Anda di halaman 1dari 9

REGULASI ZAKAT

MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


DI INDONESIA
Oleh:  Ali Aminulloh

A.     Pendahuluan
Zakat merupakan ibadah maaliyah ijtima’iyyah yang memiliki posisi sangat
penting dan stategis[1] baik dari sisi ajaran Islam maupun dari pembangunan kesejahteraan
ummat.  Dari sudut ajaran, zakat merupakan ibadah pokok yang masuk menjadi salah satu
rukun Islam yang keberadaannya dianggap sebagai bagian mutlak dari keislaman seseorang.
[2]
 Didalam al-Qur’an, ada 27 ayat yang mensejajarkan kewajiban Zakat dengan kewajiban
Shalat[3].. Bagi orang yang menunaikannya dengan sungguh-sungguh, Allah memberikan
pujian terhadapnya[4], sebaliknya Allah memberikan ancaman bagi orang yang sengaja
meninggalkannya[5].
Dari sudut pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan sumber keuangan
yang cukup potensial jika dikelola dengan baik, mengingat jumlah penduduk Indonesia
mayoritas Muslim. Namun dalam faktanya, pelaksanaan zakat belum berdampak signifikan
terhadap kesejahteraan umat Islam. Persoalannya karena regulasi dan pengelolaannya yang
belum baik. Zakat masih banyak dikelola secara parsial oleh lembaga-lembaga masyarakat,
bahkan oleh perseorangan. Karena itu pada masa pemerintahan BJ Habibie telah dikeluarkan
regulasi pengelolaan zakat berupa Undang-undang yang diikuti peraturan Menteri Agama dan
Peraturan-peraturan pelaksana lainnya sebagai penjabaran dari Undang-undang tersebut.
Harapan dari dikeluarkannya regulasi tersebut agar pelaksanaan Zakat dapat berhasil guna
dan berdaya guna serta dapat dipertanggungjawabkan guna mewujudkan kesejahteraan
masyarakat.[6]

B.  Regulasi Pengelolaan Zakat


Pelaksanaan Zakat di Indonesia diatur oleh Undang-undang no 38 tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat. Undang-undang terdiri dari 10 bab, 25 pasal yang  memuat  ketentuan-
ketentuan umum tentang zakat, asas dan tujuan, organisasi pengelolaan, pengumpulan,
pendayagunaan dan ketentuan-ketentuan lain.  Pelaksanaan dari Undang-undang ini diatur
oleh Keputusan Menteri Agama no. 581 tahun 1999 dan dirinci lagi oleh Keputusan Dirjen
Bimas Islam no. D-291 tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Selanjutnya,
pada tahun 2003, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan no. 373 untuk menyempurnakan
keputusan sebelumnya.
Seiring dengan perkembangan kelembagaan Zakat, peraturan-peraturan yang ada
tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Undang-undang no. 23 tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat sebagai penyempurnaan dari peraturan-peraturan sebelumnya. Undang-
undang ini terdiri dari XI bab, 47 pasal, berisi  ketentuan-ketuan umum zakat, BAZNAS,
Pengumpulan, Pendistribusian, Pendayagunaan dan Pelaporan, Pembiayaan, Pembinaan dan
Pengawasan, peran serta masyarakat, sanksi administratif, larangan, ketentuan pidana,
ketentuan peralihan dan penutup. Pelaksanaan dari Undang-undang ini, diatur oleh Peraturan
Pemerintah no. 14 tahun 2014 .
C.  Undang-Undang no. 38 tahun 1999
Undang-undang ini, merupakan undang-undang pertama yang secara khusus mengatur
tentang pengelolaan Zakat. Disahkan di Jakarta tanggal 23 Desember 1999 dan disimpan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 no. 164. Dasar pemikiran lahirnya
UU ini adalah bahwa zakat merupakan sumber daya umat Islam yang sangat potensial untuk
mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Zakat juga sebagai pranata sosial yang merupakan
bentuk kepedulian umat Islam yang berkemampuan terhadap sesamanya yang kurang mampu
secara ekonomi. Zakat pada dasarnya sudah dikelola masyarakat, semenjak umat Islam
ada.  Namun mengingat pengelolaan zakat yang berkembang belum terkoordinasi dengan
baik, maka diperlukan lembaga pengelola yang dipayungi perundang-undangan yang jelas.
Bab pertama UU ini berisi ketentuan umum tentang pengelolaan zakat. Pengelolaan
Zakat dimaknai sebagai kegiatan perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan terhadap
pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Zakat dalam ketentuan ini
diartikan sebagai harta yang wajib disisihkan oleh muzakki, baik dari perseorangan maupun
badan milik muslim yang berkemampuan, untuk diberikan kepada mustahik..
Menurut Undang-undang ini, pemerintah berkewajiban memberikan perlindungan,
pembinaan dan pelayanan  kepada semua unsur yang terkait dengan zakat,
baik muzakki, mustahik maupun ‘amil.[7]  Perlindungan yang dimaksud adalah memberikan
jaminan kepastian hukum terhadap pelaksanaan zakat. Setiap aspek yang berkait dengan
pelaksanaan zakat, baik penerimaan, pengelolaan dan pendistribusian zakat diatur dan
dijamin oleh peraturan. Sehingga muzakki merasa aman dan memiliki kepastian bahwa zakat
yang diserahkannnya sudah berdasarkan ketentuan syari’at dan terdistribusi tepat sasaran.
Dari sisi mustahik, peraturan ini memberikan kepastian kepada mereka yang berhak
menerima, dapat menerima zakat sesuai ketentuan. Demikian pula ‘amil sebagai pengelola
memiliki pedoman yang jelas dalam melaksanakan tugas-tugasnya.
Pada bab kedua dijelaskan tentang asas dan tujuan pengelolaan zakat. Pengelolaan
zakat beasaskan keimanan dan ketaqwaan, keterbukaan dan kepastian hukum sesuai dengan
pancasila dan UUD 1945. Adapun tujuan dari pengelolaan zakat adalah meningkatnya
pelayanan masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan tuntunan agama,
meninggkatnya funsi dan peranan pranata agana dalam upaya mewujudkan kesejahteraan
masyarkat dan keadilan sosial serta meningkatnya daya guna dan hasil guna zakat.[8]
Permbahasan bab ketiga mengatur tentang Organisasi Pengelola Zakat.  Dalam
pengelolaan zakat pemerintah membentuk Badan Amil Zakat (BAZ). BAZ dibentuk dari
mulai tingkat nasional sampai tingkat kecamatan. Pembentukan BAZ tingkat nasional oleh
presiden atas usul menteri agama. BAZ tingkat provinsi dibentuk gubernur atas usul
Kakanwil depag provinsi, tingkat kabupaten dibentuk bupati atas usulan kandepag kabupaten
dan tingkat kecamatan dibentuk camat atas usulan kepala KUA. Para pengurus BAZ di
berbagai tingkatan diambil dari unsur masyarakat dan pemerintah yang terdiri dari unsur
pelaksana pertimbangan dan pengawas.[9]
Menurut Keputusan Menteri Agama RI no. 581 tahun 1999 tentang pelaksanaan UU
no. 38 tahun 1999, bahwa agar pengelolaan zakat dapat dilaksanakan dengan baik, maka
dibentuk 3 organisasi, yaitu Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ) dan Unit
Pengumpulan Zakat (UPZ).  BAZ adalah organisasi pengelola zakat bentukan pemerintah
yang bertugas untuk mengumpulkan, mendistribusikan dan mendayagunakan zakat sesuai
ketentuan syara’. LAZ merupakan institusi pengelolaan zakat yang dibentuk dan diprakarsai
oleh masyarakat yang bergerak dibidang dakwah, pendidikan, sosial dan kemaslahan umat
Islam. Sedangkan UPZ merupakan satuan organisasi yang dibentuk BAZ disemua tingkatan
yang bertugas mengumpulkan zakat dan melayani muzakki.[10]

1.      Badan Amil Zakat


BAZ dibentuk mengikuti satuan wilayah pemerintahan dan masing-masing
berkedudukan diwilayah kerja sesuai tingkatannya. Tingkat nasional dinamakan Badan Amil
Zakat Nasional (Baznas). BAZ ditingkat provinsi dinamakan Badan Amil Zakat Daerah
Provinsi (Bazda). Tingkat kabupaten dinamakan Badan Amil Zakat Daerah Kabupaten/Kota
(Bazkab) dan tingkat Kecamatan dinamakan Badan Amil Zakat Kecamatan (Bazcam).
Pengurus BAZ disetiap tingkatannya diambil dari unsur ulama, kaum cendekia, tokoh
masyarakat, tenaga profesional dan wakil dari pemerintah.[11] Kepengurusannya terdiri dari
Dewan Pertimbangan, Komisi Pengawas dan Badan Pelaksana.
Dewan pertimbangan adalah badan yang memberikan pertimbangan, fatwa, saran dan
rekomendasi tentang pengembangan hukum dan pengelolaan zakat. Tugas Badan ini adalah:
a.        Menetapkan garis-garis kebijakan umum BAZ bersama Komisi Pengawas dan Badan
Pelaksana.
b.      Mengeluarkan fatwa syari’ah berkenaan dengan hukum zakat yang wajib diikuti pengurus
BAZ, baik diminta ataupun tidak
c.       Memberikan pertimbangan, saran dan rekomendasi kepada Badan Pelaksana dan Komisi
Pengawas.
d.      Menampung, mengelola, dan menyampaikan pendapat umat tentang pengelolaan zakat.[12]
Komisi Pengawas adalah badan yang melaksanakan pengawasan internal atas
operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana. Tugas badan ini adalah sebagai
berikut:
a.       Mengawasi pelaksanaan rencana kerja yang telah dilaksanakan
b.      Mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan.
c.       Mengawasi operasional kegiatan yang dilaksanakan Badan Pelaksana meliputi pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat.
d.      Melakukan pemeriksaan operasional, pemeriksaan syari’ah dan peraturan perundang-
undangan.
e.       Menunjuk akuntan publik unuk melakukan audit[13]
Badan Pelaksana merupakan badan yang melaksanakan kebijakan BAZ dalam
pengumpulan, penyaluran dan pendayagunaan zakat[14]. Tugas Badan ini, menurut KMA no.
581 tahun 1999, adalah sebagai berikut:
a.       Menyelenggarakan tugas administratif dan teknis pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat.
b.      Mengumpulkan dan mengolah data yang diperlukan untuk penyusunan rencana pengelolaan
zakat.
c.       Menyelenggarakan bimbingan dibidang pengelolaan, pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat
d.      Menyelenggarakan tugas penelitian dan pengembangan, komunikasi, informasi dan edukasi
pengelolaan zakat.
Tugas Badan Pelaksana poin c, dalam Keputusan Menag RI no. 373 tahun 2003
ditiadakan dan diganti dengan membentuk dan mengukuhkan UPZ sesuai tingkatan dan
wilayah operasionalnya.[15]
Kepengurusan BAZ ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan tingkatannya. Susunan
pengurus BAZ tingkat nasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas usulan menteri
Agama. Pengurus tingkat provinsi berdasarkan Keputusan Gubernur atas usulan dari Kepala
Kanwil Kementerian Agama Provinsi. Pengurus tingkat kabupaten/kota ditetapkan dengan
keputusan Bupati/Wali Kota atas usul dari Kepala Kantor Kementerian Agama Kab./Kota
dan pengurus tingkat kecamatan ditetapkan dengan Keputusan Camat atas usulan dari Kepala
KUA
Calon pengurus  terlebih dahulu diseleksi oleh tim yang ditetapkan dan diusulkan oleh
pemerintah yang membidangi agama sesuai tingkatannya dengan kriteria memiliki sifat
amanah, mempunyai visi dan misi, berdedikasi, profesional dan integritas tinggi[16]. Mereka
berasal dari unsur ulama, cendekia, tenaga profesional, praktisi pengelola zakat, LSM yang
terkait dan unsur pemerintah.

2.      Lembaga Amil Zakat (LAZ)


LAZ diprakarsai dan dibentuk oleh masyarakat, selanjutnya dikukuhkan dan dibina
oleh Pemerintah sesuai dengan tingkatannya. LAZ tingkat pusat dikukuhkan menteri Agama.
Tingkat Provinsi pengukuhannya oleh Gubernur atas usul dari Kepala Kanwil Kementerian
Agama Provinsi, tingkat Kabupaten/Kota dikukuhkan Bupati/Wali Kota atas usul dari Kepala
Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan tingkat Kecamatan dikukuhkan Camat atas
usulan Kepala KUA.
Untuk mendapatkan pengukuhan, LAZ mengajukan pengukuhan kepada Pemerintah
sesuai dengan tingkatan ormas yang mengusulkan dengan menlampirkan syarat-syarat
sebagai berikut:
a.       Akte pendirian (berbadan hukum)
b.      Data muzakki dan mustahik
c.       Daftar rencana pengurus
d.      Rencana program jangka pendek, menengah dan panjang.
e.       Neraca dan posisi keuangan
f.       Surat pernyataan siap diaudit.[17]
Dalam KMA no. 373 tahun 2003 pasal 22, untuk LAZ tingkat nasional dan provinsi,
persyaratannya dilengkapi sebagai berikut;
g.      Telah beroprasi minimal 2 tahun.
h.      Memiliki laporan keuangan yang telah diaudit akuntan publik minimal 2 tahun terakhir.
i.        Memilikabuki wilayah operasional minimal 10 provinsi untuk tingkat nasional dan
menguasai 40 % dari jumlah kabupaten/kota dalam 1 provinsi untuk LAZ tingkat provinsi.
j.        Telah mapu mengumpulkan dana Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah) untuk LAZ
tingkat nasional dan Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) untuk LAZ tingkat provinsi.
k.      Melampirkan surat pernyataan siap disurvey oleh tim yang dibentuk oleh kementerian
Agama
LAZ yang telah memenuhi syarat dan mendapatkan pengukuhan dari pemerintah,
meiliki kewajiban sebagai berikut:
a.       Melakukan kegiatan sesuai program kerja yang dibuat.
b.      Menyusun laporan, termasuk laporan keuangan.
c.       Mempublikasikan laporan keuangan yang telah diaudit melalui media massa.
d.      Menyerahkan laporan kepada pemerintah
3.      Unit Pengumpulan Zakat (UPZ)
UPZ merupakan satuan organisasi yang dibentuk BAZ disemua tingkatan untuk
melayani muzakki yang menyerahkan zakatnya.
BAZ Nasional dapat membentuk UPZ pada instansi negara, lembaga pemerintah
pusat, BUMN, perusahaan swasta yang berkedudukan di ibukota negara dan pada kantor
perwakilan RI di luar negeri. BAZ Daerah Provinsi, BUMN, BUMD dan perusahaan swasta
yang berkedudukan di provinsi. BAZ Daerah Kabupaten/Kota berwenang membentuk UPZ
pada instansi/lembaga pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan perusahaan swasta yang
berkedudukan di ibu kota Kabupaten/Kota. Sedangkan BAZ Daerah Kecamatan berwenang
membentuk UPZ pada instansi/lembaga pemerintah daerah, BUMN, BUMD dan perusahaan
swasta yang berkedudukan di wilayah kecamatan dan membentuk UPZ di tiap-tiap
desa/kelurahan.
UPZ kelembagaan dan kepengurusannya ditetapkan oleh Surat keputusan dari Badan
Pelaksana BAZ sesuai dengan tingkatannya. Badan Pelaksana BAZ disetiap tingkatan dapat
membentuk UPZ setelah melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Mengadakan pendataan terhadap berbagai instansi dan lembaga pada masing-masing
tingkatan.
b.      Mengadakan kesepakatan dengan pimpinan instansi dan lembaga untuk membentuk UPZ.[18]

Bab keempat UU RI no. 38 tahun 1999 mengatur tentang Pengumpulan Zakat. Zakat
yang dikumpulkan oleh BAZ ada 2 jenis, yaitu zakat maal dan zakat fitrah. Selain itu dapat
pula menerima infaq, shadaqah, wasiat waris dan kafarat. Adapun harta yang wajib dizakati
meliputi : emas, perak, uang; perdagangan dan perusahaan; hasil pertanian, perkebunan dan
perikanan; hasil pertambangan; hasil peternakan; hasil pendapatan dan jasa; dan rikaz.
Perhitungan zakat mal berdasarkan nisab menurut ketentuan agama, baik kadarnya maupun
waktunya. Perhitungan dapat dilakukan oleh muzakki sendiri atau meminta bantuan petugas
BAZ. Zakat-zakat yang dikeluarkan muzakki melalui BAZ dapat menjadi pengurang
kewajiban pajak.
Lingkup kewenangan BAZ dalam pengumpulan zakat dan penerimaan lainnya yaitu
infaq, shadaqah, wasiat waris dan kafarat, diatur KMA 581 tahun 1999 pasal 25 sebagai
berikut:
1.      BAZNAS mengumpulkan zakat dari muzakki yang berasal dati instansi/lembaga pemerintah
pusat, swasta nasional dan luar negeri.
2.      BAZDA Provinsi berwenang mengumpulkan zakat yang berasal dari muzakki pada
instansi/lembaga pemerintah dan swasta, perusahaan-perusahaan dan dinas daerah provinsi.
3.      BAZDA Kabupaten/Kota berhak mengumpulkan zakat yang berasal dari muzakki pada
instansi/lembaga pemerintah dan swasta, perusahaan-perusahaan dan dinas daerah
kabupaten/kota.
4.      BAZDA Kecamatan berhak mengumpulkan zakat dari muzakki yang berasal dari instansi
/lembaga pemerintah danswasta, perusahaan-perusahaan kecil dan pedagang serta pengusaha
di pasar pada wilayah yang menjadi kewenangannya.
5.      UPZ di desa/kelurahan mengumpulkan zakat termasuk zakat fitrah dari muzakki.[19]

BAZ dan LAZ yang menerima zakat, wajib menerbitkan bukti setoran sebagai tanda
terima atas zakat yang disetorkan muzakki. Bukti setoran dianggap sah bila: 1)
mencantumkan nama, alamat BAZ atau LAZ yang dilengkapi nomor
pengesahan/pengukuhan, 2) nomor urut bukti setor, 3) nama, alamat muzakki berikut NPWP
(jika dizakat lakukan pengurangan pajak), 4) Jumlah zakat yang disetor dalam angka dan
huruf serta dicantumkan tahun haul, 5) Tana tangan, nama, jabatan petugas amil, tanggal
penerimaan dan stempel BAZ/LAZ.zakat
Untuk meningkatkan akuntabilitas, BAZ dan LAZ dalam pengumpulan zakat dapat
bekerjasama dengan Bank  diwilayahnya masing-masing, baik bank swasta maupun
pemerintah. Kerjasama tersebut diawali dengan pembuatan MoU dan disosialisasikan kepada
masyarakat luas melalui media masa. Para muzakki dapat membayar melalui rekening yang
telah ditetapkan atasnama BAZ atau LAZ.

Selanjutnya pada bab kelima diatur mengenai pendayagunaan zakat. Salahsatu tujuan


pengaturan pengelolaan zakat adalah meningkatnya fungsi dan peranan pranata agama dalam
upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial serta meningkatnya hasil
guna dan daya guna zakat. Selain itu pendayagunaan zakat juga ditujukan untuk pengentasan
kemiskinan dan menghilangkan kesenjangan sosial.[20]
Pendayagunaan harta yang dikumpulkan dari zakat untuk mustahik harus dilakukan
sesuai dengan ketentuan syari’at agama. Pelaksanaannya melihat skala prioritas berdasarkan
kondisi mustahik pada wilayah masing-masing pengelola zakat dan bersifat produktif.[21]
Prosedur pendayagunaan menurut KMA no. 581 tahun 1999, diatur sebagai berikut:
1.      BAZ / LAZ memiliki data yang kongkrit dan valid mengenai 8 asnaf mustahik.
2.      Melakukan urutan prioritas mustahik dengan mendahulukan orang-orang yang tidak berdaya
dalam memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.
3.      Mendahulukan mustahik yang berada diwilayah kerjasanya masing-masing.
4.      Harta zakat dapat didayagunakan untuk usaha produktif dapat dilakukan apabila:
a.       Mustahik sebagaimana disebutkan pada poin 2 sudah terpenuhi dan terdapat kelebihan.
b.      Ada usaha yang berpeluang menguntungkan
c.       Mendapatkan persetujuan dari Dewan pertimbangan BAZ.
5.      Prosedur pendayagunaan harta zakat untuk usaha produktif sebagai berikut:
a.       Melakukan studi kelayakan.
b.      Menetapkan jenis usahanya
c.       Melakukan pembimbingan, penyuluhan dan pendampingan.
d.      Melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan.
e.       Mengadakan evaluasi
f.       Membuat laporan.

Bab selanjutnya, bab keenam mengatur tentang Pengawasan. Pengawasan


pelaksanaan tugas-tugas Badan Pelaksana BAZ dilakukan secara internal oleh Komisi
Pengawas BAZ dan secara internal oleh pemerintah dan masyarakat. Komisi ini
berkedudukan disemua tingkatan BAZ dari mulai tingkat nasional sampai tingkat kecamatan.
Pengawasan yang dilakukan Komisi Pengawas meliputi pengawasan terhadap
keuangan, kinerja BAZ dan pelaksanaan perundang-undangan serta prinsip-prinsip syariah.
Dalam menjalankan tugasnya, komisi ini dapat meminta bantuan atau bekerja sama dengan
pihak-pihak lain yang berkompeten. Dalam hal pemeriksaan keuangan misalnya, komisi ini
dapat meminta bantuan akuntan publik. Pengawasan terhadap kinerja BAZ dilakukan dengan
melihat rancangan program kerja dan pelaksanaannya pada tahun berjalan dan setelah tahun
buku berakhir.
Seluruh hasil pengawasan disampaikan kepada Badan Pelaksana dan Dewan
Pertimbangan untuk ditindak lanjuti dan sebagai bahan pertimbangan untuk pengembangan
program atau sebagai bahan penjatuhan sanksi bila ditemukan pelanggaran atau
penyimpangan.
Badan Pelaksana BAZ sendiri membuat pelaporan tahunan mengenai pelaksanaan
tugasnya kepada Pemerintah dan DPR/DPRD sesuai tingkatannya. Laporan ini memuat
seluruh kegiatan yang sudah dilakukan, seperti berbagai berbagai kebijakan yang  diputuskan
dan dilaksanakan, laporan pengumpulan dan pendayagunaan dana zakat.[22]
Untuk menjamin kepastian dan tegaknya hukum, maka pada bab ketujuh diatur
mengenai Sanksi. Pelanggaran pengelola zakat yang mendapatkan sanksi dalam UU no. 38
tahun 1999 terdapat 2 macam, yaitu tindak pidana pelanggaran dan tindak pidana kejahatan.
Tindak pidana pelanggaran adalah berupa kelalaian para pengelola zakat seperti tidak
mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat, infaq, shadaqah, hibah, waris dan
kafarat.  Bagi pelangarnya akan dikenakan sanksi kurungan penjara selama-lamanya 3 (tiga)
bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 3.000.000,- (tiga juta rupiah). Adapun tindak
pidana kejahatan adalah penggunaan dana zakat untuk pribadinya secara tidak sah. Kejahatan
ini dikenai sanksi sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D.  Undang-Undang RI no. 23 tahun 2011


Dinamika sosial yang terjadi selama 11 tahun di era global ini tentu akan mengalami
berbagai perubahan dalam berbagai hal, termasuk pranata sosial. Demikian pula halnya
dalam pengelolaan zakat yang merupakan bagian dari prananata sosial keagamaan, banyak
mengalami perkembangan. Oleh sebab itu perundang-perundangan yang memayunginya pun
harus ikut berubah,  karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
dalam masyarakat. Atas dasar pertimbangan itu maka ditetapkan UU RI no. 23 tahun 2011
sebagai pengganti UU no. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Dengan terbitnya UU
yang baru ini, maka seluruh ketentuan yang ada dalam UU lama dinyatakan dicabut dan tidak
berlaku. Adapun peraturan-peraturan pelaksananya masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Undang-undang yang baru.[23]
Bila kedua Undang-undang tersebut dan peraturan pelaksananannya dibandingkan,
maka ada beberapa poin perubahan yang ada pada perundang-undangan yang baru, yaitu:
1.    Nama lembaga
Pada awalnya, lembaga pengelola zakat dinamakan BAZ dan diberi tambahan sesuai dengan
tingkatan wilayah operasionalnya. Tingkat nasional dinamakan BAZNAS, tingkat provinsi
dan kabupaten dinaman BAZDA dan tingkat kecamatan BAZCAM. Dalam UU yang baru
lembaga ini dinamakan BAZNAS dan diberi penjelasan sesuai dengan tingkatan wilayah
operasionalnya, yaitu BAZNAS, BAZNAS Provinsi dan BAZNAS Kabupaten/Kota,
sedangkan tingkat Kecamatan tidak ada dalam ketetapan.
2.    Objek zakat
Pada undang-undang baru terdapat pengembangan objek yang wajib dizakati yaitu: logam
mulia lainnya (selain emas dan perak), surat berharga lainnya (selain uang), kehutanan dan
perindustrian.
3.    Susunan organisasi dan tata kerja
Pada peraturan lama susunan organisasi BAZ terdiri dari Badan Pelaksana, Dewan
Pertimbangan dan Komisi Pengawas. Undang-undang yang baru, nampaknya melakukan
efisiensi, hanya menetapkan Badan pengurus dengan jumlah personal sebanyak 11 orang, 8
dari unsur masyarakat dan 3 dari unsur pemerintahan. [24]  Hanya saja fungsi kepengurusannya
meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pelaporan terhadap pengumpulan,
pendistribusian dan pendayagunaan zakat. Pengawasan tidak lakukan oleh komisi tersendiri,
tetapi langsung oleh pemerintah sesuai dengan wilayah kerjanya, yaitu  menteri agama,
gubernur dan bupati/wali kota.[25]
4.    Persyaratan pengurus BAZNAS dan masa kerja kepungurusan
Ada beberapa kriteria spesifik dari calon pengurus yang tidak disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan sebelumnya[26], yaitu : minimal berusia 40 tahun, sehat jasmani rohani,
tidak menjadi anggota Partai Politik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindakan
pidana kejahatan yang diancam pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
Berkenaan dengan pengurus yang berasal dari unsur pemerintah, peraturan pemerintah no. 14
tahun 2014 sebagai aturan pelaksanaan dari UU np. 23 tahun 2011 menetapkan kriteria
pejabat yang dapat menduduki pengurus BAZNAS, yaitu:
a.       Dari unsur kementerian agama yaitu pejabat strukturan eselon 1 yang berkaitan dengan
Pengelolaan Zakat.
b.      Pejabat dari unsur kementerian dalam negeri.
c.       Pejabat dari unsur kementerian keuangan.
Masa kepengurusan BAZNAS ditetapkan selama 5 tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1
(satu) kali masa jabatan[27]. Sebelumnya, masa jabatan kepengurusan BAZ selama 3 (tiga)
tahun, namun tidak ada pembatasan jika terpilih lagi[28].
5.    Pembiayaan
Ketentuan tentang pembiayaan merupakan pasal baru yang sebelumnya tidak diatur.
Berdasarkan ketetapan undang-undang ini, seluruh tugas BAZNAS dibiayai APBN sesuai
tingkatan wilayah operasionalnya dan hak amil yang diambil dari zakat.
Biaya operarional yang dibebankan kepada APBN meliputi :
a.       Hak keuangan pimpinan BAZNAS.
b.      Biaya administrasi umum,
c.       Biaya sosialisasi dan koordinasi BAZNAS dengan BAZNAS tingkatan lainnya dan LAZ
yang menjadi mitranya.
Biaya-biaya operasional lain selain yang tersebut diatas dibebankan kepada hak amil sesuai
ketetpan syari’at agama dengan mempertimbangkan aspek produktivitas, efektivitas dan
efisiensi dalam pengelolaan zakat. Seluruh penggunaan hak amil dicantumkan dalam rencana
kerja dan anggaran tahunan BAZNAS Provinsi dan kabupaten yang disyahkan BAZNAS.
6.    Pelanggaran dan Ketentuan Pidana
Undang-undang no. 23 tahun 2011 dan peraturan pelaksananya, mengatur secara lebih rinci
mengenai opelanggaran dan sanksi bagi para pengelola yang tidak melaksanakan ketentuan
perundang-undangan. Secara garis besar ada 2 jenis pelangaran yang dilakukan pengelola
zakat, yaitu pelanggaran administratif dan pelanggaran pidana. Pelanggaran administratif
sebagaimana diatur dalam Bab VII pasal 36 yaitu mengenai pelaporan dan pembukuan. Jika
pengelola tidak melakukan keduanya dengan baik, maka pengelola zakat diberikan sanksi
berupa peringatan tertulis, penghentian sementara dari kegiatan dan/atau pencabutan izin
operasional.
Penyimpangan yang dianggap tindakan pidana sebagaimana diatur dalam bab IX pasal 39 -
41, yaitu tindakan pelanggaran dan tindakan kejahatan.
a.       Tindakan pelanggaran jika pengelola tidak mendistribusikan zakat sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan sebagai mana diatur dalam pasal 25. Pelanggaran ini dikenakan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal Rp. 500.000.000,- (lima ratus
juta rupiah)
b.      Dianggap tindakan kejahatan jika pengelola zakat melakukan hal-hal sebagai berikut:
1)      Melakukan penyelewengan terhadap dana zakat sebagaimana diatur dalam pasal 37, yaitu
memiliki, menjaminkan, menghibahkan, menjual, dan/atau mengalihkan zakat, infak,
sedekah, dan/atau dana sosial keagamaan lain yang dalam pengelolaannya. Tindakan tersebut
diancam pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda maksimal Rp.
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)
2)      Melakukan tindakan pengumpulan, pendistribusian atau pendayagunaan zakat tanpa izin
pejabat yang berwenang sebagaimana diatur dalam pasal 38. Tindakan tersebut diancam
dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda maksimal Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah)
E. Penutup
Zakat sebagai pranata keagamaan dalam bidang keuangan berpotensi besar untuk
berkontribusi dalam meningkatkan kesejahteraan umat islam. Karena itu sudah seyogyanya
diatur sedemikian rupa dengan perundang-undangan yang memiliki kekuatan hukum untuk
memaksa masyarakat menjalankannya, sehingga terjadi keteraturan dan terhindar dari
penyimpangan. Karena kebenaran yang tidak diatur, akan hancur dengan kebatilan yang
diatur dengan baik, alhaqqu bila nidham yaghlibuhu al-bathin bi al-nidham.
Indonesia sebagai negara yang berpenduduk mayoritas muslim, telahpun memiliki
peraturan-perundangan yang mengatur renik detail pengelolaan zakat. Perlu sosialisi lebih
intens lagi kepada masyarakat mengenai berbagai ketentuan yang ada sehingga masyarakat
memahami dan menjalankannya. Fakta dilapangan, banyak praktek pengelolaan yang tidak
sesuai perundang-undangan bahkan secara nyata melanggar. Akibatnya potensi besar ini
tidak dapat diwujudkan dengan baik. Karena itu menjadi kewajiban bagi semua unsur
masyarakat untuk mensosialisasikan dan menegakkan aturan perundang-undangan ini demi
terwujud baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang aman sejahtera adil dan
makmur. Walhamdulillahi rbbil ‘alamin

Anda mungkin juga menyukai