa menafsirkan Al-qur’an hanya
berdasarkan lintasan praduganya, atau apa yang yang terdetik di hatinya,
tanpa berdasarkan di duksi atau asaal-usulnya, maka dia telah bersalah dan
tercela, baginyalah apa yang disabdakan Rrasulullah saw:

.‫ ومن قال في القرأن برأيه فليتبوأ مقعده من النار‬, ‫من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار‬

Artinya :

“barangsiapa berdusta kepada saya dengan disengaja, maka dai akan


dimasukkan dalam api neraka. Dan barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an
dengan Ijtihadnya sendiri maka ia akan dimasukkan dalam api neraka”.

Dan Rasulullah bersabda pula :


.‫من قال في القرأن برأيه فاصاب فقد اخطأ‬

Artinya: “barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya sendiri dan


ternyata benar maka ia telah bersalah”.

Al-Qurthubi mengatakan didalam kitab mukadimah tafsirnya “Al-Jami’ li


Ahkamil Qur’an” sebagai berikut :

Mengenai hadis Ibn Abbas :

. ‫ومن قال في القرأن برأيه فليتبوأ مقعده من النار‬

Artinya :“barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya sendiri 


maka ia akan masuk neraka”.

Dalam hal ini ia menafsirkannya dalam dua interpretasi :

Pertama: barang siapa yang menafsirkan masalah-masalah yang musykil


dalam Al-Qur’an tanpa berlandaskan apa yang telah diketahuipara sahabat
dan tabiin, maka ia mendapatkan murka Allah. Yang kedua: barang siapa
menafsirkan Al-Qur’an dengan suatu interpretasi, padahal ia tahu bahwa
interpretasinya itu salah, atau keluar dari yang sebenarnya maka ia akan
dimasukkan ke dalam api neraka.[12]
Meskipun tafsir bi al-ra’y berkembang dengan pesat, namun dalam
penerimaannya para ulama terbagi dua; ada yang membolehkan dan ada
pula yang melarangnya. Tapi setelah diteliti, ternyata kedua pendapat yang
bertentangan itu hanya bersifat lafzhi (redaksional). Maksudnya kedua belah
pihak sama-sama mencela penefsiran berdasarkan ra’y(pemikiran) semata
tanpa meengindahkan kaidah-kaidah dan kriteria yang berlaku. Penafsiran
serupa inilah yang diharamkan ibn Taimiyah; bahkan imam bin hambal
menyatakan sebagai tidak berdasar. Sebaliknya, keduanya sepakat
membolehkan penafsiiran alqur’an dengan sunah rasul serta kaidah-kaidah
yang mu’tabarah (diakui sah secara resmi).[13]
Selain itu, berkaitan dengan tafsir bi al-ra’yi terdapat juga perbedaan
pendapat yang lain, dalam penerimaanya para ulama  terbelah menjadi dua
kubu, ada yang memperbolehkan dan ada pula yang melarangnya. Kubu
yang melarang penafsiran dengan akal berargumen:[14]
1. Tafsir adalah suatu ilmu yang membicarakan tentang Allah Swt. Dengan
tanpa disertai ilmu yang memadai, penafsiran menggunakan akal sangat
dilarang oleh Islam. Mereka melandaskan Argumen ini dengan ayat: (QS. Al-
a’raf:33)
2. Yang berhak menafsirkan Al-Qur’an menurut mereka hanyalah Nabi saw, bagi
selainnya tidak ada ruang sedikitpun untuk menjelaskan makna-makna yabg
terkandung didalam Al-Qur’an. Dalil yang digunakan untuk menguatkan
argunen ini adalah ayat: (QS. Al-Nahl:44)
3. Mereka juga menguatkan pendapat mereka dengan mengambil hadis-hsdis
yang melarang melakukan penafsiran dengan akal, diantranya adalah hadis
yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi.
.‫من قال في القرأن برأيه فاصاب فقد اخطأ‬

Artinya: “barangsiapa menafsirkan Al-Qur’an dengan ijtihadnya sendiri dan


ternyata benar maka ia telah bersalah”.

1. Riwayat dari ulama-ulama salaf, baik dari golongan sahabat maupun tabiin
yang memuliakan tafsir Al-Qur’an dan menjauhi untuk berpendapat dalam
menafsirkan Al-Qur’an dengan akal dan pendaapat mereka. Seperti riwayat
ketika mencertiakan sahabat Abu Bakar al-Shiddiq yang enggan menjawab
pertanyaan tentang tafsir sebuah huruf permulaan surat (al-Ahruf al-
Muqaththa’ah) dalam Al-Qur’an.
Sedangkan ulama-ulama yang memperbolehkan menafsiri al-Quran dengan
nalar ijtihad memberikan argumen sebagai berikut:[15]
1. Ayat-ayat al-Quran, diantaranya:
‫ب أَ ْق َفالُ َها‬
ٍ ‫آن أَ ْم َعلَى قُلُو‬
َ ْ‫ُون ْالقُر‬
َ ‫َفال َي َتدَ َّبر‬

Artinya : “Apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati


mereka terkunci”. (Q.S. Muhammad: 24).

‫ب‬ ْ ‫ك لِ َي َّد َّبرُوا آ َيا ِت ِه َولِ َي َت َذ َّك َر أُولُو‬


ِ ‫األل َبا‬ ٌ ‫ار‬ َ ‫ِك َتابٌ أَ ْن َز ْل َناهُ إِلَ ْي‬
َ ‫ك ُم َب‬

Artinya: “Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan
berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang
mempunyai pikiran dapat memperoleh pelajaran darinya”. (Q.S. as-Shad:
29).

Dari ayat-ayat ini, mereka berpendapa tuntuk memperbolehkan penafsiran


al-Quran dengan nalar- ijtihad (ra’yu).Dua ayat yang pertama menurut
mereka merupakan dorongan dari Allah swt. Untuk men-
tadaburi (merenungkan) al-Quran dan ber-i’tibar ( mengambil pelajaran) dari
ayat-ayat al-Quran. Sedangkan ayat yang terakhir merupakan bukti bahwa di
dalam al-Quran terdapat hal-hal yang biasa digali dan di keluarkan isinya
oleh orang-orang yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas.

1. Apabila tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan, maka ranah ijtihad dalam dunia
Islampun tidak mendapatkan ruang (terlarang) dan bias mengakibatkan banyak
persoalan-persoalan yang tidak mempunyai hukum (tidak ada hukum) dan ini
tidak bisa di benarkan. Terbukti bahwa saat ini pintu ijtihad masih terbuka dan
Nabi Saw. Sendiri tidak menafsirkan semuaayat-ayat al-Quran dan
mengeluarkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya karna memberikan
peluang kepada umatnya untuk menafsirkan al-Quran bila di perlukan.
2. Ketika sahabat membaca al-Quran dan menafsirkanya,  ternyata dalam
penafsiranya terdapat keberagaman. Para sahabat juga tidak mendengar
tentang apa yang mereka katakan mengenai tafsir dari Nabi Saw. Hal ini
disebabkan Nabi Saw. Tidak  menjelaskansemua makna-makna al-Quran pada
sahabat, sedangkan yang lainnya bisa di ketahui oleh sahabat melalui nalar-
ijtihad mereka. Kalaaupun penalaran dengan akal terhadap al-Quran dilarang,
Maka pastinya parasahabat telah melanggar larangan ini dan terjatuh dalam
kubangan kesalahan yang di larang Allah swt.
3. Hadisnabi Saw. Saat mendoakanIbn ‘Abas:
‫اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل‬

“ ya Allah, berikanlahIbn ‘abbas pemahaman dalam agama dan ajarkanlah


kepadanya pentakwilan”.

Dari doa NabiSaw tersebut, kelompok yang pro nalar-ijtihad dalam


menafsirkan al-Quran memeknai kata takwil dengan tidak hanya terbatas
pada mengutip  dan mendengarkan tafsir dari nabi Saw. Saja, tetapi lebih
dari itu, yakn sebuah penafsiran dengan penalaran dan ijtihad. Di antara
ulama klasik yang memperbolehkan penafsiaran bi al-ra’yi adalah imam al-
Ghozali.

Dari kedua kubu ini, sekilas tampak benar-benar terjadi perbedaan yang
tidak bisa dipertemukan.Akan tetapi, kalau ditelisik lebih jauh lagi, kedua
kubu ini bisa saling melengkapi dan memberikan sebuah kulifikasi bagi
sebuah tafsir bi ar-ra’yi, mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang. 
Secara tidak langsung, hal ini menberiakn kesimpulan bahwa tafsir bi al-ar’yi
terdapat dua macam, yang boleh dan yang dilarang. Untuk menghasilkan
tafsir bi al-ra’yi yang di perbolehkan, maka harus terlebih dahulu melewati
beberapa tarapan langkah:
1. Lebih dahulu menafsirkan dengan ayat-ayat lain yang terdapat dalam al-
Quran. Apabila tidak juga menemukan ayat yang bisa menafsirkan, maka
dilanjutkan kesunah (hadis) Nabi Saw. Dan jika di hadis Nabi Saw tidak
ditemukan keterangan yang bisa menafsirkannya, maka ia boleh  mengambil
pendapat sahabat.
2. Apabila keterangan yang bisa menafsirkan sebuah ayat tidak ditemukan
pada ayayt al-Quran, hadisNbi Saw, dan riwayat para sahabat maka dia bisa
menggunakan nalarnya untuk melakukan ijtihad dengan mengikuti langkah-
langkah berikut:
1. Memulai dari hal yang berkaitan dengan perbendaharaan kata-kata,
baik dari segi ilmu bahasa, ilmu marfologi, ilmu etimologi, atau akar kata,
dengan memandang makna-makna yang berlakusaat turunya wahyu.
2. Menyambungkan kata tersebut pada sebuah susunan kalimat baik
secara I’rab-nya atau secara sastra agar bisa di rasakan atau diketahui
kejelasanya.
3. Mendahulukan makna yang hakikat daripada makna kiasan (majaz)
4. Memperhatikan sebab turunya ayat
5. Menjaga kesesuaian (munasahab) antara kata ataau kalimat yang
lebih dahulu dengan yang belakangan, antara bagian-bagian dalam ayat
dan antara ayat yang satu dengan ayat lain.
6. Menjaga maksud dari hubungan atau keserasian kalimat.
7. Kecocokan tafsir dengan yang ditafsiri dengan tanpa pengurangn atau
penambahan.
8. Kesesuaian tafsir dengan hal-hal yang sudah bisa diketahui (maklum)
dari pengetahuan alam, norma-norma masyarakat, sejarah umum, sejarah
bangsa arab (khususnya pada masa turunya wahyu).
9. Kecocokan tafsir dengan petunjuk dan ajaran Nabi Saw.
10. Mengakhiri pembicaraan (tafsir) dengan menjelaskan makna dan
hukum-hukum yang bisa dipetik dariayat-ayat al-Quran, yang masih berada
dalam batas-batas aturan bahasa, syariat, dan ilmu pengetahuan alam.
Dengan adanya aturan-aturan dalam penafsiran tersebut, tafsir bi al-ra’yi
yang terpuji,bagus dan diperbolehkana dalah penafsiran yang sesuai dengan
kaidah-kaidah dan aturan main dalam menafsirkan al-Quran. Sedangkan
tafsir bi al-ra’yi yang tercela, dan dilarang (madzmum;haram) adalah
penafsiran yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah dan aturan yang ada
dalam penafsiran.

1. C.    Kitab-kitab yang termasuk Tafsir bial-Ma’tsur dan bi al-Ra’yi


Adapun kitab-kitab yang terkenal dalam katagori Tafsir bi al-ma’tsur, antara
lain :
v  Jami’ al- Bayan fi Tafsir al-Qur’an : Abu Ja’far Muhammad Jarir At-Thabari
(w. 310 H/923 M).

v  Bahr al- ‘Ulum : Nashr bin Muhammad as- Samarqandi.

v  Al- Kassyaf  wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an : ‘Abu Ishaq as- Sa’labi.

v  Ma`alim at- Tanzil : Muhammad al- Husain al- Baghawy (w. 516 H/1122 M).

v  Al- Muharrir al- Wajiz fi Tafsir al- Kitab al- ‘Aziz : ‘Abu Muhammad al-
‘Andalusi.

v  Tafsir al–Qur’an al- `Adhim : Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M).

v  Al- Jawahir al- Hisan fi Tafsir al-Qur’an : ‘Abu Zaid as- Sa’alibi.

v  Ad- Durr al- Mansur fi at- Tafsir bi al- Ma’tsur : Jalaluddin As- Suyuty (w.
911 H/1505 M).

Sedangkan kitab-kitab yang tergolong kepada Tafsir bi al- ra’yi, antara lain :
v  Al- Bahr al- Muhit : Muhammad al- ‘Andalusi.
v  Ghara’ib al- Qur’an wa Ragha’ib al- Furqan : Nizamuddin an- Nisabur.

v  Ruh al- Ma`ani fi Tafsir al-Qur’an al- ‘Adhim wa as- Sab’ al- Masani :
Allamah al- Alusi.

Selanjutnya juga dikenal kitab-kitab Tafsir bi al- ra’yi dari kalangan


Mu’tazilah, seperti :
v  Tanzih al-Qur’an ‘an al- Mata’in : Al- Qadhi `Abdul Jabbar.

v  Amali asy- Syarif al- Murtada : ‘Abu al- Qasim `Ali at- Tahir.

v  Al- Kasysyaf ‘an Haqa’iq at- Tanzil wa ‘Uyun al- Aqawil fi Wujud at- Tanzil :
‘Abu al- Qasim Mahmud bin `Umar az- Zamakhsyari.

Di samping itu juga masih banyak sekali kitab-kitab tafsir dalam bidang
tasawuf, filsafat dan hukum. Adapun yang khusus dalam bidang hukum,
antara lain :

v  Al- Jami’ fi Ahkam al- Qur’an : Imam al- Qurtubi.

v  Ahkam al- Qur’an : ‘Ibnu `Arabi dan ‘Abu Bakar al- Jassas.

v  Rawa’i al- Bayan fi Tafsir al- Qur’an : Muhammad `Ali as- Shabani.

v  Tafsir ayat al- Ahkam : Muhammad `Ali as- Sayyis

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas mengenai tafsir bi al-ma’tsur dan Tafsir bi al-
ra’yi dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ma’tsuradalah suatu usaha untuk
memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan al- Hadits
bahkan perkataan para sahabat termasuk juga para tabi’in, dan penafsiran
ini adalah merupakan jalan yang paling aman untuk menghindari terjadinya
salah pemahaman terhadap makna ayat al-Qur’an yang maknanya kurang
jelas, dan tafsir ini sudah dimulai dari masa sahabat dan mereka hanya
menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang yang semasa
dengan mereka. Tidak mencakup semua ayat al-Qur’an, dan mereka juga
menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang semasa dengan
mereka.
Tafsir bi al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai
adalah sama, yakni al-Qur’an, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya.
Sedangkan tafsir bi al-ra’yi akan jauh dari seragam, keseragamannya hanya
akan terlihat dalam menafsirkan kata-kata yang sudah sangat jelas
tunjukannya, sedangkan pada hal-hal lain, maka penafsiran dengan rasio ini
akan terpengaruh dengan cara seseorang berfikir, menganalisa, tempat,
masa, kondisi dan situasi.
Tafsir bi al-ra’yi lebih tertutup peluangnya untuk tercampur
dengan israiliyyat, karena tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak
jelas sumbernya dan yang tidak masuk akal. Sementara peluang itu relatif
lebih besar pada tafsir bi al-ma’tsur.
Tafsir bi al-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa ke-
kinian, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran
dan zaman, sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap,
maka sifatnya akan statis, intrepretasi terhadap sumber-sumber tafsirnyalah
yang kemudian bisa berubah-ubah. Wallahu a’lam.
1. Kritik Dan Saran
Kami para penulis makalah telah berusaha maksimal dengan kemampuan
yang kita punya, tentu masih banyak kekurangan yang tanpa sengaja, untuk
itu kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun
demi penyempurnaan penulisan-penulisan makalah ini.

[1] . M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an (Bandung : Mizan, 1994),


hal. 83.
[2] . M. Hasby Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-
Qur’an/Tafsir (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 185-186.
[3] . Manna al-Khalil al-Qattan, Mabahitz fi ‘Ulum  al-Qur’an, (Riyadh:
Mansurat al-Hadits, 1973), hlm. 347.
[4] . Prof. Dr. Nasiruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir. Yogyakarta;
PUSTAKA BELAJAR. Hlm 371
[5] . Ibid. Hlm 371
[6] . Tim Forum Karya Ilmiah RADEN (Refleksi Anak Muda Pesantren) Purna
Siswa 2011 MHM Lirboyo Kota Kediri. AL-QUR’AN KITA.  Lirboyo  Press; Cet 1,
hlm  234
[7] .Ibid. hlm 235
[8] . Ibid. Hlm 377
[9] . M. Quraish shihab, Sejarah ‘Ulumul Qur’an. (ed). Azyumardi Azra, Cet. II
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hlm 177.
[10] . http://sugito78.wordpress.com/2012/02/16/tafsir-bi-al-matsur-
dan-bi-al-rayi/
[11] . Moh. Ali  Ash-Shabuni. PENGANTAR ILMU-ILMU AL-QUR’AN.  Alih
Bahasa; Saiful Islam. PT AL-IKHLAS ; Surabaya. Hlm 164
[12] . Ibid. Hlm 166
[13] . Ibid. Hlm 377
[14]. Ibid. Hlm  236-237
[15] . Ibid. Hlm  237-240
Iklan
Report this ad

Report this ad

Share this:

 Twitter
 Facebook1
 Google

Al Qur'an

Navigasi pos
← Hadis Laki-laki Pemimpin Perempuan
KAIDAH TANYA DAN JAWAB DALAM AL QUR’AN →

Tinggalkan Balasan
Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Komentar 

Nama * 
Surel * 
Situs Web 

 Beri tahu saya komentar baru melalui email.

Iklan
Report this ad

Cari

Arsip
 Januari 2014
 Oktober 2013

Meta
 Daftar
 Masuk
Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

 Ikuti

Anda mungkin juga menyukai