Anda di halaman 1dari 8

MAKNA DAN IMPLIKASI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Kita telah mengetahui bahwa pemaknaan Pendidikan Multikultural berbeda-beda.


Ada yang menekankan pada karakteristik kelompok yang berbeda, sedangkan
yang lain menekankan masalah sosial (khususnya tentang penindasan), kekuasaan
politik, dan pengalokasian sumber ekonomi.Ada yang memfokuskan pada
keragaman etnis yang berbeda, sedangkan yang lain berfokus pada kelompok
dominan di masyarakat. Makna yang lain membatasi pada karakteristik sekolah
lokal, dan yang lain memberi petunjuk tentang reformasi semua sekolah tanpa
memandang karakteristiknya.

Pemaknaan Pendidikan Multikultural yang dianut oleh suatu sekolah dapat


berimplikasi terhadap pengembangan Pendidikan Multikultural. Berikut ini akan
diuraikan makna Pendidikan Multikultural yang dapat berimplikasi terhadap
pengembangan Pendidikan Multikultural.

A. Makna Pendidikan Multikultural

Menurut Sosiolog UI Parsudi Suparlan dalam Zubaedi (2004: 61 )


Multikulturalisme adalah konsep yang mampu menjawab tantangan perubahan
zaman. Alasannya, multikulturalisme adalah sebuah ideology yang
mengagungkan perbedaan budaya, atau sebuah keyakinan yang mengakui dan
mendorong terwujudnya pluralism budaya sebagai corak kehidupan masyarakat.
Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi
perbedaan- perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan.

Menurut Sizemore dalam Sutarno (2007 :5-2 ), Pendidikan Multikultural


sebagai ide adalah suatu filsafat yang menekankan legitimasi, vitalitas dan
pentingnya keragaman kelas sosial, etnis dan ras, gender, anak yang berkebutuhan
khusus, agama, bahasa, dan usia dalam membentuk kehidupan individu,
kelompok, dan bangsa. Sebagai sebuah ide, maka Pendidikan Multikultural ini
harus mengenalkan pengetahuan tentang berbagai kelompok dan organisasi yang
menentang penindasan dan eksploitasi dengan mempelajari hasil karya dan ide
yang mendasari karyanya. Dengan mempelajari buku Habis Gelap terbitlah
Terang (hasil karya) yang berasal dari surat-surat Kartini pada temannya
Abendanon, kita mengetahui ide emansipasi wanita yang berasal dari generasi
abad 18. Dengan membaca karya Wulangreh kita dapat mengetahui pemikiran
pihak keraton dalam memahami dan menafsirkan serta dalam menjalankan ajaran
agama Islam di kalangan keraton. Dengan mengkaji Serat Wirid Hidayat Jati kita
mengetahui pemahaman para wali tentang ajaran esoterisme Islam beberapa abad
lalu. Dengan memahami keris, kita mengetahui pola budaya dan keyakinan suku
Jawa tentang kelengkapan hidup seorang lelaki Jawa yang utuh. Dalam budaya
Jawa tradisional, keris tidak semata-mata dianggap sebagai senjata tikam yang
memiliki keindahan dan keunikan bentuk, akan tetapi juga sebagai kelengkapan
budaya spiritual. ( Sutarno, 2007 )

Dengan pemikiran atau suatu ide tentunya pendidikan multikultural akan


berimplikasi pada dunia pendidikan , terlebih lagi paradigma multikultural juga
ada dalam pasal 4 UU NO. 20 tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional. Dalam
pasal itu dijelaskan bahwa pendidikan dilaksanakan secara demokratis , tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan, nilai kultural dan
kemajemukan bangsa.
Jadi pendidikan multikultural disini sebagai suatu ide yaitu filsafat yang
menekankan legitimasi, vitalitas dan pentingnya keragaman kelas sosial, etnis dan
ras, gender, anak yang berkebutuhan khusus, agama, bahasa, dan usia dalam
membentuk kehidupan individu, kelompok, dan bangsa.
B. Implikasi Pendidikan Multikultural

Menurut Parekh dalam Sutarno ( 2007 : 5-3 ), Implikasinya terhadap


pengembangan Pendidikan Multikultural adalah pemasukan bahan ajar yang berisi
ide dari berbagai kelompok budaya. Diperlukan adanya pendidikan yang leluasa
untuk mengeksplorasi perspektif dan budaya orang lain. Dengan mengekplorasi
itu akan diperoleh inspirasi sehingga membuat anak menjadi sensitif terhadap
pluralitas cara hidup, cara yang berbeda dalam menganalisa pengalaman dan ide,
dan cara melihat berbagai temuan sejarah yang ada di seluruh dunia. Pendidikan
memang mengajarkan nilai-nilai budayanya sendiri namun selain itu juga
perspektif dan budaya orang lain di wilayah lain di seluruh dunia. Hal ini dapat
membuat siswa “melek budaya” (cultural literacy) yang mampu melihat berbagai
sudut pandang budaya yang pernah hidup di berbagai belahan dunia. Dahulu
orang Persia (sekarang Iran) menganggap bahwa status sosial orang yang
meninggal dapat diukur dari jumlah orang yang menangisi kepergian orang yang
meninggal. Bandingkan dengan kondisi sekarang, kita bisa juga mengukur
penghormatan masyarakat terhadap seseorang yang meninggal dari jumlah orang
yang datang melayat. Ada unsur persamaan, bahwa seseorang yang terpandang,
dihormati dan disukai akan diukur dari kuantitas dan kualitas dari orang yang
datang ikut berbela sungkawa. Kuantitas diukur dari jumlah orang yang
mengantarkan jenasah, dan kualitas diukur dari tingkat kesedihan orang-orang
yang ditinggalkan dan merasa ditinggalkan.

Menurut Babtiste dalam Sutarno (2007 : 5-4 ), Perlu adanya pelembagaan


filsafat pluralisme budaya dalam sistem pendidikan yang dilandasi prinsip
persamaan, saling menghormati, penerimaan dan pemahaman, dan komitmen
moral demi keadilan sosial . Pendidikan Multikultural selalu dilandasi prinsip
persamaan dan keadilan sosial. Implikasinya, kurikulum perlu direformasi
sehingga benar-benar mencerminkan penghormatan atas pluralitas budaya.

Menurut A. Effendi Sanusi dalam artikelnya yang berjudul Pendidikan


Multikultural dan Implikasinya mengatakan bahwa Pendidikan multikultural
sebagai wacana baru di Indonesia dapat diimplementasikan tidak hanya melalui
pendidikan formal, tetapi juga dapat dimplementasikan melalui pendidikan
nonformal. Dalam pendidikan formal, pendidikan multikultural tidak harus
dirancang khusus sebagai muatan substansi tersendiri, tetapi dapat diintegrasikan
dalam kurikulum yang sudah ada melalui bahan ajar atau model pembelajaran. Di
perguruan tinggi misalnya, dari segi substansi, pendidikan multikultural dapat
diintegrasikan misalnya melalui mata kuliah umum, seperti kewarganegaraan,
agama, dan bahasa. Pada tingkat SD, SLTP, atau sekolah menengah, pendidikan
multikultural dapat diintegrasikan dalam bahan ajar seperti agama, sosiologi, dan
antropologi, dan dapat melalui model pembelajaran, seperti diskusi kelompok atau
kegiatan ekstrakurikuler. Dalam pendidikan nonformal, pendidikan multikultural
dapat disosialisasikan melalui pelatihan-pelatihan dengan model pembelajaran
yang responsif multikultural dengan mengedepankan penghormatan terhadap
perbedaan, baik ras, suku, maupun agama antaranggota masyarakat.

Ide pendidikan multikultural memberi spirit bagi lembaga pendidikan nasional


untuk mau menanamkan sikap kepada peserta didik untuk menghargai orang,
budaya, agama dan keyakinan lain, dengan harapan akan membantu siswa
mengerti menerima dan menghargai orang lain yang berbeda suku, budaya, nilai
dan kepribadian.( Zubaedi , 2004 : 65 )

Menurut Bank dalam Zubaedi (2004:70), Tujuan pendidikan multikultural adalah


pendidikan untuk kebebasan, dimaksud untuk membantu para siswa dalam
mengembangkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam berpartisipasi dalam
masyarakat yang bebeas dan demokratis. Pendidikan multicultural
mengembangkan kebebasan, kemampuan dan ketrampilan dalam menerobos
batas- batas budaya, etnis dalam berpartisipasi dengan kebudayaan dan kelompok
lain. Substansi Pendidikan multicultural adalah pendidikan untuk kebebasan (as
“education for freedom”) dan penyebarluasan inklusif dalam rangka mempererat
hubungan antar sesame (as “includive and cementing movemen”).

Pendidikan multikultural sekurang- kurangnya mempunyai lima tujuan. Pertama ,


meningkatkan pemahaman diri dan konsep diri secara baik. Kedua, meningkatkan
kepekaan dalam memahami orang lain, termasuk terhadap berbagai kelompok
budaya di Negara sendiri dan Negara lain. Ketiga, meningkatkan kemampuan
untuk merasakan dan memahami kemajemukan, interpretasi kebangsaan dan
budaya yang kadang - kadang bertentangan menyangkut sebuah peristiwa, nilai
dan perilaku. Keempat, membuka pikiran ketika merespon isu. Kelima,
memahami latar belakang munculya pandangan klis atau kuno, menjauhi
pandangan stereotipe dan mau menghargai semua orang. ( Zubaedi ,2004: 71)

Dalam implementasinya paradigma pendidikan multikultural dituntut untuk


berpegang pada prinsip- prinsip berikut ini :
1. Pendidikan multikultural harus menawarkan beragam kurikulum yang
merepresentasikan pandangan dan perspektif banyak orang.
2. Pendidikan multikultural harus didasarkan pada asumsi bahwa tidak ada
penafsiran tunggal terhadap kebenaran sejarah.
3. Kurikulum dicapai ssuai dengan penekanan analisis komparatif dengan sudut
pandang kebudayaan yang berbeda- beda.
4. Pendidikan multikultural harus mendukung prinsip - prinsip pokok dalam
memberantas pandangan klis tentang ras, budaya dan agama.
Agar pendidikan lebih multikultural, maka pendidikan dan pengajaran harus
memperkokoh pluralisme dan menentang adanya rasisme, diskriminasi gender
dan bentuk- bentuk lain dari intoleransi dan dominasi sosial. Pada konteks ini kita
harus lakukan transformasi kurikulum, model pembelajaran, suasana sekolah ,
kegiatan ekstrakurikuler dan peran guru sebagai multikultural.

Menurut Gay’s dalam Zubaedi (2004 : 7 ), prinsip- prinsip penting dalam


penerapan pendidikan multikultural adalah kurikulum berdasarkan sejarah dan
berpusat pada keragaman, berorientasi pada perbaikan, pengajaran mengarah pada
keragaman, kurikulum tergantung pada konteks, bersifat menyerap keragaman
dan dapat diterapkan secara luas, bersifat komprehensif serta mencakup semua
level pendidikan.

Selain itu isi, pendekatan, dan evaluasi kurikulum harus menghargai perbedaan
dan tidak diskriminatif. Paradigma multikultural perlu mewarnai model
pembelajaran yang diterapkan dalam kelas. Langkah- langkah untuk
mengembangkan model pembelajaran multikultural sebagai berikut :

1. Guru mereduksi atau mengikis sikap negatif yang mungkin mereka miliki
terhadap pluralisme.
2. Seorang pendidik atau anak didik melakukan analisis agar akrab dengan
masyarakat.
3. Seorang pendidik dan anak didik memilih materi yang relevan dan menarik.
4. Seorang pendidik dan anak didik , bersama- sama menyelediki persoalan materi
yang dipilih.

Pada akhirnya ide dari pendidikan multikultural bisa diterapkan atau tidak
tergantung pada usaha kita bersama. Pendidikan multikultural sebaiknya
dimasukkan dalam kurikulum sebagai mata pelajaran ekstrakurikuler atau menjadi
bagian dari kurikulum sekolah khususnya daerah konflik atau daerah bekas
konflik, dan semua daerah pada umumnya.

Daftar Pustaka

Artikel Pendidikan Multikultural dan Implikasinya , oleh A. Effendi Sanusi


Mahfut, Choirul. 2005. Pendidikan Multikultural. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Sutarno, 2007. Pendidikan Multikultural. Jakarta : Departemen Pendidikan
Nasional
Zubaedi. 2004. Pendidikan Berbasis masyarakat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
3. Pendidikan Agama Islam Multikultural

Islam adalah agama rohmatan lil’aalamiin. Dengan membawa konsep


kasih sayang baik sesama maupun alam semesta, umat Islam seharusnya menjadi
contoh terdepan dalam menyikapi kehidupan multikultural. Bahkan dalam ayat
yang lain Allah SWT memperjelas, bahwa manusia diciptakan beraneka suku dan
ras yang mempunyai kebudayaan sendiri-sendiri. Dari beraneka suku dan ras ini
umat Islam disuruh untuk saling mengenal, saling menghargai dan bertoleransi
dalam berkomunikasi sosial Qs. Al-Hujurat 49:13. Selain berpijak pada Al-qur’an
dan Hadits, dalam mengajarkan Pendidikan Agama Islam tidak boleh keluar dari
tujuan pendidikan nasional yaitu untuk menciptakan manusia Indonesia
seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan, berbudi
pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan
rohani, berkepribadian mantap dan mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan ini, memiliki relevansi yang sangat erat
dan memiliki sejumlah persamaan dengan tujuan pendidikan Islam yakni
menciptakan manusia seutuhnya (al-insan al-kamil).
Berdasar konsep diatas maka gagasan pendidika Islam multikultural bukan
sesuatu yang baru, karena setidaknya ada beberapa alasan untuk itu, pertama,
bahwa Islam mengajarkan konsep rohmatan lil’aalamiin, kedua, konsep
persaudaran, yang berkeyakinan bahwa semua orang Islam baik kaya, miskin,
berkedudukan maupun masyarakat biasa, berkulit hitam maupun putih semua
adalah saudara. ketiga, konsep ketaqwaan, yang dalam Islam kedudukan tertinggi
adalah yang paling bertaqwa kepada Allah. Maka menjadi tugas para pendidik
pendidikan Islam maupun lembaga pendidikan Islam untuk mengimplementasikan
sistem pendidikan yang rohmatan lil’aalamiin, tidak hanya sholeh untuk pribadi
tapi juga sholeh untuk sosial kemesyarakatan maupun bagi alam semesta.
Pendidikan Agama Islam perlu segera menampilkan ajaran-ajaran Islam yang
rohmatan lil’aalamiin dengan menitikberatkan pada pemahaman sholeh sosial
yaitu upaya untuk berinteraksi yang mengutamakan toleransi dalam perbedaan
agama dan budaya. Oleh karenanya, dalam upaya pengembangan kurikulum
pendidikan agama Islam heri gunawan mengutip mahmud yang menjelaskan
bahwa orientasi kurikulm pendidikan agama Islam terdiri dari tiga hal yaitu:
orientasi pada perkembangan peserta didik, orientasi pada lingkungan sosial dan
orientasi pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dari ketiga hal
tersebut ada kurikulum yang menyangkut kehidupan sosial. Maka dalam
pengembangan kurikulum PAI pada bagian yang beroientasi pada lingkungan
sosial harus memuat konsep multikultural.
Selain itu lasijan secara lebih terperinci menjelaskan bahwa dalam pembelajan
pendidikan Islam multikultural perlu memperhatikan dimensi-dimensi berikut ini:
Pertama, pembelajaran fiqih dan tafsir al-Qur’an tidak harus bersifat linier,
namun menggunakan pendekatan muqāran (perbandingan). Dalam pembelajaran
ini siswa tidak hanya dibekali pengetahuan atau pemahaman tentang ketentuan
hukum dalam fiqih saja, namun juga diberikan pandangan yang berbeda, sehingga
siswa mampu memahami alasan sebuah perbedaan; Kedua, untuk
mengembangkan kecerdasan sosial. Indonesia merupakan negara yang berbineka
tunggal ika maka kecerdasan sosial untuk tidak egois terhadap suku, ras dan
agama menjadi dasar penting untuk diajarkan kepada siswa.
Ketiga, untuk memahami realitas perbedaan dalam beragama, Indonesia
menjamin setiap warganya untuk memeluk agama sesuai keyakinannya masisng-
masing, maka penanaman kepedulian dan solidaritas terhadap komunitas agama
lain harus diajarkan kepada siswa; Keempat, untuk menanamkan kesadaran
spiritual, pendidikan Islam perlu menyelenggarakan program seperti spiritual
work camp, yaitu pengirimkan siswa untuk tinggal dalam sebuah keluarga selama
beberapa hari, termasuk kemungkinan tinggal pada keluarga yang berbeda agama
dan budaya. Tujuan program ini adalah untuk menghidupkan kesadaran dan
kepekaan untuk menghargai dan menghormati orang lain. Melalui suasana
pendidikan seperti itu, diharapkan akan terbangun suasana pergaulan dalam
kehidupan beragama secara dewasa, tidak ada perbedaan yang berarti, tercapainya
misi rahmatan lilaalamiin,tercipta persatuan dan kesatuan serta perdamaian dalam
beragama, berbangsa dan bernegara

Anda mungkin juga menyukai