Anda di halaman 1dari 23

BAB I

LATAR BELAKANG

Kejang atau bangkitan dan epilepsi adalah dua terminologi yang berbeda namun
saling berkaitan, sehingga harus dipahami dalam praktik sehari-hari. Kejang atau bangkitan
didefinisikan sebagai kejadian mendadak berupa terganggunya kesadaran, tingkah laku,
emosi, motorik, sensorik dan otonom yang sifatnya involunter dan berlangsung secara
intermiten. Kejang disebabkan karena cetusan listrik abnormal, berlebihan,dan hipersinkron
dari sekelompok sel-sel saraf kortikal. Selama kejang aliran darah ke otak, oksigen,
konsumsi glukosa, karbon dioksida dan produksi asam laktat meningkat. Kejang singkat
jarang menghasilkan efek yang berlangsung pada otak. Kejang yang berkepanjangan dapat
menyebabkan kerusakan neurologis permanen.

Kejang dapat disebabkan oleh berbagai keadaan yaitu, epilepsi, kejang demam,
hipoglikemia, hipoksia, hipotensi, tumor otak, meningitis, ketidakseimbangan elektrolit, dan
overdosis obat. Meskipun penyebab dari kejang beragam namun pada fase awal tidak perlu
untuk melabelnya masuk pada kelompok mana, karena manajemen jalan nafas dan
penghentian kejang adalah prioritas awal pada pasien dengan kejang aktif.

Definisi epilepsi adalah gangguan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi
secara terus menerus untuk terjadinya suatu bangkitan epileptik, dan juga dtandai oleh
adanya faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial akibat kondisi
tersebut. Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sebagian besar dari kasus epilepsi
tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang lebih sering kita sebut sebagai kelainan
idiopatik. Tatalaksana kejang seringkali tidak dilakukan secara baik. Karena diagnosis yang
salah atau penggunaan obat yang kurang tepat dapat menyebabkan kejang tidak terkontrol.
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Kejang merupakan perubahan fungsi otak mendadak dan sementara sebagai


akibat dari aktivitas neuronal yang abnormal dan pelepasan listrik serebral yang
berlebihan. Manifestasi dari kejang bisa bermacam-macam, dapat berupa penurunan
kesadaran, gerakan tonik (menjadi kaku) atau klonik (kelojotan), konvulsi dan
fenomena psikologis lainnya. Kumpulan gejala berulang dari kejang yang terjadi
dengan sendirinya tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut sebagai epilepsi (ayan).
Epilepsi adalah kondisi dimana terjadi kejang berulang karena ada proses yang
mendasari tanpa provokasi dan biasanya tidak terduga. Intractable seizure adalah
kejang dimana penggunaan obat - obatan tidak cukup kuat untuk menangani kejang.
Status epileptikus adalah kejang yang lebih dari 30 menit atau berulang lebih dari 30
menit tanpa disertai pemulihan kesadaran.

B. EPIDEMIOLOGI
Data mengenai insidensi kejang agak sulit diketahui. Diperkirakan bahwa
10% orang akan mengalami kejang paling sedikit satu kali kejang selama hidup
mereka dan sekitar 0,3% sampai 0,5% akan didiagnosis mengidap epilepsi. Laporan
spesifik jenis kelamin mengisyarakatkan angka yang sedikit lebih nesar pada laki-laki
dibandingkan perempuan 2:1. Insidensi berdasarkan usia memperlihatkan konsisten
berupa angka palinh tinggi pada tahun pertama kehidupan, penurunan pesat menuju
usia remaja, dan pendataran secara bertahap di usia pertengahan, dan kembali
memuncak pada usia setelah 60 tahun. Menurut WHO, diperkirakan terdapat 50 juta
orang di seluruh dunia yang menderita epilepsi. Populasi yang menderita epilepsi
aktif (terjadi bangkitan terus-menerus dan perlu pengobatan) diperkirakan antara 4-10
per 1000 penduduk. Angka ini jauh lebih tinggi pada negara miskin atau berkembang
7-14 per 1000 penduduk. Menurut penelitian Himpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (Pokdi Epilepsi Perdossi) mendapatkan 2.288 penderita epilepsi di 5 pulau
terbesar dengan 21,3% pasien baru. Rerata usia pasien produktif dengan etiologi
tersering cedera kepala, infeksi sistem saraf pusat (SSP), stroke dan tumor otak.
C. ETIOLOGI
Kejang dapat disebabkan oleh berbagai patologis termasuk tumor otak ,
trauma, bekuan darah pada otak, meningitis, ensefalitis, gangguan elektrolit dan
gejala putus alcohol dan gangguan metabolik, uremia, overhidrasi, toksik subcutan,
sabagian kejang merupakan idiopatik ( tidak diketahui etiologinya ).

1. Intrakranial

Primer :
 Idiopatik : Kejang neonatal, fanciliel benigna
Sekunder :
 Kelainan kongenital : hidrosefalus, Disgenesis, korteks serebri
 Asfiksia : Ensefalitis, hipoksia iskemik
 Trauma kepala : Perdarahan subaraknoid, subdural atau intra
ventricular
 Infeksi : Bakteri virus dan parasit(meningitis dan ensefalopati)

2. Ekstra cranial
 Gangguan metabolisme : Hipoglikemia, hipokalsemia,
hipomagnesimia, gangguan elektrolit (Na dan K)
 Toksik : Intoksikasi anestesi lokal, sindrom putus obat
Penggunaan obat tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya
kejang. Penghentian obat secara tiba – tiba juga dapat mengakibatkan
kejang. Beberapa obat yang dapat memicu terjadinya kejang adalah :
antidepresan trisiklik, lithium, antipsikotik, aminofilin, dan penisilin
dosis tinggi. Penggunaan narkoba seperti kokain, heroin, amfetamin,
dan PCP dapat menyebabkan kejang. Gejala putus alkohol juga dapat
berhubungan dengan timbulnya kejang. Biasanya kejang terajdi 12 –
24 jam setelah minum lakohol dan juga dapat terjadi sampai 48 jam
atau lebih.
 Kelainan yang diturunkan: Gangguan metabolism asam amino,
ketergantungan dan kekurangan asam amino

3. Stroke (gangguan serebrovaskular)


Kejang dapat terjadi pada saat stroke atau beberapa tahun kemudian
post stroke. Kejang dapat terjadi dengan stroke karena kurangnya aliran
darah ke otak atau karena adanya perdarahan di dalam otak yang mengiritasi
korteks. Setelah terjadi injuri serebral pada stroke, korteks yang terlibat akan
mengalami perubahan strktural dan fungsional yang dapat meningkatkan
eksitabilitas kortek tersebut atau menurunkan aktivitas inhibisi neuronal
sehingga menimbulkan kejang epileptik pada 6-9% pasien stroke. Proses
yang terjadi diawali degan injuri serebral, diteruskan dengan periode latensi
(epileptogenesis; kerusakan neuronal segera atau lambat, neurogenesis,
gliosis, axonal dan dendritic plastisitas, angiogenesis, inflamasi, dan
reorganisasi molekular reseptor dan kanal ion) ), kemudian berakhir dengan
kejang spontan (epilepsi).

4. Penyakit degeneratif
Terdapat beberapa penyakit neurodegenerative dapat memicu
terjadinya kejang. Seperti : neurofibromatosis, penyakit Tay-Sachs,
fenilketonuria (PKU), dan sindrom Sturge-Weber.

5. Demam Tinggi
Menyebabkan terjadinya kejang demam. Biasanya terjadi pada anak-
anak dengan usia 3 bulan sampai 4 tahun dengan insiden 3% - 4% dari anak-
anak.

D. KLASIFIKASI
Kejang dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebab kejang serta subtipe
serangan kejang.
1. Kejang Parsial
 Kejang Parsial Simpleks
Kejang parsial simpleks adalah bentuk kejang parsial yang
tanpa disertai dengan perubahan status mental. Kejang ini sering
ditandai dengan perubahan aktivitas motorik yang abnormal, sering
terlihat pola aktivitas motorik yang tetap pada wajah dan
ekstremitas atas saat episode kejang terjadi. Walaupun kejang
parsial simpleks sering ditandai dengan perubahan abnormal dari
aktivitas motorik, perubahan abnormal dari sensorik, autonom, dan
psikis. Biasanya sering pula timbul gejala atau sensasi awal dari
kejang (Aura) yang terdiri dari rasa tidak nyaman pada epigastrium,
ketakutan, dan halusinasi.
Kesadaran tidak terganggu; dapat mencakup satu atau lebih hal
berikut ini:
o Tanda-tanda motoris→kedutaan  pada wajah. Tangan, atau salah
satu sisi tubuh : umumnya gerakan kejang yang sama.
o Tanda atau gejala otonomik→muntah   berkeringat, muka merah,
dilatasi pupil.
o Gejala somatosensoris atau sensoris khusus→merasa seakan jatuh
dari udara, parestesia.
o Gejala psikis→dejavu, rasa takut.
 
 Kejang parsial kompleks
Kejang parsial kompleks ditandai dengan perubahan
abnormal dari persepsi dan sensasi, dan disertai dengan perubahan
kesadaran. Kejang ini diakibatkan penyebaran cetusan pada
jaringan otak secara bilateral,kearah basal pada bagian frontal dan
sistem limbik. 80% kejang ini berasal dari lobus temporal dan
sisanya dari lobus frontal serta occipital. Pada saat kejang,
pandangan mata anak tampak linglung, mulut anak seperti
mengecap – ngecap, jatuhnya air liur keluar dari mulut, dan
seringkali disertai mual dan muntah.
Terdapat gangguan kesadaran. Walaupun pada awalnya sebagai
kejang parsial simpleks.
o Dapat mencakup otomatisme atau gerakan aromatic—
mengecapkan  bibir, mengunyah, gerakan mencongkel yang
berulang-ulang pada tangan dan gerakan tangan lainnya
o Dapat tanpa otomatisme—tatapan terpaku.
 
2. Kejang Umum (Konvulsif atau Non-Konvulsif)
 Kejang Absans
Kejang absens dapat dibagi menjadi kejang absens simpel
(tipikal) atau disebut juga petit mal dan kejang absens kompleks
(atipikal). Kejang absens tipikal ditandai dengan berhentinya
aktivitas motorik secara tiba – tiba, kehilangan kesadaran sementara
secara singkat yang disertai dengan tatapan kosong. Sering tampak
kedipan mata berulang saat episode kejang terjadi. Episode kejang
terjadi kurang dari 30 detik. Sedangkan pada kejang absens atipikal
ditandai dengan gerakan seperti hentakan berulang yang bisa
ditemukan pada wajah dan ekstremitas, dan disertai dengan
perubahan kesadaran.
o Gangguan kewaspadaan dan responsivitas.
o Ditandai dengan tatapan terpaku yang umumnya berlangsung
kurang dari 15 detik.
o Awitan dan khiran cepat, setelah itu kembali waspada dan
berkonsentrasi penuh.
o Umumnya dimulai pada usia antara 4 dan 14 tahun dan sering
sembuh dengan sendirinya pada usia 18 tahun.

 Kejang Mioklonik
Kedutaan involunter pada otot atau sekelompok otot yang
terjadi mendadak. Myoclonic kejang ditandai dengan gerakan
menyentak singkat yang muncul dari sistem saraf pusat, biasanya
melibatkan kedua sisi tubuh. Gambaran klinis yang terlihat adalah
gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau keempat anggota gerak yang
berulang dan terjadinya cepat. Gerakan tersebut menyerupai reflek
moro.
Gerakan ini mungkin sangat halus. Terdapat berbagai macam
sindrom yang terkait dengan kejang myoclonic, diantaranya :
o Juvenile Myoclonic epilepsy
Ini termasuk sindrom yang sulit. Onset mulai 12-16 tahun.
Jenis ini juga termasuk epilepsi idiopatik. Kasusnya mencapai 5-
10% dari seluruh kasus. Gejala khasnya adalah gerakan mioklonik
seperti terkejut pada saat bangun tidur yang diikuti kejang general
tonik klonik. Mioklonik ini dipicu oleh kelelahan, gangguan tidur
atau pengaruh alkohol. 
Manajemen epilepsi jenis ini adalah mengubah lifestyle.
Pengobatan paling efektif dengan valproate. ”Lamotrigine juga
efektif tetapi biasanya dikombinasi dengan valproate karena
valproate sangat efektif untuk kejang mioklonik,” jelas Nelly yang
tergabung dalam ahli saraf anak. Kondisi epilepsi jenis ini
merupakan kondisi seumur hidup. Artinya, kejang kembali datang
dalam hitungan minggu atau bulan bila pengobatan dihentikan.

o Lennox-Gastaut Syndrome
Sindrom ini juga termasuk yang sulit ditangani. Lennox-
Gastaut Syndrome termasuk dalam bentuk epilepsi general yang
simtomatik dengan prevalensi sekitar 2-3% dari seluruh kasus
epilepsi. Puncak onset terjadi di usia 3-5 tahun.
Secara umum sindrom ini berkaitan dengan tipe kejang yang
multipel. Tetapi yang paling khas adalah adanya axial tonic seizure
yang menyebabkan cedera. Sedangkan kejang atypical absence ,
atonic atau drop attack serta kejang mioklonik dan tonik klonik,
juga bisa ditemui. Hasil EEG secara umum lambat (< 2 Hz).
Biasanya penderita memiliki IQ rendah dan ada kemunduran
mental.
Prognosis sindrom ini juga sangat buruk, lebih dari 80% tidak
bisa disembuhkan. Untuk mengatasi sindrom ini diperlukan
politerapi yaitu kombinasi topiramate, lamotrigine dan valproate. 
o West syndrome
Sindrom ini sering  juga disebut infantile spasms. West
Syndrom bisa dibedakan menjadi dua jenis yaitu simptomatik dan
cryptogenik. Jenis simptomatik disebabkan karena ada kelainan
neurologis sebelumnya. Sedangkan jenis cryptogenic tidak
diketahui penyebabnya.
Jenis spasmenya adalah berkelompok (kluster) dan dalam satu
kluster bisa mencapai 125 spasme. Biasanya gejala timbul setelah
bangun tidur. Pada saat terjadi spasme biasanya anak menangis
dan spasme ini bisa terus berlangsung. Gambaran EEG sangat
tidak beraturan.
Pengobatan infantile spasms sampai saat ini belum
memuaskan. ACTH diyakini lebih efektif dibandingkan
penggunaan kortikosteroid sehingga rekomendasi lini pertama
adalah ACTH sedini mungkin. Namun efek samping ACTH harus
diwaspadai. Sedangkan melalui penelitian, topiramate cukup
efektif untuk monoterapi pada anak di atas 2 tahun.

 Kejang Mioklonik→Lanjutan
o Sering terlihat pada orang sehat selama tidur, tetapi bila patologik,
berupa kedutaan-kedutaan sinkron dari leher, bahu, lengan atas
dan kaki. Umumnya berlangusung kurang dari 15 detik dan terjadi
didalam kelompok.
o Kehilangan kesadaran hanya sesaat

 Kejang Tonik-Klonik
Kejang tonik klonik adalah bentuk kejang umum yang paling
sering terjadi. Kebanyakan kejang ini memiliki onset yang tiba – tiba,
namun pada beberapa kasus kejang ini didahului oleh aura (motorik
atau sensorik). Aura nya terdiri dari ansietas,irritabilitas,penurunan
konsentrasi dan rasa sakit pada kepala. Pada awal fase tonik, anak
menjadi pucat, terdapat dilatasi kedua pupil, dan kontraksi otot – otot
yang disertai dengan rigiditas otot yang progresif. Sering juga disertai
dengan inkontinensia urin atau inkontinensia tinja. Kemudian pada fase
klonik, terjadi gerakan menghentak secara ritmik dan gerakan fleksi
yang disertai spasme pada ekstremitas. Terjadi perubahan kesadaran
selama episode kejang berlangsung dan bisa berlanjut hingga beberapa
saat setelah kejang berhenti.
o Diawali dengan hilangnya kesadaran dan saat tonik, kaku umum
pada otot ektremitas, batang tubuh, dan wajah, yang langsung
kurang dari 1 menit
o Kejang biasanya berlangsung 5 - 20 menit
o Dapat disertai dengan hilangnya kontrol kandung kemih dan usus.
o Tidak adan respirasi dan sianosis
o Saat tonik diikuti dengan gerakan klonik pada ekstremitas atas dan
bawah.
o Letargi, konfusi, dan tidur dalam fase postical
 
 Kejang Atonik
o Hilangnya tonus secara mendadak sehingga dapat menyebabkan
kelopak mata turun, kepala menunduk atau jatuh.
o Singkat, dan terjadi tampa peringatan.

E. PATOFISIOLOGI
Bangkitan kejang merupakan satu manifestasi klinis dari lepasnya muatan
listrik yang berlebihan di sel neuron saraf pusat. Keadaan ini merupakan gejala
terganggunya fungsi otak. Gangguan ini dapat disebabkan oleh faktor fisiologis,
biokimiawi, anatomis atau gabungan factor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan
yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang.
Dengan demikian dapatlah difahami bahwa bangkitan kejang dapat disebabkan oleh
banyak penyakit atau kelainan di antaranya adalah trauma lahir, trauma kapitis,
radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia,
anomaly congenital otak.
Manifestasi bangkitan kejang dapat bermacam-macam, dari yang ringan
sampai rasa tidak enak di perut sampai kepada yang berat (kesadaran menghilang
disertai kejang tonikklonik). Semua ini bergantung kepada sel-sel neuron mana dalam
otak yang teransang dan sampai berapa luas rangsangan ini menjalar.
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel neuron
lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Fenomen elektrik ini adalah
wajar. Manifestasi biologiknya berupa gerak otot atau suatu modalitas sensorik,
tergantung dari neuron kortikal mana yang melepaskan muatannya. Dalam keadaan
fisiologik, neuron melepaskan muatan listriknya oleh karena potensial membrannya
direndahkan oleh potensial postsinaptik yang tiba pada dendrit. Potensial aksi itu
disalurkan melalui akson yang bersinap dengan dendrit neuron lain. Asetilkolin
merendahkan potensial membran postsinaptik. Apabila sudah cukup asetilkolin
tertimbun di permukaan otak, maka pelepasan muatan listrik neuron-neuron kortikal
dipermudah. Asetilkolin diproduksi oleh neuron-neuron kolinergik dan merembes
keluar dari permukaan otak. Pada kesadaran awas-waspada lebih banyak asetilkolin
mesembes keluar dari permukaan otak daripada selama tidur. Penimbunan asetilkolin
setempat harus mencapai suatu konsentrasi yang dapat mengungguli ambang lepas
muatan listrik neuron. Oleh karena itu fenomena lepas muatan listrik epileptic terjadi
secara berkala. Kurangnya zat gamma-aminobutyric acid (GABA) sebagai zat anti-
konvulsi alamiah akan menyebabkan neuron-neuron kortikal mudah sekali terganggu
dan bereaksi dengan melepaskan muatan listriknya secara menyeluruh.
Inti-inti intralaminar talamik dapat juga digalakkan oleh lepas muatan listrik dari
sekelompok neuron-neuron kortikal. Pada gilirannya inti-inti intralaminar talamik
melepaskan muatan listriknya dan merangsang seluruh neuron kortikal. Sehingga,
kejang dapat diawali dengan kejang fokal akibat lepasnya muatan listrik dari neuron
kortikal menjadi kejang tonik-klonik karena inti intralaminar talamik merangsang
seluruh neuron kortikal.
Penurunan kesadaran karena lepasnya muatan listrik dari nuclei
intralaminares talami yang berlebihan. Input pada inti ini yang merupakan terminal
lintasan asendens aspesifik akan menentukan derajat kesadaran. Karena lepasnya
berlebihan maka perangsangan talamokortikal yang berlebihan ini menghasilkan
kejang otot seluruh tubuh dan sekaligus menghalangi neuron-neuron pembina
kesadaran menerima impuls aferen dari dunia luar sehingga kesadaran menghilang.

F. ANAMNESIS
1. Kejadian Pre-Iktal
Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian sebelum
episode kejang terjadi :

a. Apakah ada kejadian yang merangsang terjadinya kejang seperti keadaan


stres, rangsangan nyeri, dan sebagainya?
b. Apakah sebelum kejang terjadi, terdapat aura seperti mencium bau – bauan,
melihat cahaya yang sangat terang, mendengar suara – suara, mual, merasa
ketakutan dan sebagainya?
c. Apa yang dilakukan sesaat sebelum kejang terjadi?
d. Apakah beberapa jam atau beberapa menit sebelum kejang mengkonsumsi
obat – obatan tertentu?
e. Apakah sedang menderita penyakit tertentu? Apakah sedang demam sebelum
kejang terjadi?
f. Apakah pernah mengalami kejang sebelumnya?
g. Jika pernah mengalami kejang, apakah bentuk kejang terdahulu sama seperti
bentuk kejang yang baru saja terjadi?
h. Jika pernah mengalami kejang, apakah berobat rutin dan mengkonsumsi obat
anti kejang secara teratur?
i. Apakah pernah mengalami trauma, terutama di bagian kepala, beberapa jam
atau hari sebelum kejang?

2. Kejadian saat kejang


Berikut ini adalah pertanyaan yang perlu ditanyakan mengenai kejadian saat
episode kejang terjadi :
a. Berapa lama kejang berlangsung?
b. Seperti apa bentuk kejang yang terjadi?
c. Apakah kehilangan kesadaran saat kejang?
d. Berapa kali kejang terjadi dan berapa lama setiap satu episode kejang
terjadi?
e. Apabila kejang terjadi lebih dari satu kali, apakah tetap sadar atau tidak sadar,
di antara epdisode kejang yang terjadi?

3. Kejadian post – iktal


a. Apakah langsung sadar setelah kejang berhenti?
b. Apakah merasa lemas, mual, muntah setelah kejang berhenti atau tampak
seperti tidak terjadi apa – apa?
c. Apakah mengingat kejadian saat kejang berlangsung?

G. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh. Tanda – tanda vital
yang diperiksa meliputi denyut nadi, laju pernapasan, dan terutama suhu tubuh.
Periksa kepala juga dilakukan untuk menilai apakah ada kelainan bentuk, tanda –
tanda trauma kepala, serta tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Periksa
leher untuk melihat terdapat kaku kuduk. Pemeriksaan neurologis secara menyeluruh
juga penting dilakukan.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pungsi Lumbal : Pasien yang diduga mengalami infeksi intracranial sebagai
penyebab kejang (meningitis). Dalam melakukan pungsi lumbal tanpa
memandang usia. Didapatkan positif bila adanya pleositosis, protein LCS
meningkat.

2. Elektroensefalogram ( EEG ) : dipakai unutk membantu menetapkan jenis dan


fokus dari kejang.

3. Magnetic resonance imaging ( MRI ) : menghasilkan bayangan dengan


menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk
memperlihatkan daerah – daerah otak yang tidak jelas terlihat bila
menggunakan pemindaian CT scan.

4. Pemindaian positron emission tomography ( PET ) : untuk mengevaluasi


kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan
metabolik atau aliran darah dalam otak.

I. PENATALAKSANAAN

Terapi obat antiepileptik adalah dasar penatalaksanaan medis. Terapi obat


tunggal adalah terapi yang paling disukai, dengan tujuan menyeimbang kontrol
kejang dan efek samping yang merugikan. Obat dasar didasarkan pada jenis kejang,
sindromepileptik, dan variable pasien. Mungkin diperlukan kombinasi obat agar
kejang dapat dikendalikan. Pengendalian penuh hanya didapat pada 50 % sampai 75
% anak epilepsi. Mekanisme kerja obat-obat antiepileptik bersifat kompleks dan jelas
sepenuhnya. Obat antikonvulsan dapat mengurangi letupan neural, membantu
aktifitas asam amino penghambat, atau mengurangi letupan lambat dari neuron
thalamus. Berikut ini terdapat antikonvulsan yang umum dipakai :

1. Fenobarbital
Indikasi : kejang mioklonik. Kejang tonik-klonik, status epileptikus;
Dosis awal : 50 – 100 mg/hari, dosis rumatan : 50 – 200 mg/hari
kadar terapeutik: 15-40 mcg/ml

2. Fenitoin (Dilantin)
Indikasi: kejang parsial, kejang tonik-klonik, status epileptikus;
Dosis : dewasa 2 dd 500 mg atau 3 dd 300 mg (oral) atau 15 mg/kgBB
(IV), untuk status epileptikus 20 mg/kgBB. Anak 4-5 mg/kg/hari,
maksimal 8 mg/kg.
Kadar terapeutik 10-20mcg/ml

3. Karbamazepin (Tegretol)
Indikasi: kejang parsial dan kejang tonik-klonik, namun tidak efektif
untuk epilepsi absens, epilepsi mioklonik dan epilepsi atonik.
Dosis rumatan: 15-20 mg/kg/hari dibadi dalam 2-4 dosis.
Kadar tapeuretik: 4-12 mcg/ml
Efek samping : mengantuk, ketidakseimbangan, mual, anemia, dan
neutropenia (jumlah sel darah putih rendah).

4. Asam valproat (Depakane)


Indikasi: kejang absens atipik, kejang mioklonik, kejang tonik-klonik,
kejang atonik, dan terutama bermanfaat untuk gangguan kejang campuran
Kadar terapeutik 40-100 mcg/ml

5. Topiramate
Topiramate digunakan pada kejang parsial dan kejang tonik-klonik umum
pada orang dewasa dan anak-anak usia 2 sampai 16 tahun. Obat Ini
tersedia dalam bentuk oral.
Dosis inisial: 1-2 mg/kg/hari dinaikkan bertahap sampai mencapai 10
mg/kg/hari, dua kali/hari .
Efek samping utama termasuk kantuk, mual, pusing, dan masalah
koordinasi. Anak-anak mungkin memiliki kesulitan berkonsentrasi dan
bisa menjadi agresif.

6. Gabapentin
Gabapentin diindikasikan untuk pengobatan adjunctive dari kejang
parsial, dengan atau tanpa generalisasi sekunder. Meskipun secara
struktural terkait dengan substansi GABA (asam gamma- aminobutyric),
tidak berinteraksi dengan reseptor GABA di otak, dan mekanisme
kerjanya tidak diketahui. Ini tersedia dalam bentuk oral dan harus
diminum tiga kali sehari. Tidak ada pemantauan laboratorium hati, ginjal,
atau hematologi (darah) fungsi yang diperlukan dengan gabapentin ®.
efek samping utamanya adalah kelelahan, pusing, dan ketidakseimbangan.
Gabapentin ® juga telah berhasil digunakan pada pasien dengan sindrom
nyeri neuropatik. Lamotrigin (Lamictal ®) digunakan untuk pengobatan
adjunctive dari kejang parsial. Mekanisme antikejangnya tidak diketahui.
Hal ini saat ini tersedia dalam bentuk oral. Lamictal ® dapat diberikan
dua kali sehari. Efek samping utamanya adalah munculnya ruam kulit,
terutama untuk pasien yang juga sedang mendapa valproate (Depakote ®).
Setiap pasien yang mendapat Lamictal bila terjadi ruam harus segera
melaporkannya kepada dokter-nya. efek samping lainnya termasuk sakit
kepala, mual, dan pusing.

J. PROGNOSIS

Dengan penanggulangan yang tepat dan cepat prognosisnya baik dan tidak
perlu menyebabkan kematian. Angka kejadian kejang demam epilepsi berbeda-beda
tergantung dari cara penelitiannya; misalnya Lumbantobing (1975) mendapatkan 6%,
sedangkan Living stone (1954) dari golongan kejang demam sederhana mendapatkan
2,9% yang menjadi epilepsi, dan golongan epilepsi yang diprovokasi oleh demam
ternyata 97% menjadi epilepsi.
Hemiparesis biasannya terjadi pada pasien yang mengalami kejang lama
(berlangsung lebih dari 30 menit) baik bersifat umum atau fokal. Kelumpuhannya
sesuai kejang fokal yang terjadi. Mula-mula kelumpuhan bersifat flaksid, tetapi
setelah 2 minggu timbul spasitas.
EPILEPSI

A. DEFINISI EPILEPSI

Epilepsi merupakan kelainan serebral yang ditandai dengan faktor predisposisi


menetap untuk mengalami kejang selanjutnya dan terdapat konsekuensi
neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial dari kondisi ini (International League
against Epilepsy/ ILAE, 2005). Berdasarkan consensus ILAE 2014, epilepsi dapat
ditegakkan pada tiga kondisi, yaitu :

1. Terdapat dua kejadian kejang tanpa provokasi yang terpisah lebih dari 24
jam
2. Terdapat satu kejadian kejang, namun risiko kejang selanjutnya sama
dengan risiko rekurensi umum setelah dua kejang tanpa provokasi dalam 10
tahun mendatang
3. Sindrom epilepsi (berdasarkan pemeriksaan EEG)

B. EPIDEMIOLOGI EPILEPSI

Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada anak, di
mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu kali kejang pada 16
tahun pertama kehidupan. Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua
(di atas 65 tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak.
Puncak insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun, kemudian menurun
pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia 65 tahun. Menurut data yang
ada, insidensi per tahun epilepsi per 100000 populasi adalah 86 pada tahun pertama,
62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada 5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun.

C. ETIOLOGI

Etiologi dibagi menjadi 3 kategori yaitu :

1. Idiopatik yang hingga kini tidak ditemukan penyebabnya.


2. Simtomatik yaitu yang penyebabnya diketahui.
3. Kriptogenik yaitu simtomatik yang penyebabnya tidak diketahui.

Pada epilepsi primer (idiopatik) tidak ditemukan kelainan pada jaringan otak.
Diduga terdapat kelainan atau gangguan keseimbangan zat kimiawi dalam sel-sel
saraf pada area jaringan otak yang abnormal.
Epilepsi sekunder (simtomatis) berarti bahwa gejala yang timbul ialah
sekunder, atau akibat dari adanya kelainan pada jaringan otak.Kelainan ini dapat

14
disebabkan karena dibawa sejak lahir atau adanya jaringan parut sebagai akibat
kerusakan otak pada waktu lahir atau pada masa perkembangan anak.
Kriptogenik dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui.
Termasuk sindrom West, sindrom Lennox Gastaut dan epilepsy mioklonik.
Gambaran klinis sesuai dengan ensefalopati difus.

Penyebab spesifik dari epilepsi sebagai berikut :


1. Kelainan yang terjadi selama perkembangan janin/kehamilan ibu, seperti
ibu menelan obat-obat tertentu yang dapat merusak otak janin, menglami
infeksi, minum alcohol, atau mengalami cidera.
2. Kelainan yang terjadi pada saat kelahiran, seperti kurang oksigen yang
mengalir ke otak (hipoksia), kerusakan karena tindakan.
3. Cidera kepala yang dapat menyebabkan kerusakan pada otak
4. Tumor otak merupakan penyebab epilepsi yang tidak umum terutama
pada anak-anak.
5. Penyumbatan pembuluh darah otak atau kelainan pembuluh darah otak
6. Radang atau infeksi pada otak dan selaput otak

Faktor-faktor pencetus dapat berupa:


1. Kurang tidur
2. Stress emosional
3. Infeksi
4. Obat-obat tertentu
5. Alcohol
6. Perubahan hormonal
7. Terlalu lelah

D. KLASIFIKASI
Epilepsi dapat diklasifikasikan menurut tipe bangkitan sesuai dengan ILAE 1981
secara garis besar, bangkitan epileptik terbagi menjadi :
 KEJANG FOKAL ATAU PARSIAL
1. Kejang parsial sederhana
- Kesadaran tidak terganggu
- Manifestasi dapat berupa : gangguan sensorik, gangguan motoric, gangguan
otonomik, dan/ atau psikis.
Umumnya berlangsung beberapa detik hingga menit. Jika terjadi >30 menit,
dinamakan status epileptikus fokal sederhana.

15
2. Kejang parsial kompleks
- Kesadaran terganggu, sehingga pasien tidak ingat akan kejang
- Biasanya diawali dengan henti gerak seluruh tubuh sementara (behavioral
arrest), dilanjutkan dengan automatisme (mengunyah, mengaracau, dll)
tatapan kosong, dan kebingungan postictal (postictal confusion).
Kejang fokal komplek umumnya berlangsung 60-90 menit dan diikuti
kebingungan postiktal singkat.

a. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran


 kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran
 Dengan automatisme
b. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang
 Dengan gangguan kesadaran saja
 Dengan automatisme

3. Kejang umum sekunder / Secondary generalized seizures


(tonik-klonik, tonik atau klonik)
umumnya dimulai dengan aura yang berevolusi menjadi kejang fokal kompleks
dan kemudian menjadi kejang tonik-klonik umum. Akan tetapi, kejang fokal
kompleks dapat berevolusi menjadi kejang umum, atau suatu aura dapat berevolusi
menjadi kejang umum tanpa kejang fokal kompleks yang nyata.
a. kejang parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum
b. kejang parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum
c. kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan
berkembang menjadi bangkitan umum

 KEJANG UMUM (KONVULSI ATAU NON-KONVULSI)


1. Kejang Absans / lena, sering di sebut petitmal
Episode-episode gangguan kesadaran singkat tanpa di dahului aura atau
kebingungan postiktal. Kesadaran hilang berlangsung selama kurang dari 20 detik
dan dapat disertai sedikit automatisme, di tandai dengan terhentinya percakapan
untuk sesaat, pandangan kosong, atau mata berkedip dengan cepat. Automatisme
fasial adalah yang tersering dan berkedip berulang adalah automatisme yang
tersering. Hiperventilasi atau stimulasi photic seringkali memicu kejang ini.

2. Kejang mioklonik
Pergerakan motorik singkat, jerking, tanpa irama, yang berlangsung kurang dari 1
detik. Kejang ini cenderung berkelompok dalam beberpa menit. Jika kejang ini
menjadi berirama, maka diklasifikasikan sebagai kejang klonik.

16
Serangan-serangan ini terdiri atas kontraksi otot yang singkat dan tiba-tiba, bisa
simetris dan asimetris, sinkronis taua asinkronis. Biasanya tidak ada kehilangan
kesadaran selama serangan.

3. Kejang tonik
Ekstensi atau fleksi tonus otot dengan tiba-tiba meningkat dari otot kepala, batang
tubuh, dan atau ekstremitas, selama beberapa detik disertai dengan gangguan
kesadaran. Kejang seperti ini biasanya terjadi saat mengantuk, segera setelah
tidur, atau segera setelah bangun. Di asosiasikan dengan gangguan neurologis lain.

4. Kejang atonik
Atonik, serangan atonik terdiri atas kehilangan tonus tubuh. Keadaan ini bisa di
menifestasikan oleh kepala yang terangguk-angguk, lutut lemas, atau kehilangan
total dari tonus otot dan pasien bisa jatuh serta mendapatkan luka-luka. Terjadi
pada orang orang dengan kelainan neurologis yang signifikan.

5. Kejang klonik
Klonik, serangan di mulai dengan kehilangan kesadaran yang di sebebkan aoleh
hipotonia yang tiba-tiba atau spasme tonik yng singkat. Keadaan ini di ikuti
sentakan bilateralyang lamanya 1 menit samapai beberapa menit yang sering
asimetris dan bisa predominasi pada satu anggota tubuh. Seranagan ini bisa
bervariasi lamanya, seringnya dan bagian dari sentakan ini satu saat ke satu saat
lain.

6. Kejang tonik-klonik, atau biasa di sebut grandmal


Terdiri dari beberapa perilaku motorik, diantaranya ekstensi tonik umum semua
ekstremitas selama beberapa detik diikuti gerakan ritmik klonik disertai gangguan
kesadaran dan kebingungan postictal yang panjang. Tidak disertai aura.
Merupakan jenis serangan klasik epilepsi serangan ini di tandai oleh suatu sensasi
penglihatan atau pendengaran selama beberapa saat yang di ikuti oleh kehilangan
kesadaran secara cepat.

 KEJANG YANG TIDAK DAPAT DIKLASIFIKASIKAN


 BANGKITAN BERKEPANJANGAN (STATUS EPILEPTIKUS)

17
Klasfikasi sindrom epilepsi (ILEA 1989), dibuat berdasarkan tipe bangkitan dan
etiologi epilepsi, penegakan diagnosis berdasarkan sindrom dapat mengarahkan
tatalaksana yang lebih spesifik dan dapat menetukan prognosis pasien.

Klasfikasi sindrom secara garis bersar dibagi 4 :


1. Epilepsi dan sindrom localization- related (fokal, local, parsial)
2. Epilepsi dan sindrom generalized atau umum
3. Epilepsi dan sindrom yang tidak dapat ditentukan apakah fokal atau umum
4. Sindrom spesial

E. GEJALA EPILEPSI
 Epilepsi Grand Mal
Epilepsi grand mal ditandai dengan timbulnya lepas muatan listrik yang
berlebihan dari neuron diseluruh area otak-di korteks, dibagian dalam serebrum
dan bahkan di batang otak dan thalamus, kejang grand mal berlangsung selama 3
atau 4 menit.
 Epilepsi Petit mal
Epilepsi ini biasanya ditandai dnegan timbulnya keadaan tidak sadar atau
penurunan kesadaran selama 3 sampai 30 detik, dimana selama waktu serangan
ini penderita merasakan beberapa kontraksi otot seperti sentakan (twitch-like),
biasanya di daerah kepala, terutama pengedipan mata.
18
 Epilepsi Fokal
Epilepsi fokal dapat melibatkan hampir setiap bagian otak, bagi regoi
setempat pada korteks serebri atau struktur-struktur yang lebih dalam pada
serebrum dan batang otak. Epilepsi fokal disebabkan oleh resi organic setempat
atau adanya kelainan fungsional. System saraf merupakan communication
network (jaringan komunikasi). Otak berkomunikasi dengan organ-organ tubuh
yang lain melalui sel-sel saraf (neuron). Pada kondisi normal, impuls saraf dari
otak secara elektrik akan dibawah neurotransmitter seperti GABA (gamma-
aminobutiric acid) dan glutamate melalui sel-sel saraf 9 neuron) ke organ-organ
tubuh yang lain.
 Epilepsi parsial sederhana

Diagnosis ini meliputi TIA, migren, hiperventilasi, tics, mioklonus dan


spasmus hemifasialis. TIA dapat muncul dengan gejala sensorik yang dibedakan
dengan epilepsi parsial sederhana. Keduanya paroksimal, bangkitan dapat berupa
kehilangan pandangan sejenak dan mengalami penderita lanjut usia.

 Epilepsi parsial kompleks

Diagnosis banding ini berkaitan dengan tingkat kehilangan kesadaran,


mulai dari drop anttacks sampai dengan pola perilaku yang rumit. Secara umum
diagnosis ini meliputi sinkrop, migren, gangguan tidur, bangkitan non epileptik,
narkolepsi, gangguan metabolic dan transient global amnesia.

F. PEMERIKAAN FISIK

Pemeriksaan fisik umum

Untuk mencari tanda-tanda gangguan yang berkaitan dengan epilepsi, misalnya :

 Trauma kepala
 Tanda-tanda infeksi
 Kelainan kongenital
 Kecanduan alkohol atau napza
 Kelaianan pada kulit (neurofakomatosis)
 Tanda-tanda keganasan

19
Pemeriksaan neurologi

Untuk mencari tanda-tanda deficit neurologi fokal atau difus yang dapat berhubungan
dengan epilepsi. Jika dilakukan dalam beberapa menit setelah bangkitan maka akan
tampak tanda pasca bangkitan terutama tanda fokal yang tidak jarang dapat menjadi
penunjuk lokalisasi, seperti :

 Paresis Todd
 Gangguan kesadaran pascaiktal
 Afasia pascaiktal

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Laboratorium : Hematologi lengkap, ureum kreatinin, SGOT/SGPT, profil
lipid, GDP/GD2PP, faal hemostatis, asam urat, albumin, elektrolit (Na, K,
Mg), lumbal pungsi, EKG, Kadar obat anti epilepsidd dalam darah
 Pemeriksaan radiologi : rongent thorax, BMD, MRI otak
 EEG (Electroencephalography) : EEG rutin, EEG deprivasi tidur, EEG
monitoring
Fungsi EEG :
 Mendiagnosis epilepsi dan tanda-tandanya
 Mengecek permasalahan pada orang yang mengalami kehilangan
kesadaran
 Mencari tahu apakah seseorang dalam keadaan koma
 Mempelajari penyebab susah tidur
 Melihat aktivitas otak ketika seseorang menerima obat anestesi selama
operasi otak
 Membantu orang yang memiliki masalah psikis, seperti rasa gugup, dan
kesehatan mental
 Pemeriksaan neurobehavior (fungsi luhur)

H. PENATALAKSANAAN

Terapi non medikamentosa:


 Amati faktor pemicu
 Menghindari faktor pemicu (jika ada), misalnya : stress, OR, konsumsi kopi
atau alkohol, perubahan jadwal tidur, terlambat makan, dll.
 Diet ketogenik
 Vagal nerve stimulator
Terapi medikamentosa : menggunakan obat-obat
 Antiepilepsi

20
OBAT DOSIS DOSIS JUMLAH WAKTU WAKTU
AWAL RUMATAN DOSIS PARUH TERCEPATN
(mg/hari) (mg/hari) PERHARI PLASMA YA STEADY
(jam) STATE
(hari)
Carbamaze 400 – 600 400 – 600 2 – 3x 15-35 2-7
pine (untuk yg
CR 2x)
Phenytoin 200 – 300 200 – 400 1 – 2x 10 – 80 3 – 15
Valproic 500 – 1000 500 – 2500 2 – 3x 12 – 18 2–4
acid (untuk yg
CR 2x)
Phenobarbit 50 – 100 50 – 200 1 50 – 170
al
Clonazepa 1 4 1 or 2 20 – 60 2 – 10
m
Clobazam 10 10 -30 2 – 3x 10 – 30 2–6
(untuk yg
CR 2x)
Oxarbazepi 600 – 900 600 – 3000 2 – 3x 8 – 15
ne
Levetiracet 1000 – 1000 – 3000 2x 6–8 2
am 2000
Topiramate 100 100 – 400 2x 20 – 30 2–5
Gabapentin 900 – 1800 900 – 3600 2 – 3x 5–7 2

Lamotrigin 50 – 100 20 – 200 1 – 2x 15 – 35 2–6


e

Terapi Bedah :
Merupakan tindakan operasi yang dilakukan dengan memotong bagian yang menjadi
fokus infeksi yaitu jaringan otak yang menjadi sumber serangan. Diindikasikan
terutama untuk penderita epilepsi yang kebal terhadap pengobatan. Berikut ini
merupakan jenis bedah epilepsi berdasarkan letak fokus infeksi :
a. Lobektomi temporal
b. Eksisi korteks ekstratemporal
c. Hemisferektomi
d. Callostomi

21
I. PENGHENTIAN OAE

Dalam hal penghentian OAE maka ada dua hal penting yang perlu
diperhatikan, yaitu syarat umum untuk menghentikan OAE dan kemungkinan
kambuhnya bangkitan setelah OAE dihentikan.

Syarat umum untuk menghentikan pemberian OAE adalah sebagai berikut:


 Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah
bebas dari bangkitan selama minimal 2 tahun
 Gambaran EEG "normal"
 Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap
bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan.
 Penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama.

Kekambuhan setelah penghentian OAE akan lebih besar kemungkinannya pada


keadaaan sebagai berikut:
 Semakin tua usia kemungkinan timbulnya kekambuhan makin tinggi
 Epilepsi simtomatik
 Gambaran EEG yang abnormal
 Semakin lama adanya bangkitan sebelum dapat dikendalikan
 Tergantung bentuk sindrom epilepsi yang diderita; sangat jarang pada sindrom
epilepsi benigna dengan gelombang tajam pada daerah sentro-temporal, 5-25 %
pada epilepsi lena masa anak kecil, 25-75% epilepsi parsial kriptogenik
simtomatik, 85-95% pada epilepsi mioklonik pada anak
 Penggunaan lebih dari satu OAE
 Masih mendapatkan satu atau lebih bangkitan setelah memulai terapi
 Mendapat terapi 10 tahun atau lebih

Kemungkinan untuk kambuh lebih kecil pada pasien yang telah bebas dari
bangkitan selama 3-5 tahun, atau lebih dari 5 tahun. Bila bangkitan timbul kembali
maka gunakan dosis efektif terakhir (sebelum pengurangan dosis OAE), kemudian di
evaluasi kembali.

22
DAFTAR PUSTAKA

Aninditha, Wiratman, dkk. Buku Ajar Neurologi. Edisi 1. Departemen Neurologi


FKUI.

Sylvia A Price, dkk. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2.


Edisi 6. 2005 Jakarta : EGC

Chris Tanto, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Volume 2. Edisi IV. 2014. Jakarta :
Media Aesculapius.

Bladin C, Alexandrov A, Bellavance A, et al. Seizures after stroke: a


prospectivemulticenter study. Arch Neurol. 2001;57:1617-1622.

Dewanto, George. dkk. Diagnosis dan Tata Laksana Penyakit Saraf. 2007. Jakarta :
EGC.

Ginsberg, Lionel. Lecture Note Neurologi edisi ke-8. 2007. Jakarta : Erlangga.

Janz D. Epilepsia dan Obat epilepsi. 2010; 16: 159-169. http//www.medicastore.com.

23

Anda mungkin juga menyukai