Anda di halaman 1dari 16

7

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Perpajakan

2.1.1 Kebijakan Pajak (Tax Policy)

Setiap kebijakan perpajakan baik pada aspek domestik maupun internasional,

tujuan yang paling dominan adalah mengumpulkan penerimaan (dana) untuk

memenuhi pengeluaran pemerintah (Gunadi, 2007:6). Lauddin Marsuni (2006: 37-38)

merumuskan kebijakan perpajakan sebagai berikut:

1. Suatu pilihan atau keputusan yang diambil oleh pemerintah dalam rangka

menunjang penerimaan negara, dan menciptakan kondisi ekonomi yang

kondusif.

2. Suatu tindakan pemerintahan dalam rangka memungut pajak, guna

memenuhi kebutuhan dana untuk keperluan negara.

3. Suatu keputusan yang diambil pemerintah dalam rangka meningkatkan

penerimaan negara dari sektor pajak untuk digunakan menyelesaikan

kebutuhan dana bagi negara.

Dalam beberapa literatur disebutkan bahwa kebijakan adalah suatu ketetapan

yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat

secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu (Suharto, 2005:7).

Kebijakan perpajakan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan

7
8

ekonomi atau kebijakan pendapatan negara (fiscal policy). Kebijakan perpajakan

dapat diartikan sebagai suatu cara atau alat pemerintah dibidang perpajakan yang

memiliki suatu sasaran atau tujuan tertentu di bidang sosial dan ekonomi.

Pajak dapat dikenakan hanya jika undang-undang sah diberlakukan, pajak

harus diterapkan secara adil, pendapatan yang dihasilkan oleh pajak hanya dapat

digunakan untuk kepentingan publik yang sah, bukan untuk kepentingan pribadi.

Untuk mengetahui informasi mengenai kinerja suatu kebijakan maka harus dilakukan

evaluasi terhadap kebijakan tersebut. fungsi utama evaluasi dalam analisis kebijakan

adalah pertama, evaluasi memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya

mengenai kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan

telah dicapai melalui tindakan publik. Kedua, evaluasi memberi sumbangan pada

klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target.

2.1.2 Hukum Pajak (Tax Law)

Pengertian hukum pajak menurut Brotodihardjo (1998:1) adalah keseluruhan

dari peraturan-peraturan yang meliputi wewenang pemerintah untuk mengambil

kekayaan seseorang dan menyerahkannya kembali kepada masyarakat dengan

melalui kas negara, sehingga ia merupakan bagian dari hukum publik, yang mengatur

hubungan-hubungan hukum antara negara dan orang-orang atau badan-badan

(hukum) yang berkewajiban membayar pajak (wajib pajak). Hukum pajak dibedakan

menjadi hukum pajak material dan hukum pajak formal. Pembedaan antara hukum
9

pajak material dan formal sangat penting, karena peraturan dari hukum formal tidak

pernah akan menimbulkan suatu hutang pajak.

2.1.3 Administrasi Pajak (Tax Administration)

Menurut Bird dan Jantscher (1992:1) administrasi perpajakan memainkan

peran penting dalam menentukan sistem pajak sesungguhnya (atau efektif).

Pengertian administrasi pajak menurut Lumbantoruan sebagaimana dikutip oleh

Rahayu (2010:93) adalah cara-cara atau prosedur pengenaan dan pemungutan pajak.

Suatu negara dapat dengan sukses mencapai sasaran yang diharapkan dalam

menghasilkan penerimaan pajak yang optimal karena administrasi perpajakannya

mampu dengan efektif melaksanakan sistem perpajakan di suatu negara yang dipilih.

Apabila kebijakan, peraturan pemerintah mengenai pajak sudah mampu

mengatasi masalah-masalah tersebut diatas, maka administrasi perpajakan yang telah

berjalan dapat dikatakan sebagai sistem administrasi pajak yang baik. Pemungutan

pajak merupakan tujuan utama administrasi pajak dan yang menjadi dasar adanya

administrasi pajak.

Dalam memungut pajak dikenal tiga teknik yang secara teoritis dapat

diterapkan, yaitu self assessment system, official assessment system dan hybrid system

/ semi self assessment system.


10

a. Self Assessment System

Dalam sistem self assessment, kewenangan untuk menghitung,

menetapkan, menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang berada di

tangan wajib pajak. Dalam sistem ini, fiskus hanya berperan untuk

mengawasi. Tata cara pemungutan pajak dengan self assessment system

akan berhasil dengan baik apabila masyarakat mempunyai pengetahuan

dan disiplin pajak yang tinggi. Menurut K. Judisseno (Rahayu,2010:102)

mengatakan bahwa self assessment system diberlakukan untuk

memberikan kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat, guna

meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan

pajaknya.

b. Official Assessment System

Dalam sistem official assessment, fiskus berperan aktif dalam menghitung

dan menetapkan besarnya pajak terutang. Wajib pajak membayar pajak

yang terutang berdasarkan surat ketetapan yang diterbitkan oleh fiskus. Di

Indonesia, Pajak bumi dan bangunan dapat dikatakan menganut sistem

ini, karena besarnya pajak yang terutang dihitung dan ditetapkan oleh

fiskus melalui Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (Rosdiana dan

Irianto,2014:107).
11

c. Hybrid System / Semi Self Assessment System

Perpaduan antara sistem self assessment dengan official assessment

semakin berkembang sejak diperkenalkannya teknik pemungutan pajak

yang disebut dengan witholding tax.Sistem ini merupakan sistem

perpajakan dimana pihak ketiga baik wajib pajak orang pribadi maupun

wajib pajak badan dalam negeri diberi kepercayaan oleh peraturan

perundang-undangan untuk melaksanakan kewajiban memotong atau

memungut pajak penghasilan yang dibayarkan kepada penerima

penghasilan.

2.1.4 Utang Pajak

Dalam hukum pajak, terpadat dua jenis kewajiban pajak yang menjadi dasar

mengapa setiap orang (dalam hal ini wajib pajak) harus membayar pajak yang

terutang. Kedua kewajiban pajak tersebut adalah kewajiban pajak subjektif dan

kewajiban pajak objektif. Kewajiban pajak subjektif adalah kewajiban yang melekat

pada subjeknya (subjek pajak), pada umumnya setiap orang bertempat tinggal di

Indonesia memenuhi kewajiban pajak subjektif terhadap Indonesia. Sedangkan

kewajiban pajak objektif adalah kewajiban yang melekat pada objeknya (objek

pajak).

Menurut Nurmantu (2003:138-140) salah satu aspek penting dalam hukum

pajak adalah aspek utang pajak, khususnya aspek yang membahas tentang timbulnya

utang pajak dan hapusnya utang pajak. Menurut faham formal utang timbul karena
12

perbuatan fiskus, yakni fiskus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP). Sedangkan

menurut faham material utang pajak timbul karena terpenuhinya ketentuan-ketentuan

yang disyaratkan dalam Undang-undang. Dalam pemungutan pajak daerah, pajak

yang terutang merupakan pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak pada suatu saat,

dalam masa pajak, tahun pajak, atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan daerah (Siahaan,2013:82-83).

2.1.5 Penagihan Pajak

Salah satu kunci keberhasilan penerimaan pajak adalah kepatuhan wajib pajak

dalam membayar pajak. Hanya saja, apabila wajib pajak ternyata tidak membayar

pajak, terhadapnya tentu perlu diberikan tindakan tegas untuk dapat memaksa wajib

pajak tersebut melunasi utang pajaknya. Hal ini diwujudkan dalam bentuk penagihan

pajak terhadap wajib pajak yang tidak atau belum melunasi utang pajaknya sesuai

dengan ketentuan yang berlaku. Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan

agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan

menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus,

memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,

melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang yang telah disita.

Pemantauan pembayaran pajak merupakan pelaksanaan dari fungsi

pengawasan fiskus. Kegiatan ini dilakukan dengan cara fiskus membukukan

pembayaran wajib pajak, baik yang dilakukan sebelum jatuh tempo maupun sesudah

hari jatuh tempo, dan mengawasi pembayaran pajak yang tidak ditagih dengan Surat
13

Tagihan Pajak (khususnya pembayaran masa). Dalam pelaksanaan pemantauan

pembayaran pajak fiskus juga dapat melakukan tindakan aktif dengan cara

mengeluarkan surat himbauan kepada wajib pajak untuk segera melakukan

pembayaran pajak.

Penagihan pajak yang bersifat aktif merupakan tindakan berikutnya yang

dilakukan oleh fiskus berdasarkan pemantauan terhadap kepatuhan wajib pajak dalam

membayar pajak. Dengan mendasarkan pada data wajib pajak yang tidak melunasi

utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran pajak, fiskus dapat

melakukan penagihan aktif dengan maksud agar wajib pajak segera melunasi utang

pajaknya. Tindakan penagihan aktif dilakukan dengan cara fiskus menagih pajak

yang masih terutang kepada wajib pajak atau penanggung pajak dengan menerbitkan

surat ketetapan pajak yang menyatakan bahwa pajak belum atau kurang bayar dari

yang seharusnya, surat teguran, dan surat tagihan pajak.

Atas jumlah pajak yang masih harus dibayar, berdasarkan STP, SKPKB,

SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, Putusan Peninjauan

Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah yang

tidak dibayar oleh Penanggung pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan

dilaksanakan penagihan pajak dengan Surat Paksa.

Jadwal waktu penagihan

a. Tanggal jatuh tempo tidak dibayar.

b. 7 hari tanggal jatuh tempo diterbitkan surat teguran.


14

c. 21 hari dari tanggal surat teguran diterbitkan surat paksa

d. 2x24 jam dari tanggal surat paksa diterbitkan surat perintah melakukan penyitaan.

e. 14 hari dari tanggal SPMP pemerintah jadwal waktu pelelangan ke kantor lelang

negara.

f. 14 hari pengumuman lelang, pelaksanaan lelang, Penerbitan Surat Paksa

Apabila Wajib Pajak tidak melakukan kewajiban membayar dalam jangka

waktu sebagaimana ditentukan dalam surat teguran, penagihan selanjutnya dilakukan

oleh Juru Sita Pajak Negara. Surat Paksa diberitahukan oleh JSPN dengan pernyataan

dan penyerahan kepada penanggung pajak.

2.1.6 Pajak Daerah

Wewenang mengenakan pajak atas penduduk setempat untuk membiayai

layanan masyarakat merupakan unsur yang penting dalam sistem pemerintah daerah.

Salah satu pos penerimaan asli daerah (PAD) dalam ABPD adalah pajak daerah.

Pemungutan pajak daerah di Indonesia dibagi kedalam dua tingkatan yakni pajak

daerah tingkat I (Provinsi) dan pajak daerah tingkat II (Kota/Kabupaten). Ruang

lingkup pajak daerah terbatas pada objek yang belum dikenakan pajak pusat.

Pembedaan pajak pusat dan pajak daerah umumnya dilakukan untuk

menentukan kewenangan pemungutan pajak dan pemanfaatan serta untuk

menghindari adanya pajak berganda. Pada umumnya pajak yang sudah dipungut oleh

pemerintah pusat, tidak lagi dipungut oleh pemerintah daerah, begitu juga sebaliknya

(Rosdiana dan Irianto, 2014:63). Penghindaran beban pajak yang berlebihan, dapat
15

juga dilakukan tidak hanya dengan membagi objek pajak mana yang akan dipungut

oleh pusat dan mana yang dipungut oleh daerah, tetapi juga dengan cara revenue

sharing / tax sharing.

Menurut Nick Devas (1989:61-62) untuk menilai pajak daerah yang ada sudah

baik, dapat menggunakan lima tolak ukur yang dapat digunakan, yaitu :

a. Hasil (Yield)

Memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitan dengan berbagai

layanan yang dibiayainya; stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan

besar hasil itu; dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan

penduduk, dan sebagainya, juga perbandingan hasil pajak dengan biaya

pungut.

b. Keadilan (Equity)

Dasar pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan tidak sewenang

wenang; pajak bersangkutan harus adil secara horisontal, artinya beban

pajak haruslah sama besar antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi

dengan kedudukan ekonomi yang sama; harus adil secara vertikal, artinya

kelompok yang memiliki sumberdaya ekonomi yang lebih besar

memberikan sumbangan yang lebih besar daripada kelompok yang tidak

banyak memiliki sumberdaya ekonomi; dan pajak itu haruslah adil dari

tempat ke tempat, dalam arti, hendaknya tidak ada perbedaan-perbedaan

besar dan sewenang-wenang dalam beban pajak dari suatu daerah ke


16

daerah lain, kecuali jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam

cara menyediakan layanan masyarakat.

c. Daya Guna Ekonomi (Economic Efficiency)

Pajak hendaknya mendorong (atau setidak-tidaknya tidak menghambat

penggunaan sumberdaya secara berdaya guna dalam kehidupan ekonomi;

mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan pilihan produsen menjadi

salah arah atau orang segan bekerja atau menabung; dan memperkecil

beban lebih pajak.

d. Kemampuan Melaksanakan (Ability to Implement)

Suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan

kemauan tata usaha.

e. Kecocokan sebagai Sumber Penerimaan Daerah (Suitability as a Local

Revenue Source)

Haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak dibayarkan, dan tempat

memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban

pajak; pajak tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan objek

pajak dari suatu daerah ke daerah lain; pajak daerah hendaknya jangan

mempertajam perbedaan-perbedaan antar daerah, dari segi potensi

ekonomi masing-masing; dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban

yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.


17

2.1.7 Pajak Properti

Properti adalah konsep hukum yang menyangkut kepentingan, hak dan

keuntungan yang berkaitan dengan suatu kepemilikan. Berdasarkan konsep hukum

tersebut, properti bisa disebut sebagai benda, meliputi benda bergerak dan tidak

bergerak, baik yang berwujud (tangible) maupun yang tidak berwujud (intangible),

yang memiliki nilai tukar atau dapat membentuk kekayaan (Achmad Lutfi. Et.Al.

2013:31). Pajak properti merupakan cara tertua untuk memperoleh penerimaan bagi

pemerintah. Pajak properti menjadi sumber utama pemasukan pemerintah setidaknya

sampai sebelum pajak pendapatan dan pajak pejualan diperkenalkan pada abad ke-20.

Pajak properti merupakan sebuah pajak yang wajib dibayar berkenaan dengan

pemilikan, penggunaan, ataupun pengembangan tanah dan bangunan yang dikenakan

setiap tahun atas dasar nilai modal atau proksi nilai sewa, yang hasil penerimaannya

akan digunakan untuk pemerintah daerah (Lutfi. Et.Al. 2013:32).

Pajak properti dikenakan atas berbagai jenis properti sehingga dikenal istilah

ad valorem, cakupan jenis pajak properti dapat berupa (Soeharno, 2003:119) :

1. Pajak properti riil (the real property tax) , yaitu pajak yang dikenakan atas nilai

tanah dan improvement diatasnya.

2. Pajak properti personal (the personal property tax), yaitu pajak yang dikenakan

pada properti personal berwujud seperti : furniture, peralatan dan perlengkapan

pada properti personal yang tidak berwujud seperti uang, saham dan obligasi.
18

Menurut Devas (1989:118-120) pajak properti dipungut di berbagai negara

karena alasan-alasan sebagai berikut :

a. Pemilik tanah menarik manfaat dari investasi pemerintah dalam

layanan masyarakat dan prasarana. Karena itu berdasarkan asas

manfaat dalam keuangan negara, pemilih tanah wajib diminta

membayar manfaat yang dinikmati itu.

b. Pemilik tanah umumnya memiliki kemampuan membayar pajak yang

tinggi, karena pemilikan tanah dapat dijadikan ukuran, meski agak

kasar, mengenai kemampuan membayar pajak.

c. Pajak tanah dan bangunan setidak-tidaknya sepintas dari sudut tata

usaha tidak sulit untuk dilaksanakan, dibandingkan dengan pajak

pendapatan atau pajak lain, karena dasar pajak tanah dan bangunan

tampak dan tidak bergerak.

d. Pajak tanah dan bangunan, jika dirancang dengan baik dapat menjadi

sumber penerimaan yang besar, stabil dan elastis.

e. Pajak tanah dan bangunan dapat memperkuat peranan pemerintah

daerah, karena membuka peluang dasar pajak yang lebih luas bagi

penerimaan pemerintah sendiri.

f. Pajak tanah dan bangunan dapat membantu mengurangi spekulasi

tanah dan mendorong pemilik tanah menggunakan tanah miliknya

dengan sebaik-baiknya.
19

Penerapan pajak properti di Indonesia lebih dikenal dengan pajak bumi dan

bangunan. Pajak bumi dan bangunan merupakan pajak yang paling tua di Indonesia

(Darwin. 2013:2). Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas harta

tidak bergerak berupa bumi dan / atau bangunan. Menurut Mardiasmo (1992:165)

asas pajak yang harus dipenuhi dalam pajak bumi dan bangunan adalah :

a. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan;

b. Adanya kepastian hukum;

c. Mudah dimengerti dan adil;

d. Menghindari pajak berganda

Berdasarkan beberapa literatur pengenaan pajak properti dapat didasarkan atas

dua azas yaitu azas manfaat (benefit principle) dan azas kemampuan membayar

(ability to pay principle). Menurut azas manfaat, asumsi dasar suatu properti

dikenakan pajak adalah negara memberikan perlindungan terhadap setiap properti

milik masyarakat. Pajak properti lokal tidak hanya menyediakan sumber pendapatan

yang berharga bagi pemerintahnya; Hal ini juga membutuhkan pengembangan

pendaftaran tanah. Pendaftaran tanah akan mengarah pada perbaikan dalam

keamanan hak milik (House of commons international development committee,

2012:8). Sarana dan prasarana yang dibangun pemerintah, seperti jalan, jembatan,

fasilitas air dan listrik akan secara nyata menaikkan nilai properti milik masyarakat.

Oleh karena itu, dengan adanya jasa jasa publik tersebut, maka wajar apabila

pengenaan pajak akan lebih tinggi daripada wilayah lain yang tidak menerima
20

fasilitas publik yang sama. Sedangkan berdasarkan azas kemampuan membayar,

pertimbangan dasar pengenaan pajak properti atas dasar faktor pengendalian sosial,

dimana adanya ketimpangan distribusi kekayaan dan konsumsi yang tidak merata

pada lapisan masyarakat yang dapat sedikit dikurangi dengan penerapan tarif

progresif untuk properti.


21

2.2 Kerangka Pemikiran

Perda DKI Jakarta


Nomor 16 Tahun 2011

Subjek Pajak Objek Pajak Bukan Objek

SPPT PBB-P2

Pembayaran PBB-P2

Penerimaan dari PBB-P2 Tunggakan PBB-P2

Implementasi Kendala dalam


optimalisasi penyelesaian optimalisasi penyelesaian
tunggakan PBB-P2 tunggakan PBB-P2

Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran

Sumber : Diolah Peneliti


22

Penelitian ini dari kerangka berpikir sesuai dengan dasar pemungutan PBB-

P2 di Unit Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah Pademangan yakni Perda DKI

Nomor 16 tahun 2011, dijelaskan bahwa apabila suatu objek bumi dan/atau

bangunan perdesaan dan perkotaan telah memenuhi kriteria sebagai objek pajak serta

kriteria secara subjek pajak juga terpenuhi, dan tidak termasuk kedalam yang

dikecualikan, maka akan diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)

PBB-P2 sebagai dasar penagihan.

Kemudian apabila kewajiban pajak yang tertera pada SPPT PBB-P2 tersebut

dibayar oleh wajib pajak maka akan menjadi sumber penerimaan bagi Unit

Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah Pademangan. Namun sebaliknya apabila

SPPT PBB-P2 tersebut tidak dibayar atau dilunasi oleh wajib pajak, maka akan

menjadi tunggakan PBB-P2 yang harus dilakukan tindakan penagihan, agar wajib

pajak melunasi beban pajak yang telah ditetapkan kepadanya. Oleh karena itu Unit

Pelayanan Pajak dan Retribusi Daerah Pademangan melakukan berbagai upaya untuk

bisa mencairkan tunggakan PBB-P2.

Dalam mencairkan tunggakan PBB-P2 diantaranya menerbitkan surat

himbauan pembayaran, papan informasi menunggakan pajak, serta memberikan

kebijakan pengurangan pokok pajak dan penghapusan sanksi administrasinya.

Terkait upaya-upaya yang dilakukan, peneliti tertarik untuk menganalisis

implementasi optimalisasi penyelesaian tunggakan PBB-P2 di Unit Pelayanan Pajak

dan Retribusi Daerah Pademangan, serta menganalisis kendala yang dihadapi.

Anda mungkin juga menyukai