Anda di halaman 1dari 17

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS

1.) KESADARAN
Seseorang disebut sadar bila ia sadar terhadap diri dan lingkungannya. Secara
sederhana, tingkat kesadaran dibagi atas : Kesadaran yang normal (compos mentis),
somnolen, sopor, koma ringan dan, titik.
Somnolen. Keadaan mengantuk. Kesadaran dapat pulih penuh bila dirangsang.
Somnolen disebut juga sebagai : letargi, optundasi. Tingkat kesadaran ini ditandai oleh
mudahnya penderita dibangunkan, mampu memberi jawaban verbal dan menagkis rasa
nyeri.
Sopor (stupor). Kantuk yang dalam. Penderita masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun lagi. Ia masih dapat mengikuti
suruhan yang singkat, dan masih terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri
penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Reaksi terhadap perintah tidak konsisten
dan samar. Tidak dapat diperoleh jawaban verbal dari penderita. Gerak motorik untuk
menagkis rangsang nyeri masih baik.
Koma ringan (semi koma). Pada keadaan ini, tidak ada respon terhadap
rangsang verbal. Reflek (kornea, pupil, dsb) masih baik. Gerakan terutama timbul sebagai
respon terhadap rangsang nyeri. Reaksi terhadap rangsang nyeri tidak terorganisasi,
merupakan jawaban ”primitif ”. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.
Koma (dalam atau komplit). Tidak ada gerakan spontan. Tidak ada jawaban
sama sekali terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun kuatnya.

G.C.S
Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat digunakan Glassgow
Coma Scale yang memperhatikan tanggapan (respon) penderita terhadap rangsang dan
memberikan nilai pada respon tersebut. Tanggapan /respon penderita yang perlu
diperhatikan adalah :
a. Membuka mata
b. Respon Verbal (bicara)
c. Respon Motorik (gerakan)
a. Membuka Mata Nilai
• Spontan 4
• Terhadap bicara (suruh pasien mebuka mata) 3

• Dengan rangsang nyeri (tekan pada syaraf supraorbita 2

atau kuku jari


• Tidak ada reaksi (dengan rangsang nyeri pasien tidak 1

membuka mata)
b. Respon Verbal (bicara) Nilai
• Baik dan tidak ada disorientasi 5
Dapat menjawab dengan kalimat yang baik, tau
dimana ia berada, waktu, hari, bulan
• Kacau (”consious”) 4

Dapat bicara dalam kalimat, namun ada disorintasi


waktu dan tempat
• Tidak tepat 3

Dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak


merupakan kalimat dan tidak tepat
2
• Mengerang
Tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang
1
• Tidak ada jawaban
c. Respon Motorik (Gerakan) Nilai
• Menurut perintah 6
Misalnya, suruh : ”angkat tangan!”
• Mengetahui lokasi nyeri 5

Berikan rangsang nyeri, misalnya menekan dengan


jari pada supra orbita. Bila dengan rasa nyeri pasien
mengangkat tangannya sampai melewati dagu untuk
maksud menepis rangsang tersebu berarti ia dapat
mengetahui lokasi nyeri
• Reaksi menghindar 4
• Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Berikan rangsang nyeri misalnya menekan dengan
objek keras seperti ballpen pada jari kuku. Bila
sebagai jawaban siku memfleksi terhadap reaksi
fleksi terhadap nyeri (fleksi pada pergelangan tangan
mungkin ada atau tidak ada
• Reaksi ekstensi (desereberasi) 2

Dengan rangsang nyeri tersebut diatas terjadi


ekstensi pada siku. Ini selalu disertai fleksi spastik
pada pergelangan tangan.
• Tidak ada reaksi 1

Sebelum memutuskan bahwa tidak ada reaksi, haus


diyakinkan bahwan rangsang nyeri cukup adekuat
diberikan.
Bila kita gunakan skala glasgow sebagai patkan untuk koma, maka koma = tidak
didapatkan respon membuka mata, bicara, dan gerakan dengan jumlah nilai = 3

2) TANDA TANDA RANGSANG MENINGEN


Keluhan dapat berupa sakit kepala, kuduk terasa kaku, photofobia (takut cahaya,
peka terhadap cahaya) dan hiperakusis (peka terhadap suara). Gejala lain yang dapat
dijumpai adalah sikap tungkai yang cenderung mengambil posisi fleksi, dan opistotonus,
yaitu kepala dikedikkan ke belakang dan punggung melengkung ke belakang sehingga
pasien berada dalam posisi ekstensi, karena terangsangnya otot-otot kuduk dan
punggung.
Kaku Kuduk (Nucal Rigidity)
Cara Pemeriksaan :
Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring.
Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar dagu mencapai dada. Selama
penekukan ini diperhatikan adanya tahanan. Bila terdapat kaku kuduk kita dapatkan
tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada.
Pada pasien yang pingsan (koma) kadang0kadang kaku kuduk menghilang atau
berkurang. Oleh karena itu pada keadaan ini sebaiknya penekukan kepala dilakukan
sewaktu pasien dalam keadaan ekspirasi.
Selain dari rangsang selaput otak, kaku kuduk dapat disebabkan oleh myocitis
otot kuduk, abses retrofaringeal, atau arthritis di cervical.

Tanda Laseque
Cara Pemeriksaan :
Pasien berbaring, diluruskan kedua tungkainya, kemudian satu tungkai diangkat
lurus, dibengkokkan (fleksi) pada persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus
dalam keadaan ekstensi. Pada keadaan normal kita dapat mencapai sudut 700 sebelum
timbula rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbula rasa sakit dan tahanan sebelum kita
mencapai 700, maka disebut tanda laseque positif. Tanda laseque positif dijumpai pada
keadaan : ransang selaput otak, isialgia, dan iritasi plexus lumbosakral (missal hernia
nucleus pulposus lumbalis)

Tanda Kernig
Cara Pemeriksaan :
Penderita yang berbaring, difleksikan pahanya pada persendian panggul sampai
membuat sudut 900. setelah itu tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut.
Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 1350, antara tungkai bawah dan
tungkai atas. Bila terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka
dikatakan bahwa tanda kernig positif.
Tanda Brudzinki I (Brudzinki’s Neck Sign)
Cara Pemeriksaan :
Dengan tangan ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring, kita
tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada. Tangan yang satu lagi
sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk mencegah diangkatnya badan. Bila tanda
Brudzinki I positif, maka tindakan ini menyebabkan fleksi kedua tungkai. Sebelumnya
perlu diperhatikan apakah tungkainya tidak lumpuh.

Tanda Brudzinki II (Bridzinki’s Contralateral Leg Sign)


Cara Pemeriksaan :
Pada pasien yang sedang berbaring, satu tungkai di fleksikan pada persendian
panggul, tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi. Bila tungkai yang satu ini
ikut pula terfleksi, maka disebut tanda Brudzinki II positif. Sebelumnya juga diperhatikan
apakah terdapat kelumpuhan pada tungkai.

3) SARAF OTAK
N. I (N. Olfactorius)
Kerusakan saraf ini menyebakan hilangnya penciuman (anosmia) atau
berkurangnya penciuman (hiposmia)
Cara Pemeriksaan :
Periksa lubang hidung apakah ada sumbatan atau kelainan setempat misalnya
ingus atau polip. Hal ini dapat mengurangi ketajaman penciuman. Zat pengetes yang
digunakan sebaiknya zat yang dikenal sehari-hari, misalnya kopi, teh, tembakau. Jangan
menggunakan zat yang dapat merangsang mukosa hidung (N.V) seperti menthol,
amoniak, alkohol, dan cuka. Zat pengetes didekatkan ke hidung pasien dan disuruh Ia
menciumnya. Tiap lubang hidung diperiksa satu persatu dengan jalan menutup lubang
hidung yang lainnya dengan tangan.
N. II (N. Opticus)
Cara Pemeriksaan :
• Pemeriksaan Kasar :
1. Ketajaman Penglihatan (Acuity of Vision)
Dengan jalan membandingkan ketajaman penglihatan pasien dengan
pemeriksa (dalam hal ini ketajaman penglihatan pemeriksa tentulah harus
“normal, kalau tidak pemeriksa telah mengoreksinya misal dengan kaca mata).
Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh (misalnya jam dinding, dan
diminta menyatakan pukul berapa) dan membaca huruf-huruf yang ada di buku
atau Koran. Bila ketajaman mata pasien sama dengan pemeriksa maka hal ini
dianggap normal.
2. Lapangan Pandang (Visual Field/Campus Penglihatan)
Dilakukan dengan jalan membandingkan dengan campus penglihatan
pemeriksa (yang dianggap normal) yaitu dengan metode konfrontasi dari Donder.
Dalam hal ini penderita disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa
dengan jarak kira-kira satu meter. Jika hendak memeriksa mata kanan, maka mata
kiri penderita harus ditutup. Kemudian penderita disuruh melihat terus
(memfiksasi matanya) pada mata kiri pemeriksa dan pemeriksa harus selalu
melihat ke mata kanan penderita. Setelah itu pemeriksa menggerakkan jari
tangannya di bidang pertengahan antara pemeriksa dengan penderita. Gerakan
dilakukan dari arah luar ke dalam.
Jika penderita mulai melihat gerakan jari-jari pemeriksa, maka Ia harus
memberitahu, dan hal ini dibandingkan dengan pemeriksa, apakah Iapun telah
melihatnya. Bila sekiranya ada gangguan campus penglihatan, maka pemeriksa
akan lebih dulu melihat gerakan tersebut. Gerakan jari tangan ini dilakukan dari
semua jurusan dan masing-masing mata harus diperiksa.
• Pemeriksaan Yang Teliti
1. Ketajaman Penglihatan
Dilakukan dengan menggunakan gambar Snellen. Penderita disuruh
membaca gambar Snellen ini dari jarak 6 meter, kemudian ditentukan sampai
baris mana dapat dibacanya. Bila Ia dapat membaca sampai baris paling bawah,
maka ketajaman penglihatannya ialah normal (6/6). Jika tidak maka visusnya
tidak normal dan hal ini dinyatakan dengan pecahan, misalnya (6/20). Ini berarti
bahwa huruf yang seharusnya dapat dibaca dari jarak 20 meter, Ia hanya dapat
membacanya dari jarak 6 meter.
Jika kemampuannya hanya sampai pada membedakan adanya gerakan,
maka visusnya ialah (1/300). Jika Ia hanya dapat membedakan antara gelap dan
terang (cahaya) maka visusnya Ialah (1/~).
2. Lapangan Pandang
Dapat dilakukan dengan menggunakan campimeter atau perimeter.
Campimeter adalah papan hitam yang diletakkan di depan penderita pada
jarak 1 atau 2 meter, dan sebagai benda penguji (tes objek) digunakan bundaran
kecil diameter 1-3 mm. Mata pasien difiksasi di tengah dan benda peguji
digerakkan dari perifer ke tengah dari segala jurusan. Kita catat tempat pasien
mulai melihat benda penguji. Perlu pula dinyatakan warna dari benda penguji,
misalnya putih, biru, hijau, atau merah ; hal ini disebabkan karena masing-masing
campus memiliki warna berbeda.
Perimeter adalah setengah lingkaran yang dapat diubah-ubah letaknya
pada bidang meridiannya. Cara pemakaiannya serta cara melaporkan keadaan
sewaktu pemeriksaan serupa dengan campimeter.
Kita mengenal bermacam-macam kelainan bentuk lapang pandang,
misalnya hemianopsia (heteronim) bitemporal atau binasal yang disebabkan oleh
lesi di chiasma optic ; hemianopsia homonim (kanan atau kiri) yang disebabkan
oleh lesi di tractus optic dan anopsia kuadran yang disebabkan oleh lesi di radiasi
optic atau korteks optic.
3. Pemeriksaan Oftalmoskopi
Biasanya yang diperhatikan adalah perubahan papil. Papil adalah tempat
serabut N. II masuk ke mata. Yang perlu diketahui adalah apakah papil normal,
mengalami atrofi (primer atau sekunder) atau sembab papil. Disamping itu perlu
pula diperhatikan bangunan lainnya yaitu makula dan retina.
Papil yang normal : bentuknya lonjong, warna jingga muda, di bagian
temporal sedikit pucat, batas dengan sekitarnya (retina tegas), hanya di bagian
nasal agak kabur ; selain ietu didapatkan lekukan fisiologis (fisiologis cup).
Pembuluh darah muncul di tengah, bercabang ke atas dan ke bawah ; jalannya
arteri agak lurus sedangkan vena berkelok-kelok ; perbandingan vena : arteri ialah
3:2 sampai 5:4. pemeriksaan oftalmoskopi sebaiknya dilakukan di kamar yang
gelap. Untuk memeriksa mata kanan pasien sebaiknya digunakan mata kanan
anda dan oftalmoskop dipegang dengan tangan kanan, begitu juga sebaliknya.
Pasien disuruh melihat jauh ke depan atau memfiksasi matanya pada benda yang
terletak jauh di depan. Pasien jangan menggerakkan bola mata tetapi dia boleh
mengedip. Kemudian fokuskan mata anda pada retina dengan menggunakan lensa
oftalmoskop yang sesuai bila pasien menderita kelainan refraksi. Bila menemukan
pembuluh darah ikuti sampai ketemu papil.

N. III (N. Oculomotorius)


Gangguan total pada N. III ditandai oleh :
1. m.levator palpebra lumpuh, mengakibatkan ptosis.
2. Paralisis otot m.rectus superior, m.rectus internus, m.rectus inferior, dan
m.obliqus inferior.
3. Kelumpuhan saraf parasimpatis yang mengakibatkan pupil yang lebar (midriasis)
yang tidak bereaksi dengan cahaya dan konvergensi.
Hal ini mengakibatkan sikap bola mata terlirik keluar dan ke bawah.

N. IV (N. Trochlearis)
Nervus IV mengurus m.obliqus superior. Kerja otot ini menyebabkan mata dapat
dilirikkan ke arah bawah dan nasal. Kelumpuhan N. IV menyebabkan terjadinya diplopia
bila mata dilirkkan ke arah ini.

N. VI (N. Abducens)
Nervus VI menginervasi m.rectus externus (lateralis). Kerja otot ini menyebabkan
lirik mata ke arah temporal. Jadi kelumpuhan N. VI menyebabkan terganggunya melirik
mata ke arah luar pada mata yang terlibat, yang menyebabkan diplopia horizontal.
Pemeriksaan N. III, IV, dan VI.
Ptosis
Akibat kelumpuhan N. III, yaitu kelopak mata terjatuh, mata tertutup dan tidak
dapat dibuka. Hal ini disebabkan kelumpuhan m.levator palpebra.
Strabismus
Perhatikan bagaimana posisi bola mata dalam keadaan istirahat. Bila satu otot
mata lumpuh, hal ini mengakibatkan kontraksi atau tarikan yang berlebihan dari otot
antaginisnya dan mengakibatkan strabismus (juling, jereng). Pada kelumpuhan m.rectus
externus didapatkan strabismus konvergen. Pada kelumpuhan m.rectus internus
didapatkan strabismus divergen.
Exophtalmus
Perhatikan kedudukan bola mata. Apakah mata menonjol (exophtalmus) atau
seolah-olah masuk ke dalam (endophtalmus). Pada exophtalmus celah mata tampak lebih
besar sedangkan pada endophtalmus celah mata lebih kecil. Pada sindrom Horner (yang
disebabkan kerusakan serabut saraf simpatis leher) didapatkan endophtalmus.
Exophtalmus bilateral dapat dijumpai pada tirotoksikosis. Exophtalmus yang unilateral
biasanya disebabkan proses setempat.
Nistagmus
Ialah gerakan bola mata bolak-balik dan ritmis. Mempunyai komponen cepat atau
lambat. Jurusan nistagmus sesuai komponen cepat. Untuk maksud ini penderita disuruh
melirik terus ke satu arah selama jangka waktu 5 atau 6 detik. Akan tetapi mata jangan
terlalu jauh dilirikkan. Jika menjumpai nistagmus harus diperiksa :
1. Jenis gerakan
2. Bidang gerakan
3. Frekuensi
4. Amplitudo
5. Arah gerakan
6. Derajatnya
7. Lamanya
Gerakan Mata
Pemeriksa menggerakkan jari ke semua arah, jarak jangan terlalu dekat. Kedua
bola mata pasien mengikuti gerakan jari. Perhatikan apakah pergerakan bola mata
terbatas, yang satu tertinggal dari yang lain.
Ophtalmodynamometri

Pupil
Perlu diperhatikan ialah bentuk yang bundar, tepi rata, diameter 2-4 mm, isokor.
Rangsang cahaya langsung : dipakai penlight yang terang, mata disinari langsung maka
pupil kontraksi cepat.
Refleks cahaya tak langsung
Mata yang satu disinari, pupil mata yang lain konstriksi.
Reaksi konvergensi
Pasien melihat jauh, jari pemeriksa diletakkan kira-kira 30 cm di depan mata
pasien lalu pasien disuruh melihat jari pemeriksa, maka tampak kedua mata konvergensi,
akomodasi dan kedua pupil konstriksi.
Reaksi Wemdeha :

N. V (N. Trigeminus)
Bersifat motorik dan sensorik. Bagian yang motorik menuju ke m.masseter,
m.temporalis, m.pterygoideus, sedangkan yang sensorik mempersarafi kulit wajah.
Pemeriksaan Motorik
a. Pasien disuruh menggigit lalu pemeriksa meraba m.masseter dan m.temporalis,
bandingkan kanan dan kiri.
b. Pasien membuka mulut perlahan-lahan, bila m.pterygoideus lumpuh, rahang
bawah berdeviasi ke sisi yang sehat dan mudah didorong ke sisi lumpuh.
Pemeriksaan Sensorik
1. N. Ophtalmicus
a. Refleks Kornea, limbus kornea disentuh dengan kapas maka mata akan berkedip
b. Foramen supraorbita ditekan, keadaan normal tak nyeri.
c. Dahi , diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri
2. N. Maxilaris
a. Refleks bersin, cavum nasi bawah disentuh dengan kapas, pasien bersin.
b. Foramen Infraorbita ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan dan kiri.
3. N. Mandibularis
a. Jaw jerk reflex, letakkan jari horizoontal pada dagu, mulut pasien terbuka sedikit
dan rileks, ketuk jari dengan palu reflex maka terjadi gerakan elevasi rahang.
b. Foramen mental ditekan, keadaan normal tidak nyeri.
c. Pipi dan rahang bawah, diperiksa rasa raba, nyeri dan suhu, bandingkan kanan
dan kiri.
Coroca Reflex????????

N. VII (N. Fascialis)


Fungsi Motorik
Dalam memeriksa fungsi motorik, perhatikanmuka penderita, apakah simetris
atau tidak. Perhatikan kerutan pada dahi, pemejaan mata, plika nasolabialis dan sudutn
mulut. Bila asimetri (dari) muka jelas, maka hal ini disebabkan oleh kelumpuhan jenis
perifer. Dalam hal inmi kerutan dahi menghilang, maa kurang dipejamkan, plika
nasolabialis mendatar dan sudut mulut menjadi lebih rendah. Pada kelumpuhan jenis
sentral (supranuklir), muka dapat simetris waktu istirahat, kelumpuhan baru nyata bila
penderita disuruh melakukan gerakan, misalnya menyeringai.
Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi.
Perhatikan apakah ini dapat dilakukan, dan apakah ada asimetri. Pada
kelumpuhan jenis supranulkir sesisi, penderita dapat mengankat alis dan mengerutkan
dahinya, sebab otot ini mendapat persarafan bilateral. Pada kelumphan jenis perifer
terlihat adanya asimetri.
Suruh penderita memejamkan mata.
Bila lumpuknya berat, maka penderita tidak dapat memejamkan mata; bila
lumpuhnya ringan, maka tenaga pmejaman kurang kuat. Hal ini ndapat dinilai dengan
jalan mengangkat kelopak mata dengan tangan pemeriksa, sedangkan pasien disuruh
tetap memejamkan mata. Suruh pula pasien memejamkan matanya satu persatu. Hal ini
merupakan pemeriksaan yang baik bagi parese ringan. Bila terdapat parese, pnderita tidak
dapat memejamkan matanya pada sisi yang lumpuh. Perlu diingat bahwa ada juga orang
normal yang tiak dapat memejamkan matnya satu persatu.
Suruh penderita menyerinai (menunjukka gigi geligi), mencucurkan bibir,
menggmbungkan pipi).
Perhatikan apakah hal ini dapat dilakukan dan apakah ada simetri. perhatikan
sudut mulutnya. suruh penderita bersiul. penderita yang tadinya dapat bersiul menjadi
tidak mampu lagi setelah adanya kelumpuhan. pada penderita yang tidak kooperatif atau
yang menurun kesadarannya, dan tidak dapat disuruh menyeringai, dapat dibuat
menyeringai bila kepadanua diberi rangsng nyeri, yaitu dengan menekan pada sudut
rahangnya (m.masseter).

Fungsi Pengecapan
Kerusakan nervus VII, sebelum percabangan khorda timpani, dapay menyebabkan
ageusi (hilangnya pengecapan) pada 2/3 lidah bagian depan. untuk memeriksanya
penderita disuruh mnjulurkan lidah, kemudian kita taruh pada lidahnya bubk gla, kina,
asam sitrat atau garam (hal ini dilakukan secarabergiliran dan diselingai istirahat). bila
bubuk diraruh, penderita tifak boleh menarik lidahnya kedalam mulut, sebab bila lidah
ditarik ke dalam mulut, bubuk akan tersebar melalui ludah ke bagian lainnya, yaitu ke sisi
lidah lainnya atau kebagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain.
penderita disuruh menyatakan pengecapan yang dirasakan dirasakannya dengan isyarat,
misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, 4 untuk rasa asam.
Kerusakan pada atau di atas nerus petrosus major dapat menyebabkan kurangnya
produksi air mata, dal lesi khorda timpani dapat menyebabkan kurangnya produksi ludah.

N. VIII (N. Acusticus)


Saraf ini terdiri atas dua bagian yaitu saraf kokhlearis dan saraf vertibularis. saraf
kokhlearis megurus pendengaran, dan saraf vertibularis mngurus keseimbangan.
Pemeriksaan Saraf Kokhlearis
Ketajaman pendengaran. Secara kasar ketajaman pendengaran ditentukan dengan
jalan menyuruh penderita mendengar suara bisikan pada jarak tertentu dan
membandingkannya dengan orang yang normal. Perhatikan pula apakah ada perbedaan
antara telinga kanan dan teling kiri.
Tes Schwabach
Pada tes ini pendengaran penderita dibandingkan dengan teling pemeriksa yang
dianggap normal. Garpu tala dibunyikan kemudian ditempatkan di dekat telinga
penderita. Setelah penderita tidak mendengar bunyi lagi,garpu tala diletakkan di dekat
telinga pemeriksa. Bila masih terdengar, maka dikatakan bahwa Schawabach lebih
pendek utuk konduksi udara. Kemudian garputala dibunyikan lagi dan pangkalnya
ditekankan pada tulang mastoid penderita dan selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan
cara yang sama pada tes schwabach untuk konduksi udara.
Tes Rinne
Pada pemeriksaan ini dibandingkan konduksi tulang dengan konduksi udara. Pada
telinga normal, konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang (Rinne positif). Pada
tuli konduktif, konduksi tulang lebih baik baik daripada konduksi udara (Rinne negatif).
Sedangkan pada tuli perspektif, konduksi udara lebih baik daripada konduksi tulang
namun berkurang bila dibandingkan dengan normal.
Tes Webber
Garputala yang dibunyikan ditekankan pangkalnya pada dahi penderita tepat
dipertengahan. Penderita disuruh mendengarkan bunyinya dan menentukan pada telinga
mana bunyi terdengar lebih keras. Pada orang normal, bunyi sama kerasnya pada kedua
telinga. Pada tuli saraf, bunyi lebih keras pada telinga yang sehat dan pada tuli konduktif,
bunyi lebih keras terdengar pada telinga yang tuli. Kita katakan tes weber berlateralisasi
ke kanan bila bunyi terdengar lebih keras di telinga kanan dan sebaliknya.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa tuli perseptif, pendengaran berkurang,
Rinne positif dan Weber berlateralisasi ke telinga yang sehat. Pada tuli konduktiif,
pendengaran berkurang, Rinne nenegatif dan Webber berlateralisasi ke telinga yang tuli.
Saraf Vestibularis
Saraf vestibularis berperan dalam mempertahankan keseimbangan pada tiap
macam sikap, koordinasi gerakan badan dan anggota gerak. Sistem vestibular juga
berperan dalam refleks okuler, fiksasi dan gerakan terkonjugasi dari kepala dan mata
yang memungkinkan seseorang memfiksasi pandangannya pada benda yang diam bila
kepala dan badannya bergerak. Gangguan saraf vestibularis dapat menyebabkan vertigo,
kehilangan keseimbangan, nistagmus, dan salah tunjuk.
Pemeriksaan Saraf Vestibularis
Manuver Nylen-Barany atau Manuver Hallpike
Nistagmus dan vertigo dibangkitkan dengan menyuruh penderita duduk di tempat
tidur, kemudian direbahkan sampai kepalanya tergantung di pinggir dengan sudut sekitar
30 derajat di bawah garis horizontal. Selanjutnya kepala ditolehkan ke kiri. Tes kemudian
diulangi dengan kepala melihat lurus dan diulangi lagi dengan kepala melihat ke kana.
Selama pemeriksaan, mata penderita tetap terbuka agar pemeriksa dapat melihat
sekiranya muncul nistagmus. Tanyakan kepada penderita apakah telah muncul perasaan
berputar (vertigo) seperti yang pernah dialaminya. Pada lesi perifer, biasanya vertigo
yang dirasakan lebih berat bila dibandingkan dengan lesi sentral.
7.) KOORDINASI
Intensio tremor
Tremor yang timbul bila melakukan gerakan volunter (degan kemauan) dan
menjadi lebih nyata bila menghampiri tujuannya. Tremor intensi dapat pula diperiksa
dengan jalan menyuruh pasien mengambil benda yang kecil, makin dekat ia pada benda
tersebut makin jelas tremor pada tangannya.
Test telunjuk hidung
Pasien disuruh menutup mata dan meluruskan lengannya kesamping, kemudian ia
disuruh menyentuh hidubgnya dengan telunjuk. Pada lesi sereberal telunjuk tidak sampai
di hidung tetapi melewatinya dan sampai di pipi. Bila jari mendekati hidung terlihat
tremor (tremor intensi) atau pasien disuruh menunjuk telunjuk pemeriksa, kemudian
menunjuk hidungnya, berulang-ulang.
Tes tumit – lutut
Penderita berbaring dengan kedua tungkai diluruskan, kemudian ia dusuruh
menempatkan tumit pada lutut kaki yang lain. Tumit ini tidak tepat mengenai lutut.
Terlihat pasien mengadakan fleksi lutut yang berlebihan sehingga tumit melampaui lutut
dan sampai di paha.
Ataksi (gangguan koordinasi gerakan)
Gangguan gerakan adalah berkurangnya kerjasama antar otot. Pada orang normal
bila ia mengedik kebelakang, pada waktu yang bersamaan ia akan memfleksikan lutut
atau tungkai untuk menjaga keseimbangan. Akan tetapi pada penderita gangguan
sereberal, saat mengedikkian badannya ke belakang, ia selalu menegangkan tungkainya,
sehingga ia berada dalam bahaya akan jatuh.
Dysathri
Untuk dapat mengucapkan kata sebaik-baiknya sehingga bahasa yang didengar
dapat ditangkap dengan jelas dan tiap suku kata dapat terdengar secara terperinci, maka
mulut, lidah, bibir, palatum mole, pita suara serta otot-otot pernapasan harus melakukan
gerakan tangkas secara sempurna. Bila salah satu gerakan tersebut terganggu, timbullah
cara berbahasa (verbal) yang kurang jelas. Penderita dengan disartria bila disuruh untuk
mengucapkan suatu kalimat maka akan terdengar kalimat yang tidak jelas.Disartria
disebut juga gangguan artikulasi atau gangguan pengucapan kata-kata secara jelas dan
tegas, namun tidak ada gangguan pada penggunaan tata bahasa.

8.) SARAF VEGETATIF


Miksi
Kandung kemih dan uretra menerima persarafan simpatis dan parasimpatis.
Parasimpatis mengaktifkan otot detrusor sedangkan simpatis menghambatnya. Penuhnya
kandung kencing terasa karena lintasan asenden menyalurkan impuls yang dicetuskan
oleh ujung-ujung serabut aferent akibat teregangnya otot detrusor. Tibanya impuls
tersebut di korteks serebri akan menimbulkan kesadaran akan penuhnya kandung kemih.
Terputusnya lintasan impuls tersebut akan menghilangkan refleks berkemih yang
sewajarnya akan timbal bila kandung kemih penuh (sensory paralytic bladder). Lama
kelamaan akan timbul inkontinensia urin.
Pada penderita dengan lesi di medulla spinalis diatas konus medullaris, kandung
kemih dapat dikosongkan dengan jalan perangsangan terhadap daerah di sekitar os pubis
dan lipatan inguinal (kandung kemih automatik). Bila lesi terletak di konus medullaris,
maka pengosongan kandung kemih harus dilakukan dengan penekanan suprapubik
(kandung kemih atonik).
Defekasi
Defekasi seperti halnya miksi merupakan fungsi otonom. Pada defekasi, kegiatan
susunan parasimpatik membangkitkan kontraksi otot polos sigmoid dan rektum serta
relaksasi otot sfingter internus. Refleks anal dibangkitkan dengan cara berikut : jari
telunjuk demasukkan ke dalam anus penderita, bila terasa ada jeratan pada jari telunjuk,
maka refleks sfingter internus adalah positif. Bila refleks hilang, maka jari tidak
mendapat tahanan, dan dengan mudah dimasukkan ke dalam anus. Defekasi adalah
kegiatan voluntar untuk mengosongkan rektum dan sigmoid yang dapat dibagi dalam dua
tahap, yaitu didorongnya tinja sampai ke rektum yang berlangsung secara involuntar. Bila
rektum penuh, maka akan timbul kesadaran untuk defekasi. Pada tahap kedua, semua
kigiatan berlangsung voluntar, sfingter dilonggarkan dan otot perut berkontraksi untuk
meningkatkan tekanan intra abdominal.
9) REFLEX-REFLEX
Refleks adalah jawaban terhadap suatu perangsangan.
Occolocephatic
Lengan
Bisep

Anda mungkin juga menyukai