Anda di halaman 1dari 24

Metode Istinbath Hukum yang Tidak

Disepakati Urf & Saad Adz-Dzari’ah

Dosen Pengampuh :

Disusun Oleh :
Meidy Riani Mellinda ( C72218079 )
Aghnia Faza Nabila ()
Rachmad Ubaidillah ()

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARI’AH


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
KATA PENGANTAR

Asslamualaikum wr.wb.

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. atas petunjuk dan
bimbingan-Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Metode
Istinbath Hukum yang Tidak Disepakati Urf & Saad Adz-Dzari’ah” ini dengan
baik.
Adapun tugas makalah yang berkaitan dengan mata kuliah Ushul Fiqh ini
untuk memenuhi mata kuliah yang ada. Mungkin dalam penyajian isi makalah ini
jauh dari kesempurnaan, untuk itu kami mohon kritik dan saran demi
sempurnanya makalah yang akan kami buat.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengampu makalah tentang
Ushul Fiqh yang telah banyak memberikan arahan dan wawasan demi terbetuknya
makalah ini. Dan tak lupa kami ucapkan juga pada teman-teman yang telah
memberi kritik dan saran demi terbentuknya makalah ini.

Demikian kami ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum wr.wb

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................


DAFTAR ISI .............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................................3
B. Rumusan masalah................................................................................................4
C. Tujuan Masalah...................................................................................................4
D. Manfaat...............................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi ‘Urf..........................................................................................................5
B. Macam-macam ‘Urf.............................................................................................6
C. Dasar Hukum ‘Urf.................................................................................................7
D. Kehujjahan ‘Urf....................................................................................................8
E. Definisi Sadd adz-Dzari’ah....................................................................................8
F. Macam-macam Saad Adz-Dzari’ah.......................................................................9
G. Kehujjahan Sadd Adz-Dzariah............................................................................10
H. Cara Pendekatan Metode Istinbath Hukum Islam.............................................11
I. Contoh Penerapan Saad Adz-Dzari’ah.................................................................15
J. Contoh Penerapan Urf........................................................................................19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan........................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Usul fiqh, usul fiqh berasal dari dua kata yaitu usul dan fiqh, usul sendiri
memiliki arti yaitu sumber atau dalil. Sedangkan fiqh sendiri memiliki arti
yaitu mengetahui hukum-hukum tentang perbuatan orang mukallaf. Seperti :
hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya sesuatu perbuatan dan lain-
lain. Jadi, usul fiqh memiliki pengertian suatu sumber-sumber atau dalil-dalil
yang menunjukkan kepada suatu atau sesuatu hukum dengan secara ijma' atau
garis besar.

Kegunaan kita mempelajari usul fiqh adalah untuk mengetahui hukum-


hukum syariat Islam dengan jalan yang pasti, tujuannya adalah untuk
menghindarkan taklid (mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui apa
alasannya).

Sumber utama dari hukum Islam yaitu Al-Qur'an dan sedangkan didalam
sumber hukum Islam memiliki beberapa macam sumber hukum. Macam-
macam sumber hukum Islam dibagi menjadi dua. yaitu sumber hukum Islam
yang disepakati dan sumber-sumber hukum Islam yang tidak di sepakati.

Sumber-sumber hukum Islam yang disepakati antara lain Al-Qur'an,


Hadist, Qiyas, dan Ijma'. Sedangkan sumber-sumber Islam yang tidak
disepakati antara lain Al-Istihsan, Maslahah mursalah, Al-Urf, atau Al-idah,
Al-istihhab, Qaul ash-shabbisyar'u man qoblana, Adz-dzariah. Jadi sumber
hukum Islam yang tidak disepakati salah satunya Al-Urf adalah kebiasaan
anggota masyarakat baik perkotaan maupun perbuatan. Sedangkan Adz-
dzariah adalah sesuatu yang menjadi sarana kepada yang diharamkan atau
dihalalkan.

3
B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari Al-Urf dan Saad Adz-Dzari’ah ?


2. Bagaimana Metode istihbat hukum Islam Al-Urf dan Saad Adz-
Dzari’ah?
3. Bagaimana contoh penerapan Al-Urf dan Saad Adz-Dzari’ah dalam
ekonomi Islam?

C. Tujuan
Tujuan menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Ushul Fiqh dan untuk mengetahui :
1. Definisi dari Al-Urf dan Saad Adz-Dzari’ah
2. Metode istihbat hukum Islam Al-Urf dan Saad Adz-Dzari’ah
3. Contoh penerapan Al-Urf dan Saad Adz-Dzari’ah dalam ekonomi Islam

D. Manfaat

Manfaat menyusun makalah ini bagi diri sendiri dan pembaca adalah
untuk menambah wawasan agar lebih paham tentang definisi, metode istihbat
hukum islam, dan contoh penerapan Al-Urf dan Saad Adz-Dzari’ah.

4
BAB II

PEMBAHASAN

1.1 Definisi Urf dan Sadd Al-Dhari’ah


A. Definisi ‘Urf
‘Urf ialah suatu kebiasaan yang diketahui dan dijalankan orang, baik
dari kata-kata maupun perbuatan. 1 Kata ‘Urf secara etimologi yaitu
sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Secara
terminologi, ‘urf didefinisikan sebagai kebiasaan mayoritas umat, baik
dalam perkataan maupun perbuatan. 2 Arti ‘urf secara harafiyah adalah
suatu keadaaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah dikenal oleh
manusia dan telah menjadi tradisi untuk melaksanakannya atau
meninggalkannya.3 Dikalangan masyarakat urf ini sering disebut sebagai
adat kebiasaan.4
Menurut istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat
(adat kebiasaan). Namun dalam pemahaman biasa diartikan bahwa
pengertian adat lebih umum dibanding dengan ‘urf. Dengan demikian
suatu kebiasaan dapat dikatakan sebagai ‘urf jika memenuhi hal-hal
berikut : Pertama, kebiasaan itu harus disukai banyak orang. Kedua,
kebiasaan harus dilakukan secara berulang-ulang. Ketiga, kebiasaan itu
harus populer dan dikenal oleh banyak komunitas. Ahmad Azhar Basyir
menyebutkan tiga prasyarat ‘urf lainnya, yaitu: Pertama, adanya
kemantapan jiwa. Kedua, sejalan dengan pertimbangan akal sehat. Ketiga,
dapat diterima oleh watak pembawaan manusia. Oleh sebab itu, kebiasaan

1
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( 1978), hal. 89
2
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Dari Teori ke Aplikasi, (Jakarta,
Prenadamedia Group, cet.ke-2 2018), hal.151
3
Rachmat syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Cv. Pustaka Setia, 1988), hal.128
4
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam, (Surabaya: Citra Media,
1997), hal.146

5
yang tidak memenuhi prasyarat tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
‘urf.5
Contoh ‘Urf yang bersifat perbuatan adalah adanya saling pengertian
diantara manusia mengenai jual beli tanpa mengucapkan sighat.
Sedangkan contoh ‘Urf yang bersifat ucapan adalah adanya pengertian
tentang kemutlakan lafal al-walad atas anak laki-laki bukan perempuan,
dan juga tentang meng-itlak-kan lafazh al-lahm yang bermakna daging
atas as- samak yang bermakna ikan tawar.6

B. Macam-macam ‘Urf

‘Urf perkataan atau perbuatan itu ada dua macam, yakni; 1) Urf umum
(‫ )عام‬adalah sesuatu kebiasaan warga negara atau suatu tempat tertentu dan
pada waktu tertentu. Misalnya: menurut kebiasaan orang arab lafal haram
berma’na tholaq untuk membatalkan perkawinan. 2) Urf Khos (‫)خاص‬
adalah kebiasaan ahli negara ataupun daerah tertentu. Misalnya ucapan
Adzabah (‫ )الذبة‬menurut ahli ira’ khusus untuk kuda. 7 Urf juga dibagi
menjadi dua :

a. Urf yang benar adalah adat kebiasaan yang tidak menyalahi nash
atau tidak melalaikan kepentingan/kebaikan atau tidak membawa
keburukan. Contohnya membiasakan membayar mas kawin
dimuka atau menangguhkan sebagiannya.
b. Urf yang salah adalah suatu kebiasaan yang berlawanan dengan
syara’ atau membawa keburukan atau melalaikan kepentingan
kebaikan. Contoh: mkenghidangkan sesuatu yang memaukkan

5
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Dari Teori ke Aplikasi, (Jakarta,
Prenadamedia Group, cet.ke-2 2018), hal. 151-152
6
Ibid
7
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, LOGOS, cet.ke-1,1996) hal : 128

6
tamunya, dan membiasakan perjanjian-perjanjian yang bersifat
riba.8

C. Dasar Hukum ‘Urf

‘Urf merupakan suatu yang bisa dijadikan hukum yang berdasarkan


sabda Nabi, dalil nash.

“Sesuatu yang dianggap oleh orang muslim itu baik maka Allah
menganggap perkara itu baik pula.”
Dan didukung firman Allah yang berbunyi :9

1. Hukum ‘Urf Sahih


‘Urf sahih harus dipelihara dalam pembentukan hukum dan
pengadilan. Sesuatu yang telah saling dikenal manusia meskipun
tidak menjadi adat kebiasaan, tetapi telah disepakati dan dianggap
mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta selama hal itu
tidak bertentnangan dengan syara’ maka harus dipelihara.
2. Hukum ‘Urf Fasid
“Urf fasid atau ‘urf yang rusak, tidak diharuskan untuk
memeliharanya, karena memeliharanya itu berarti menentang dalil
syara’ atau membatalkan dalil syara’. Apabila manusia telah saling
mengerti akad-akad yang rusak, seperti akad riba atau akad
ghararmatau khathar (tipuan dan membahayakan), maka bagi ‘urf
tidak mempunyai pengaruh dalam membolehkannya.

8
A. Hanafie, Usul Fiqh, (Jakarta: Wiajaya, 1989), hal. 146
9
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, LOGOS, cet.ke-1,1996) hal : 130

7
Hukum-hukum yang didasarkan ‘urf dapat berubah menurut
perubahan zaman dan perubahan asalnya. Karena itu, para fuqoha
berkata, “perselisihan itu adalah perselisihan masa dan zaman,
bukan perselisihan hujjah dan bukti.”10

D. Kehujjahan ‘Urf
‘Urf ditunjukkan untuk memelihara kemaslahatan umat serta
menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Dengan
‘urf dikhususkan lafal yang ‘amm (umum) dan dapat dibatasi yang mutlak.
Karena ‘urf pula terkadang qiyas ditinggalkan. Karena itu sah’
mengadakan kotrak borongan apabila ‘urf sudah terbiasa dalam hal ini,
sekalipun tidak sah menurut qiyas, karena kontrak tersebut adalah kontrak
atas perkara yang ma’dum (tiada).

E. Definisi Dzari’ah
Dzari’ah dari segi bahasa adalah “jalan menuju sesuatu”. Sebagian
ulama mengkhususkan pengertian dzari’ah dengan sesuatu yang membawa
pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemadaratan. Akan tetepi,
pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul fiqh, diantaranya Ibnu
Qayyim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa “dzari’ah tidak hanya
menyangkut suatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan”.
Dengan demikian lebih tepatnya dzari’ah dibagi menjadi dua, yaitu saad
Adz-dzri’ah (yang dilarang) dan fath Adz-dzari’ah (yang dianjurkan).

F. Sadd Adz-Dzari’ah
Menurut Imam Asy-Syatibi Saad Adz-Dzari’ah adalah :

10
Rachmat syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Cv. Pustaka Setia, 1988), hal.129-130

8
Artinya : “Melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung
kemaslahatan pada suatu kerusakan (kemafsadatan).”
(Asy-Syatibi, IV : 198)11
Kata as-saad tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak
dan menimbun lubang. Secara bahasa dzarai’ merupakan jama’dari
dzari’ah yang artinya “jalan menuju sesuatu”. Sementara menurut istilah
dzari’ah dikhususkan dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang
dilarang dan mengandung kemudaratan. 12 Secara lughowi Saad Adz-
Dzari’ah adalah menutu jalan atau menghambat jalan. Maksudnya
menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju pada kerusakan.13
Dapat diketahui bahwa saad adz-dzari’ah adalah perbuatan yang
dilakukan sesorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, teteapi
berakhir dengan suatu kerusakan. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa
saad adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum larangan atas suatu
perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan maupun dilarang
untuk mencegah terjadinya perbuatan lain yang dilarang.14

G. Macam-macam Saad Adz-Dzari’ah


Para ulama membagi Saad Adz-Dzari’ah berdasarkan dua segi yakni
dari segi kualitas kemafsadatan, dan dari segi jenis kemafsadatan.
1. Dzari’ah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Asy-Syatibi, yakni :
a) Perbuatan yang dilakukan tersebut membawa kemafsadatan
yang pasti. Misalnya menggali sumur didepan rumah orang lain
pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik rumah jatuh
kedalam sumur tersebut. Maka ia dikenai hukuman karena
melakukan perbuatan tersebut dengan sengaja.

11
Ibid, 132
12
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Dari Teori ke Aplikasi, (Jakarta,
Prenadamedia Group, cet.ke-2 2018), hal.133
13
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, LOGOS, cet.ke-1,1996) Hal: 160-167
14
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Dari Teori ke Aplikasi, (Jakarta,
Prenadamedia Group, cet.ke-2 2018), hal.133-34

9
b) Perbuatan yang dilakukan kemungkinan besar akan membawa
kemafsadatan. Seperti menjual senjata pada musuh, yang
dimungkinkan akan digunakan untuk membunuh.
c) Perbuatan yang pada dasarnya boleh dilakukan karena
mengandung kemaslahatan, tetapi memungkinkan terjadinya
kemafsadatan seperti baiy al-ajal (jual beli dengan harga yang
lebih tinggi dari harga asal karena tidak kontan).
2. Dzari’ah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Aj-Jauziyah, pembagian dari segi ini antara
lain sebagai berikut :
a) Perbuatan yang membawa kepada suatu kemafsadatan,seperti
meminum minuman keras yang mengakibatkan mabuk,
sedangkan mabuk adalah perbuatan yang mafsadat.
b) Suatu perbuatan yang pada dasarnya dibolehkan atau
dianjurkan tetapi dijadikan sebagai jalan untuk melakukan
suatu perbuatan yang haram, bak disengaja maupun tidak,
seperti seorang lelaki menikahi perempuan yang ditalak tiga
dngan tujuan agar wanita itu bisa kembali kepada suaminya
yang pertama.

H. Kehujjahan Sadd Adz-Dzariah


Ulama Malikiyah dan Hanabilah dapat menerima kehujjahannya
sebagai salah satu dalil syara’. Alasan mereka antara lain dalam surah (Al-
An’am 6 : 108) :

ٍ‫عد ًْوا ِبغَ ْي ِر ِع ْل‬ ُ َ‫سبُّوا الَّ ِذ ْي َن يَ ْدع ُْو َن ِم ْن د ُْو ِن اللّٰ ِه فَي‬
َ ‫سبُّوا اللّٰ َه‬ ُ َ ‫َو ََل ت‬
Artinya : “Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan.”
Ulama Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Syi’ah dapat menerima saad al-
dzari’ah dalam masalah-masalah tertentu saja dan menolaknya dalam

10
masalah-masalah lain. Sedangkan Imam Syafi’i menerimanya apabila
dalam keadaan uzur, misalnya seorang musafir atau yang sakit dibolehkan
meninggalkan shalat Jum’at dan dibolehkan menggantinya dengan shalat
dzuhur. Namun, shalat dzuhurnya harus dilakukan secara diam-diam, agar
tidak dituduh sengaja meninggalkan shalat Jum’at.15
Perbedaan pendapat antara Syafi’iyah dan Hanafiyah disatu pihak
dengan Malikiyah dan Hanabilah dipihak lain dalam berhujjah dengan
saad al-dzari’ah adalah dalam masalah niat dan akad. Menurut ulama
Syafi’iyah dan Hanafiyah, dalam suatu transaksi yang dilihat adalah akad
yang disepakati oleh orang yang bertransaksi. Jika sudah memenuhi syarat
dan rukun maka akad transaksi tersebut dianggap sah. Adapun masalah
niat diserahkan kepada Allah SWT.
Sedangkan menurut Ulama Malikiyah dan Hanabilah, yang menjadi
ukuran adalah niat dan tujuan. Apabila suatu perbuatan sesuai dengan
niatnya maka sah. Namun apabila tidak sesuai dengan tujuan semestinya,
tetapi tidak ada indikasi yang menunjukkan bahwa niatnya sesuai dengan
tujusn tersebut, maka akadnya tetap dianggap sah, tetapi ada perhitungan
anatara Allah dan pelaku, karena yang paling mengetahui niat seseorang
hanyalah Allah saja. Apabila ada indikator yang menunjukkan niatnya, dan
niat itu tidak bertentangan dengan tujuan syara’, maka akadnya sah.
Namun apabila niatnya betentanga dengan syara’, maka perbuatannya
dianggap fasid (rusak), namun tidak ada efek hukumnya.16

I. Cara Pendekatan Metode Istinbath Hukum Islam

Istinbath hukum merupakan sebuah cara pengambilan hukum dari


sumbernya. Perlu kita ketahui bahwa sumber hukum Islam ada 2 yaitu
sumber hukum islam yang disepakati dan yang tidak disepakati, sumbe
rhukum islam yang disepakati ini yaitu sumber hukum islam yang

15
Rachmat syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Cv. Pustaka Setia, 1988), 133-136
16
Ibid, hal.136-139

11
diturunkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW
melalui Malikat Jibril atau yang sering kita sebut dengan wahyu Allah,
wahyu Allah ini ada 2 yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah, sedangkan sumber
hukum islam yang tidak disepakati ini berasal dari pemikiran para
mujtahid, para mujtahid dalam menggali sumber hukum islam ini memiliki
sumber pokok, Sumber pokok yang digunakan sumber hukum yan telah
disepakati yaitu Al-Qur’an dan Al-Sunnah melalui istihad.

Menurut bahasa istinbat hukum sendiri memiliki pengertian sendiri


yaitu mengeluarkan atau menetapkan. Menurut istilah, istinbat adalah
upaya mengeluarkan makna-makna dari nash-nash yang terkandung
didalamnya dengan cara mengerahkan kemampuan dari potensi naluriyah.
Dan menurut Imam Al Syaukani yang pemikirannya dikutip didalam buku
yang berjudul konsep ijtihad Al-Syaukani yang ditulis oleh Dr. Nasrun
Rusli 17 , ini menjelaskan bahwa pedekatan dalam metodelogi sumber-
sumber hukum islam ini ada 3 pendekatan yaitu yang terdiri dari :
kebahasaan, melalui maqashid syariah, dan pendekatan melaui tarjih.
1. Pendekatan Melalui Kebahasaan
Sebagaimana yang telah ketahui bahwa bahasa yang digunakan
didalam Al-Qur’an adalah menggunakan bahasa arab , maka jelas jika
kita ingin mengetahui kandungan dalam sumber-sumber hukum islam
kita harus emmahami seluk beluk dari bahasa arab agar kita dapat
menggali isi kandungan dari Al-Qur’an, oleh sebab itu kaidah
kebahasaan itu menjadi pilar pertama yang ada didalam ushulfiqh.
Menurut para usul fiqh kontemporer memandang ada 4 kategori
yang menjadi pembahasan keterkaitan antara kebahasaan dengan
maknayang dikandungnya, berikut kategori yang menjadi pembahasan
keterkaitan antara kebahasaan dengan makna yaitu :
a) Pertama dilihat dari sisi penempatan suatu lafal terhadap makna
b) Kedua dilihat dari sisi penerapan suatu lafal terhadap makna

17
Nasrun Rusli, Kosep Ijtihad Al-Syaukani,( Jakarta, LOGOS 1999), hal: 37-40

12
c) Ketiga dilihat dari sisi petunjuk lafal atas makna
d) Keempat dilihat dari sisi cara pengukapan kalimat

Dari pendekatan melalui kajian kebahasaan ini dapat kita pahami bahwa
jika kita akan mng-istinbath suatu hukum islam kita harus mengkaji
bahasa arab lebih dalam, menurut al-Syathibi yang dikutip dalam buku
konsep ijtihad Imam Al-Syaukani ini berpendapat bahwa pendekatan
melalui pemahaman tujuan dan makna yang menjadi sasaran syari’ dan al-
Syathibi ini menganjurkan untuk tidak terlalu memahami pendekatan
kebahasaan karena bangsa arab itu sendiri adalah ummat ummi, oleh sebab
itu, kebahasaan ummat ketika al-Qur’an diturunkan.

2. Pendekatan Melalui Maqashid Syariah

Kalau pendekatan bahasa itu dititiberatkan pada pendalaman sisi kaidah-


kaidah kebahasan untuk menemukan suatu makna tertentu dari teks-teks suci,
maka dalam pendekatan melalui maqashid syariah ini menititikberatkan pada
nilai-nilai yang berupa kemaslahatan manusia dalam setiap taklif yang
diturunkan Allah.
Penggunaan pendekatan melalui maqashid syariah dalam menentutakan
suatu hukum telah lam berlangsung dalam islam. Hal tersebut tersirat
beberapa ketentuan Nabi saw. Seperti larangan kaum muslim menyimpan
daging Qurban kecuali dalam batas waktu terstentu seperti untuk bekal dalam
3 hari, larangan ini didasarkan atas kepentingan al-daffa (tamu yang terdiri
atas kaum-kaum miskin yang datang dari perkampungan sekitar madinah18.
Dari ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi saw, ini maqashid
syariah ini menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan
hukum, upaya seperti itu, seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat.
Maqashid syariah secara subtansial mengandung kemaslahaan, menurut al-
Syathibi yang dikutip dalam buku konsep ijtihad Imam Al-Syaukani, dapat
dilihat dari sudut 2 sudut pandang yaitu Maqashi Al-syari’ (tujuan Tuhan)

18
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta,Kencana 2005), hal : 223

13
dan Maqashid Al-Mukkalaf (tujuan mukallah), dari sudut pandang tujuan
Tuhan ini terdiri dari beberpa aspek yaitu :
a. Tujuan Syari’ adalah untuk menciptakan kemaslahatan manusia di
dunia dan di akhirat.
b. Penetapan stariat sebagai sesuatu yang harus dipahami.
c. Penetapan syari’at sebagai hukum takhlifi yang harus dilaksanakan.
d. Penetapan syari’at guna untuk membawa manusi kedalam lindungan
hukum.
Dengan demikian tujuan Tuhan menciptakan suatu syari’at bagi manusia
adalah untuk kemaslahatan manusia. Untuk itu, Tuhan menuntut agar
manusia memahami dan melaksanakan syari’at sesuai dengan
kemampuannya. Dengan memahami dan melaksankana suatu syari’at tersebut
maka manusia akan terlindugin dari sesuatu kekacuan yang akan terjadi di
dalam hidupnya.

3. Pendekatan melalui tajrih

Dari beberapa cara pendekatan dalam metode istinbath hukum islam yaitu
pendekatan kebahasan yang menitikberatkan pada aspek sumber-sumber dan
makna-maknanya dan Maqashid Syariah yang menitikbertkan pada tujuan
Allah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, lain halnya dengan
pendekatan tajrih, pendekatan ini lebih menitikberatkan pada pertimbangan-
pertimbangan pada validasi dalil-dalil yang dipakai sebagai landasan
hukum19.

Pendekatan ini juga tidak kalah penting dengan 2 pendektan yang lain,
dalam mendapatkan suatu ketentuan hukum yang akan diterapkan dalam
masyarakat 20 . Dengan objek ijtihad tajrhri ini para mujtahid melakukan
penyeleksian yang ketat dalam dalil-dalil para ulama, karena banyaknya
pendapat yang tidak sesuai oleh karena itu perlu penyeleksian yang ketat.

19
Ibid : 238
20
Abdul.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, BumiAksara, 2010) hal: 297

14
J. Contoh Penerapan Sad Dzari’ah

1. Larangan Bai’ al-‘Inah


Para ulama menafsirkan bai’ al-‘inah adalah seseorang membeli barang
secara tidak tunai, dengan kesepakatan akan menjualnya kembali kepada
penjual pertama dengan harga lebih kecil secara tunai.
Bai’ al ‘inah termasuk transaksi yang dilarang, sesuai dengan hadis
Rasulullah Saw21 :

Ibnu umar meriwayatkan, bahwa Rasulullah Saw bersabda:

“Apabila manusia kikir akan dinar dan dirham, melakukan jual beli ‘inah,
mengikuti ekor-ekor sapi dan meninggalkan jihad di jalan Allah Swt, akan
menurunkan musibah dan tidak akan menarik kembali kecuali mereka
kembali komitmen dengan agama mereka”. (HR Imam Ahmad)
Larangan diatas memiliki maqashid yaitu menghindarkan transaksi hilah
ribawiyah (manipulasi) untuk melakukan riba yang terlarang atau praktik
simpan pinjam berbungan dengan modus jual beli.

2. Perbedaan Ulama Tentang Bai’ al-‘Inah


Bai’ al ‘inah termasuk transaksi yang dilarang sebagaimana ditegaskan
oleh mayoritas sahabat, tabi’in, Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah,
sebagaimana penegasan mereka:

21
H.Oni Sahroni, Ushul Fikih Muamalah, ( Depok, Rajawali Pers, cet-1, 2017) hal :237

15
Al Mirginani; salah sorang ulama mazhab Hanafi menjelaskan:

“Al Marghinani berkata: Dan barangsiapa yang membeliseorang hamba


sahaya seharga 1000 dirham, baik tunai ataupun tidak tunai. Setelah
diterimanya (qabdh), kemudian ia menjualnya kembali kepada penjual
(pertama) seharga 500 sebelum harga akad yang pertama dibayar tunai,
maka akad jual beli yang kedua itu hukumnya tidak boleh.”

Sedangkan beberapa fuqaha dalam mazhab Syafi’I mengatakan bahwa


bai’ al-‘inah itu makruh. Pendapat beberapa fuqaha dalam mazhab Syafi’I
tersebut itu berdasarkan salah satu prinsip ijtihadnya bahwa setiap praktik
muamalah itu berdasarkan dzahir-nya bukan niatnya (al-ibratu bil alfadz la
bil maqashid).
Pendapat mazhab Syafi’iyah membolehkan bai’ al-‘inah jika terjadi dua
akad jual beli yang terpisah dan tidak diperjanjikan/dikaitkan (mu’allaq).
Sebagaimana ungkapan Imam Syafi’i dalam al-Umm:
Kita menyerahkan niat-niat mereka kepada Allah Swt.

Tetapi jika akad tersebut diperjanjikan, maka manurut mazhab Syafi’i,


bai’ al-‘inah itu tidak diperbolehkan, karena dengan diperjanjikan
(mu’allaq) sudah diketahui maksud pembeli adalah uang bukan barang.

Kesimpulan hukum ini sesuai dengan maqashid diharamkannya bai’ al


‘inah yaitu menghindarkan transaksi hilah ribawiyah (manipulasi) untuk

16
melakukan riba yang terlarang atau praktik simpan pinjam berbunga dengan
modus jual beli.
3. Larangan Risywah (Suap)
Risywah (suap-menyuap) adalah memberi sesuatu kepada pihak lain
untuk mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Pada umunya, risywah
tersebut dalam bentuk melakukan sesuatu yang dilarang oleh hukum yang
berlaku atau untuk mempercepat dalam mendapatkan sesuatu yang
seharusnya didapatkan kemudian (perlu waktu).
Seuatu perbuatan dapat dikatakaan sebagai tindakan risywah jika
dilakukan kedua bela pihak secara sukarela. Jika hanya salah satu pihak
yang meminta suap dan pihak lain tidak rela atau dalam keadaan terpaksa
atau hanya untuk memperoleh haknya, maka itu bukan termasuk risywah,
melaikan tindakan pemerasan.
Risywah diharamkan menurut islam, sesuai dengan nash Al-Qur’an dan
al-Hadis Rasulullah Saw. Diantaranya:

Hai orang-orang beriman, janganlah kamu saling memakan harta


sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu. (QS. An-Nisaa’ 4:29)
Hadis Ibnu “Umar ra:

“Dari Abdullah bin Umar ra, ia berkata: ‘Rasulullah Saw melaknat


pelaku suap dan penerima suap.”

17
Istilah laknat dalam nash-nash itu dialamatkan untuk perbuatan dosa
besar, maka risywah adalah perbuatan dosa besar dalam islam, baik pelaku
suap maupun penerima suap telah melakukan dosa besar.
Ayat Al-Qur’an diatas menjelaskan hal penting, yaitu ‘illat
diharamkannya risywah yaitu memakan harta orang lain secara batil (aklu
amwalinnas bil bathil). Karena sesungguhnya orang yang mendapatkan
sesuatu dengan cara suap, sesungguhnya telah mengambil hak orang lain,
atau telah mencuri hak orang lain dengan modus suap-menyuap.
Ada maqashid (tujuan) dibalik pelarangan risywah. Dalam Islam,
sejatinya setiap orang mendapatkan hak, upah, prestasi itu karena kerja,
prokdutifitas, kontribusi rill dan amal nyatanya. Setiap pekerjaan itu
ditunaikan dengan sebaik-baiknya, maka ia berhak mendapat reward yang
lebih baik pula.
Praktik risywah ini bertentangan dengan maqashid tersebut, karena
pelaku risywah mendapatkan haknya tanpa kerja dan kinerja, tetapi
mendapatkannya karena ia memiliki uang. Pelaku risywah sangat mungkin
tanpa harus berbuat apa-apa, tetapi bisa mendapatkan prestasi, anugerah dan
semacamnya. Pada saat yang sama, pelaku risywah telah melarang orang
yang berhak untuk mendapatkan haknya, karena hak tersebut diambil oleh
pelaku risywah.
Maka, dengan diharamkannya risywah bertujuan agar setiap pekerjaan
dilakukan secara ihsan (professional), diatas dasar kemampuannya.
Sehingga setiap orang membekali dirinya untuk memiliki keahlian dan skill,
agar mendapatkan penghidupan yang layak sesuai dengan skill dan
kemampuan yang dimilikinya.
Pada saat yang sama, pelarangaan risywah ini juga bertujuan melarang
setiap orang bermalas-malasan, karena pelaku risywah adalah orang malas
bekerja dan orang yang kehilangan semangat bekerja.
Pedagang yang melakukan risywah, adalah pedagang yang mengetahui
bahwa dagangannya tidak berkualitas dan tidak akan laku dijual di pasar,

18
dan hanya bisa laku dengan memberi suap kepada pihak tertentu agar
barang dagangannya laku terjual.
Manager perusahaan yang melakukan risywah adalah orang yang
mengetahui bahwa ia tidak memiliki skill dan kemampuan untuk memikul
jabatan tersebut, ia hanya bisa mendapatkan jabatan tersebut dengan
memberi suap kepada pihak tertentu agar mendapatkan jabatan tersebut.
Jika risywah telah mewabah di masyarakat, maka para pelaku dan
pimpinan bukan lagi orang yang mampu melaksanakan tugasnya, tetapi
karena memiliki uang untuk membeli tugas tersebut. Sehingga dalam skala
luas, praktik risywah ini akan menurunkan tingkat produktifitas sebuah
negara.

Berdasarkan maqashid di atas maka dua bentuk pemberian di bawah ini


tidak termasuk risywah yaitu sebagai berikut:
a. Membayar untuk mendapatkan haknya atau menghindarkan tindakan
zalim terhadapnya.
b. Memberi secara sukarela setelah menerima jasa (tanpa disyaratkan).

K. Contoh Penerapan ‘Urf dalam Bisnis dan Keuangan Syariah


1. Kebiasaan masyarakat menjual barang-barang berat dengan syarat penjual
menghantarkannya ke tempat pembeli.
2. Kebiasaan masyarakat untuk menentukan jenis mata uang tertentu sebagai
mata uang resmi negara.
3. Kebiasaan masyarakat dalam beberapa transaksi, shani (pembuat barang
pesanan) mendapatkan upah dari pemilik pekerjaan. Dalam sebagian
masyarakat lain pemilik pekerjaan itu mengambil upah dari shani
(pembuat barang).
4. Kebuiasaan masyarakat untuk melakukan standarisasi bahwa kriteria ini
termasuk kategori cacar dan mengurangi harga objek jual dan yang lainnya
tidak.

19
5. Kebiasaan masyarakat bahwa harga beberapa komoditas yang dijual
dengan harga angsuran.
6. Para advokat mendapat upah atas jasa advokadsinya itu tergantung hasil
dari keputusan pengadilan.
7. Hukum Muwa’adah (saling janji) dalam Transaksi Sharf.
Muwa’adah adalah janji kedua belah pihak (saling berjanji) untuk
melakukan sesuatu pada masa yang akan datang. Muwa’adah dalam akad
sharf berarti janji kedua belah pihak untuk melakukan transaksi jual beli
valas pada masa yang akan datang.
Dalam muwa’adah belum ada ijab dan Kabul dan belum terjadi transfer of
ownership kecuali saat penyerahan. Berbeda dengan jual beli tunai (Bai’ al
Muajjal) yang sudah ada ijab kabul dan sudah ada serah terima (taqabudh
atau tasallum taslim) terhadap harga dan barang ataupun salah satunya.
8. Penentuan ukuran timbangan
Rasulullah Saw. Menjelaskan ketentuan tersebut dalam hadis-hadisnya,
diantaranya hadias Rasulullah Saw:

“Ukuran timbangan adalah timbangan ahli Makkah, dan ukuran takaran


adalah takaran ahli Madinah.” (HR Abu Daud)

Hadis ini menjelaskan timbangan orang Makkah dan takaran orang


Madinah. Tetapi rujukan valid takaran dan timbangan itu adalah sarana
yang bisa berubah-ubah sesuai kondisi dan tempat dan bukan perkara
ta’abbudi (bersifat ubudiah) yang tidak bisa berubah-ubah.
Sedangkan target hadis adalah menyatukan standar timbangan dan takaran
dengan ukuran yang valid, maka menggunakan ukuran-ukuran lain, seperti
ukuran kilogram sebagai rujukan timbangan itu dibolehkan dan tidak

20
menyalahi hadis diatas karena ukuran kilogram sesuai dengan maqashid
hadis.
9. Taqabbudh (serah terima)
Standar Syariah dalam al-mi’yar asy-syar’iyah AAOIFI No.18
menjelaskan tentang qabdh. Hal-hal penting yang dijelaskan sebagai
berikut:
a. Qabdh adalah memiliki sesuatu sesuai dengan ‘urf
para ahli fikih sepakat bahwa ‘urf menjadi rujukan untuk
menentukan bentuk dan mekanisme taqabbudh (serah terima).
Al-khatib menjelaskan : “Ketika syariat Islam ini mewajibkan
taqabbudh tanpa menjelaskan mekanisme, maka yang menjadi
rujukan adalah ‘urf.” Pada bagian lain al-Khathabi mengatakan:
“Teknis dan mekanisme taqabbudh atau serah terima itu berbeda-
beda sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.”
Ibnu Taimiyah mengatakan: “Setiap ketentuan yang tidak ada
batasnya baik dalam Bahasa ataupun syara’, maka yang menjadi
rujukan adalah tradisi setempat, seperti qabdh yang disebutkan
dalam hadis Rasulullah Saw. : “Barang siapa yang membeli
makanan maka jangan menjualnya sebelum ada serah terima.”
b. Qabdh yang dimaksud bisa terealisir dengan cara-cara berikut:
1) Qabdh hakiki (serah terima fisik) dalam property itu bisa dengan
takhliah wa tamkin (memberikan kuasa kepada penyewa untuk
menempatinya).
2) Qabdh hakiki (serah terima fisik) dalam barang-barang yang
bisa dipindahtangankan itu dengan serah terima fisik.
Sedangkan qabdh hukmi (serah terima non-fisik) dalam barang-
barang yang bisa dipindahtangankan dengan takhliah wa tamkin
karena menyerahkan barang hak kepemilikan sehingga barang
itu menjadi hak milik pembeli.
3) Taqabbudh dalam akad sharf (jual beli mata uang) yaitu dengan
serah terima secara tunai di tempat akad.
4) Taqabbudh (serah terima) dalam bank draft dan personal check
itu termasuk taqabbudh hukmi karena tradisi itu bagian dari
tradisi perbankan.
5) Menggunakan kartu ATM itu termasuk juga qabdh hukmi
karena telah menjadi bagian dari tradisi perbankan.

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
‘Urf adalah suatu keadaaan, ucapan, perbuatan, atau ketentuan yang telah
dikenal baik oleh manusia, dierima oleh akal sehat dan telah menjadi tradisi
untuk melaksanakannya. Sedangkan Saad adz-dzari’ah adalah perbuatan
yang dilakukan sesorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan
(kebaikan) atau mempunyai motif baik, tetapi berakhir dengan suatu
kerusakan.
menurut Imam Al Syaukani yang pemikirannya dikutip didalam buku yang
berjudul konsep ijtihad Al-Syaukani yang ditulis oleh Dr. Nasrun Rusli, ini
menjelaskan bahwa pedekatan dalam metodelogi sumber-sumber hukum
islam ini ada 3 pendekatan yaitu yang terdiri dari : kebahasaan, melalui
maqashid syariah, dan pendekatan melaui tarjih.
Contoh penerpan dari Sad Dzari’ah yang terdiri dari Larangan Bai’ al-
‘Inah dan Larangan Risywah (Suap), adapun contoh penerapan al urf antar
lain : Kebiasaan masyarakat menjual barang-barang berat dengan syarat
penjual menghantarkannya ke tempat pembeli, Kebiasaan masyarakat untuk
menentukan jenis mata uang tertentu sebagai mata uang resmi negara,
Kebiasaan masyarakat dalam beberapa transaksi, shani (pembuat barang
pesanan) mendapatkan upah dari pemilik pekerjaan. Dalam sebagian
masyarakat lain pemilik pekerjaan itu mengambil upah dari shani (pembuat
barang). Dan masih banyak lagi.

22
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqh, ( 1978)


Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Dari Teori
ke Aplikasi, (Jakarta, Prenadamedia Group, cet.ke-2 2018)
Rachmat syafi’i, Ilmu Ushul Fiqh, (Bandung:Cv. Pustaka Setia, 1988)
Miftahul Arifin, Ushul Fiqh Kaidah-kaidah Penerapan Hukum Islam,
(Surabaya: Citra Media, 1997)
A. Hanafie, Usul Fiqh, (Jakarta: Wiajaya, 1989)
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta, LOGOS, cet.ke-1,1996)
Abdul.Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, (Jakarta, BumiAksara, 2010)
Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta,Kencana 2005)
Nasrun Rusli, Kosep Ijtihad Al-Syaukani,( Jakarta, LOGOS, Cet ke-1 1999)
H.Oni Sahroni, Ushul Fikih Muamalah, ( Depok, Rajawali Pers, cet-1,
2017)

23

Anda mungkin juga menyukai