Tafsir 1
Tafsir 1
MAKALAH
Disusun Oleh :
M. Yusuf A (11530067)
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Swt adalah untuk menjadi petunjuk bagi
orang-orang yang bertaqwa. Bahkan al-Qur’an juga semestinya menjadi
petunjuk bagi seluruh manusia, baik ia muslim atau tidak. Selain sebagai
petujuk, al-Qur’an juga menjadi penjelas bagi petunjuk dan pembeda antara
yang haq dan yang bathil, yang salah dan yang benar.
Ilmu tafsir itulah yang bisa dipakai untuk menguraikan maksud yang
terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, mengingat al-Qur’an diturunkan
selain dengan gaya bahasa yang sangat tinggi, juga terdapat ayat-ayat yang
muhkam dan mutasyabih. Dalam hal ini para ulama’ sering mengklaim
bahwa al-Qur’an diturunkan dengan kalimat yang ringkas namun membawa
unsur-unsur uslub (gaya) bahasa yang padat makna sehingga membuat para
ahli bahasa zaman dahulu (bahkan sampai sekarang) tidak mampu
menandingi al-Qur’an. Selain itu, juga tidak setiap orang memiliki
kompetensi untuk menafsirkan al-Qur’an.
Dalam buku Membumikan al-Qur’an, Quraish Shihab menjelaskan bahwa
pada abad pertama Islam, para ulama sangat berhati-hati dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sebagian ulama bahkan bila ditanya
mengenai satu ayat, mereka tidak memberikan jawaban apapun.
[1]Keengganan mereka untuk menjelaskan ayat al-Qur’an bisa dimengerti
mengingat masih ada Rasulullah yang berkompeten dalam menjelaskannya,
selain karena mereka umumnya takut apabila salah dalam menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an tersebut.
Namun pada abad-abad berikutnya, sebagian besar ulama berpendapat
bahwa setiap orang boleh menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an selama ia
memiliki syarat-syarat tertentu seperti : pengetahuan bahasa yang
mencakup Nahwu, Sharaf, Balaghah, juga Ilmu Ushuluddin,
Ilmu Qira’ah, Asbab al- Nuzul, Nasikh- Mansukh, dan lain sebagainya.
Makalah ini akan menjelaskan tentang pengertian, batasan dan metodologi
dalam menafsirkan al-Qur’an yang diklasifikasikan dalam dua metode, bi al
ma’tsur dan bi al-ra’yi.
BAB II
PEMBAHASAN
1. A. Tafsir bi al-Ma’tsur
Sebelum menjelaskan mengenai tafsir bi al-ma’tsur dan tafsir bi al-
ra’yi, maka alangkah baiknya kita lihat pengertian tafsir terlebih dahulu.
Menurut ‘Ibn Hayyan ialah tafsir suatu ilmu yang membahas cara
menuturkan/ membunyikan lafadz-lafadz al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik
mengenai kata tunggal maupun mengenai kata tarkib dan makna-maknanya
yang digantungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi
yang demikian seperti, Nasakh, Asbab al-Nuzul, kisah yang mengatakan apa
yang tidak terang di dalam al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai
hubungan erat dengannya.[2]
Menurut al-Zarkasyi, istilah tafsir bi al-ma’tsur merupakan gabungan dari
tiga kata; itafsir, bi dan al-ma’tsur. Secara leksikal tafsir berarti mengungkap
atau menyingkap. Kata bi berarti ‘dengan’ sedangkan al-ma’tsur berarti
ungkapan yang dinukil oleh khalaf dari salah. Dengan demikian secara
etimologis tafsir bi al-ma’tsur berarti menyingkap isi kandungan al-Qur’an
dengan penjelasan yang dinukil oleh khalaf dari salaf.
Sedangkan secara terminologis pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu:
او بالسنة ﻷ نها, على صحيح المنقول بالمراتب التي ذ كرت سابقا في شروط المفسر من تفسر القران بالقران#هو الذى يعتمد
ذ لك غالبا ﻷنهم تلقوا او بماقاله كبار التابعين. او بما روي عن الصحاب نهم اعلم الناس لكتاب هللا. لكتاب هللا#جاءت مبينة
عن الصحابة
Ada pula yang ditunjukkan oleh ulamaberdasarkan ijtihad, dan ini termasuk
kategori tafsir bi al-ra’yi seperti ت َعلَي ِْه ْم َ أَ ْن َع ْمdalam ayat ke-7 dari Al Fatihah
misalnya, ditafsirkan dengan ayatke 69 dari surat al-Nisa’ ِين َ ص ِّديق َ م َِن ال َّن ِبي
ِّ ِّين َوال
َ وال ُّش َهدَ ا ِء َوالصَّالِح.
ِين َ Meskipun ini penafsiran ayat dengan ayat, tetapi ia termasuk
kategori tafsir bi al-ra’yi karena tafsiran tersebut tidak diwarisi oleh Nabi saw
atau sahabat beliau, melainkan berasal dari ijtihad para ulama tafsir.
1. B. Tafsir bi al-Ra’yi
setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H., dan peradaban Islam
semakinmaju dan berkembang, maka lahilah berbagai madzhab dan aliran
dikalangan umat. Masing-masing golongan berusaha mengikutkan
pengikutnya dala memnegmbangkan faham mereka. Untuk mencapai
maksud itu, mereka mencari hadis-hadis Nabi saw, lalu mereka tafsirkan
sesuai sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Ketika inilah mulai
berkembang tafsir dengan bentuk al-ra’yu(tafsir melalui pemikiran atau
ijtihad). Kaum fuqaha’ (ahli fikih) menafsirkannya dari sudut hukum fikih
seperti al Jashshash, al- Qurtubi, dan lain-lain; kaum teolog menafsirkannya
dari sudut-sudut pemahaman teologis seperti al-Kasysyaf, karangan al-
Zamakhsary; dan kaum sufi juga menafsirkan Al-Qur’an menurut
pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti Tafsir Al-Qur’an
al-‘Adzim oleh al-Tustari; Futuhat Makiyyat oleh Ibn ‘Arabi ; dan lain-lain.
Selain itu dalam bidang juga lahir tafsir, seperti al-bahr al-muhith oleh abu
haayyan; dan alin-lain. Pendek kata, berbagai corak tafsir bi al-ra’y muncul di
kalangan-kalangan ulama muta’akhkhirin; sehingga di abad modern lahir lagi
tafsir menurut tinjauan sosiologis dan sains seperti Tafsir al-manar dan al-
jawahir. Melihat perkembangan tafsir bi al-ra’yyang demikian pesat, maka
tepatlah apa yang dikatakan manna’ al-Qaththan bahwa tafsir bi al-
ra’y mengakahkan pekembangan al-ma’tsur.[8]
Tafsir bi al-ra’yi berasal dari kata tafsir, bi dan al-ra’yi. Secara semantik al-
ra’yi berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yi juga identik dengan
ijtihad. Berdasarkan pengertian semantik tersebut, para pakar ilmu tafsir
menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bi al-ra’yi adalah
menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh
akal.
Menurut istilah tafsir bi al-ra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan
menetapkan rasio sebagai titik tolak. Corak ini dinamakan juga dengan al-
Tafsir bi al-Ijtihadi, yaitu penafsiran yang menggunakan ijtihad. Karena
penafsiran seperti ini didasarkan atas hasil pemikiran seorang mufassir.
Perbedaan-perbedaan antara satu mufassir dengan mufassir lain lebih
mungkin terjadi, dibandingkan al- Tafsir bi al-ma’tsur. Karena alasan
tersebut, beberapa ulama menolak penafsiran dengan corak ini, dan
menyebutnya sebagai al- Tafsir bi al- Hawa (tafsir atas dasar hawa nafsu).
Namun, banyak para ulama yang dapat menerima tafsir corak ini juga, tapi
dengan syarat-syarat tertentu pula. Penerimaan mereka didasarkan atas
ayat-ayat al-Qur’an sendiri, yang menurut mereka, memang menganjurkan
manusia untuk memikirkan dan memahami kandungannya. Adapun ayat-
ayat yang mendukung kebolehan tafsir corak ini, sebagaimana yang dikutip
Shubhi al-Shalih, adalah sebagai berikut.[9]
ب أَ ْق َفالُ َها
ٍ آن أَ ْم َعلَى قُلُو َ أَ َفال َي َتدَ َّبر
َ ُْون ْالقُر
Artinya: “Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan
berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang
mempunyai pikiran dapat memperoleh pelajaran darinya”. (Q.S. as-Shad:
29).
Dan maksudnya dalam hal ini bukan bukan hanya semata-mata ijtihad, atau
karna hobbi, atau hanya cukup dengan apa yang terdidik di benaknya, atau
semaunya sendiri.[11]
Al-Qurthubie berkata : barang siapa menafsirkan Al-qur’an hanya
berdasarkan lintasan praduganya, atau apa yang yang terdetik di hatinya,
tanpa berdasarkan di duksi atau asaal-usulnya, maka dia telah bersalah dan
tercela, baginyalah apa yang disabdakan Rrasulullah saw:
. ومن قال في القرأن برأيه فليتبوأ مقعده من النار, من كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار
Artinya :
1. Riwayat dari ulama-ulama salaf, baik dari golongan sahabat maupun tabiin
yang memuliakan tafsir Al-Qur’an dan menjauhi untuk berpendapat dalam
menafsirkan Al-Qur’an dengan akal dan pendaapat mereka. Seperti riwayat
ketika mencertiakan sahabat Abu Bakar al-Shiddiq yang enggan menjawab
pertanyaan tentang tafsir sebuah huruf permulaan surat (al-Ahruf al-
Muqaththa’ah) dalam Al-Qur’an.
Sedangkan ulama-ulama yang memperbolehkan menafsiri al-Quran dengan
nalar ijtihad memberikan argumen sebagai berikut:[15]
1. Ayat-ayat al-Quran, diantaranya:
ب أَ ْق َفالُ َها
ٍ آن أَ ْم َعلَى قُلُو
َ ُْون ْالقُر
َ َفال َي َتدَ َّبر
Artinya: “Ini adalah kitab yang kami turunkan kepadamu, penuh dengan
berkah, agar mereka memperhatikan ayat-ayat dan orang-orang yang
mempunyai pikiran dapat memperoleh pelajaran darinya”. (Q.S. as-Shad:
29).
1. Apabila tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan, maka ranah ijtihad dalam dunia
Islampun tidak mendapatkan ruang (terlarang) dan bias mengakibatkan banyak
persoalan-persoalan yang tidak mempunyai hukum (tidak ada hukum) dan ini
tidak bisa di benarkan. Terbukti bahwa saat ini pintu ijtihad masih terbuka dan
Nabi Saw. Sendiri tidak menafsirkan semuaayat-ayat al-Quran dan
mengeluarkan hukum-hukum yang terdapat di dalamnya karna memberikan
peluang kepada umatnya untuk menafsirkan al-Quran bila di perlukan.
2. Ketika sahabat membaca al-Quran dan menafsirkanya, ternyata dalam
penafsiranya terdapat keberagaman. Para sahabat juga tidak mendengar
tentang apa yang mereka katakan mengenai tafsir dari Nabi Saw. Hal ini
disebabkan Nabi Saw. Tidak menjelaskansemua makna-makna al-Quran pada
sahabat, sedangkan yang lainnya bisa di ketahui oleh sahabat melalui nalar-
ijtihad mereka. Kalaaupun penalaran dengan akal terhadap al-Quran dilarang,
Maka pastinya parasahabat telah melanggar larangan ini dan terjatuh dalam
kubangan kesalahan yang di larang Allah swt.
3. Hadisnabi Saw. Saat mendoakanIbn ‘Abas:
اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل
Dari kedua kubu ini, sekilas tampak benar-benar terjadi perbedaan yang
tidak bisa dipertemukan.Akan tetapi, kalau ditelisik lebih jauh lagi, kedua
kubu ini bisa saling melengkapi dan memberikan sebuah kulifikasi bagi
sebuah tafsir bi ar-ra’yi, mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.
Secara tidak langsung, hal ini menberiakn kesimpulan bahwa tafsir bi al-ar’yi
terdapat dua macam, yang boleh dan yang dilarang. Untuk menghasilkan
tafsir bi al-ra’yi yang di perbolehkan, maka harus terlebih dahulu melewati
beberapa tarapan langkah:
1. Lebih dahulu menafsirkan dengan ayat-ayat lain yang terdapat dalam al-
Quran. Apabila tidak juga menemukan ayat yang bisa menafsirkan, maka
dilanjutkan kesunah (hadis) Nabi Saw. Dan jika di hadis Nabi Saw tidak
ditemukan keterangan yang bisa menafsirkannya, maka ia boleh mengambil
pendapat sahabat.
2. Apabila keterangan yang bisa menafsirkan sebuah ayat tidak ditemukan
pada ayayt al-Quran, hadisNbi Saw, dan riwayat para sahabat maka dia bisa
menggunakan nalarnya untuk melakukan ijtihad dengan mengikuti langkah-
langkah berikut:
1. Memulai dari hal yang berkaitan dengan perbendaharaan kata-kata,
baik dari segi ilmu bahasa, ilmu marfologi, ilmu etimologi, atau akar kata,
dengan memandang makna-makna yang berlakusaat turunya wahyu.
2. Menyambungkan kata tersebut pada sebuah susunan kalimat baik
secara I’rab-nya atau secara sastra agar bisa di rasakan atau diketahui
kejelasanya.
3. Mendahulukan makna yang hakikat daripada makna kiasan (majaz)
4. Memperhatikan sebab turunya ayat
5. Menjaga kesesuaian (munasahab) antara kata ataau kalimat yang
lebih dahulu dengan yang belakangan, antara bagian-bagian dalam ayat
dan antara ayat yang satu dengan ayat lain.
6. Menjaga maksud dari hubungan atau keserasian kalimat.
7. Kecocokan tafsir dengan yang ditafsiri dengan tanpa pengurangn atau
penambahan.
8. Kesesuaian tafsir dengan hal-hal yang sudah bisa diketahui (maklum)
dari pengetahuan alam, norma-norma masyarakat, sejarah umum, sejarah
bangsa arab (khususnya pada masa turunya wahyu).
9. Kecocokan tafsir dengan petunjuk dan ajaran Nabi Saw.
10. Mengakhiri pembicaraan (tafsir) dengan menjelaskan makna dan
hukum-hukum yang bisa dipetik dariayat-ayat al-Quran, yang masih berada
dalam batas-batas aturan bahasa, syariat, dan ilmu pengetahuan alam.
Dengan adanya aturan-aturan dalam penafsiran tersebut, tafsir bi al-ra’yi
yang terpuji,bagus dan diperbolehkana dalah penafsiran yang sesuai dengan
kaidah-kaidah dan aturan main dalam menafsirkan al-Quran. Sedangkan
tafsir bi al-ra’yi yang tercela, dan dilarang (madzmum;haram) adalah
penafsiran yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah dan aturan yang ada
dalam penafsiran.
v Al- Kassyaf wa al-Bayan ‘an Tafsir al-Qur’an : ‘Abu Ishaq as- Sa’labi.
v Ma`alim at- Tanzil : Muhammad al- Husain al- Baghawy (w. 516 H/1122 M).
v Al- Muharrir al- Wajiz fi Tafsir al- Kitab al- ‘Aziz : ‘Abu Muhammad al-
‘Andalusi.
v Tafsir al–Qur’an al- `Adhim : Ibnu Katsir (w. 774 H/1373 M).
v Al- Jawahir al- Hisan fi Tafsir al-Qur’an : ‘Abu Zaid as- Sa’alibi.
v Ad- Durr al- Mansur fi at- Tafsir bi al- Ma’tsur : Jalaluddin As- Suyuty (w.
911 H/1505 M).
Sedangkan kitab-kitab yang tergolong kepada Tafsir bi al- ra’yi, antara lain :
v Al- Bahr al- Muhit : Muhammad al- ‘Andalusi.
v Ghara’ib al- Qur’an wa Ragha’ib al- Furqan : Nizamuddin an- Nisabur.
v Ruh al- Ma`ani fi Tafsir al-Qur’an al- ‘Adhim wa as- Sab’ al- Masani :
Allamah al- Alusi.
v Amali asy- Syarif al- Murtada : ‘Abu al- Qasim `Ali at- Tahir.
v Al- Kasysyaf ‘an Haqa’iq at- Tanzil wa ‘Uyun al- Aqawil fi Wujud at- Tanzil :
‘Abu al- Qasim Mahmud bin `Umar az- Zamakhsyari.
Di samping itu juga masih banyak sekali kitab-kitab tafsir dalam bidang
tasawuf, filsafat dan hukum. Adapun yang khusus dalam bidang hukum,
antara lain :
v Ahkam al- Qur’an : ‘Ibnu `Arabi dan ‘Abu Bakar al- Jassas.
v Rawa’i al- Bayan fi Tafsir al- Qur’an : Muhammad `Ali as- Shabani.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas mengenai tafsir bi al-ma’tsur dan Tafsir bi al-
ra’yi dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ma’tsuradalah suatu usaha untuk
memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan al- Hadits
bahkan perkataan para sahabat termasuk juga para tabi’in, dan penafsiran
ini adalah merupakan jalan yang paling aman untuk menghindari terjadinya
salah pemahaman terhadap makna ayat al-Qur’an yang maknanya kurang
jelas, dan tafsir ini sudah dimulai dari masa sahabat dan mereka hanya
menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang yang semasa
dengan mereka. Tidak mencakup semua ayat al-Qur’an, dan mereka juga
menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang semasa dengan
mereka.
Tafsir bi al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai
adalah sama, yakni al-Qur’an, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya.
Sedangkan tafsir bi al-ra’yi akan jauh dari seragam, keseragamannya hanya
akan terlihat dalam menafsirkan kata-kata yang sudah sangat jelas
tunjukannya, sedangkan pada hal-hal lain, maka penafsiran dengan rasio ini
akan terpengaruh dengan cara seseorang berfikir, menganalisa, tempat,
masa, kondisi dan situasi.
Tafsir bi al-ra’yi lebih tertutup peluangnya untuk tercampur
dengan israiliyyat, karena tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak
jelas sumbernya dan yang tidak masuk akal. Sementara peluang itu relatif
lebih besar pada tafsir bi al-ma’tsur.
Tafsir bi al-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa ke-
kinian, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran
dan zaman, sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap,
maka sifatnya akan statis, intrepretasi terhadap sumber-sumber tafsirnyalah
yang kemudian bisa berubah-ubah. Wallahu a’lam.
1. Kritik Dan Saran
Kami para penulis makalah telah berusaha maksimal dengan kemampuan
yang kita punya, tentu masih banyak kekurangan yang tanpa sengaja, untuk
itu kami selalu terbuka untuk menerima kritik dan saran yang membangun
demi penyempurnaan penulisan-penulisan makalah ini.
Report this ad
Share this:
Twitter
Facebook1
Google
Al Qur'an
Navigasi pos
← Hadis Laki-laki Pemimpin Perempuan
KAIDAH TANYA DAN JAWAB DALAM AL QUR’AN →
Tinggalkan Balasan
Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Komentar
Nama *
Surel *
Situs Web
Iklan
Report this ad
Cari
Arsip
Januari 2014
Oktober 2013
Meta
Daftar
Masuk
Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.
Ikuti