NPM : 1910111575 Program Studi : SA1 Tanggal Pengiriman : 14 Mei 2020 Waktu Pengiriman : 08.30
1. Apakah lockdown merupakan pelanggaran HAM ?
- Lockdown secara umum dapat diartikan sebagai penguncian akses masuk dan keluar suatu daerah atau negara. Namun, istilah lockdown tidak dikenal di dalam peraturan perundang- undangan di Indonesia. Yang dikenal adalah istilah karantina wilayah dan pembatasan sosial berskala besar yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (“UU 6/2018”). Adanya kekarantinaan kesehatan tentu akan membatasi pergerakan masyarakat. Namun hal tersebut dilakukan guna menjamin kesehatan seluruh warga negara Indonesia agar tidak terinfeksi virus corona. Dengan demikian, hal tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Hal tersebut juga sesuai dengan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa: Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. \ 2. Apakah kekarantinaan kesehatan melanggar HAM ? - Kekarantinaan kesehatan tidak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM, karena kekarantinaan kesehatan guna untuk menjamin kesehatan seluruh warga Negara Indonesia agar tidak terinfeksi virus corona, hal ini sesuai dengan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa: Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum, dan kepentingan bangsa. 3. Apakah HAM masih berlaku dalam keadaan perang/konflik - Tentu saja masih berlaku. Menurut hukum HAM Internasional dalam keadaan perang dilarang melakukan penyerangan terhadap warga sipil, rumah ibadah, rumah sipil dan Protokol Tambahan 1977 secara khusus melindungi orang yang tidak mengambil bagian dalam permusuhan (warga atau penduduk sipil, pekerja kesehatan, dan pekerja bantuan kemanusiaan) dan mereka yang tidak lagi terlibat dalam permusuhan, seperti tentara yang terluka, sakit dan kapalnya karam dan tawanan perang (Konvensi Jenewa 1949). Tindakan TNI dapat tergolong sebagai pelanggaran HAM apabila dalam baku tembak tersebut dilakukan di luar ketentuan hukum humaniter yang mengatur tentang perang sebagaimana telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa Tanggal 12 Agustus. (“UU 59/1958”), Dimana melalui ratifikasi ini Indonesia mengakui ketentuan- ketentuan ataupun rambu-rambu dalam berperang. 4. Konsep HAM seperti apakah yang digunakan di Indonesia ? - Dalam UU HAM, UU Sipol, maupun UU Ekosob, dan regulasi-regulasi lainnya adalah implementasi dari bentuk konsep HAM yang digunakan di Indonesia. Ia berpendapat bahwa unsur-unsur HAM yang memiliki ciri khas untuk kepentingan diri sendiri (seperti hak untuk hidup, hak untuk memiliki sesuatu) adalah konsep HAM individualistik. Sedangkan unsur-unsur HAM yang memiliki ciri khas antar individu atau suatu kelompok atau berkaitan dengan keadilan (hak untuk mendapat upah yang sama, mendapat jaminan sosial, hak untuk berkumpul) adalah konsep HAM aliran paham marxisme. - Paham Marxisme(Paham marxisme menurut Mujaid Kumkelo, dkk dalam bukunya Fiqh HAM (Ortodoksi dan Liberalisme Hak Asasi Manusia dalam Islam) (hal. 34) adalah paham yang diambil dari filsuf Karl Marx, dimana paham tersebut menolak teori hak-hak alami, karena suatu hak adalah kepemilikan negara atau kolektivitas (respository of all rights). Paham marxisme ini menurut Teguh Presetyo dalam bukunya Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat (hal. 42) sebuah filsafat yang tidak boleh statis, tetapi harus aktif membuat perubahan-perubahan karena yang terpenting adalah perbuatan dan materi, bukan ide-ide. Menurut Marx, manusia selalu terkait dengan hubungan-hubungan kemasyarakatan yang melahirkan sejarah. Menusia adalah makhluk yang bermasyarakat, yang beraktivitas, terlihat dalam suatu proses produksi. Hakikat manusia adalah kerja (homo laborans, homo faber). Jadi ada kaitan yang erat antara filsafat, sejarah, dan masyarakat. Pemikiran Marx ini dikenal dengan Materialisme Historis atau Materialisme Dialektika. Masih dari sumber yang sama, dengan jalan pikiran ini pula Marx menjelaskan pandangannya tentang teori pertentangan kelas, sehingga pada perkembangan berikutnya melahirkan Komunisme. Selain itu Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa ketika terjadi perubahan Undang- Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) secara konstitusional, dengan menambah Bab XA berjudul Hak Asasi Manusia, secara konstiusional seluruh masyarakat bangsa Indonesia menerima konsep HAM antar tokoh pendiri bangsa diantaranya : Ir.Soekarno menentang HAM dimasukkan dalam UUD 1945 karena konsep HAM berdasarkan individualistis dalam ideology liberalism sehingga harus dikikis habis dari muka bumi Indonesia. Soepomo berpendapat bahwa HAM bersifat individualistis sehingga bertentangan dalam paham Negara kekeluargaan yang sedang dibangun. Mohammad Hatta berpendapat bahwa HAM perlu dimasukkan dalam UUD 1945 untuk menghindari penyalah gunaan kekuasaan oleh Negara terhadap warga Negara manakala suatu saat Negara hukum berubah menjadi Negara kekuasaan. Mohammad Yanin berpendapat bahwa HAM perlu dimasukkan dalam UUD 1945 sebagai perlindungan. 5. Apakah penggusuran paksa sebagai bentuk pelanggaran HAM ? - Dalam instrument hukum Indonesia, kami tidak menemukan istilah “penggusuran” atau “penggusuran paksa” Commite on Economic, social and cultural rights berpendapat poin ketiga general comment no 7 on the right to adequate housing bahwa : “Penggusuran paksa berarti pemindahan individu, keluarga atau kelompok secara paksa dari rumah atau tanah yang mereka duduki baik untuk sementara atau untuk selamanya, tanpa perlindungan hukum yang memadai.” Patut dicatat bahwa pasal 11 ayat (1) yang dimaksud dalam judul dokumen diatas adalah Pasal 11 ayat (1) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1966 yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) (“UU 11/2005”). Diterangkan bahwa: Negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas standar kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk pangan, sandang dan perumahan, dan atas perbaikan kondisi hidup terus menerus. Negara Pihak akan mengambil langkah-langkah yang memadai untuk menjamin perwujudan hak ini dengan mengakui arti penting kerjasama internasional yang berdasarkan kesepakatan sukarela. Selain itu, Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Negara Republik Indonesia (“UUD 1945”) menerangkan bahwa "setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan." Apabila uraian-uraian di atas dibaca secara komprehensif, menurut saya, penggusuran paksa dapat dikategorikan sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (“HAM”). Hal ini juga dikuatkan dalam Poin Pertama Commission on Human Rights Resolution 1993/77, yang bahkan menyebut bahwa penggusuran paksa adalah “gross violation of human rights” atau pelanggaran HAM berat