1.) KESADARAN
Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Secara
sederhana, tingkat kesadaran dibagi atas : Kesadaran yang normal (compos mentis),
somnolen, sopor, koma ringan dan, titik.
Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai : letargi, optundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh
mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menagkis rasa
nyeri.
Sopor (stupor). Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti
suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri
penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten
dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk
menagkis rangsang nyeri masih baik.
Koma ringan (semi koma). Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap
rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil, dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai
respon terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi,
merupakan jawaban ”primitif ”. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.
Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban
sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
G.C.S
Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan Glassgow
Coma Scale yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan
memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan /respon penderita yang perlu
diperhatikan adalah :
a. Membuka mata
b. Respon Verbal (bicara)
c. Respon Motorik (gerakan)
a. Membuka Mata Nilai
• Spontan 4
• Terhadap bicara (suruh pasien mebuka mata) 3
membuka mata)
b. Respon Verbal (bicara) Nilai
• Baik dan tidak ada disorientasi 5
Dapat menjawab dengan kalimat yang baik, tau
dimana ia berada, waktu, hari, bulan
• Kacau (”consious”) 4
Tanda Laseque
Cara Pemeriksaan :
Pasien berbaring, diluruskan kedua tungkainya, kemudian satu tungkai diangkat
lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus
dalam keadaan ekstensi. Pada keadaan normal kita dapat mencapai sudut 700 sebelum
timbula rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbula rasa sakit dan tahanan sebelum kita
mencapai 700, maka disebut tanda laseque positif. Tanda laseque positif dijumpai pada
keadaan : ransang selaput otak, isialgia, dan iritasi plexus lumbosakral (missal hernia
nucleus pulposus lumbalis)
Tanda Kernig
Cara Pemeriksaan :
Penderita yang berbaring, difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai
membuat sudut 900. setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 1350, antara tungkai bawah dan
tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka
dikatakan bahwa tanda kernig positif.
Tanda Brudzinki I (Brudzinki’s Neck Sign)
Cara Pemeriksaan :
Dengan tangan ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita
tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda
Brudzinki I positif, maka tindakan ini menyebabkan fleksi kedua tungkai. Sebelumnya
perlu diperhatikan apakah tungkainya tidak lumpuh.
3) SARAF OTAK
N. I (N. Olfactorius)
Kerusakan saraf ini menyebakan hilangnya penciuman (anosmia) atau
berkurangnya penciuman (hiposmia)
Cara Pemeriksaan :
Periksa lubang hidung apakah ada sumbatan atau kelainan setempat misalnya
ingus atau polip. Hal ini dapat mengurangi ketajaman penciuman. Zat pengetes yang
digunakan sebaiknya zat yang dikenal sehari-hari, misalnya kopi, teh, tembakau. Jangan
menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N.V) seperti menthol,
amoniak, alkohol, dan cuka. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh Ia
menciumnya. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lubang
hidung yang lainnya dengan tangan.
N. II (N. Opticus)
Cara Pemeriksaan :
• Pemeriksaan Kasar :
1. Ketajaman Penglihatan (Acuity of Vision)
Dengan jalan membandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan
pemeriksa (dalam hal ini ketajaman penglihatan pemeriksa tentulah harus
“normal, kalau tidak pemeriksa telah mengoreksinya misal dengan kaca mata).
Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh (misalnya jam dinding, dan
diminta menyatakan pukul berapa) dan membaca huruf-huruf yang ada di buku
atau Koran. Bila ketajaman mata pasien sama dengan pemeriksa maka hal ini
dianggap normal.
2. Lapangan Pandang (Visual Field/Campus Penglihatan)
Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan campus penglihatan
pemeriksa (yang dianggap normal) yaitu dengan metode konfrontasi dari Donder.
Dalam hal ini penderita disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa
dengan jarak kira-kira satu meter. Jika hendak memeriksa mata kanan, maka mata
kiri penderita harus ditutup. Kemudian penderita disuruh melihat terus
(memfiksasi matanya) pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu
melihat ke mata kanan penderita. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari
tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa dengan penderita. Gerakan
dilakukan dari arah luar ke dalam.
Jika penderita mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, maka Ia harus
memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah Iapun telah
melihatnya. Bila sekiranya ada gangguan campus penglihatan, maka pemeriksa
akan lebih dulu melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari
semua jurusan dan masing-masing mata harus diperiksa.
• Pemeriksaan Yang Teliti
1. Ketajaman Penglihatan
Dilakukan dengan menggunakan gambar Snellen. Penderita disuruh
membaca gambar Snellen ini dari jarak 6 meter, kemudian ditentukan sampai
baris mana dapat dibacanya. Bila Ia dapat membaca sampai baris paling bawah,
maka ketajaman penglihatannya ialah normal (6/6). Jika tidak maka visusnya
tidak normal dan hal ini dinyatakan dengan pecahan, misalnya (6/20). Ini berarti
bahwa huruf yang seharusnya dapat dibaca dari jarak 20 meter, Ia hanya dapat
membacanya dari jarak 6 meter.
Jika kemampuannya hanya sampai pada membedakan adanya gerakan,
maka visusnya ialah (1/300). Jika Ia hanya dapat membedakan antara gelap dan
terang (cahaya) maka visusnya Ialah (1/~).
2. Lapangan Pandang
Dapat dilakukan dengan menggunakan campimeter atau perimeter.
Campimeter adalah papan hitam yang diletakkan di depan penderita pada
jarak 1 atau 2 meter, dan sebagai benda penguji (tes objek) digunakan bundaran
kecil diameter 1-3 mm. Mata pasien difiksasi di tengah dan benda peguji
digerakkan dari perifer ke tengah dari segala jurusan. Kita catat tempat pasien
mulai melihat benda penguji. Perlu pula dinyatakan warna dari benda penguji,
misalnya putih, biru, hijau, atau merah ; hal ini disebabkan karena masing-masing
campus memiliki warna berbeda.
Perimeter adalah setengah lingkaran yang dapat diubah-ubah letaknya
pada bidang meridiannya. Cara pemakaiannya serta cara melaporkan keadaan
sewaktu pemeriksaan serupa dengan campimeter.
Kita mengenal bermacam-macam kelainan bentuk lapang pandang,
misalnya hemianopsia (heteronim) bitemporal atau binasal yang disebabkan oleh
lesi di chiasma optic ; hemianopsia homonim (kanan atau kiri) yang disebabkan
oleh lesi di tractus optic dan anopsia kuadran yang disebabkan oleh lesi di radiasi
optic atau korteks optic.
3. Pemeriksaan Oftalmoskopi
Biasanya yang diperhatikan adalah perubahan papil. Papil adalah tempat
serabut N. II masuk ke mata. Yang perlu diketahui adalah apakah papil normal,
mengalami atrofi (primer atau sekunder) atau sembab papil. Disamping itu perlu
pula diperhatikan bangunan lainnya yaitu makula dan retina.
Papil yang normal : bentuknya lonjong, warna jingga muda, di bagian
temporal sedikit pucat, batas dengan sekitarnya (retina tegas), hanya di bagian
nasal agak kabur ; selain ietu didapatkan lekukan fisiologis (fisiologis cup).
Pembuluh darah muncul di tengah, bercabang ke atas dan ke bawah ; jalannya
arteri agak lurus sedangkan vena berkelok-kelok ; perbandingan vena : arteri ialah
3:2 sampai 5:4. pemeriksaan oftalmoskopi sebaiknya dilakukan di kamar yang
gelap. Untuk memeriksa mata kanan pasien sebaiknya digunakan mata kanan
anda dan oftalmoskop dipegang dengan tangan kanan, begitu juga sebaliknya.
Pasien disuruh melihat jauh ke depan atau memfiksasi matanya pada benda yang
terletak jauh di depan. Pasien jangan menggerakkan bola mata tetapi dia boleh
mengedip. Kemudian fokuskan mata anda pada retina dengan menggunakan lensa
oftalmoskop yang sesuai bila pasien menderita kelainan refraksi. Bila menemukan
pembuluh darah ikuti sampai ketemu papil.
N. IV (N. Trochlearis)
Nervus IV mengurus m.obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat
dilirikkan ke arah bawah dan nasal. Kelumpuhan N. IV menyebabkan terjadinya diplopia
bila mata dilirkkan ke arah ini.
N. VI (N. Abducens)
Nervus VI menginervasi m.rectus externus (lateralis). Kerja otot ini menyebabkan
lirik mata ke arah temporal. Jadi kelumpuhan N. VI menyebabkan terganggunya melirik
mata ke arah luar pada mata yang terlibat, yang menyebabkan diplopia horizontal.
Pemeriksaan N. III, IV, dan VI.
Ptosis
Akibat kelumpuhan N. III, yaitu kelopak mata terjatuh, mata tertutup dan tidak
dapat dibuka. Hal ini disebabkan kelumpuhan m.levator palpebra.
Strabismus
Perhatikan bagaimana posisi bola mata dalam keadaan istirahat. Bila satu otot
mata lumpuh, hal ini mengakibatkan kontraksi atau tarikan yang berlebihan dari otot
antaginisnya dan mengakibatkan strabismus (juling, jereng). Pada kelumpuhan m.rectus
externus didapatkan strabismus konvergen. Pada kelumpuhan m.rectus internus
didapatkan strabismus divergen.
Exophtalmus
Perhatikan kedudukan bola mata. Apakah mata menonjol (exophtalmus) atau
seolah-olah masuk ke dalam (endophtalmus). Pada exophtalmus celah mata tampak lebih
besar sedangkan pada endophtalmus celah mata lebih kecil. Pada sindrom Horner (yang
disebabkan kerusakan serabut saraf simpatis leher) didapatkan endophtalmus.
Exophtalmus bilateral dapat dijumpai pada tirotoksikosis. Exophtalmus yang unilateral
biasanya disebabkan proses setempat.
Nistagmus
Ialah gerakan bola mata bolak-balik dan ritmis. Mempunyai komponen cepat atau
lambat. Jurusan nistagmus sesuai komponen cepat. Untuk maksud ini penderita disuruh
melirik terus ke satu arah selama jangka waktu 5 atau 6 detik. Akan tetapi mata jangan
terlalu jauh dilirikkan. Jika menjumpai nistagmus harus diperiksa :
1. Jenis gerakan
2. Bidang gerakan
3. Frekuensi
4. Amplitudo
5. Arah gerakan
6. Derajatnya
7. Lamanya
Gerakan Mata
Pemeriksa menggerakkan jari ke semua arah, jarak jangan terlalu dekat. Kedua
bola mata pasien mengikuti gerakan jari. Perhatikan apakah pergerakan bola mata
terbatas, yang satu tertinggal dari yang lain.
Ophtalmodynamometri
Pupil
Perlu diperhatikan ialah bentuk yang bundar, tepi rata, diameter 2-4 mm, isokor.
Rangsang cahaya langsung : dipakai penlight yang terang, mata disinari langsung maka
pupil kontraksi cepat.
Refleks cahaya tak langsung
Mata yang satu disinari, pupil mata yang lain konstriksi.
Reaksi konvergensi
Pasien melihat jauh, jari pemeriksa diletakkan kira-kira 30 cm di depan mata
pasien lalu pasien disuruh melihat jari pemeriksa, maka tampak kedua mata konvergensi,
akomodasi dan kedua pupil konstriksi.
Reaksi Wemdeha :
N. V (N. Trigeminus)
Bersifat motorik dan sensorik. Bagian yang motorik menuju ke m.masseter,
m.temporalis, m.pterygoideus, sedangkan yang sensorik mempersarafi kulit wajah.
Pemeriksaan Motorik
a. Pasien disuruh menggigit lalu pemeriksa meraba m.masseter dan m.temporalis,
bandingkan kanan dan kiri.
b. Pasien membuka mulut perlahan-lahan, bila m.pterygoideus lumpuh, rahang
bawah berdeviasi ke sisi yang sehat dan mudah didorong ke sisi lumpuh.
Pemeriksaan Sensorik
1. N. Ophtalmicus
a. Refleks Kornea, limbus kornea disentuh dengan kapas maka mata akan berkedip
b. Foramen supraorbita ditekan, keadaan normal tak nyeri.
c. Dahi , diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri
2. N. Maxilaris
a. Refleks bersin, cavum nasi bawah disentuh dengan kapas, pasien bersin.
b. Foramen Infraorbita ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri.
3. N. Mandibularis
a. Jaw jerk reflex, letakkan jari horizoontal pada dagu, mulut pasien terbuka sedikit
dan rileks, ketuk jari dengan palu reflex maka terjadi gerakan elevasi rahang.
b. Foramen mental ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi dan rahang bawah, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan
dan kiri.
Coroca Reflex????????
Fungsi Pengecapan
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda timpani, dapay menyebabkan
ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. untuk memeriksanya
penderita disuruh mnjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada lidahnya bubk gla, kina,
asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secarabergiliran dan diselingai istirahat). bila
bubuk diraruh, penderita tifak boleh menarik lidahnya kedalam mulut, sebab bila lidah
ditarik ke dalam mulut, bubuk akan tersebar melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu ke sisi
lidah lainnya atau kebagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain.
penderita disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dirasakannya dengan isyarat,
misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, 4 untuk rasa asam.
Kerusakan pada atau di atas nerus petrosus major dapat menyebabkan kurangnya
produksi air mata, dal lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi ludah.