Anda di halaman 1dari 23

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Polip Hidung

a. Definisi

Secara umum polip hidung dapat didefinisikan sebagai lesi

abnormal pada mukosa hidung atau sinus paranasalis sebagai hasil

manifestasi dari berbagai proses patologis pada rongga hidung

(McClay, 2014). Polip hidung merupakan massa lunak yang

mengandung banyak cairan dan berada di dalam rongga hidung,

berwarna putih keabu-abuan, terjadi akibat inflamasi mukosa. Bentuk

makroskopis polip hidung berupa massa bertangkai dengan

permukaan licin, berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-

abuan, agak bening, lobular, dapat tunggal atau multipel dan tidak

sensitif terhadap nyeri bila ditekan atau ditusuk (Mangunkusumo et

al., 2012).

b. Klasifikasi

Hellquist (1996) mengklasifikasikan polip menjadi 4 tipe berdasarkan

gambaran histopatologisnya, yaitu:

1) tipe 1 : polip edematous atau eosinofilik, dengan ciri morfologis

berupa edema, hiperplasi sel goblet epitel, dan penebalan

membran basal
commit to user
6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

2) tipe 2 : polip fibroinflamatori, dengan ciri morfologis berupa

inflamasi kronis dan metaplasi epitel

3) tipe 3 : polip dengan hiperplasi kelenjar seromukus, pada

gambaran histologis nampak pertambahan jumlah kelenjar

seromukus dan struktur duktus pada stroma yang edem

4) tipe 4 : polip dengan stroma atipik, tipe ini sangat jarang ditemui

dengan ciri khas sel stromal yang atipik dan bizzare, bisa juga

didapati sel ireguler dan hiperkromatik.

Etiologi dan patofisiologi polip hidung belum dapat diketahui

secara menyeluruh, sehingga belum ada klasifikasi yang valid

mengenai subtipe polip yang bisa digunakan untuk memprediksi

kondisi pasien setelah pemberian terapi obat atau operasi

pengangkatan polip (Wright, 2008). Berdasarkan jenis sel

peradangannya, polip dikelompokkan menjadi 2, yaitu polip tipe

eosinofilik dan tipe neutrofilik (Mangunkusumo et al., 2012).

c. Patogenesis

Pembentukan polip merupakan konsekuensi dari kerusakan

epitel mukosa hidung. Infeksi bakteri, virus, dan paparan partikel

iritan dalam jangka waktu lama dapat merusak epitel. Mukosa yang

rusak pasti memiliki respon perbaikan jaringan dengan cara migrasi

epitelium dari tepian luka kemudian masuk ke dalam untuk menutup

luka, namun pada beberapa kasus mekanisme regenerasi epitel hidung

terjadi tidak sempurna, ditambah dengan sitokin yang dilepaskan pada


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

proses regenerasi akan mempermudah proses pembentukan polip

(Chojnowska S, 2013).

Patogenesis polip hidung belum diketahui secara pasti namun

sering dikaitkan dengan tiga hal, yaitu inflamasi kronik, disfungsi

saraf otonom, dan predisposisi genetik. Sebagian besar teori

menganggap polip sebagai manifestasi paling akhir dari inflamasi

kronis, oleh karena itu setiap keadaan yang menyebabkan inflamasi

kronis pada cavum nasi dapat memicu pertumbuhan polip hidung

(McClay, 2014). Terdapat penelitian yang menyebutkan bahwa lebih

dari 14% pasien polip hidung memiliki riwayat keluarga yang

menderita polip hidung. Meskipun predisposisi genetik merupakan

faktor yang berpengaruh pada perkembangan polip hidung, namun

hingga saat ini belum ada pola Mendel yang jelas pada kasus polip

hidung ini, kemungkinan besar yang berperan adalah interaksi antara

genetik dan lingkungan (Pearlman et al., 2010). Saraf otonom terdiri

dari dua macam, yaitu saraf kolinergik dan adrenergik. Hiraide dan

Kakoi (1986) dalam penelitiannya menyatakan bahwa sulit untuk

menemukan serabut saraf otonom pada polip hidung, kecuali pada

bagian tangkai polip hidung sehingga peneliti menyimpulkan bahwa

disfungsi saraf otonom berperan pada pembentukan polip hidung.

Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan saraf vasomotor,

terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan regulasi

vaskular yang mengakibatkan dilepasnya sitokin-sitokin dari sel mast,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

yang akan menyebabkan edema dan lama-kelamaan menjadi polip

(Mangunkusumo et al, 2012). Menurut teori Bernstein, terjadi

perubahan mukosa hidung akibat peradangan atau aliran udara yang

berturbulensi, terutama di daerah sempit di kompleks osteomeatal.

Terjadi prolaps submukosa yang diikuti oleh reepitelisasi dan

pembentukan kelenjar baru. Juga terjadi peningkatan penyerapan

natrium oleh permukaan sel epitel yang berakibat retensi air sehingga

terbentuk polip. Teori lain mengatakan karena ketidakseimbangan

vasomotor terjadi peningkatan permeabilitas kapiler dan gangguan

regulasi vaskuler yang mengakibatkan sel mast melepaskan sitokin-

sitokin kemudian menyebabkan edem dan lama-kelamaan menjadi

polip. Bila proses terus berlanjut, mukosa yang sembab makin

membesar menjadi polip dan kemudian akan turun ke rongga hidung

dengan membentuk tangkai (Mangunkusumo et al., 2012). Kahveci et

al. (2008) mengatakan dalam penelitiannya bahwa terdapat

ketidakseimbangan regulasi Matrix Metalloproteinase-9 (MMP-9) dan

Tissue Inhibitor of Metalloproteinase (TIMP) pada polip hidung yang

dapat berperan pada pembentukan polip melalui remodelling jaringan.

Walaupun banyak teori telah dikemukakan, peranan alergi dan infeksi

masih menjadi mekanisme paling penting dan mendasari pada

perkembangan polip dan rinosinusitis kronis (Tikaram, 2013).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

d. Insidensi

Data dari European Position Paper on Rhinosinusitis (2012)

menyebutkan bahwa di Swedia prevalensi polip hidung mencapai

2,7% dari keseluruhan populasi, 0,5% di Korea, 4,3% di Finlandia,

dan 2,1% di Perancis. RSUD Dr.Soetomo Surabaya mencatat ada 55

pasien polip hidung berkunjung ke poli THT-KL per-Januari 2006

hingga Desember 2006 (Ardani et al., 2008). Insidensi polip hidung di

RSSA Malang tahun 2011 sekitar 0,6% dari 4.632 kasus baru.

Biasanya ditemukan pada pasien usia 20-60 tahun dengan puncak usia

di atas 50 tahun, serta lebih banyak mengenai laki-laki dibandingkan

perempuan (2-4:1) (Arif et al., 2014). Polip nasi sangat jarang terjadi

pada anak-anak, angka kejadian pada anak sebesar 0,1% dari

keseluruhan polip nasi. Dari keseluruhan polip nasi anak tersebut,

33% kasus merupakan polip antrokoanal (Budiman et al., 2014).

e. Diagnosis

1) Anamnesis

Keluhan utama penderita polip nasi adalah hidung

tersumbat dari yang ringan sampai berat, rinore mulai yang jernih

sampai purulen, hiposmia atau anosmia. Mungkin disertai bersin-

bersin, rasa nyeri pada hidung disertai sakit kepala di daerah

frontal. Bila disertai infeksi sekunder mungkin didapati post nasal

drip dan rinore purulen. Gejala sekunder yang dapat timbul ialah

bernapas melalui mulut, suara sengau, halitosis, gangguan tidur


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

dan penurunan kualitas hidup. Dapat menyebabkan gejala pada

saluran napas bawah berupa batuk kronik dan mengi, terutama

pada penderita polip nasi dengan asma. Selain itu harus

ditanyakan riwayat rinitis alergi, asma, intileransi terhadap aspirin

dan alergi obat lainnya serta alergi makanan.

2) Pemeriksaan fisik

Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas

hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran

batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior terlihat

sebagai massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus

medius dan mudah digerakkan. Pembagian stadium polip menurut

Mackay dan Lund (1997) adalah pada stadium 1 polip masih

terbatas di meatus medius, stadium 2 polip sudah keluar dari

meatus medius tampak di rongga hidung tapi belum memenuhi

rongga hidung, stadium 3 polip yang masif.

3) Naso-endoskopi

Endoskop membantu diagnosis polip stadium 1 dan 2

yang kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi

anterior. Pada kasus polip koanal juga sering dapat dilihat tangkai

polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila.

4) Pemeriksaan radiologi

Foto polos sinus paranasal (posisi Waters,

anteroposterior, Caldwell dan lateral) dapat memperlihatkan


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

penebalan mukosa dan batas udara-cairan di dalam sinus, tetapi

kurang bermanfaat pada kasus polip. Pemeriksaan tomografi

komputer (TK, CT-Scan) sangat bermanfaat untuk melihat dengan

jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada proses

radang, kelainan anatomi, polip atau sumbatan pada kompleks

osteomeatal. TK terutama diindikasikan pada kasus polip yang

gagal diobati dengan terapi medikamentosa, jika ada komplikasi

dari sinusitis dan pada perencanaan tindakan bedah terutama

bedah endoskopi. (Mangunkusumo et al., 2012).

f. Tatalaksana

Tujuan utama pengobatan pada kasus polip hidung adalah

menghilangkan keluhan-keluhan, mencegah komplikasi dan mencegah

rekurensi polip. Pemberian kortikosteroid untuk menghilangkan polip

hidung disebut juga polipeptomi medikamentosa, kortikosteroid dapat

diberikan dalam bentuk topikal maupun sistemik. Polip tipe

eosinofilik memberikan respons yang lebih baik terhadap pengobatan

kortikosteroid intranasal dibandingkan polip tipe neutrofilik. Kasus

polip yang tidak membaik dengan terapi medikamentosa atau polip

yang sangat masif dipertimbangkan untuk terapi bedah. Dapat

dilakukan ekstraksi polip (polipeptomi) menggunakan senar polip atau

cunam dengan anestesi lokal, etmoidektomi intranasal atau

etmoidektomi ekstranasal untuk polip etmoid, operasi Cadwell-Luc

untuk sinus maksila. Pilihan yang terbaik ialah jika tersedia fasilitas
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

endoskop maka dapat dilakukan tindakan Bedah Sinus Endoskopi

Fungsional (BSEF) (Mangunkusumo et al., 2012).

Tikaram (2013) menyebutkan pada penelitiannya bahwa

polip hidung di Asia dominan tipe neutrofil, etiologi polip hidung ras

Kaukasia dan Asia berbeda sehingga memerlukan penanganan yang

berbeda, pemberian antibiotik disamping kortikosteroid akan

memberikan prognosis lebih baik bagi pasien Asia namun masih

diperlukan penelitian lebih lanjut tentang pemilihan jenis

antibiotiknya.

g. Prognosis

Multiple benign polyps biasanya masih bisa mengalami

rekurensi walaupun telah mendapat penanganan medikasi atau

pembedahan. Polip besar dan tunggal (misalnya tipe antrokoanal)

memiliki sedikit sekali kemungkinan untuk kambuh (McClay, 2014).

Pasien polip dengan eosinofil dominan memiliki tingkat rekurensi

yang lebih tinggi (Nakayama et al., 2011). Intervensi bedah dapat

memacu proses penyembuhan yang tidak sempurna dan bisa

menyebabkan komplikasi akibat pembentukan jejas, karena proses

penyembuhan luka mungkin melemah akibat mukosa yang mengalami

inflamasi (Wright, 2008).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

2. Inflamasi

Inflamasi didefinisikan sebagai reaksi lokal jaringan terhadap

infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding

respon imun didapat (innate immunity). Proses inflamasi akan berjalan

sampai antigen dapat disingkirkan, hal itu umumnya terjadi cepat berupa

inflamasi akut yang berlangsung beberapa jam sampai hari. Inflamasi akan

pulih setelah mediator-mediator diinaktifkan. Bila penyebab inflamasi

tidak dapat disingkirkan atau terjadi pajanan berulang akan terjadi

inflamasi kronis yang dapat merusak jaringan dan akhirnya jaringan akan

kehilangan fungsi sama sekali (Baratawidjaja et al., 2012).

Kerusakan jaringan yang disebabkan oleh luka atau

mikroorganisme patogen menginduksi serangkaian proses yang kompleks,

disebut respon inflamasi. Komponen molekuler mikroba seperti

Lipopolysaccharide (LPS) mampu memicu respon inflamasi melalui

interaksi dengan reseptor permukaan sel. Pada abad pertama Masehi,

dokter Romawi bernama Celcus mendeskripsikan empat tanda utama

inflamasi sebagai rubor (kemerahan), tumor (bengkak), calor (panas), dan

dolor (nyeri). Pada abad ke empat, dokter lainnya, Galen menambahkan

tanda ke lima yaitu functio laesa (hilangnya fungsi) (Kindt et al., 2007).

a. Inflamasi Akut

Inflamasi akut disebabkan oleh pelepasan berbagai mediator

yang berasal dari jaringan rusak, sel mast, leukosit, dan komplemen.

Mediator-mediator tersebut menimbulkan edem, bengkak, kemerahan,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

nyeri, gangguan fungsi daerah yang terkena serta merupakan penanda

klasik inflamasi. Fosfolipid yang ada pada membran sel yang rusak

dipecah menjadi asam arakidonat dan Lyso-Platelet Activating Factor

(LysoPAF), Platelet Activating Factor (PAF) kemudian dapat

menimbulkan agregasi trombosit, mengaktivasi eosinofil serta

neutrofil. Asam arakidonat selanjutnya dimetabolisme menjadi

Prostaglandin (PG) dan Tromboksan (TX). PG menunjukkan efek

fisiologis seperti peningkatan vaskuler, dilatasi vaskuler, dan induksi

kemotaksis neutrofil, sedangkan TX menimbulkan konstriksi

pembuluh darah dan agregasi trombosit. Asam arakidonat juga dapat

dimetabolisme menjadi Leukotrien (LT) melalui jalur lain, salah satu

produknya yaitu Leukotrien B4 (LTB4) merupakan kemoatraktan

poten untuk neutrofil. Mikroba dapat melepaskan endotoksin dan atau

eksotoksin, keduanya memacu pelepasan mediator proinflamasi. LPS

adalah komponen dinding sel bakteri gram negatif, aktivator

poliklonal sistem imun, memacu pelepasan berbagai sitokin

proinflamasi seperti IL-1, IL-6, IL-12, IL-18, TNF-α, dan TNF-β.

Toksin bakteri juga merusak jaringan dan memacu pelepasan trombin,

histamin, dan sitokin yang dapat merusak ujung-ujung saraf

(Baratawidjaja et al., 2012).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

Komponen utama inflamasi akut terdiri dari (Kumar et al.,

2013):

1) Perubahan vaskuler

Perubahan pada pembuluh darah berupa vasodilatasi agar aliran

darah yang menuju tempat inflamasi bertambah dan kenaikan

permeabilitas kapiler supaya memudahkan protein plasma

meninggalkan sirkulasi untuk mendukung proses inflamasi. Sel

endotel pembuluh darah juga ikut aktif guna mempermudah

adhesi dan migrasi leukosit.

2) Perubahan seluler

Berupa perpindahan leukosit dari sirkulasi dan akumulasi di

tempat perlukaan (cellular recruitment), diikuti oleh aktifasi

leukosit, dan eliminasi patogen. Leukosit utama yang berperan

pada inflamasi akut adalah neutrofil (polymorphonuclear

leukocytes).

b. Inflamasi Kronis

Respon inflamasi akut ditujukan untuk eradikasi bahan atau

mikroorganisme yang memacu respon awal. Pada beberapa keadaan,

eradikasi tidak efektif atau tidak lengkap sehingga mencetuskan fase

inflamasi kronis. Inflamasi kronis dapat menimbulkan kerusakan

jaringan yang tergantung dari bahan pemicu, tempat terjadinya reaksi

dan respon imun yang dominan. Bila inflamasi tidak terkontrol,


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

neutrofil tidak dikerahkan lagi dan berdegenerasi. Selanjutnya

dikerahkan sel mononuklear seperti monosit, makrofag, limfosit dan

sel plasma yang memberikan gambaran patologik khas dari inflamasi

kronis. Bila patogen peristen dalam tubuh, makrofag akan

mengalihkan respon berupa reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang

melibatkan limfosit secara penuh. Sitokin terutama IFN-γ dan TNF-α

berperan dalam inflamasi kronis (Baratawidjaja et al., 2012).

T Helper 1 (TH1), Natural Killer (NK), dan sel T cytotoxic

(TC) memproduksi IFN-γ, sedangkan makrofag teraktivasi

menghasilkan TNF-α. IFN-γ secara eksklusif dihasilkan oleh sel T dan

NK, efek paling utama IFN-γ adalah sebagai aktivator makrofag.

Makrofag yang teraktivasi menunjukkan kenaikan ekspresi MHC II di

permukaan selnya, menaikkan produksi sitokin, dan aktifitas

mikrobialnya lebih meningkat, sehingga lebih aktif dalam

mempresentasikan antigen dan membunuh patogen intraseluler. Pada

inflamasi kronis, makrofag teraktivasi dalam jumlah besar

mengeluarkan berbagai enzim hidrolitik, oksigen reaktif (ROS), dan

nitrogen yang bertanggung jawab pada sebagian besar kerusakan

jaringan di sekitarnya.

Salah satu sitokin penting yang dihasilkan makrofag

teraktivasi adalah TNF-α (Kindt et al., 2007). TNF-α dan IL-1 dapat

mengaktivasi NF-κB, faktor transkripsi berbagai gen yang berperan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

dalam regulasi produksi sitokin proinflamasi, rekruitmen leukosit, dan

cell survival (Lawrence, 2009).

3. Makrofag

Merupakan sel dominan pada inflamasi kronis, berasal dari

monosit pada sirkulasi darah yang kemudian bermigrasi ke jaringan.

Normalnya makrofag tersebar secara difus di jaringan ikat dan dapat pula

ditemui di organ seperti hepar (disebut sel Kuppfer), limpa dan limfonodus

(disebut histiosit), sistem saraf pusat (sel mikroglia) dan paru-paru

(makrofag alveolus). Semua makrofag tersebut kemudian disebut sebagai

mononuclear phagocyte system, atau dahulu disebut sistem retikulo

endotelia. Pada semua jaringan, makrofag memiliki fungsi sebagai

penyaring benda-benda asing, mikroba, dan sel tua, termasuk pula sel lain

yang telah selesai mengeliminasi mikroba pada respon seluler dan

humoral.

Monosit berasal dari prekursornya di sumsum tulang dan masuk

sirkulasi darah hanya dalam sehari. Adhesin dan kemokin menyebabkan

monosit bermigrasi ke jaringan yang luka dalam 24 hingga 48 jam setelah

onset inflamasi akut. Ketika monosit mencapai jaringan ekstravaskuler,

monosit bertansformasi menjadi makrofag, yaitu sel yang lebih besar,

memiliki waktu hidup lebih lama dan kapasitas fagositosis yang lebih

besar daripada monosit di dalam darah.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

Makrofag jaringan diaktivasi oleh bermacam-macam stimuli

untuk dapat melakukan berbagai fungsi. Jalur aktivasi makrofag ada dua,

yaitu klasik dan alternatif. Jalur klasik diinduksi oleh produk mikrobial

seperti endotoksin, sitokin dari sel T yaitu Interferon-gamma (IFN-γ), dan

oleh benda asing termasuk kristal. Makrofag yang teraktivasi lewat jalur

klasik mensekresi produk-produk enzim lisosomal, Nitric Oxide (NO),

ROS yang memiliki kemampuan untuk membunuh organisme patogen dan

mensekresi sitokin yang menstimulasi inflamasi. Makrofag ini penting

dalam pertahanan tubuh terhadap mikroba dan pada berbagai reaksi

inflamasi kronis.

Aktivasi makrofag jalur alternatif diinduksi oleh sitokin selain

IFN-γ, seperti IL-4 (Interleukin-4) dan IL-13 yang dihasilkan oleh sel T

dan sel lain termasuk sel mast dan eosinofil. Makrofag yang teraktivasi via

jalur ini berperan bukan sebagai eliminasi makroba tetapi berperan dalam

perbaikan jaringan, dengan cara mensekresi growth factor yang

menginisiasi angiogenesis, mengaktifkan fibroblas dan menstimulasi

sintesis kolagen.

Aktivasi makrofag selayaknya merupakan respon terhadap

sebagian besar rangsang berbahaya, pada awalnya makrofag teraktivasi

melalui jalur klasik untuk mengeliminasi patogen kemudian diikuti dengan

aktivasi via jalur alternatif untuk menginisiasi perbaikan jaringan.

Sayangnya rangkaian tersebut tidak terdokumentasi dengan baik pada

sebagian besar reaksi inflamasi.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

Makrofag merupakan sel yang penting pada respon inflamasi yaitu

perannya pada inisiasi dan propagasi pada semua reaksi inflamasi, dia

mensekresi Tumor Necrosis Factor (TNF), IL-1, kemokin, dan lainnya

serta eikosanoid. Setelah patogen inisiator telah dieliminasi atau reaksi

inflamasi telah mereda, selanjutnya makrofag akan mati atau kembali ke

sistem limfatik. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi makrofag

terjadi peresisten karena terjadi rekrutmen secara terus-menerus dari

pembuluh darah dan proliferasi di jaringan. IFN-γ menyebabkan beberapa

makrofag bersatu menjadi besar membentuk multinucleated giant cells

(Kumar et al., 2013).

4. Neutrofil

Disebut juga leukosit polimorfonuklear, merupakan sel darah

putih dengan populasi terbanyak yang beredar di pembuluh darah dan

merupakan sel imun yang pertama kali bermigrasi ke tempat reaksi

inflamasi. Neutrofil berbentuk sferis saat di sirkulasi, diameternya sekitar

12 hingga 15 μm, memiliki nukleus berbentuk segmen tiga sampai lima

lobus yang berkaitan. Granula neutrofil terdiri dari dua tipe, yang paling

banyak yaitu granula spesifik berisi enzim lisozim, kolagenase, dan

klastase. Granula lainnya yaitu granula azurofilik yang berisi defenzim dan

katelisidin yang berguna untuk mengeliminasi patogen. Stimulasi

diferensiasi neutrofil diperankan oleh Granulocyte Colony-Stimmulating

Factor (G-CSF). Manusia dewasa mampu memproduksi neutrofil


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

sebanyak 1 x 1011 neutrofil tiap harinya. Neutrofil melakukan migrasi ke

tempat infeksi mikroba dan segera bekerja mengeliminasi makroba,

setelah masuk ke jaringan neutrofil hanya dapat hidup 1 hingga 2 hari

kemudia mati (Abbas et al., 2015).

5. Sel Plasma

Sebagian besar limfosit B yang menghasilkan antibodi secara

morfologi diidentifikasi sebagai sel plasma. Ciri khasnya adalah nukleus

eksentris, kromatin yang terdistribusi mengikuti cartwheel pattern,

sitoplasmanya banyak dan mengandung retikulum endoplasma yang padat

dan kasar, serta memiliki aparatus golgi yang nampak jelas. Diperkirakan

setengah atau lebih dari messenger RNA pada sel ini mengkode protein

antibody, sel plasma tunggal dapat mensekresi beribu-ribu molekul

antibodi tiap detik. Sel plasma berkembang pada organ limfoid dan pada

tempat terjadinya respon imun, beberapa di antara sel plasma dapat

menetap di sumsum tulang, sel tersebut dapat hidup dan mensekresi

antibodi dalam jangka waktu yang lama setelah terjadi induksi terhadap

respon imun (Abbas et al., 2015).

6. Limfosit

Limfosit dapat ditemukan pada berbagai keadaan seperti infeksi,

inflamasi yang tidak dimediasi oleh imunitas (neksrosis iskemik atau

trauma), maupun inflamasi pada autoimun dan inflamasi kronis. Aktivasi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

limfosit T dan B merupakan bagian dari respon adaptif pada keadaan

infeksi dan penyakit imunologik. Kedua limfosit tersebut bermigrasi ke

tempat inflamasi menggunakan molekul adesi dan kemokin yang sama

untuk rekrutmen leukosit lain. Limfosit B dapat berkembang menjadi sel

plasma pada jaringan yang kemudian bisa mensekresi antibodi, sedangkan

aktivasi limfosit T CD4+ dapat mensekresi berbagai sitokin. Sitokin yang

dihasilkan oleh limfosit T CD4+ dapat menaikkan respon inflamasi dan

memengaruhi berbagai keadaan pada inflamasi. CD4+ memiliki tiga

subset yang dapat menghasilkan sitokin yang berbeda:

a. TH1: memproduksi IFN-γ yang dapat mengaktivasi makrofag melalui

jalur klasik

b. TH2: mensekresi IL-4, IL-5, dan IL-13 yang bisa merekrut dan

mengaktivasi eosinofil serta bertanggung jawab pada aktivasi

makrofag melalui jalur alternatif

c. TH17: mensekresi IL-17 dan sitokin lainnya yang dapat menginduksi

sekresi kemokin untuk rekrutmen neutrofil dan monosit

TH1 dan TH17 berperan penting pada pertahanan terhadap

berbagai bakteri dan virus serta pada autoimun, sedangkan TH2 adalah

limfosit penting pada infeksi cacing dan inflamasi akibat alergi. Interaksi

antara limfosit dan makrofag berupa dua arah dan tipe interaksi ini

memiliki peran yang penting pada perkembangan inflamasi kronis.

Makrofag mempresentasikan antigen ke sel T dan memproduksi sitokin

yang dapat menstimulasi respon sel T. Sel T yang teraktivasi memproduksi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

sitokin yang kemudian dapat merekrut dan mengaktivasi makrofag,

sehingga presentasi antigen dan produksi sitokin makin bertambah. Oleh

karena itu gambaran khas dari inflamasi kronis yang peresisten yaitu

akumulasi limfosit, Antigen-Presenting Cell (APC), dan sel plasma

(Kumar et al., 2013).

7. NF-κB

Nuclear Factor-kappa Beta (NF-κB) atau Rel adalah kompleks

protein, faktor transkripsi yang mengontrol berbagai proses seluler

penting, seperti terlibat dalam respon imun dan inflamasi, proses

perkembangan, pertumbuhan sel, dan apoptosis. Selain itu faktor

transkripsi ini juga aktif pada kanker, atritis, inflamasi kronis, asma,

penyakit neurodegeneratif, dan penyakit jantung. Pada sebagian besar sel,

NFκB ada dalam keadaan laten, inaktif karena diikat oleh IκB (inhibitor of

NF-κB) di sitoplasma. IκB merupakan protein inhibitor NF-κB, regulator

utama aktifitas NF-κB. Inducer atau stimulus NF-κB dapat berupa infeksi

(bateri, virus, parasit), stres (fisik, psikis, oksidatif), sitokin-sitokin

inflamasi (TNF-α, IL-1), dan lain-lain. Ketika sel menerima stimulus-

stimulus tersebut, NF-κB akan masuk dengan cepat ke nukleus dan

mengaktifkan ekspresi beberapa gen, misalnya sitokin atau kemokin dan

modulatornya, growth factor, dan regulator apoptosis (Gilmore, 2006).

Pada sel mamalia, famili NF-κB/Rel terdiri dari 5 anggota, yaitu

RelA (p65), c-Rel, NF-κB1 (p50; p105), dan NF-κB2 (p52; p100). Protein
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

inhibitor NF-κB, yaitu IκB terdiri dari IκBα, IκBβ, IκBε, dan Bcl-3 (B cell

lymphoma-3). Degradasi IκB diperankan oleh kompleks IκB Kinase

(IKK), yang tersusun oleh subunit katalitik IKKα dan IKKβ serta subunit

regulator IKKγ disebut juga NF-κB Essential Modulator (NEMO).

Jalur aktivasi NF-κB ada 2, yaitu jalur klasik/canonical pathway

dan jalur alternatif/non-canonical pathway. Aktivasi jalur klasik

dicetuskan oleh reseptor TNF 1/2 (TNFR 1/2), reseptor sel T (TCR),

reseptor sel B (BCR), IL-1, atau reseptor Toll-like (TLR) yang kemudian

akan mengaktivasi IKKβ dan memfosforilasi IκBα, aktivasi NF-κB akan

mentranskripsi gen yang mengkode sitokin, kemokin, molekul adesi,

penguat respon inflamasi, dan survival sel. Pada jalur alternatif, pencetus

berupa reseptor limfotoksin β (LTβR), B-cell-activating factor belonging

to the TNF family receptor (BAFF-R), CD40, dan CD30. Aktivasi NF-κB

melalui fosforilasi p100 oleh IKKα homodimer untuk kemudian

meregulasi perkembangan organ limfoid dan sistem imun adaptif

(Nishikori, 2005).

Pada kanker, aktifasi NF-κB merupakan akibat dari proses

inflamasi atau sebagai konsekuensi dari terbentuknya inflammatory

microenvirontment selama proses keganasan. Hal yang paling penting

yaitu karena kemampuannya dalam menaikkan regulasi ekspresi sitokin

pemicu tumor seperti IL-6 maupun TNF-α serta gen untuk survival sel

seperti Bcl-XL (B-cell lymphoma-extra large), NF-κB merupakan titik

kritis penghubung antara inflamasi dan kanker (Karin, 2009).


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

JALUR AKTIVASI NF-κB

TNF
Jalur Klasik IL-1
LPS
Reseptor

Jalur Alternatif IκB


IKK
BAFF IκB
LTα1β2 NF-κB
NF-κB
CD40L
Reseptor Nukleus

Sitoplasma

Gambar 2.1 Jalur Aktivasi NF-κB Dikutip dari Nishikori (2005) dengan
Perubahan

8. Ekspresi NF-κB pada Polip Hidung

NF-κB dapat menginduksi transkripsi beberapa gen termasuk gen

yang mengatur sintesis IL-8, IL-16, iNOS, dan eotaksin yang ikut

berkontribusi pada patogenesis polip hidung. Ekspresi eksotaksin 1

mengalami kenaikan 3 kali lipat pada polip hidung dibandingkan kontrol

mukosa normal. Eksotaksin merupakan kemoatraktan poten untuk

eosinofil dan dipercaya sebagai kunci utama terjadinya eosinofilia

jaringan. Di antara beberapa interleukin NF-κB-dependen, IL-8


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

merupakan interleukin yang mengalami kenaikan paling signifikan, IL-8

ikut andil dalam rekrutmen dan aktivasi leukosit, limfosit T, dan eosinofil

(Fraczek, 2013). Hanya saja keberadaan NF-κB belum dapat digunakan

sebagai prediktor rekurensi karena tidak ada perbedaan ekspresi NF-κB

yang signifikan secara statistik pada polip hidung primer dan rekuren,

termasuk juga profil CD4, CD8, Transforming Growth Factor-Alpha

(TGF-α), TGF-β, Vasculae Endothelial Growth Factor (VEGF).

Perbedaan yang signifikan ditemukan pada hitung eosinofil, yaitu pada

polip hidung yang memiliki gambaran histologik eosinofil dominan

memiliki kecenderungan untuk mengalami rekurensi. Pasien dengan

eosinofilia lebih sensitif terhadap pemberian kortikosteriod pasca operasi

untuk mencegah rekurensi (Gel et al., 2015).

NF-κB merupakan faktor transkripsi penting yang memiliki peran

dalam respon inflamasi pada rinosinusitis kronis dengan polip hidung.

Penggunaan kortikosteroid yang dikombinasi bersama inhibitor NF-κB

(misalnya DHMEQ atau dehydroxymethylepoxyquinomicin) mampu

menurunkan derajat inflamasi daripada penggunaan secara terpisah. Efek

antiinflamasi dari kombinasi dua obat ini dapat menjadi strategi

menjanjikan untuk diteliti lebih mendalam, terutama untuk terapi polip

hidung yang resisten terhadap kortikosteroid (Valera et al., 2012b).

Resistensi kortikosteroid pada rinosinusitis kronis dengan polip

hidung terjadi karena terbatasnya kerja glukokortikosteroid topikal pada

penyakit kronis, buruknya perbaikan pasca terapi, dan resistensi


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

glukokortikosteroid secara seluler maupun molekuler. Mekanisme seluler

dan molekuler yang menyebabkan resistensi terhadap glukortikosteroid

adalah interaksi antara Glucocorticosteroid Receptor α-

Glucocorticosteroid Receptor β (GRα-GRβ) dan pengaruh dari faktor

transkripsi. Tingginya ekspresi faktor transkripsi ( Activator Protein-1

(AP-1) dan NF-κB) menyebabkan resistensi kortikosteroid, karena faktor

transkripsi tersebut menghalangi kerja kostikosteroid dengan cara

mencegah ikatan antara kompleks kortikosteriod dan reseptornya ke

sekuens DNA yang dituju (Valera et al., 2012a).

Penelitian Valera et al. (2011) menyebutkan bahwa TNF-α secara

signifikan menaikkan translokasi nuklear NF-κB, hal ini sekaligus

mengkonfirmasi bahwa NF-κB merupakan mekanisme penting dari

induksi mediator-mediator proinflamasi pada polip hidung seperti yang

diutarakan oleh penelitian sebelumnya. Keberhasilan pengobatan dengan

kortikosteroid dapat dideteksi dengan menurunnya level aktivasi NF-κB.

Pada beberapa orang yang tidak menunjukkan respon baik terhadap

kortikosteroid didapatkan kenaikan ekspresi NF-κB. Oleh karena itu NF-

κB dapat dipertimbangkan sebagi mediator penting pada inisiasi polip

hidung dan resisten terhadap glukokortikosteroid.

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

B. Kerangka Pemikiran

Ras dan Geografik Etiopatogenesis

Profil sel-sel radang

Histiosit Makrofag Neutrofil Sel Plasma Limfosit

Radikal bebas, kemokin, sitokin proinflamasi

LPS Pelepasan kompleks


Asap Rokok NFκB-inhibitor

Stres (fisik,
NF-κB
psikis, oksidatif)

Transkripsi penyandi:
cell survival,
proliferasi, inflamasi

Disfungsi saraf otonom


Polip Hidung Keterangan:
Predisposisi genetik : faktor perancu
: memacu
: menghambat

C. HIPOTESIS

Terdapat korelasi antara densitas sel-sel radang dengan ekspresi

NF-κB pada polip hidung tipe fibroinflammatory.

commit to user

Anda mungkin juga menyukai