Anda di halaman 1dari 21

PENGOLAHAN METROXYLON SP.

SEBAGAI BAHAN
PEMBUATAN BIOETANOL DENGAN MEMANFAATKAN
PRINSIP BIOTEKNOLOGI (FERMENTASI DAN ENZIMASI)

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Bioteknologi, Jurusan
Pendidikan Biologi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas
Siliwangi

Oleh:
Salma Junaina Hermana 172154007
Mutia Febrianti 172154017
Ailsa Tariyah 172154018
Morina Shelvia Sony 172154034

JURUSAN PENDIDIKAN BIOLOGI


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,
penulis panjatkan segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah yang berjudul “Pengolahan Metroxylon sp. Sebagai Bahan Pembuatan
Bioetanol dengan Memanfaatkan Prinsip Bioteknologi (Fermentasi dan
Enzimasi)” untuk mata kuliah Bioteknologi. Shalawat beserta salam semoga
senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, kepada
keluarganya, sahabatnya, serta kita selaku umatnya.
Penulis menyadari bahwa selama penyusunan makalah ini penulis
mendapat banyak bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Egi Nuryadin, M.Pd.
dan Bapak Samuel Agus Triyanto, M.Pd. selaku dosen pengampu mata kuliah
Bioteknologi, orang tua, dan rekan-rekan Pendidikan Biologi 2017.
Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu
kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap makalah ini dapat
bermanfaat bagi penulis khususnya dan umumnya bagi pembaca.

Tasikmalaya, 19 Oktober 2019


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Adanya krisis energi di dunia telah mendorong kita untuk
mendapatkan bahan bakar alternatif sebagai pengganti bahan bakar yang
berasal dari minyak bumi. Bahan bakar alternatif yang layak dikembangkan
adalah bahan bakar yang bersifat renewable atau terbarukan, ramah
lingkungan, dan efisien. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan
energi yang berasal dari bahan biomassa dan disebut dengan energi biomassa.
Energi biomassa ini bersumber dari bahan organik yang sangat beragam
jenisnya.
Biomassa dapat digunakan untuk sumber energi langsung maupun
dapat diolah atau dikonversikan menjadi bahan bakar. Teknologi pemanfaatan
energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri pembakaran langsung dan
konversi biomassa menjadi bahan bakar. Hasil konversi biomassa ini dapat
berupa biogas, biodiesel, atau arang. Untuk bioetanol dan biodiesel ini dalam
jangka panjang diharapkan dapat digunakan sebagai bahan bakar pengganti
minyak. Bioetanol merupakan salah satu jenis bahan bakar alternatif yang
prospektif pada masa depan. Sebagai bahan bakar alternatif, contohnya
bioetanol dapat digunakan untuk campuran bensin (gasolin) dan kemudian
disebut sebagai gasohol E-10, artinya dalam setiap satuan volume bahan bakar
yang digunakan kandungan premiumnya 90% dan bioetanol 10%.
Sejauh ini bahan baku unggulan untuk produksi bioetanol adalah gula
tebu, jagung, dan singkong. Bahan baku tersebut merupakan komoditas
pertanian yang ekonomis dan tergolong dalam komoditas pangan yang
merupakan pengembangan bioetanol generasi pertama, karena berasal dari
bahan pati. Oleh karena itu, perlu diupayakan penggunaan bahan baku non
pangan untuk mendukung terwujudnya industri biofuel di dalam negeri. Bahan
baku dari sumber nabati yang banyak mengandung selulosa merupakan
alternatif yang layak untuk dikembangkan, dan ini merupakan pengembangan
bioetanol generasi kedua.
Salah satu contoh bahan baku non pangan yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan bioetanol adalah tanaman sagu. Tanaman sagu (Metroxylon sp.)
merupakan salah satu tanaman penghasil karbohidrat yang paling potensial.
Tanaman ini merupakan tanaman tahunan yang berarti setelah ditanam dapat
menghasilkan selama bertahun-tahun dan panen dapat dilakukan secara
teratur.
Tanaman sagu ini memiliki kandungan 86 gr karbohidrat, 1 gr serat,
0,5 gr protein, 350 kal, 3 mg sodium, 3 mg potasium, 0,2 gr lemak total, 0,1 gr
lemak jenuh. Karena kandungan karbohidratnya tinggi, tanaman sagu ini
diolah menjadi tepung sagu yang nantinya tepung sagu tersebut dikonversi
menjadi gula melalui proses likuifikasi dan sakarifikasi. Enzim alfa amylase
ditambahkan pada tahap likuifikasi, sedangkan enzim beta
amylase/glukoamilase ditambahkan pada tahap sakarifikasi. Hasil dari proses
likuifikasi, yaitu berupa maltose dan dekstrin akan dihidrolisis lebih lanjut
oleh enzim beta amylase pada proses sakarifikasi menghasilkan glukosa yang
selanjutnya digunakan pada proses fermentasi bioetanol.
Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang di atas, kelompok kami
tertarik untuk menganalisis terkait bioetanol yang tujuannya untuk mengetahui
bagaimana potensi bioetanol yang terbuat dari pati sagu untuk jangka panjang.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai
berikut:
1. Mengapa dalam bidang ilmu bioteknologi, Metroxylon sp. dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol yang sangat berpengaruh
terhadap keberlangsungan hidup?

C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui mengapa dalam bidang ilmu bioteknologi, Metroxylon
sp. dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol yang sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup.

D. Hipotesis Penelitian
Metroxylon sp. dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol yang
nantinya akan bisa digunakan sebagai bahan bakar karena mengandung
karbohidrat yang tinggi yang dengan bantuan mikroorganisme dapat diubah
menjadi etanol.

E. Manfaat Penelitian
Analisis bioetanol ini, diharapkan dapat memberikan manfaat di antaranya:
1. Bagi penulis, dapat menambah pengetahuan mengenai manfaat bioetanol
dari sagu sebagai energi terbarukan.
2. Bagi pembaca, hal ini dapat dijadikan suatu pengetahuan tambahan dan
juga membuka wawasan terhadap ilmu dan pengetahuan terbaru.

F. Definisi Operasional
1. Metroxylon sp. adalah salah satu komoditas bahan pangan yang banyak
mengandung karbohidrat. Jadi, dalam hal ini Metroxylon sp. adalah bahan
baku utama dalam pembuatan bioetanol yang berasal dari karbohidrat.
2. Bioetanol adalah salah satu bentuk energi terbaharui yang dapat diproduksi
dari tumbuhan yang diproduksi dengan cara fermentasi menggunakan
bahan baku nabati. Jadi, dalam bioetanol itu memanfaatkan bioteknologi,
yaitu prinsip fermentasi dan ada pula enzimatis.
3. Fermentasi adalah suatu bentuk proses dasar untuk mengubah bahan
menjadi bahan lain dengan cara relatif sederhana yang dibantu oleh
mikroba. Jadi, dalam pembuatan bioetanol itu memerlukan prinsip
fermentasi yang dalam prosesnya memerlukan mikroorganisme, yaitu
Yeast Saccharomycess cerevisiae.
4. Enzimasi adalah proses perubahan molekul menjadi produk dengan
bantuan katalisator, yaitu enzim. Jadi, selain proses fermentasi, dalam
pembuatan bioetanol juga diperlukan prinsip enzimatisasi yang dalam
prosesnya menggunakan enzim glukoamilase dan alfa amylase.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Bioetanol
Bioetanol adalah salah satu bentuk energi terbarukan yang dapat
diproduksi dari tumbuhan. Yang umumnya menggunakan proses fermentasi.
Etanol/ethil alcohol (C2H5OH) berupa cairan bening tak berwarna, terurai
secara biologis (Biodegradable), toksisitas rendah dan tidak menimbulkan
polusi udara yang besar bila bocor. Etanol yang terbakar menghasilkan CO2
dan O2 (Rikana dan Adam, 2005).
Bioetanol merupakan bahan bakar alternatif yang dapat dibuat dari
bahan yang mengandung pati seperti sagu. Potensi produksi sagu adalah 5 juta
ton pati kering per tahun. Saat ini baru dikonsumsi sekitar 210 ton/tahun atau
kurang lebih 4-5% dari total produksi. Apabila sagu dimanfaatkan secara
optimal maka akan diperoleh 3 juta kilo liter bioetanol per tahun (faktor
konversi 0,6). Bioetanol dapat digunakan sebagai bahan bakar rumah tangga,
sebagai bahan alternatif pengganti minyak tanah. Perbandingan penggunaan
bioetanol dengan minyak tanah adalah 1 : 3, dengan perbandingan massa
pakai yang berbeda, yaitu 1 liter minyak tanah dapat digunakan selama 2 jam,
sedangkan 1 liter bioetanol dengan kadar 90-95% dapat digunakan selama 15
jam (Soekaeni, 2008).
Bahan bakar bioetanol memiliki nilai oktan tinggi sehingga dapat
digunakan baik sebagai bahan peningkat oktan (octane enhancer)
menggantikan penggunaan senyawa eter dan penggunaan logam berat seperti
Pb sebagai anti-knocking agent yang memilki dampak buruk terharap
lingkungan. Degan nilai oktan yang tinggi, maka proses pembakaran dalam
mesin kendaraan bermotor lebih baik (Wheals et al., 1999 dalam Broto dan
Richana, 2005).
Kelebihan bioetanol dengan bensin: bioetanol aman digunakan sebagai
bahan bakar, titik nyala etanol lebih tinggi dibandingkan bensin dan emisi
hidrokarbon lebih sedikit (Cemiawan, 2007).

B. Sagu
Sagu (Metroxylon sp.) merupakan salah satu tumbuhan asli Indonesia
yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Secara alami sagu
tersebar hampir disetiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan
terbesar di Papua.
Keunggulan pati sagu sebagai bahan baku bioetanol adalah bahwa
produktivitas pati sagu lebih tinggi dibanding komoditas penghasil pati
lainnya (Sagu 20 ton/ha/tahun; padi 6 ton/ha/tahun; jagung 5,5/ha/tahun;
kentang 2,5/ha/tahun; dan ubi kayu 1,5/ha/tahun). Peneliti Jepang
menempatkan sagu diurutan pertama sebagai sumber bahan baku. Pati sagu
dan ubi kayu merupakan sumber pati paling murni dibanding dari pati jenis
lain, sehingga dapat menghasilkan produksi etanol yang berlebih (Gustaman,
2008).
Sagu selain mengandung karbohidrat yang tinggi (85%), juga memiliki
kandungan kalori sekitar 357 kalori. Diperkiran dari 6,5 kilogram sagu dengan
kandungan karbohidrat 85%, maka akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol.

C. Pengaruh Bioetanol Bagi Kehidupan


Persediaan energi yang berupa minyak fosil lambat laun akan
mencapai kondisi keterbatasan, karena alam tidak mampu membuat bahan
bakar jenis ini dengan waktu yang relatif cepat. Dengan demikian,
permasalahan energi menjadi topik penting di dunia internasional pada abad
21. Persediaan bahan bakar fosil saat ini masih mencukupi kebutuhan
masyarakat, namun beberapa puluh tahun kemudian akan mencapai kondisi
kritis. Hingga kini masyarakat dunia masih menggunakan minyak fosil untuk
keperluan industri, perkantoran, maupun rumah tangga. Begitu pentingnya
keberadaan minyak fosil ini hingga menjadi komoditi politik yang cukup
manjur oleh Negara-negara tertentu. Keberlangsungan operasi dari berbagai
industri besar maupun kecil masih sangat tergantung dari ketersediaan minyak
fosil ini. Bahkan pembangkit listrik pun tidak luput dari pemanfaatan minyak
fosil ini.
Pada pertengahan abad 20, penggunaan campuran antara etanol dengan
bensin telah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Eropa Barat sebagai
bahan bakar kendaraan bermotor. Perkembangan ekploitasi minyak fosil yang
hanya mempertimbangkan aspek ekonomi, membuat harga minyak merosot
tajam, sehingga saat itu harga etanol jauh lebih mahal dibanding dengan harga
minyak mineral. Dengan demikian, masyarakat mulai meninggalkan etanol
sebagai bahan bakar kendaraan. Pada akhir tahun 1990-an, Jerman juga telah
memanfaatkan biodiesel yang berasal dari minyak nabati sebagai bahan bakar
kendaraan. Harga biodiesel di Negara tersebut jauh lebih mahal dibanding
dengan harga minyak mineral. Dengan demikian, pasar biodiesel di Eropa
kurang menggembirakan. Akibat kriris harga minyak mineral pada akhir tahun
2008 yang mencapai harga lebih dari 120 dollar/barel, menyebabkan
masyarakat dunia berusaha untuk mencari alternatif bahan bakar cair yang
berasal dari tumbuhan. Dengan harapan tidak akan terjadi krisis bahan bakar
lagi karena bahan-bahan yang dapat diolah menjadi etanol sangat beragam
jenisnya.
Peran minyak fosil harus digantikan oleh sumber energi yang dapat
diperbaharui agar krisis energi dapat teratasi. Untuk itu telah berkembang
secara cepat teknologi bioetanol dan biodiesel. Bioetanol maupun biodiesel
yang dihasilkan dengan perlakuan tertentu mampu menggantikan solar dan
bensin. Kedua jenis sumber energi ini bersifat terbarukan, biodegradable, dan
ramah lingkungan. Dengan demikian, perkembangan teknologi permesinan
juga mengikuti tren perkembangan energi saat ini. Mesin dimodifikasi agar
mampu memanfaatkan bioetanol dan biodiesel sebagai sumber energi.
Perkembangan teknologi terbarukan ini memunculkan teknologi biodiesel,
bioetanol, bioelektrik, dan biogas. Penggunaan energi hayati ini dapat
menekan pencemaran lingkungan hingga 50%.
Kondisi cadangan minyak mineral diperkirakan tinggal dapat
dieksploitasi hingga 18 tahun lagi. Kondisi seperti ini tidak dapat dipecahkan
melalui penghematan, namun harus dicari solusi alternatif secara
komprehensif. Bahkan tingginya kebutuhan BBM di dalam negeri juga
menunjukkan angka yang cukup signifikan. Bila masalah ini tidak segera
terpecahkan, maka bisa jadi pada 2-3 tahun mendatang Indonesia sebagai
pengimport BBM yang cukup besar. Semakin banyaknya industri di Indonesia
akan mempercepat habisnya cadangan minyak mineral ini. Kondisi ini
menuntut ditemukannya sumber energi yang terbarukan dan ramah
lingkungan. Persediaan sumber energi terbarukan ini dapat mensuplai
kebutuhan di dalam negeri, namun juga tidak menutup kemungkinan diekspor
ke luar negeri.
Bentuk bahan bakar dapat berupa gas, cair, dan padat. Bahan bakar
minyak merupakan bahan bakar yang paling banyak dikenal diseluruh lapisan
masyarakat di Indonesia. Untuk itu, perlu adanya pencarian energi alternatif
ini dalam bentuk cair. Banyak peralatan seperti kompor maupun mesin mobil
yang kompatibel terhadap bahan bakar bentuk cair. Salah satu bahan bakar
cair yang dapat dibentuk dari materi yang dapat ditemukan di lingkungan
sekitar adalah bioetanol.
Bioetanol dapat dibuat dari karbohidrat yang berupa gula. Gula ini
dengan bantuan mikroorganisme dapat diubah menjadi etanol melalui proses
fermentasi. Berbagai jenis produk pertanian sangat kaya akan sumber karbon
yang berupa karbohidrat. Proses fermentasi menggunakan mikroorganisme
mampu mengkonversi karbohidrat menjadi bioetanol. Ditinjau dari berbagai
segi, bioetanol ini dapat berfungsi untuk menggantikan bensin maupun
minyak tanah. Beberapa pertimbangan yang sangat mendesak atas
diperlukannya bioetanol ini sebagai bahan bakar, selain karena pertimbangan
bahan bakar fosil hampir habis, juga berbagai pertimbangan mengenai
pelestarian lingkungan.
Beberapa kelebihan bioetanol dibanding bensin, antara lain lebih
aman, memiliki titik nyala tiga kali lebih tinggi dibanding bensin, dan
menghasilkan emisi gas hidrokarbon lebih sedikit. Di balik itu juga terdapat
berbagai kekurangan bioetanol bila dibanding dengan bensin, antara lain
mesin kendaraan akan mengalami kesulitan untuk dihidupkan bila dalam
keadaan suhu dingin, serta mampu bereaksi dengan logam tertentu seperti
aluminium, sehingga dapat merusak komponen kendaraan yang terbuat dari
logam tersebut. Untuk meningkatkan kualitas bioetanol sebagai bahan bakar
dapat dilakukan pencampuran dengan bensin. Bioetanol yang dicampur harus
tidak mengandung air sama sekali, sehingga harus mengalami proses
pemurnian secara berulang. Campuran yang kini lebih dikenal sebagai gasohol
ini banyak memberikan keuntungan bagi pengguna. Selain itu juga dapat
menghemat bensin yang keberadaannya tidak dapat diandalkan lagi. Gasohol
merupakan kependekan dari gasolin (bensin) dengan alkohol (etanol). Gasohol
dapat berupa campuran etanol: bensin dengan komposisi yang berbeda-beda.
Gasohol yang merupakan hasil pencampuran 10% etanol dengan 90% bensin
dikenal dengan sebutan gasohol E-10. Gasohol jenis ini memiliki angka oktan
sebesar 92. Angka ini setara dengan angka oktan yang dimiliki oleh Pertamax.
Perlu diketahui bahwa etanol absolut memiliki angka oktan sebesar 117,
sedangkan bensin premium memiliki angka oktan 87-88. Campuran keduanya
menghasilkan gasohol yang memiliki angka oktan di antara kedua komponen
campuran itu. Karena etanol mampu meningkatkan angka oktan bensin, maka
dalam kasus ini etanol berperan sebagai octan enhancer.
Penggunaan etanol sebagai octan enhancer ini sangat menarik
perhatian dunia, karena ramah lingkungan dan mudah diperbaharui. Dengan
digunakannya etanol ini lambat laun akan mengurangi emisi timbal yang
dikeluarkan dari asap kendaraan bermotor selama pembakaran. Untuk
mengurangi ketukan, biasanya bensin ditambah dengan zat aditif bernama
tetra ethyl lead (TEL). Bila bensin mengalami pembakaran, maka TEL juga
ikut terbakar dan akan keluar bersama asap, yang akan ikut andil dalam proses
pencemaran udara.
Bioetanol merupakan bahan bakar yang terbarukan dan ramah
lingkungan dapat dihasilkan dari konversi karbohidrat menghasilkan zat
tersebut. Indonesia memiliki berbagai macam produk pertanian yang potensial
menghasilkan bioetanol karena mengandung karbohidrat dengan kadar tinggi.
Pemanfaatan bioetanol sebagai bahan bakar dapat dicampur dengan bensin
menghasilkan gasohol. Kelebihan bioetanol adalah mampu menaikkan angka
oktan bahan bakar serta dapat menurunkan pencemaran lingkungan.

D. Proses Pembuatan Bioetanol


1. Persiapan Bahan Baku
Bahan baku untuk produksi bioetanol bisa didapatkan dari berbagai
tanaman, baik yang secara langsung menghasilkan gula sederhana semisal
tebu (sugarcane), gandum manis (sweet sorghum) atau yang menghasilkan
tepung seperti jagung (corn), singkong (cassava), dan gandum (grain
sorghum) disamping bahan lainnya.
2. Liquifikasi dan Sakarifikasi
Kandungan karbohidrat berupa tepung atau pati pada bahan baku singkong
dikonversi menjadi gula kompleks menggunakan Enzim Alfa Amylase
melalui proses hidrolisis. Proses Liquifikasi selesai ditandai dengan
parameter dimana bubur yang diproses berubah menjadi lebih cair seperti
sup. Sedangkan proses Sakarifikasi: pemecahan gula kompleks menjadi
gula sederhana.
3. Fermentasi
Pada tahap ini, tepung telah berubah menjadi gula sederhana (glukosa dan
sebagian fruktosa). Tahapan selanjutnya adalah mencampurkan ragi
(yeast) pada cairan bahan baku tersebut dan mendiamkannya dalam wadah
tertutup (fermentor) pada kisaran suhu optimum 27 s/d 32 derajat celcius
selama kurun waktu hingga 7 hari (fermentasi secara anaerob).
4. Dehidrasi
Hasil penyulingan berupa etanol berkadar 95% belum dapat larut dalam
bahan bakar bensin. Untuk substitusi BBM diperlukan etanol berkadar
99,6 – 99,8 % atau disebut etanol kering. Dalam proses pemurnian etanol
95% akan melalui proses dehidrasi (distilasi absorment) menggunakan
beberapa cara, antara lain: 1. Cara kimia dengan menggunakan batu
gamping, 2. Cara fisika ditempuh melalui proses penyerapan
menggunakan Zeolit Sintesis, 3. Angstrom, hasil dehidrasi berupa etanol
berkadar 99,6 – 99,8 % sehingga dapat dikategorikan sebagai Full Grade
Ethanol (FGE), barulah layak digunakan sebagai bahan bakar motor sesuai
standar Pertamina. Alat yang digunakan pada proses pemurnian ini disebut
Dehidrator.
5. Hasil Samping Penyulingan Etanol
Akhir proses penyulingan (distilasi) etanol menghasilkan limbah padat
(subge) dan cair (vinase). Untuk meminimalisir efek terhadap pencemaran
lingkungan, limbah padat dengan proses tertentu dirubah menjadi pupuk
kalium, bahan pembuatan biogas, kompos, bahan dasar obat nyamuk
bakar, dan pakan ternak. Sedangkan limbah cair diproses menjadi pupuk
cair. Dengan demikian, produsen bioetanol tidak perlu khawatir tentang
isu berkaitan dengan dampak lingkungan.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian dirumuskan dengan tujuan adanya arah yang
jelas dan target yang hendak dicapai dalam penelitian. Jika tujuan penelitian
jelas dan terumuskan dengan baik, maka penelitian dan pemecahan masalah
akan berjalan dengan baik pula. Langkah paling awal dalam penelitian adalah
identifikasi masalah sebagai penegas batas-batas permasalahan sehingga
cakupan penelitian tidak keluar dari tujuannya. Dilanjutkan dengan penguraian
latar belakang permasalahan yang dimaksudkan untuk mengantarkan dan
menjelaskan latar belakang problematika dan fenomena di lapangan. Apabila
latar belakang permasalahan telah diuraikan, maka pokok permasalahan yang
hendak diteliti dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya dan hendak dicari
jawabannya dalam penelitian.
Peneliti harus merumuskan hipotesis penelitiannya dan menentukan
variabel penelitian kemudian dilakukan operasionalisasi pada tiap variabel
yang digunakan. Langkah selanjutnya memilih instrumen penelitian.
Instrumen pengukur variabel penelitian sangat penting dalam memperoleh
informasi yang akurat dan terpercaya. Kemudian penentuan teknik sampling
yang digunakan dalam penelitian dan pengumpulan data penelitian dari
lapangan. Data penelitian dikumpulkan baik lewat instrumen pengumpulan
data, observasi maupun lewat data dokumentasi. Setelah data diperoleh maka
dilakukan pengolahan data dan analisis. Proses pengolahan data diawali dari
tabulasi dari dalam suatu tabel induk, klasifikasi data, analisis-analisis
deksriptif, pengujian hipotesis, dan penyimpulan hasil analisis.
Langkah terakhir, yaitu penulisan laporan hasil peneilitian. Penelitian
yang tidak dipublikasikan atau disebarluaskan akan kurang bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak memiliki nilai praktis yang tinggi.
Oleh karena itu, menjadi kewajiban bagi peneliti untuk menyelesaikan
rangkaian penelitian menjadi satu bentuk laporan ilmiah tertulis dan dapat
dipertanggujawabkan.

B. Subjek Penelitian
Perbedaan perlakuan Enzim Alfa Amylase pada sagu yang sudah
difermentasi dengan ragi (Saccharomyces cerevisiae).

C. Instrumen dan Metode Penelitian


1. Instrumen Penelitian
Menurut Suhersimi (2004), Instrumen pengumpulan data adalah
alat bantu yang dipilih dan digunakan oleh peneliti dalam kegiatannya
dalam mengumpulkan agar kegiatan tersebut menjadi sistematis dan
dipermudah olehnya. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil instrumen
penelitian berupa lembar pengamatan atau panduan pengamatan.
2. Metode Penelitian
a. Persiapan Bahan Baku
1) Bahan
a) Bahan yang digunakan, yaitu batang sagu yang terdiri dari
empulur sagu, pati/tepung, dan ampas/serat
b) Enzim Alpha Amylase
c) Glukoamilase
d) Ragi roti (Sacharomyces cerevisiae)
e) NPK
f) Urea, dll
2) Alat
a) pH meter
b) Termometer
c) Erlenmeyer
d) Fermentor
e) Alkoholmeter
f) Brixmeter
g) Kompor listrik
h) Gelas ukur
i) Alat destilasi
3) Persiapan
a) Batang sagu dipotong dengan ukuran panjang 40-50 cm,
kemudian dikupas kulit luarnya, kemudian dipotong menjadi
lebih kecil lagi.
b) Selanjutnya batang/empulur sagu diparut, dicuci dengan air,
lalu diperas dan dipisah antara pati dan ampas/serat.
c) Bagian pati, empulur, dan serat masing-masing diproses
menjadi etanol melalui beberapa proses, yaitu likuifikasi,
sakarifikasi, fermentasi, dan distilasi.
b. Prosedur Liquifikasi dan Sakarifikasi
1) Metode Liquifikasi
a) Empulur dan serat sagu (konsentrasi sampel 15%) masing-
masing dipanaskan sampai suhu 60°C sambil terus diaduk.
b) Setelah 30 menit tambahkan enzim alpha amylase selulase 2%,
3%, dan 4%. Kemudian diaduk selama 1 jam dengan suhu
60°C, selanjutnya didiamkan selama 24 jam.
2) Metode Sakarifikasi
Adapun enzim yang digunakan dalam proses sakarifikasi
adalah dextrozyme (Optimax 4060 VHP) yang merupakan
campuran dari glukoamilase (dari Aspergillus niger) dan
pullulanase (dari Bacillus licheneformis) yang masing-masing
memiliki aktivitas 260 GAU/g dan 390 ASPU/g. Satu unit GAU
glukoamilase adalah sejumlah enzim glukoamilase yang
membebaskan 1 gram gula pereduksi yang dihitung setara sebagai
glukosa per jam dari substrat pati terlarut di bawah kondisi tertentu
pengujian. Satu unit ASPU dari pullulanase adalah aktivitas enzim
pullulanase yang membebaskan 1 potensial reduksi yang ekuivalen
yang ditunjukkan sebagai glukosa per menit di bawah kondisi
pengujian ASPU pada pH 4-4,5 dan suhu 60C.
3) Metode Fermentasi
a) Proses fermentasi dilakukan ketika suhu dalam fermentor 32-
40°C.
b) Menambahkan ragi Saccharomyces cerevisiae masing-masing
sebanyak 10 gr. Yang sudah dicairkan dengan air hangat 40°C
(dimasukkan ke dalam air hangat 100 cc dan diaduk sehingga
cair dan dibiarkan sekitar 10 menit).
c) Tambahkan 20 gr Urea dan NPK 5 gr, kemudian diaduk.
Fermentasi dilakukan selama 66 jam. Selama proses fermentasi
perlu dilakukan pengecekan pH dengan pH meter dan
pengecekan temperatur dengan thermometer (diusahakan
temperatur tidak lebih dari 35°C dan pH 4,5 s/d 5).
d) Destilasi. Setelah 66 jam fermentasi, larutan dimasukkan ke
dalam tabung vakum. Larutan dipanaskan hingga temperatur
penguapan 79-80ºC dan uap dimasukkan ke destilator sehingga
terjadi proses destilasi yang akan memisahkan etanol dan air.
Selama proses destilasi, temperatur dijaga pada 79ºC sehingga
etanol yang keluar mencapai ≥ 95 % , jika etanol yang keluar <
95 % perlu dilakukan reflux atau didestilasi lagi.
Dilakukan analisis kadar air dan kadar pati dari bahan. Kadar
etanol dihitung dengan menggunakan alat untuk mengukur
kadar etanol/alkohol yang disebut alkoholmeter. Rendemen
dihitung dengan cara: jumlah etanol yang dihasilkan dalam
satuan (Liter) dibandingkan dengan jumlah bahan baku dalam
satuan (Liter) dikalikan 100%.
4) Dehidrasi
Dehidrasi menggunakan metode adsorbsi dilakukan
menggunakan zeolit yang dihasilkan pada proses aktivasi NaOH
(perlakuan 3.5.1.1). Perbandingan massa zeolite terhadap etanol
yang digunakan pada proses dehidrasi adalah 30 %, 40 %, dan 50
% ke dalam volume etanol hasil destilasi. Percobaan ini diawali
dengan memasukkan etanol 20 ml hasil destilasi ke dalam
Erlenmeyer lalu ditambahkan zeolit, diaduk perlahan selama 30
menit pada suhu ruang menggunakan magnetic stirrer (Erlenmeyer
ditutup), adsorben zeolit dipisahkan dengan pengendapan dan
filtrasi.
5) Hasil Samping Penyulingan Etanol
Selanjutnya dilakukan pemurnian kadar bioetanol yang
dihasilkan, dengan cara penyulingan ulang.

D. Rencana Analisis Data


Menurut Sugiyono (2017:147) yang dimaksud teknik analisis data
adalah kegiatan setelah data dari seluruh responden atau sumber data lain
terkumpul. Kegiatan dalam analisis data adalah mengelompokkan data
berdasarkan variable dan jenis responden, metabulasi data berdasarkan
variable dari seluruh responden, menyajikan data tiap variable yang diteliti,
melakukan perhitungan untuk menjawab rumusan masalah, dan melakukan
perhitungan untuk menguji hipotesis yang telah diajukan. Analisis data yang
akan peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah analisis statistik deskriptif.
Menurut Sugiyono (2017:147) analisis deskriptif adalah statistik yang
digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau
menggambarkan data yang telah terkumpul sebagaimana adanya tanpa
bermaksud membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum dan generalisasi.
Analisis yang dilakukan pada pati meliputi analisis kadar air dengan
metode distilasi, kadar serat, kadar pati, kadar abu, serta kadar amilosa, dan
amilopektin metode IRRI. Data dianalisis statistik dengan analisis ragam dan
dilanjutkan dengan uji BNT atau DMRT (Yitnosumarto, 1991).
Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah penggilingan limbah
padat sagu untuk penyeragaman ukuran, yaitu panjang 40-50 cm. Selanjutnya
batang/empulur sagu diparut, dicuci dengan air, lalu diperas dan dipisah antara
pati dan ampas/serat. Bagian pati, empulur, dan serat masing-masing diproses
menjadi etanol melalui beberapa proses, yaitu likuifikasi, sakarifikasi,
fermentasi, dan distilasi. Setelah itu dilakukan pembuatan bioetanol dengan
metode sakarifikasi dan fermentasi secara serentak, dimana penelitian ini
dilakukan untuk menentukan pengaruh konsentrasi substrat (empulur dan serat
sagu) dan konsentrasi enzim selulase (2%, 3%, dan 4%) dan enzim
glikoamilase (dari Aspergillus niger) dan pullulanase (dari Bacillus
licheneformis) terhadap konsentrasi bioetanol. Proses hidrolisis dibantu
dengan enzim selulase dan proses fermentasi dilakukan dengan penambahan
yeast Saccharomyces cerevisiae. Konsentrasi bioetanol hasil fermentasi diukur
dengan menggunakan alkoholmeter. Kadar bioetanol setelah didestilasi
menggunakan alat rotary evaporator tertinggi. Di sini hasil kadar bietanol
dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu substrat, inoculum, dan waktu. Dengan
adanya substrat yang lebih banyak maka glukosa yang terkonversi oleh enzim
meningkat dibandingkan dengan konsentrasi substrat, serta pertumbuhan
mikroba akan lebih baik karena kebutuhan nutrisinya yang semakin terpenuhi,
sehingga yang terkonversi menjadi bioetanol juga semakin banyak. Dengan
adanya penambahan substrat membuat jumlah selulosa yang akan dikonversi
menjadi glukosa semakin banyak pula, sehingga kadar etanol semakin
meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Winarti (1996) yang menyatakan
bahwa semakin tinggi konsentrasi substrat atau gula reduksi yang dapat
dipecah oleh sel khamir menjadi etanol maka semakin tinggi pula konsentrasi
etanol yang dihasilkan.
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Yolanda, dkk. Pembuatan Bioetanol dari Limbah Padat Sagu


Menggunakan Enzim Selulase dan Yeast Saccharomyces cerevisiae
dengan Proses Stimulaneous Sacharification and Fermentation (SSF)
dengan Variasi Konsentrasi Substrat dan Volume Inokulum.Universitas
Riau: Pekanbaru.
Arpiwi, Ni Luh. 2015. Diktat Kuliah Bioenergi: Biodiesel dan Bioetanol.
Universitas Udayana: Bali.
Assegaf, M, dkk. Teknologi Pengolahan “Sagu Kasbi” Sebagai Bahan Pangan
Lokal Prospektif di Maluku Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Maluku Utara: Kepulauan Tidore.
Bastian, F. 2011. Teknologi Pati dan Gula. Hibah Penulisan Buku Ajar Bagi
Tenaga Akademik. Universitas Hasanuddin: Makassar.
Chafid, A. dan Kusumawardhani, G. 2010. Modifikasi Tepung Sagu menjadi
Maltodekstrin menggunakan Enzim α-amilase. Skripsi. Universitas
Diponegoro: Semarang.
Daud, M., Safii, M. dan Syamsu, K. 2012. Biokonversi Bahan Berlignoselulosa
Menjadi Bioetanol Menggunakan Aspergillus niger Dan Saccharomyces
cereviceae. Jurnal Perennial. 8 (2) : 43 – 51.
Delly Jenny., Hasbi.M dan Zenius Al. 2016. Analisa Bioetanol Dari Nira Aren
Menggunakan Destilasi Fraksinasi Ganda Sebagai Bahan Bakar. Jurnal
Program Studi Teknik Mesin Universitas Kendari.

Gustiari, Sri, dkk. Pembuatan Bioetanol Dari Ampas Tahu Menggunakan Ragi
Tapai. Universitas Bung Hatta: Padang.
Handoko, T. dan Miryanti, A. 2009. Pengaruh Ukuran Baume, Jenis dan Jumlah
Enzim Glukoamilase terhadap Perolehan Bioetanol dari Sagu. Laporan
Penelitian. Fakultas Teknologi Industri Universitas Katolik Parahyangan:
Bandung.
Jamilatun, S., Sumiyati, Y. dan Handayani, R.N. 2004. Pengambilan Glukosa
dari Tepung Biji Nangka dengan Cara Hidrolisis Enzimatik Kecambah
Jagung. Jurnal. Program Studi Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri,
Universitas Ahmad Dahlan: Yogyakarta.
Jo, Lauwrentius Bryan. 2015. Kualitas Sohun dari Komposit Pati Sagu
(Metroxylon sp.) dan Tepung Singkong (Manihot esculeta). Universitas
Gajah Mada: Yogyakarta.
Komarayati, Sri, dkk. 2011. Pembuatan Bioetanol Dari Empulur Sagu
(Metroxylon spp.) Dengan Menggunakan Enzim. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan:
Bogor.
Mappiratu dan Nurhaeni. 2013. Penuntun Praktikum Enzim Pangan. Jurusan
Kimia FMIPA Universitas Tadulako.
Palu Pratiwi, D. B. dan Muliapakarti, R. 2011. Tugas Akhir Perancangan Pabrik
Etanol dari Singkong Kering (Gaplek) dengan Proses Enzimatis
Kapasitas 140 KL/Tahun. Skripsi. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Sebelas Maret: Surakarta.
Polii, F Fahri. 2016. Penelitian Pembuatan Etanol dari Serat/Ampas Sagu. Balai
Riset dan Standarddisasi Industri Manado: Manado.
Rafida. 2004. Biosintesis Bioetanol dari Pati Sagu menggunakan Inokulum Ragi
Roti. Skripsi. Universitas Tadulako: Palu.
Saidi David, 2014. Proses Dehidrasi Bioetanol Menggunakan Zeolit Teraktivasi
NaOH dengan Variasi Konsentrasi dan Berat Zeloit. Skripsi. Jurusan
Kimia Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN)
Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Saryono. 2011. Biokimia Enzim. Nuha Medika: Jogjakarta.


Sugiyono. 2017. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif, dan R&D. Alfabeta:
Bandung.
Yunianta, Sulistyo,T., Apriliastusi, Estiasih, T., dan Wulan, S.N. 2010. Hidrolisis
Secara Sinergis Pati Garut (Marantha arundinaceae L.) Oleh Enzim α-
Amilase, Glukoamilase, dan Pullulanase Untuk Produksi Sirup Glukosa.
Jurnal Teknologi Pertanian. 11 (2) : 78 – 86.
Yuniarsih, F. N. 2009. Pembuatan Bioetanol Dari Dekstrin dan Sirup Glukosa
Sagu (Metroxylon sp.) menggunakan Saccharomyces cerevisiae var.
ellipsoideus. Skripsi. Institut Pertanian Bogor: Bogor.
Winarsih, Ina.,Waluyo. T. K dan Komarayati. 2018. Pembuatan Bioetanol Dari
Empulur dan Limbah Serat Sagu Dengan Metode Kimiawi dan Enzimatis.
Jurnal. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan: Jl. Gunung Batu
No 5, Bogor.
Winarti, S. 1996. Pengaruh Lama Fermentasi dan Kadar Substrat Terhadap
Produksi Etanol Pada Fermentasi Onggok oleh Saccharomyces
cerevisiae. Fakultas MIPA Universitas Brawijaya: Malang.

Anda mungkin juga menyukai