Anda di halaman 1dari 9

Toleransi Antar Umat Beragama (Lengkap)

 Sriwati  Nov 28, 2015  Agama Islam, Kebangsaan

Toleransi Antar Umat Beragama - Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga sebagai makhluk sosial.
Sebagai makhluk sosial manusia diwajibkan mampu berinteraksi dengan individu / manusia lain dalam rangka
memenuhi kebutuhan. Dalam menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan
dengan kelompok-kelompok yang berbeda dengannya salah satunya adalah perbedaan kepercayaan / agama.

Toleransi Antar Umat Beragama

Dalam menjalani kehidupan sosial tidak bisa dipungkiri akan ada gesekan-gesekan yang akan dapat terjadi
antar kelompok masyarakat, baik yang berkaitan dengan agama atau ras. Dalam rangka menjaga persatuan dan
kesatuan dalam masyarakat maka diperlukan sikap saling menghargai dan menghormati, sehingga tidak terjadi
gesekan-gesekan yang dapat menimbulkan pertikaian.

Baca Juga: Kumpulan Posting Tentang CPNS (Terlengkap dan Gratis)

Dalam pembukaaan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 telah disebutkan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-
tiap penduduk untuk memeluk agamanya sendiri-sendiri dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya" Sehigga kita sebagai warga Negara sudah sewajarnya saling menghormati antar hak dan
kewajiban yang ada diantara kita demi menjaga keutuhan Negara dan menjunjung tinggi sikap saling toleransi
antar umat beragama.

Arti dan Makna Toleransi

Toleransi berasal dari bahasa latin dari kata "Tolerare" yang berarti dengan sabar membiarkan sesuatu. Jadi
pengertian toleransi secara luas adalah suatu perilaku atau sikap manusia yang tidak menyimpang dari aturan,
dimana seseorang menghormati atau menghargai setiap tindakan yang dilakukan orang lain.

Toleransi juga dapat dikatakan istilah pada konteks agama dan sosial budaya yang berarti sikap dan perbuatan
yang melarang adanya diskriminasi terhadap golongan-golongan yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh
mayoritas pada suatu masyarakat. Misalnya toleransi beragama dimana penganut Agama mayoritas dalam
sebuah masyarakat mengizinkan keberadaan agama minoritas lainnya. Jadi toleransi antar umat beragama
berarti suatu sikap manusia sebagai umat yang beragama dan mempunyai keyakinan, untuk menghormati dan
menghargai manusia yang beragama lain.

Baca Juga: Sejarah Pembentukan (Lahirnya) UUD 1945

Istilah toleransi juga dapat digunakan dengan menggunakan definisi "golongan / Kelompok" yang lebih luas,
misalnya orientasi seksual, partai politik, dan lain-lain. Sampai sekarang masih banyak kontroversi serta kritik
mengenai prinsip-prinsip toleransi baik dari kaum konservatif atau liberal. 

Pada sila pertama dalam Pancasila, disebutkan bahwa bertaqwa kepada tuhan menurut agama dan
kepercayaan masing-masing merupakan hal yang mutlak. Karena Semua agama menghargai manusia oleh
karena itu semua umat beragama juga harus saling menghargai. Sehingga terbina kerukunan hidup anatar
umat beragama.
Contoh Perwujutan Toleransi Beragama:

Memahami setiap perbedaan.

Sikap saling tolong menolong antar sesama umat yang tidak membedakan suku, agama, budaya maupun ras.

Rasa saling menghormati serta menghargai antar sesama umat manusia.

Contoh pelaksanaan Toleransi Beragama:

Memperbaiki tempat-tempat umum 

Kerja bakti membersihkan jalan desa

Membantu korban kecelakaan lalu-lintas.

Menolong orang yang terkena musibah atau bencana alam

Jadi, bentuk kerjasama ini harus kita praktekkan dalam kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan serta tidak
menyinggung keyakinan pemeluk agama lain. melalui toleransi diharapkan terwujud ketertiban, ketenangan
dan keaktifan dalam menjalankan ibadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing..

Toleransi Umat Beragama di Indonesia

Pandangan ini muncul dilatarbelakangi oleh semakin meruncingnya hubungan antar umat beragama di
indonesia. Penyebab munculnya ketegangan antar umat beragama tersebut antara lain:

Kurangnya pengetahuan para pemeluk agama akan agamanya sendiri dan agama pihak lain.

Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi dalam kehidupan masyarakat.

Sifat dari setiap agama, yang mengandung misi dakwah dan tugas dakwah.

Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat.

Para pemeluk agama tidak mampu mengontrol diri, sehingga tidak menghormati bahkan memandang randah
agama lain.

Kecurigaan terhadap pihak lain, baik antar umat beragama, intern umat beragama, atau antara umat
beragama dengan pemerintah.

Pluralitas agama hanya dapat dicapai seandainya masing-masing kelompok bersikap lapang dada satu sama
lain. Sikap lapang dada dalam kehidupan beragama akan memiliki makna bagi kemajuan
dan kehidupan masyarakat plural, apabila ia diwujudkan dalam:

Sikap saling mempercayai atas itikad baik golongan agama lain.

Sikap saling menghormati hak orang lain yang menganut ajaran agamanya.

Sikap saling menahan diri terhadap ajaran, keyakinan dan kebiasan kelompok agama lain yang berbeda, yang
mungkin berlawanan dengan ajaran, keyakinan dan kebiasaan sendiri.
Contoh Toleransi Umat Beragama dalam Kehidupan Nyata

Toleransi antarumat beragama antara pemeluk Agama Islam dan Kristen di Gereja Kristen Jawa (GKJ)
Joyodiningratan dan Masjid Al Hikmah, Serengan, Kota Solo, Jateng. yang tercipta sejak dahulu.

"Dua bangunan tersebut berdampingan serta memiliki alamat yang sama, yaitu di Jalan Gatot Subroto Nomor
222, Solo,"

Namun Perbedaan keyakinan tidak menyurutkan semangat pemeluk Kristen dan Islam setempat untuk saling
menjaga kerukunan, menghormati dan mengembangkan sikap toleransi. Bangunan Masjid Al Hikmah didirikan
pada tahun 1947 sedangkan GKJ Joyodingratan didirikan 10 tahun sebelumnya atau sekitar 1937. namun
Toleransi antarumat beragama telah tercipta sejak lama disini.

Baca Juga: Uniknya Bandara Gibraltar, miliki Jalan Raya Ditengah Landasan Pacu

Misalnya saat pelaksanaan Idul Fitri yang jatuh pada Minggu. Pengelola gereja langsung menelepon pengurus
masjid untuk menanyakan soal kepastian perayaan Idul Fitri. Kemudian pengurus gereja merubah jadwal
ibadah paginya pada Minggu menjadi siang hari, agar tidak mengganggu umat Islam yang sedang menjalankan
shalat Idul Fitri.

Contoh lainnya adalah pengurus masjid selalu membolehkan halaman Masjid untuk parkir kendaraan bagi
umat kristiani GKJ Joyoningratan saat ibadah Paskah maupun Natal.

hal tersebut merupakan contoh kecil toleransi antarumat beragama yang hingga saat ini terus dipelihara. Baik
pihak gereja maupun Pihak masjid, saling menghargai dan memberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah
dengan khusyuk dan lancar bagi masih-masing pemeluknya. seandainya terdapat oknum tertentu yang akan
mengusik kerukunan antar umat beragama di tempat tersebut, baik pihak masjid maupaun gereja akan
bergabung untuk mencegahnya.

Sekian Artikel tentang Toleransi Antar Umat Beragama, semoga artikel diatas dapat bermanfaat bagi sobat
MARKIJAR.Com dan dapat memberikan pengetahuan serta dapat membantu mengimplementasikan praktek-
praktek toleransi beragama dalam kehidupan bermasyarakat.

Pengertian Konsep Toleransi antar umat beragama dalam al-Quran dan Hadis

Pengertian Konsep Toleransi antar umat beragama dalam al-quran dan Hadis

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi secara bahasa (etimology) berasal dari kata “toleran” (Inggris:
tolerance; Arab: tasamuh, Belanda: tolerantie,) Toleran mengandung pengertian bersikap mendiamkan.
Adapun toleransi adalah suatu sikap tenggang rasa, batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang
masih diperbolehkan, kesabaran, ketahanan emosional, dan kelapangan dada, sifat menenggang (menghargai,
membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan
sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.[1] Dalam bahasa Arab, sebagaimana
yang dijelaskan oleh Ahmad Warson Munawwir, bahwa toleransi biasa disebut tasamuh yang memiliki akar
kata samuha- yasmuhu-samhan,wa simaahan,wa samaahatan, artinya adalah sikap membiarkan dan lapang
dada, murah hati, dan suka berderma.[2] Sedangkan menurut istilah (terminology), Indrawan WS. menjelaskan
bahwa pengertian toleransi adalah menghargai paham yang berbeda dari paham yang dianutnya sendiri;
Kesediaan untuk mau menghargai paham yang berbeda dengan paham yang dianutnya sendiri.[3] Sedang
dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mendefinisikan toleransi dengan “sifat atau
sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan,
kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang lain atau bertentangan dengan pendiriannya sendiri, misalnya
toleransi agama (ideologi, ras, dan sebagainya).[4]

Dengan memperhatikan definisi dari para ahli di atas, penulis menyimpulkan bahwa toleransi beragama adalah
sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak melecehkan agama atau sistem keyakinan dan
ibadah penganut agama-agama lain.

Hubungan antara Toleransi dengan Mu’amalah antar Umat Beragama (Non-Muslim)

Dalam kamus filsafat dijelaskan bahwa toleransi adalah sikap seseorang yang bersabar terhadap keyakinan
filosofis dan moral orang lain yang dianggap berbeda, dapat disanggah bahkan keliru. Dengan sikap itu, ia juga
tidak mencoba menghapuskan ungkapan-ungkapan yang sah dari keyakinan-keyakinan orang lain. Sikap seperti
ini tidak berarti setuju terhadap keyakinan-keyakinan tersebut. Selain itu, tidak berarti juga acuh tak acuh
terhadap kebenaran dan kebaikan, dan tidak harus didasarkan atas pemahaman ada tidaknya Tuhan
(agnotisisme) atau paham keraguan (skeptisisme), melainkan lebih pada sikap hormat terhadap maratabat
manusia yang bebas.[5]

Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam
tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrasi). Oleh karena itu, pengertian toleransi
beragama adalah pengakuan adanya kebebasan setiap warga untuk memeluk agama yang menjaga keyakinan
dan kebebasannya untuk menjalankan ibadahnya. Toleransi beragama menuntut kejujuran, kebesaran jiwa,
kebijaksanaan dan tanggung jawab sehingga menumbuhkan perasaan solidaritas dan mengeliminasi egoisme
golongan. Toleransi beragama bukanlah sesuatu yang dapat dicampuradukan, melainkan mewujudkan
ketenangan, saling menghargai, bahkan sebenarnya lebih dari itu, antar pemeluk agama harus dibina untuk
gotong-royong dalam membangun masyarakat kita sendiri dan demi kebahagiaan bersama.

Toleransi dalam pergaulan hidup antar umat beragama berpangkal dari penghayatan ajaran agama masing-
masing. Demi memelihara kerukunan beragama, sikap toleransi perlu dikembangkan guna menghindari konflik.
Dan biasanya konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap merasa paling benar (truth claim)
dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.[6]

Al-Qur’an tidak pernah menyebut-nyebut kata toleransi (tasamuh) secara tersurat (eksplisit) sehingga kita tidak
akan pernah menemukan kata tersebut termaktub di dalamnya. Namun, secara tersirat (implisit) al-Qur’an
menjelaskan konsep toleransi dengan segala batasan-batasannya secara jelas dan gamblang. Oleh karena itu,
ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep toleransi dapat dijadikan rujukan dalam mengimplementasikan
toleransi dalam kehidupan.

Dari kajian bahasa di atas, toleransi mengarah kepada sikap terbuka dan mau mengakui adanya berbagai
macam perbedaan, baik dari sisi suku bangsa, warna kulit, bahasa, adat-istiadat, budaya, bahasa, serta agama.
Ini semua merupakan fitrah dan sunnatullah yang sudah menjadi ketetapan Tuhan. Landasan dasar pemikiran
ini adalah firman Allah dalam QS. Al-Hujurat ayat 13:

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. Al-Hujurat: 13)

Tidak ada satu pun manusia yang mampu menolak sunnatullah ini. Dengan demikian, sudah selayaknya bagi
manusia untuk mengikuti petunjuk Tuhan dalam menghadapi perbedaan-perbedaan itu. Toleransi antar umat
beragama yang berbeda termasuk dalam salah satu risalah penting yang ada dalam sistem teologi Islam.
Karena Tuhan senantiasa mengingatkan kita akan keragaman manusia, baik dilihat dari sisi agama, suku, warna
kulit, adat-istiadat, dan lain sebagainya.
Toleransi dalam beragama bukan berarti hari ini kita boleh bebas menganut agama tertentu kemudian esok
hari kita menganut agama yang lain, atau dengan bebasnya mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama
tanpa adanya peraturan yang mengikat. Akan tetapi, toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk
pengakuan kita akan adanya agama-agama lain selain agama kita dengan segala bentuk sistem dan tata cara
peribadatannya, dan memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.

Islam lebih mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan. Ajaran Islam
secara jelas melarang sikap menghujat dan mendiskreditkan agama atau kelompok lain. Sebagaimana firman-
Nya dalam QS. Al-Hujarat ayat 11:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh
jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan
kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[7] dan
jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang
buruk sesudah iman[8] dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim”.
(QS. Al-Hujarat: 11)

Jadi, sikap kaum muslimin terhadap penganut agama lain sudah sangat jelas sebagaimana yang telah
diterangkan dalam ayat ini, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menajdikan perbedan agama sebagai
alasan untuka tidak menjalani hubungan kerja sama dengan mereka, terlebih bersikap intoleran terhadap
mereka. Karena Islam sama sekali tidak melarang memeberikan bantuan kepada siapapun selama mereka tidak
memusuhi orang Islam, tidak melecehkan simbol-simbol keagamaan atau mengusir kaum muslimin dari negeri
mereka. Kaum muslim diwajibkan oleh al-Qur’an untuk melindungi rumah ibadah yang telah dibangun oleh
orang-orang non muslim, sebagaimana firman-Nya:

“(yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena
mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah”. dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian
manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-
rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya
Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi
Maha Perkasa”. (QS.Al-Hajj: 40)

Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu
sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk
menjalankan prinsip-prinsip keagamaan masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik untuk
beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain. Hal demikian, dalam tingkat praktek-praktek
sosial, dapat dimulai dari sikap bertetangga, karena toleransi yang paling hakiki adalah sikap kebersamaan
antara penganut keagamaan dalam praktek sosial dan kehidupan bertetangga serta bermasyarakat, bukan
hanya sekedar pada tataran logika dan wacana.

Sikap toleransi antar umat beragama bisa dimulai dari hidup bertetangga baik dengan tetangga yang seiman
dengan kita maupun tidak. Sikap toleransi dapat direfleksikan dengan cara saling menghormati, saling
memuliakan dan saling tolong-menolong. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.
ketika suatu hari beliau dan para sahabat sedang berkumpul, kemudian lewatlah rombongan orang Yahudi
yang mengantar jenazah dan Nabi saw. langsung berdiri memberikan penghormatan. Seorang sahabat berkata:
“Bukankah mereka orang Yahudi wahai rasul?” Nabi saw. menjawab: “Ya, tapi mereka manusia juga”. Jadi
sudah jelas, bahwa sisi akidah atau teologi bukanlah urusan manusia, melainkan Allah swt. dan tidak ada
kompromi serta sikap toleran di dalamnya. Sedangkan kita bermu’amalah dengan mereka dari sisi
kemanusiaan.

Mengenai sistem keyakinan dan agama yang berbeda-beda, al-Qur’an menjelaskannya pada ayat terakhir surat
al-Kafirun yang berbunyi: “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.”

Bahwa prinsip menganut agama tunggal merupakan suatu keniscayaan. Tidak mungkin manusia menganut
beberapa agama dalam waktu yang sama, atau mengamalkan ajaran dari berbagai agama secara simultan.
Oleh sebab itu, al-Qur’an menegaskan bahwa umat Islam tetap berpegang teguh pada sistem keesaan Allah
secara mutlak, sedangkan orang kafir pada ajaran ketuhanan yang ditetapkannya sendiri. Dalam ayat lain Allah
swt. juga menjelaskan tentang prinsip yang menyatakan bahwa setiap pemeluk agama mempunyai sistem dan
ajaran masing-masing sehingga tidak perlu saling menghujat.

Pada taraf ini, konsepsi tidak menyinggung agama kita dan agama selain kita, juga sebaliknya. Dalam masa
kehidupan dunia, dan untuk urusan dunia, semua haruslah saling bekerjasama untuk mencapai keadilan,
persamaan dan kesejahteraan manusia. Sedangkan untuk urusan akhirat, petunjuk, dan hidayah adalah hak
mutlak Allah swt. Maka dengan sendirinya kita tidak dibenarkan memaksa kehendak kita kepada orang lain
untuk menganut agama kita.

Al-Qur’an juga menganjurkan agar mencari titik temu dan titik singgung antar pemeluk agama. Al-Qur’an
menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan, hendaknya masing-masing
mengakui keberadaan pihak lain dan tidak perlu saling menyalahkan.

Bahkan al-Qur’an mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw. dan umatnya untuk menyampaikan kepada
penganut agama lain ketika tidak terdapat titik temu, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Saba ayat 24-26:

“Katakanlah: “Siapakan yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan dari bumi?” Katakanlah: “Allah”, dan
Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan
yang nyata. Katakanlah: “Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami perbuat dan
kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat”. Katakanlah: “Tuhan kita akan mengumpulkan
kita semua, Kemudian dia memberi Keputusan antara kita dengan benar. dan Dia-lah Maha pemberi Keputusan
lagi Maha Mengetahui”.

Jalinan persaudaraan dan toleransi antara umat beragama sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama masih
dalam tataran kemanusiaan dan kedua belah pihak dapat saling menghormati haknya masing-masing,
sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil”.(QS. Al-Mumtahanah: 8)

Al-Qur’an juga berpesan agar masing-masing agama mendakwahkan agamanya dengan cara-cara yang bijak.
Firman-Nya dalam QS an-Nahl ayat 125:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka
dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari
jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS an-Nahl: 125)

Hadis dan Riwayat yang Berbicara tantang Toleransi

ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم أَيُّ اأْل َ ْد َي‬


‫ان‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬
ِ ‫َّاس َقا َل قِي َل ل َِرس‬ ِ ‫ْن َعنْ عِ ْك ِر َم َة َع ِن اب‬
ٍ ‫ْن َعب‬ ِ ‫صي‬ ِ ‫َح َّد َثنِي َي ِزي ُد َقا َل أَ ْخ َب َر َنا م َُح َّم ُد بْنُ إِسْ َحاقَ َعنْ دَ اوُ دَ ب‬
َ ‫ْن ْال ُح‬
‫أَ َحبُّ إِلَى هَّللا ِ َقا َل ْال َحنِيفِي َُّة ال َّسم َْح ُة‬

Rasullah saw. pernah ditanya tentang agama yang paling dicintai oleh Allah, kemudian beliau menjawab: al-
Hanifiyyah al-Samhah (agama lurus yang penuh toleransi).

Kualitas hadits di atas termasuk hadits yang muttashil marfu’ karena setelah diteliti para perawinya termasuk
perawi yang tsiqah. Begitupun setelah di-takhrij dengan CD Mausu’ah al-Kutub al-Tis’ah, ternyata hadits ini
hanya terdapat dalam riwayat Ahmad bin Hambal saja, dengan nomor hadits 2003 pada kitab min musnad bani
hasyim bab bidayah sanad Abdullah ibn ‘Abbas. [9]

Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam
hubungannya dengan keyakinan (akidah) dan ibadah, umat Islam tidak mengenal kata kompromi. Ini berarti
keyakinan umat Islam kepada Allah tidak sama dengan keyakinan para penganut agama lain terhadap tuhan-
tuhan mereka, demikian juga dengan tata cara ibadahnya, bahkan Islam melarang penganutnya mencela
tuhan-tuhan dalam agama manapun. Maka kata toleransi (tasamuh) dalam Islam bukanlah hal baru, tetapi
sudah diaplikasikan dalam kehidupan sejak agama Islam lahir.
Kerja sama yang baik antara muslim dan non muslim telah dibuktikan dan ditulis di dalam sejarah agama Islam
dengan jelas. Nabi Muhammad saw. dan para sahabat melakukan interaksi sosial mereka (muamalah) dengan
non muslim seperti Waraqah bin Naufal yang beragama Nasrani, Abdullah bin Salam yang sebelumnya
beragam Yahudi, bahkan nabi sendiri pernah meminta suaka politik (perlindungan politik) dengan
memerintahkan para sahabat untuk berhijrah meminta perlindungan kepada raja Najasy (Nigos) dari Habsyah
(sekarang Ethiopia) yang beragama Nasrani.[10]

Imam Bukhori meriwayatkan dari Anas bin Malik bhawa ketika Nabi wafat, baju beliau masih digadaikan pada
orang Yahudi guna membiayai keluarganya, padahal sebenarnya beliau bisa meminjam dari para sahabatnya.
Akan tetapi, hal itu dilakukan dengan maksud untuk mengajarkan kepada umatnya bahwa kerja sama denga
orang-orang non muslim merupakan sikap dan pandangan Islam.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Asma binti Abu Bakar didatangi ibunya, Qotilah, yang masih kafir. Ia pun
bertanya kepada Rasulullah saw: “Bolehkah saya berbuat baik kepadanya?” Rasulullah saw. menjawab:
“Boleh”. Kemudian turunlah ayat ke-8 Surat Al-Mumtahanah, yaitu:

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu Karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku adil”. (Q.S. al-Mumtahanah: 8)

Ayat itu menegaskan bahwa Allah swt. tidak melarang berbuat baik kepada orang yang tidak memusuhi agama
Allah. Demikian yang diterangkan Ibnu Katsir dalam tafsirnya.[11]

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Qotilah (bekas isteri Abu Bakar yang telah diceraikannya pada zaman
jahiliyah) datang kepada anaknya yang bernama Asma binti Abu Bakar, dengan membawakannya hadiah, Asma
menolak pemberian itu bahkan tidak memperkenankan ibunya masuk ke dalam rumah. Setelah itu ia mengutus
seseorang kepada Aisyah (saudaranya) untuk bertanya tentang hal ini kepada Rasulullah saw. dan kemudian
Rasul pun memerintahkan untuk menerimanya dengan baik serta menerima pula hadiahnya. (HR. Ahmad, Al-
Bazzar, Al-Hakim dari Abdullah bin Zubair)

Asma’ Binti Abu Bakar pernah berkata bahwa ketika Nabi saw. masih hidup, ibuku pernah mengunjungiku
dalam keadaan sangat mengharap kebaikanku kepadanya dan takut kalau aku menolaknya dan merasa
kecewa. Kemudian aku pun bertanya kepada Nabi saw: “Apakah boleh aku menyambung hubungan
silaturrahmi dengannya?”. Beliau menjawab: ”Ya.”

Ibnu ‘Uyainah menambahkan keterangan bahwa kemudian Allah swt. menurunkan ayat ke-8 surat Al-
Mumtahanah tersebut.[12]

Ibnu Umar berkata bahwa ayahnya ,Umar RA, pernah melihat sehelai sutra yang sedang dijual, lalu ia berkata:
“Ya Rasulullah! Belilah sutra ini dan pakailah pada hari jum’at, dan jika anda dikunjungi utusan-utusan.” Beliau
menjawab: “Hanya saja orang mengenakan sutra ini adalah orang yang tidak akan mendapat bagian sedikitpun
diakhirat.” Kemudian suatu hari Nabi saw. pernah diberi beberapa helai pakaian sutra, kemudian beliau
mengirimkan sebagian kepada Umar, lalu Umar berkata: “Bagaimana mungkin saya akan mengenakannya
sedangkan anda telah mengatakan sutra itu seperti itu?” Beliau berkata: “Sesungguhnya saya tidak bermaksud
memberikannya kepadamu untuk kau pakai, akan tetapi supaya kau menjualnya atau memakainkannya kepada
yang lain.” Kemudian Umar mengirimkannya kepada salah seorang saudaranya yang ada di Makkah, sebelum
saudaranya itu masuk Islam.[13]

Dan Mujahid pernah berkata: “Saya pernah berada disisi Abdullah bin ‘Amr dan pada saat itu pelayannya
sedang menguliti seeokr kambing. Kemudian Abdullah berkata: “Hai pelayan! Kalau engkau sudah selesai maka
dahulukanlah tetangga kita si yahudi itu.” Tiba-tiba salah seorang berkata: “(Kau dahulukan) orang yahudi?
Semoga Allah memperbaiki anda.” Abdullah berkata: “Saya pernah mendengar Nabi saw. berwasiat tentang
tetangga, sampai-sampai kami takut atau bahkan kami menganggap bahwa beliau akan menggolongkan
tetangga itu sebagai ahli waris.”[14]

Hubungan Antara Toleransi dengan Ukhuwah (persaudaraan) Sesama Muslim


Allah berfirman dalam QS. Al-Hujurat ayat 10: “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu
mendapat rahmat” (QS. Al-Hujurat:10)

Pada ayat di atas, Allah swt. menyatakan bahwa orang-orang mukmin bersaudara dan diperintahkan untuk
melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau
kelompok kaum muslim. Al-Qur’an memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus
melarang setiap muslim melakukannya.

Ayat di atas juga memerintahkan orang mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari
kesalahan orang lain, serta menggunjing yang diibaratkan al-Qur’an seperti memakan daging saudara sendiri
yang telah meninggal dunia, sebagaimana yang Allah terangkan dalam QS.Al-Hujurat ayat 12 yang berbunyi:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), Karena sebagian dari purba-
sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain.
Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu
merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang”. (QS.Al-Hujurat:12)

Untuk mengembangkan sikap toleransi secara umum, dapat kita mulai terlebih dahulu dengan bagaimana
kemampuan kita mengelola dan mensikapi perbedaan yang mungkin terjadi pada keluarga kita atau saudara
kita sesama muslim. Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan
menyadari adanya perbedaan. Dan menyadari pula bahwa kita semua adalah bersaudara, sehingga akan timbul
rasa kasih sayang, saling pengertian, dan pada akhirnya akan bermuara pada sikap toleran. Dalam konteks
pendapat dan pengamalan agama, al-Qur’an secara tegas memerintahkan orang-orang mukmin untuk kembali
kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (al-Sunnah).

Kesimpulan dan Penutup

Dari pemaparan makalah di atas, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yakni:

v Toleransi yang merupakan bagian dari visi teologi atau akidah Islam dan masuk dalam kerangka sistem teologi
Islam sejatinya harus dikaji secara mendalam dan diaplikasikan dalam kehidupan beragama.

v Toleransi beragama adalah ialah sikap sabar dan menahan diri untuk tidak mengganggu dan tidak
melecehkan agama atau sistem keyakinan dan ibadah penganut agama-agama lain.

v Toleransi yang positif adalah toleransi yang ditumbuhkan oleh kesadaran yang bebas dari segala macam
tekanan atau pengaruh, serta terhindar dari sikap munafik (hipokrasi).

v Penyebab terbesar konflik antar umat beragama muncul disebabkan oleh sikap merasa paling benar (truth
claim) dengan cara mengeliminasi kebenaran dari orang lain.

v Dalam kaitannya dengan toleransi antar umat beragama, toleransi hendaknya dapat dimaknai sebagai suatu
sikap untuk dapat hidup bersama masyarakat penganut agama lain, dengan memiliki kebebasan untuk
menjalankan prinsip-prinsip keagamaan (ibadah) masing-masing, tanpa adanya paksaan dan tekanan, baik
untuk beribadah maupun tidak beribadah, dari satu pihak ke pihak lain.

v Orang-orang mu’min itu bersaudara, dan mereka memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan
hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman diantara dua orang atau kelompok kaum muslim.

v Orang mu’min dianjurkan untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain.

v Sikap toleransi dimulai dengan cara membangun kebersamaan atau keharmonisan dan menyadari adanya
perbedaan.

Mungkin hanya ini yang dapat penulis jelaskan tentang toleransi, baik antar umat beragama maupun antar
sesame muslim sendiri. Harapan penulis, semoga makalh ini dapt memberikan kontribusi yang nyata dalam
memperkaya khasanah keilmuan Islam. Penulis sadari bahwa sangat berlebihan kiranya jikalau makalah ini
dikatakan sempurna karena di dalamnya masih banyak terdapat berbagai kesalahan. Oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan kritik dan saran yang konstruktif guna penulisan selanjutnya agar lebih bagus lagi.

Catatan Kaki

[1] Sulchan Yasin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Edisi II Cetakan IV, 1995, hal 389

[2] Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap (Surabaya: Pustaka Progressif,
2002 ) hal 702

[3] Indrawan WS, Kamus Ilmiyah Populer, 1999, hal 144

[4] W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia

[5] Humaidi Abdussami’ dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan untuk Para Da’i),
(Jogjakarta: LKIS), hal. 115

[6] Humaidi Abdussami’ dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan untuk Para Da’i),
(Jogjakarta: LKIS), hal. 116

[7] Jangan mencela dirimu sendiri maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang
mukmin seperti satu tubuh.

[8] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang
yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir dan sebagainya.

[9] Sakhr, CD Mausu’ah al Hadis al Syarif, (Jami’ al Huquq Mahfudzhah Lisyirkati al Baramij al Islamiyati al
Dauliyah, 1991) Sunan Ahmad, Bidayah Sanad Abdullah bin Abbas, ruwwat, jarh wa ta’dil

[10] Humaidi Abdussami’ dan Masanun Tahir, Islam dan Hubungan Antar Agama (Wasasan untuk Para Da’i),
(Jogjakarta: LKIS), hal. 118

[11] Ibnu Katsir, Tafsir Al-Qur’qn Al-adzim Juz IV terj. Salim Bahraisy dan Said Bahraisy,(Bandung: Bina ilmu,
1993) hal 349.

[12] Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhori dalam kitab Al-Adabul Mufrod yang dishahihkan oleh Al-
Muhaddits Al-Allamah Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah dalam kitab Shahih Al-
Aldabul Mufrod 19/25

[13] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori didalam kitab Al-Adabul Mufrod yang dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shaih Al-Adabul Mufrod no. 20/26.

[14] Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhori didalam kitab Al-Adabul Mufrod yang dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani Rahimahullah dalam Shaih Al-Adabul Mufrod no 45/128.

Anda mungkin juga menyukai