Anda di halaman 1dari 7

MAKALAH

Menilik Kegagalan Bisnis Startup di Indonesia

Kegagalan Shopious dalam Pasar Indonesia

Ditulis untuk memenuhi persyaratan akademik UTS

Inkubasi Bisnis dengan analisis marketplace Shopious

Oleh:

Annisa Rahmadini

Manajemen (20180202007)

STIE KASIH BANGSA

Jl Dr. Kasih No. 1 Kebon Jeruk Jakarta Barat

2020
Profil dan Launching Perusahaan

Shopious startup yang didirikan pada tahun 2013 oleh Aditya Herlambang, memiliki
model bisnis sebagai marketplace fashion C2C. Lalu pada awal 2014, setelah berjalan selama
8 bulan Shopious memutar haluan dengan tidak langi menjadi marketplace namu melakukan
pivot menjadi agregator toko fashion di Instagram. Shopious adalah tempat para penjual di
social media (Instagram) mengiklankan barang jualannya. Kalau si penjual di Instagram
tersebut sudah menjadi member di Shopious maka barang dagangannya akan otomatis masuk
ke dalam listing di Shopious. Semua transaksi jual beli terjadi di luar Shopious. Di atas kertas,
ide yang diusung sederhana dan berpotensi menjadi bisnis yang tumbuh secara berkelanjutan.
Dengan begitu, penjual bisa mendapatkan audiens yang lebih luas—bukan hanya teman atau
pengikut akun Instagram mereka saja.

(Tampilan Website Shopious yang sudah tidak beroperasi)

Aditya menuturkan bahwa tutupnya Shopious bukan karena mereka kehabisan dana atau tidak
bisa mendapatkan investor, Shopious masih memiliki cadangan dana yang cukup untuk
menjalankan operasionalnya selama kurang lebih satu setengah tahun kedepa. Namun karena
dirasa kebijakan tersebut dapat berdampak lebih buruk, Shopious memutuskan untuk
mengembalikan dana kepada angel investor1.

Penyebab Tutupnya Startup Shopious

Mengutip dari laman blog medium ia mengungkapkan bahwa ada beberapa masalah yang
menimpa bisnisnya yaitu:

1. Biaya akuisisi pengguna yang semakin tinggi

Sedari awal, Shopious menerapkan skema berbayar kepada penggunanya. Artinya


mereka harus memenuhi janji yang mereka berikan, yaitu meningkatkan angka
penjualan agar sepadan dengan biaya berlangganan yang telah dibayarkan. Shopious
mengaku menggunakan seluruh dana yang didapat dari penggunanya untuk menarik
calon pembeli ke situs mereka. Sayangnya, biaya marketing yang digunakan, seperti
SEO, SEM, iklan FB, SMS blast, dan sebagainya, semakin hari terus meningkat. Ia pun
menambahkan bahwa hanya perusahaan atau startup dengan pendanaan yang besar
yang mampu bertahan dalam kompetisi market ini.

2. Dropshipper memberikan pengalaman belanja yang buruk


Mengutip dari pernyataan founder, banyak penjual di Instagram tidak menyetok
barang yang mereka jual, melainkan berperan sebagai dropshipper. Penjual tidak
menyetok barang di toko mereka, tetapi diambil dari distributor atau penyuplai. Ketika
ada yang ingin membeli suatu barang, penjual harus mengecek stoknya dulu kepada
penyuplai. Ini menyebabkan terjadinya efek leher botol (bottleneck)2 dalam interaksi
antara penjual dengan pembeli. Karena respons dari penjual lama, calon pembeli jadi
kehilangan minat. Karena urusan transaksi dilakukan oleh pembeli dan penjual secara
langsung, pihak Shopious tidak bisa melacak—lalu memperbaiki—jika terjadi masalah
semacam ini.

3. Kompetisi berat dengan startup berkantong tebal

1
Angel Investor merupakan individu dengan kekayaan bersih yang tinggi memberikan dukungan berupa
keuangan untuk perusahaan rintisan atau startup kecil atau seorang pengusaha .
2
Bottleneck sudah sering disebut dalam perkembangan ilmu manajemen bisnis, terutama untuk menggambarkan
suatu kondisi dalam suatu sistem bisnis ketika kecepatan proses input bisnis sampai pada kondisi yang membuat
kecepatannya melambat atau bahkan berhenti sama sekali.
Aditya sadar akan besarnya biaya yang perlu dikeluarkan untuk menarik traffic ke
platform Shopious. Ini artinya mereka harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan
keuntungan. Sementara tujuan awal didirikannya Shopious adalah untuk membuat
bisnis yang mampu menciptakan keuntungan secara berkelanjutan. Seperti telah
disebutkan di atas, Shopious masih punya dana yang cukup untuk membuat platform
ini bernafas hingga satu setengah tahun ke depan. Aditya juga mengklaim ada ratusan
penjual yang berminat membayar menggunakan Shopious. Namun Shopious
berhadapan dengan pelaku bisnis e-commerce yang tidak takut “membakar uang”.
Bahkan mereka berani memberi subsidi lewat diskon, ongkos kirim gratis, menurunkan
harga, dan sebagainya. Ia melihat fenomena ini akan terus berlangsung, justru akan
semakin buruk dengan banyaknya pendatang baru dengan pendanaan besar ikut
bermain di Indonesia. Aditya mengaku kecewa dengan startup scene di Indonesia, yang
menurutnya berbeda dengan Silicon Valley. Di Silicon Valley, startup berkompetisi
dengan membuat produk dan layanan yang lebih baik. Di Indonesia, startup bersaing
dengan besarnya pendanaan yang dimiliki. Sehingga dalam permasalahan ini pihak
Shopious menyatakan bahwa hanya perusahaan atau startup yang memiliki dana besar
yang akan memenangkan kompetisi persaingan.

Setelah lebih dari dua tahun menjalankan Shopious, Aditya menarik kesimpulan
kalau pasar e-commerce di Indonesia masih belum siap. Ia memperkirakan kalau
dibutuhkan sekitar 10 hingga 15 tahun lagi sebelum pasar benar-benar matang. Namun,
melihat poin terakhir, bisa dikatakan kalau Shopious ditutup karena kekecewaan
founder dengan dinamika dunia startup di Indonesia. Ia sendiri membenarkan itu, dan
mengatakan kalau keputusan ini memang lebih karena faktor ideologi.

Lebih lanjut, pihak Shopious menggambarkan bahwa “Ada yang mengatakan kalau
mengucurkan dana besar diperlukan, karena kita sedang berada di tahap awal ledakan
industri dan pasar belum siap. Ada yang bilang ini mengedukasi pasar. Tentu saja itu
hanya sekedar omong kosong. Ini justru mengacaukan keadaan dan berpotensi
membawa kita ke tech bubble. Ke depannya, angka (investasi) bakal semakin tidak
masuk akal dan kita akan melihat devaluasi startup di Indonesia—yang mana sudah
terjadi di AS”.
Membandingkan Shopious dengan Market Place Sejenisnya

(Ilustrasi Gambar Perbandingan antara Shopious dengan Jualio)

Dalam perbandingan ini, penulis akan membandingkan Shopious dengan Jualio.com

Sisi Model Bisnis

Dalam model bisnis yang bisa dikatakan sama, Shopious tempat para penjual di social media
(Instagram) mengiklankan barang jualannya. Kalau si penjual di Instagram tersebut sudah
menjadi member di Shopious maka barang dagangannya akan otomatis masuk ke dalam listing
di Shopious. Semua transaksi jual beli terjadi di luar Shopious.

Sedangkan Jualio pada dasarnya adalah marketplace (seperti Tokopedia dan OLX). Para
penjual mengunggah barang dagangannya di Jualio, lalu secara otomatis barang dagangannya
ini juga akan ditampilkan di social media yang sudah dihubungkan oleh si penjual ke akunnya
di Jualio. Semua transaksi jual beli terjadi di dalam Jualio. Jadi bisa diibaratkan bahwa Jualio
seperti Tokopedia + Instagram karena menggabungkan marketplace dengan sosial media.

Jika ditarik kesimpulan keduanya memiliki bisnis yang saling berkebalikan yaitu jika Shopious
menampilkan dari sosial media kepada web, maka Jualio menampilkan website yang terhubung
ke sosial media.

Target Market

Shopious memfokuskan target marketnya melalui media sosial instagram. Karena dengan
target market seperti itu, Shopious tidak perlu capek mengajari mereka bagaimana berjualan
online. Selain itu, dengan melepas transaksi di luar Shopious, mereka juga tidak perlu pusing
dengan urusan legalitas pengumpulan dana, refund, dll.

Pada target market Jualio, sama halnya seperti marketplace C2C pada umumnya seperti
Tokopedia, Bukalapak Shopee dll. Hanya saja transaksi terjadi didalam Jualio dan mereka
memiliki fitur otomatis upload ke socmed yang terhubung dengan akun Jualio.

Sisi Produk

Shopious sama seperti marketplace Zilingo yang menonjolkan fashion item dalam rancangan
bisnisnya. Ketika mendaftar di Shopious pertama kali, para penjual di Instagram tidak perlu
bayar. Namun jika ada pelanggan yang menghubungi dari Shopious, baru diminta bayar oleh
pihak Shopious. Kalau tidak mau bayar maka risiko toko nya akan hilang dalam Shopious.
Gambar dibawah ini merupakan rincian biaya yang harus dikeluarkan jika toko yang ada di
Instagram telah memiliki pelanggan.
Sedangkan pada penerapan Jualio setelah penjual bisa upload informasi produk-produknya
baik itu produk fisik, maupun digital. Semua transaksi jual beli terjadi di dalam Jualio.
Pembayaran bisa via online payment, kartu kredit, maupun transfer bank. Jualio akan
mengambil 5% dari produk fisik yang terjual, dan 30% dari produk digital yang terjual.

Simpulan

Pola dalam marketplace untuk bisa masuk dan menguasai pasar sebagian besar adalah sama
yaitu “membakar uang”3 sebanyak-banyaknya lalu dapat memetik hasilnya (panen) saat sudah
terkenal (booming), sayangnya tidak semua marketplace dapat panen dan hanya ada segelintir
perusahaan yang dapat melakukannya. Shopious sudah memprediksikan tidak akan mampu
menembus di perusahaan 5 besar jadi berapapun biaya yang ia gelontorkan ia tidak dapat
memetik panen. Shopious mengambil strategi mundur karena mereka berpikir daripada rugi
besar lebih baik menarik diri. Sebab itulah dalam berbisnis kita harus jeli membaca situasi,
kapan harus maju dan kapan harus mundur.

Saran

Dalam berbisnis kita harus menentukan segmen pasar dan apa yang menjadi kebutuhan atau
permasalahan dalam masyarakat. Karena disitulah letak nilai bisnis agar masyarakat terus
membeli atau menggunakan produk/jasa yang kita ciptakan.

3
istilah ini diartikan sebagai sebuah kegiatan menghabiskan uang banyak untuk sebuah proses bisnis tertentu,
umumnya lebih ditekankan kepada proses pengembangan bisnis seperti marketing dan akuisisi pasar.

Anda mungkin juga menyukai