Anda di halaman 1dari 23

Referat

MANIFESTASI DIRONGGA MULUT PADA PASIEN HIV

Pembimbing:
Drg. Wahyu S. Sp. Pros

Disusun Oleh :
Ummul Mutmainnah

LAB.GIGI DAN MULUT


RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2011
Kata Pengantar

Assalamualaikum wr wb,

Rasa syukur yang dalam kita sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Pemurah, karena
berkat kemurahan_Nya makalah ini dapat penulis selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam
makalah ini penulis membahas “MANIFESTASI HIV PADA RONGGA MULUT”.

Makalah ini dibuat dalam rangka untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik Ilmu Gigi
dan Mulut, penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih jauh dari sempurna. Dalam
proses pendalaman materi ini, tentunya penulis mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan
saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya penulis sampaikan :
 drg. Wahyu S. Sp.Pros, selaku pembimbing “Kepaniteraan Klinik Madya Ilmu
Kesehatan Gigi dan Mulut”
 Rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk telaah jurnal ini.

Demikian telaah jurnal ini penulis buat semoga bermanfaat,

Wassalamualaikum wr wb,

Malang, 25 Januari 2011

Penulis
Daftar Isi

Kata Pengantar i
Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 1
1.3 Tujuan Penelitian 1
1.4 Manfaat Penelitian 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Definisi 2
2.2 Cara Penularan 2
2.3 Etiologi dan Patogenesis HIV 2
2.4 Klasifikasi HIV 4
2.5 Penegakan Diagnosis HIV 5
2.6 Rapid Atau Point-Of-Care Tests Untuk HIV 6
2.7 Medical Management 7

BAB III MANIFESTASI DIRONGGA MULUT PADA PASIEN HIV 9

BAB IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan 19
4.2 Saran

Daftar pustaka 20
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi retrovirus RNA yang dulunya
disebut sebagai “human T lymphotrophic virus III” (HTL-III). Infeksi HIV akan menyebabkan
immunodefisieansi. Virus HIV bisa ditularkan oleh penderita HIV melalui beberapa cara yaitu
hubungan seksual, berbagi jarum suntik atau syringe, transfuse darah dan organ serta melalui ibu
hamil kepada bayinya (Scully, 2004). Pintu masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui
darah dan mukosa yang terbuka pada vagina, vulva, rectum, penis dan juga pada oral cavity
(Scully, 2002).
Penderita yang terinfeksi virus HIV biasanya ditandai dengan adanya lesi pada mulut (oral
lesions). Manifestasi di mulut seringkali merupakan tanda awal infeksi HIV. Lesi mulut yang
terjadi dan sangat berkorelasi dengan infeksi HIV adalah oral candisiasis, oral hairy leukoplakia,
penyakit periodontal, oral kaposi’s sarcoma, dan oral non-Hodgkin’s lymphoma. Lesi mulut
biasanya terlihat (menetap) pada orang yang terinfeksi HIV, namun terkadang tidak terlihat. Hal
ini tergantung pada frekuensi virus yang menginfeksi. Virus yang menetap misalnya pada
stomatitis aphtosa rekuren dan bacillary angiomatosis.

I.2 Rumusan Masalah


 Bagaimana etiologi dan patofisiologi manifestasi HIV pada rongga mulut?
 Bagaimana diagnosis dan penatalaksanaan manifestasi HIV pada rongga mulut?

I.3 TUJUAN
 Mengetahui etiologi dan patofisiologi manifestasi HIV pada rongga mulut.
 Mengetahui cara mendiagnosis dan penatalaksanaan manifestasi HIV pada rongga mulut.

I.4 MANFAAT
 Menambah wawasan mengenai ilmu kedokteran pada umumnya, dan ilmu gigi dan mulut
pada khususnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi retrovirus RNA yang dulunya
disebut sebagai “human T lymphotrophic virus III” (HTL-III). Infeksi HIV akan merusak
limfosit T, terutama CD4+, yang akan menyebabkan imunodefisiensi. Hal ini akan menjadi
predisposisi terhadap infeksi virus, fungi, mycobacteria atau parasit. Seiring dengan waktu, HIV
akan menjadi Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS), apabila limfosit T CD4+ di
bawah 200 cells/µl disertai infeksi HIV (Scully, 2004).

2.2 Cara Penularan


Menurut Scully (2004), virus HIV terdapat pada jaringan (tissue) dan cairan tubuh (darah
dan saliva) individu yang terinfeksi HIV dan bisa menularkan virus HIV melalui :
1. Hubungan seksual. Kebanyakannya melalui seks heteroseksual yaitu hubungan seksual
antar lelaki dan lelaki. Penularan melalui anal lebih berisiko dibanding vaginal.
2. Berbagi jarum atau syringes, biasanya pada pengguna narkoba.
3. Transfusi darah dan tranplantasi organ. Namun, penularan melalui cara ini sudah
berkurang karena sudah banyak negara yang terlebih dahulu melakukan screening
HIV pada pendonur darah atau organ),
4. Penularan melalui ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya melalui plasenta dan breast-
feeding.

2.3 Etiologi dan Patogenesis HIV


Terdapat dua virus utama pada infeksi HIV, yang hanya mempunyai sedikit perbedaan
pada pathogenesis, manifestasi infeksi, perawatan dan prognosis yaitu HIV-1 yang sejauh ini
paling umum di dunia dan HIV-2 yang menyebar terutama di Afrika Barat (Scully, 2004). Pada
individu yang terinfeksi, biasanya virus akan membentuk antibody dalam waktu 6-12 minggu.
Kebanyakan individu yang terinfeksi HIV akan berada dalam fase viremia selama 2-6 minggu.
Pada kasus yang langka, bisa selama 35 bulan.periode inkubasi AIDS pada kebanyakan individu
yang terinfeksi HIV adalah 10-12 tahun. Kira-kira 30% penderita AIDS yang meninggal setelah
3 tahun didiagnosa AIDS dan kira-kira 50% hidup selama 10 tahun (Little dkk., 2002).
Pintu masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui darah dan mukosa yang terbuka
pada vagina, vulva, rectum, penis dan juga pada oral cavity. HIV yang masuk ke dalam tubuh
menuju kelenjar limfe dan berada dalam sel dendritik selama beberapa hari (Greenberg dkk.,
2008). Kemudian terjadi sindrom retroviral akut seperti flu disertai viremia hebat dengan
keterlibatan berbagai kelenjar limfe. Sindrom ini akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu, karena
kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini
berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru
dan upaya eliminasi respon imun. Titik keseimbangan disebut set point.
Apabila angka ini tinggi, perjalanan penyakit menuju AIDS akan berlangsung cepat
(Tjay, 2000). Tahap selanjutnya adalah serokonversi yaitu perubahan antibodi negatif menjadi
positif, terjadi 1-3 bulan setelah infeksi dan pasien akan memasuki masa tanpa gejala. Pada masa
ini terjadi penurunan CD4 secara bertahap (CD4 normal = 800-1.000/mm3 ) yang terjadi setelah
replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus realtif konstan. Mula-mula penurunan jumlah
CD4 sekitar 30-60/tahun, tetapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah menjadi cepat sekitar
50-100/tahun sehingga jika tanpa pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS
adalah 8-10 tahun saat jumlah CD4 akan mencapai di bawah 200 (Tjay, 2000).
2.4 Klasifikasi HIV
Menurut Little dkk. (2002), pertama kali terinfeksi HIV, pasien dapat dikelompok
menjadi tiga kelompok yang dapat dilihat pada tabel 1. Klasifikasi infeksi HIV yang paling
sering digunakan adalah yang dipublikasi oleh U.S. Centers for Disease Control and
Prevention (CDC) pada tahun 1986, yang berdasarkan kondisi tertentu yang terkait dengan
infeksi HIV. Pada tahun 1993, klasifikasi CDC telah direvisi menjadi (CDC 1993b) (Hoffmann
dkk., 2007).
Terdapat juga klasifikasi menurut jumlah limfosit T CD4+ yang ditunjukkan pada
tabel 3. Klasifikasi lesi oral pada infeksi HIV ditunjukkan pada tabel 4.
2.5 Penegakan Diagnosis HIV
Diagnosis suatu infeksi HIV normalnya dibuat secara tidak langsung, misalnya melalui
virus-spesific antibodies. Tanda respon pertahanan tubuh humoral melawan agen ditemukan
100% pada individu yang terinfeksi HIV. Adanya antibodi sebanding dengan diagnosis infeksi
HIV aktif kronis.
Diagnosis langsung untuk infeksi HIV juga memungkinkan melalui demonstrasi virus
penginfeksi (menggunakan kultur sel – hal ini hanya mungkin dilakukan di laboratorium dengan
biological safety level 3), viral antigen (p24 antigen ELISA) atau asam nukleus virus (misalnya
genome virus; NAT – nucleic acid testing). Untuk menentukan status infeksi seorang pasien,
deteksi virus langsung dibutuhkan pada keadaan tertentu, misalnya kecurigaan transmisi infeksi
primer atau vertikal (Hoffmann dkk, 2007).
Menurut Hoffmann dkk (2007), selain tes kualitatif (jawaban “ya” atau “tidak”),
pemeriksaan untuk deteksi kuantitatif virus juga penting. Konsentrasi RNA virus pada plasma
atau “viral load”, telah menjadi alat yang sangat diperlukan sebagai petunjuk terapi antiretroviral.
Menurut Hoffmann dkk (2007), pengujian antibodi HIV paling tidak membutuhkan 2 uji, yaitu:
1. Screening test, yaitu ELISA
2. Confimatory test, yaitu Western blot atau immunofluorescence assay (IFT or IFA)
Untuk mengekslusi terjadinya pencampuran sampel, sampel darah kedua dari pasien yang
sama harus di uji. Baru kemudian diagnosis infeksi HIV dapat dikomunikasikan kepada pasien
dengan hasil seropositif (Hoffmann dkk, 2007). Menurut Anonim (2010), tes HIV ELISA dan
HIV Western blot digunakan untuk mendeteksi virus HIV dalam darah. Menurut Nisyrios
(2005), ELISA dilakukan untuk mendeteksi HIV p24 antigen dan antibodi HIV.
Beberapa interpretasi uji ELISA dan Western Blot, antara lain:
 Tes ELISA yang menunjukkan hasil positif harus dikonfirmasi dengan uji Western blot.
Jika keduanya menunjukkan hasil yang positif maka menegaskan suatu infeksi HIV.
Pemeriksaan lebih lanjut harus diulang dalam interval 3-6 bulan.
 Jika hasil Western blot menunjukkan hasil negatif, maka hasil ELISA dipertimbangkan
sebagai hasil false positive, hal ini menunjukkan pasien tidak terinfeksi HIV.
Pengulangan tes dilakukan jika pasien memiliki resiko dalam tiga bulan dari tes pertama.
 Jika Western blot menunjukkan hasil yang tidak tentu, pasien mungkin baru terinfeksi
HIV dan dalam proses seroconverting. Skrining HIV ELISA harus diulang setiap interval
2 minggu untuk menentukan apakah uji Western blot menjadi positif.
 Jika HIV ELISA dan Western blot menunjukkan hasil positif, tes darah lainnya dapat
dilakukan untuk menentukan banyaknya HIV pada aliran darah. Pada suatu infeksi HIV,
hasil uji CBC (complete blood count) dan sel darah putih akan menunjukkan suatu
abnormalitas. Selain itu, jumlah sel CD4 yang lebih rendah dari rentang normal juga
menjadi tanda bahwa virus sedang merusak sistem pertahanan tubuh (Anonim, 2010).
Menurut Hoffmann dkk (2007), saat ini tersedia tes HIV sederhana/cepat. Tes semacam
ini berguna pada saat dibutuhkan hasil yang cepat, misalnya pada ruangan emergency, sebelum
operasi emergency, setelah perlukaan dari jarum dan untuk meminimalisir rerata hasil
“unclaimed” tes (jika hasil tes baru didapat beberapa hari kemudian, beberapa orang tidak
kembali lagi untuk mengambil hasil tes tersebut).

2.6 Rapid Atau Point-Of-Care Tests Untuk HIV


Rapid Antibody Test adalah immunoassays kualitatif yang bertujuan untuk digunakan
sebagai titik uji perawatan untuk membantu dalam diagnosis infeksi HIV. Tes ini harus
digunakan pada seseorang yang memiliki resiko pada status klinis, riwayat, dan memiliki faktor
risiko. Tes ini harus digunakan dalam algoritma multites yang sesuai yang dirancang untuk
validasi statistik hasil tes HIV cepat (Anonimb, 2010). Menurut Fine dkk (2005), pada Oktober
2004 FDA telah menyetujui suatu tes HIV yang baru, dimana seseorang dapat melakukannya
tanpa penggunaan jarum dan menunjukkan hasilnya dalam 20 menit.
Menurut FDA (2004), OraQuick® ADVANCE Rapid HIV-1/2 Antibody Test
merupakan kualitatif immunoassay sekali pakai untuk mendeteksi antibodi Human
Immunodeficiency Virus Type 1 (HIV- 1) and Type 2 (HIV-2) pada cairan rongga mulut, darah
dari fingerstick, darah dari venipuncture, dan spesimen plasma. Menurut Roeslan (2002),
cairan rongga mulut atau cairan celah gusi mengandung leukosit, komponen komplemen, seluler
dan humoral yang terlibat pada respons imun.

2.7 Medical Management


Perawatan yang paling efektif untutk HIV/AIDS adalah beberapa tipe medikasi
antiretroviral. Perawatan pada pasien HIV dimulai apabila terjadi immunnosupresan yaitu CD4
<500, dan juga adanya infeksi kronis (Little dkk., 2004). Menurut Greenberg dkk. (2008),
terdapat empat kelas antiretroviral yaitu fusion inhibitor, nucleotiside reverse transcriptase
inhibitors (NRTIs), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTIs) dan protease
inhibitors (PIs).
Perawatan pada penderita HIV membutuhkan terapi kombinasi yaitu highly active
antiretroviral therapy (HAART). Pada penderita HIV yang naïf, perawatan yang
direkomendasikan adalah NNRTI yang didasari oleh (1 NNRTI+ 2 NRTIs), PI yang didasari
oleh (1 atau 2 PIs+ 2NRTIs), atau triple NRTI yang didasari oleh (3 NRTIs). Pada penderita
HIV dengan koinfeksi HBV, HCV, dan tuberculosis memerlukan perawatan antiretroviral yang
khusus.
Banyak kasus yang menunjukkan pada pemakaian jangka panjang antiviretrovirus ini
(lebih dari 6 bulan), akan menyebabkan resistensi terhadap HIV strains sehingga harus dilakukan
perawatan dengan kombinasi antivirus yang lain seperti acyclovir. Selain itu, perawatan
dengan antiretrovirus ini juga mempunyai efek samping yang signifikan. Anemia adalah efek
samping utama karena obat-obat ini merupakan toxic terhadap bone narrow dan sel darah. Pada
kasus tertentu, harus dilakukan tranfusi darah. Leukopenia dan granulositopenia mempengaruhi
terjadinya infeksi, nausea, diarre, dan headaches. Efek samping yang lainnya adalah
hepatoxicity, peripheral neuropathy dan pancreatitis (Little dkk., 2002).
BAB III
MANIFESTASI DIRONGGA MULUT PADA PASIEN HIV

Menurut Vaseliu dkk (2010), sistem klasifikasi untuk lesi oral yang berhubungan
dengan infeksi HIV dibagi menjadi dua sistem. Sistem klasifikasi pertama adalah berdasarkan
etiologi lesi oral, yaitu diklasifikasikan berdasarkan infeksi bakteri, virus atau fungal atau lesi
neoplastic atau kondisi lainnya (Tabel 6). Sistem klasifikasi yang kedua, merupakan sistem yang
direkomendasi oleh EC Clearinghouse on Oral Problems Related to HIV Infection and
WHO Collaborating Centre on Oral Manifestations of the Human Immunodeficiency Virus ,
mengklasifikasikan lesi menjadi 3 kelompok berdasarkan derajat hubungannya dengan
infeksi HIV (Tabel 7).
Beberapa pilihan perawatan untuk manifestasi oral yang sering muncul
pada pasien HIV dapat dilihat pada Tabel 9.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Human immunodeficiency virus (HIV) merupakan infeksi retrovirus RNA yang dulunya
disebut sebagai “human T lymphotrophic virus III” (HTL-III). Infeksi HIV akan menyebabkan
immunodefisieansi. Virus HIV bisa ditularkan oleh penderita HIV melalui beberapa cara yaitu
hubungan seksual, berbagi jarum suntik atau syringe, transfuse darah dan organ serta melalui ibu
hamil kepada bayinya (Scully, 2004). Pintu masuk utama HIV ke dalam tubuh adalah melalui
darah dan mukosa yang terbuka pada vagina, vulva, rectum, penis dan juga pada oral cavity
(Scully, 2002).
Penderita yang terinfeksi virus HIV biasanya ditandai dengan adanya lesi pada mulut (oral
lesions). Penderita AIDS juga mengalami manifestasi pada daerah kepala dan leher. Manifestasi
di mulut seringkali merupakan tanda awal infeksi HIV. Lesi mulut yang terjadi dan sangat
berkorelasi dengan infeksi HIV adalah oral candisiasis, oral hairy leukoplakia, penyakit
periodontal, oral kaposi’s sarcoma, dan oral non-Hodgkin’s lymphoma. Lesi mulut yang kurang
berkorelasi dengan infeksi HIV adalah melanotic hyperpigmentation, infeksi mycobakterial,
nekrosis ulser stomatitis, macam-macam ulser mulut lainnya, dan infeksi virus (herpes simplex
virus, herpes zoster, condyloma acuminatum). Lesi mulut biasanya terlihat (menetap) pada orang
yang terinfeksi HIV, namun terkadang tidak terlihat. Hal ini tergantung pada frekuensi virus
yang menginfeksi. Virus yang menetap misalnya pada stomatitis aphtosa rekuren dan bacillary
angiomatosis. Virus yang tidak menginfeksi berulang-ulang misalnya cyromegalovirus,
molluscum contagiosum.

4.2 SARAN
 Dilakukan penelitian epidemiologis tentang manifestasi dirongga mulut pada pasien HIV di
Indonesia
DAFTAR PUSTAKA

Anonim a, 2010, HIV Infection, http://health.nytimes.com/health/guides/disease/hiv-


infection/overview.

Anonim b, 2010, HIV Tests, http://en.wikipedia.org/wiki/HIV_test.

Anonim, 2009, Product Information of OraQuick ADVANCE® Rapid HIV-1/2 Antibody Test,
http://www.orasure.com/products-infectious/products-infectious-oraquick.asp.

FDA, 2004, Summary of Safety and Effectiveness Data, http://www.fda.gov/downloads/


BiologicsBloodVaccines/BloodBloodProducts/ApprovedProducts/PremarketApprovalsP
MAs/ucm091919.

Fine, F., Bremers, A., Masci J.R., Windle, M.L., 2005, Rapid Oral HIV Test,
http://www.emedicinehealth.com/rapid_oral_hiv_test/article_em.htm#Rapid Oral HIV
Test Introduction

Ganda K.M., 2008, Dentist's Guide To Medical Conditions and Complications, Wiley-
Blackwell, USA, h.360-1

Greenberg MS., Glick M., Ship J.A., 2008, Burket’s Oral Medicine, 11th edition, BC Decker
Inc, Hamilton.

Greenspan, D., 1998, Oral Manifestations of HIV, http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-


01-14,

Hoffman C., Rockstroh J.K., Kamps B.S.,, 2007, HIV Medicine, 15th Ed, Flying Publisher, Paris

Little JW., Falace DA., Miller CS., Rhodus NL., 2002, Dental Management of The Medically
Compromised Patient, 6th edition, Mosby.

Reznik, D.A., 2005, Oral Manifestations of HIV Disease, International AIDS Society-USA,
13(5):146-7

Scully C., 2004, Oral Maxillofacial Medicine- ther basis of diagnosis dan treatment. Elsevier
Limited.
Steel E., 2010, Early HIV Symptoms in the Mouth,
http://www.ehow.com/about_5138970_early-hiv-symptoms-mouth.html

Tjay TH. 2000. Obat-obat Penting, Khasiat, Penggunaan dan Efeknya. Elexcomputindo:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai