PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pielonefritis merupakan infeksi piala pada ginjal, tubulus dan jaringan interstisial dari
salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai kandung kemih melalui uretra dan naik ke
ginjal. Meskipun ginjal menerima 20% sampai 25% curah jantung, bakteri jarang yang
mencapai ginjal melalui aliran darah, kasus penyebaran secara hematogen kurang dari
3%.
Pielonefritis sering disebut sebagai akibat dari refluks ureterivesikal, dimana katup
uretevesikal yang tidak kompeten menyebabkan urine mengalir balik (refluks) ke dalam
ureter. Obstruksi traktus urinarius (yang meningkatkan kerentanan ginjal terhadap
infeksi), tumor kandung kemih, striktur, hiperplasia prostatik benigna, dan batu urinarius
merupakan penyebab yang lain. Pielonefritis dapat akut dan kronis.
Masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah penyakit Pielonefritis?
1.3. Tujuan
1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri yang menyerang ginjal, yang sifatnya akut
maupun kronis. Pielonefritis akut biasanya akan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu. Bila
pengobatan pada pielonefritis akut tidak sukses maka dapat menimbulkan gejala lanjut yang
disebut dengan pielonefritis kronis.
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri pada piala ginjal, tunulus, dan jaringan
interstinal dari salah satu atau kedua gunjal (Brunner & Suddarth, 2002: 1436).
Pielonefritis merupakan suatu infeksi dalam ginjal yang dapat timbul secara
hematogen atau retrograd aliran ureterik (J. C. E. Underwood, 2002: 668)
Ginjal merupakan bagian utama dari sistem saluran kemih yang terdiri atas organ-
organ tubuh yang berfungsi memproduksi maupun menyalurkan air kemih (urine) ke luar
tubuh. Berbagai penyakit dapat menyerang komponen-komponen ginjal, antara lain yaitu
infeksi ginjal.
Pielonefritis dibagi menjadi dua macam yaitu :
Pielonefritis kronis
Pyelonefritis akut
1. Pyelonefritis akut
Pyelonefritis akut biasanya singkat dan sering terjadi infeksi berulang karena
terapi tidak sempurna atau infeksi baru. 20% dari infeksi yang berulang terjadi setelah
dua minggu setelah terapi selesai.Infeksi bakteri dari saluran kemih bagian bawah ke arah
ginjal, hal ini akan mempengaruhi fungsi ginjal. Infeksi saluran urinarius atas dikaitkan
dengan selimut antibodi bakteri dalam urin. Ginjal biasanya membesar disertai infiltrasi
interstisial sel-sel inflamasi. Abses dapat dijumpai pada kapsul ginjal dan pada taut
kortikomedularis. Pada akhirnya, atrofi dan kerusakan tubulus serta glomerulus
terjadi. Pyelonefritis akut merupakan salah satu penyakit ginjal yang sering ditemui.
Gangguan ini tidak dapat dilepaskan dari infeksi saluran kemih. Infeksi ginjal lebih sering
terjadi pada wanita, hal ini karena saluran kemih bagian bawahnya (uretra) lebih pendek
dibandingkan laki-laki, dan saluran kemihnya terletak berdekatan dengan vagina dan
anus, sehingga lebih cepat mencapai kandung kemih dan menyebar ke ginjal. Insiden
2
penyakit ini juga akan bertambah pada wanita hamil dan pada usia di atas 40 tahun.
Demikian pula, penderita kencing manis/diabetes mellitus dan penyakit ginjal lainnya
lebih mudah terkena infeksi ginjal dan saluran kemih.
2. Pielonefritis kronis
Pyelonefritis kronis juga berasal dari adanya bakteri, tetapi dapat juga karena
faktor lain seperti obstruksi saluran kemih dan refluk urin.Pyelonefritis kronis dapat
merusak jaringan ginjal secara permanen akibat inflamasi yang berulangkali dan
timbulnya parut dan dapat menyebabkan terjadinya renal failure (gagal ginjal) yang
kronis. Ginjal pun membentuk jaringan parut progresif, berkontraksi dan tidak berfungsi.
Proses perkembangan kegagalan ginjal kronis dari infeksi ginjal yang berulang-ulang
berlangsung beberapa tahun atau setelah infeksi yang gawat.Pembagian
PielonefritisPielonefritis akutSering ditemukan pada wanita hamil, biasanya diawali
dengan hidro ureter dan hidronefrosis akibat obstruksi ureter karena uterus yang
membesar.
2.2. Etiologi
1. Bakteri (Escherichia coli, Klebsielle pneumoniac, Streptococus fecalis, dll).
Escherichia coli merupakan penyebab 85% dari infeksi.
2. Obstruksi urinari track. Misal batu ginjal atau pembesaran prostat.
3. Refluks, yang mana merupakan arus balik air kemih dari kandung kemih kembali ke
dalam ureter.
4. Kehamilan
5. Kencing Manis
6. Keadaan-keadaan menurunnya imunitas untuk melawan infeksi.
Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah oleh
aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di tempat
masuknya ke kandung kemih. Berbagai penyumbatan fisik pada aliran air kemih
(misalnya batu ginjal atau pembesaran prostat) atau arus balik air kemih dari kandung
kemih ke dalam ureter, akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi ginjal.
2.3. Patofisiologi
Umumnya bakteri seperti Eschericia coli, Streptococus fecalis, Pseudomonas
aeruginosa, dan Staphilococus aureus yang menginfeksi ginjal berasal dari luar tubuh yang
masuk melalui saluran kemih bagian bawah (uretra), merambat ke kandung kemih, lalu ke
3
ureter (saluran kemih bagian atas yang menghubungkan kandung kemih dan ginjal) dan
tibalah ke ginjal, yang kemudian menyebar dan dapat membentuk koloni infeksi dalam waktu
24-48 jam. Infeksi bakteri pada ginjal juga dapat disebarkan melalui alat-alat seperti kateter
dan bedah urologis. Bakteri lebih mudah menyerang ginjal bila terdapat hambatan atau
obstruksi saluran kemih yang mempersulit pengeluaran urin, seperti adanya batu atau tumor.
Pada pielonefritis akut, inflamasi menyebabkan pembesaran ginjal yang tidak lazim.
Korteks dan medula mengembang dan multipel abses. Kalik dan pelvis ginjal juga akan
berinvolusi. Resolusi dari inflamasi menghsilkan fibrosis dan scarring. Pielonefritis kronis
muncul stelah periode berulang dari pielonefritis akut. Ginjal mengalami perubahan
degeneratif dan menjadi kecil serta atrophic. Jika destruksi nefron meluas, dapat berkembang
menjadi gagal ginjal.
2.4. Pathway
4
2.5. Tanda dan Gejala
Gejala yang paling umum dapat berupa demam tiba-tiba. Kemudian dapat disertai
menggigil, nyeri punggung bagian bawah, mual, dan muntah. Pada beberapa kasus juga
menunjukkan gejala ISK bagian bawah yang dapat berupa nyeri berkemih dan frekuensi
berkemih yang meningkat.
Dapat terjadi kolik renalis, di mana penderita merasakan nyeri hebat yang
desebabkan oleh kejang ureter. Kejang dapat terjadi karena adanya iritasi akibat infeksi atau
karena lewatnya batu ginjal. Bisa terjadi pembesaran pada salah satu atau kedua ginjal.
Kadang juga disertai otot perut berkontraksi kuat.
Pada anak-anak, gejala infeksi ginjal seringkali sangat ringan dan lebih sulit untuk
dikenali.
a. Pyelonefritis akut ditandai dengan :
1. Pembengkakan ginjal atau pelebaran penampang ginjal (Hidronefrosis)
Hidronefrosis terjadi akibat penumpukan urine, di mana urine tidak bisa mengalir
dari ginjal ke kandung kemih. Kondisi ini umumnya terjadi pada salah satu ginjal,
namun tidak menutup kemungkinan untuk terjadi pada kedua ginjal sekaligus.
2. Pada pengkajian didapatkan adanya demam yang tinggi, menggigil, nausea, nyeri
pada pinggang, sakit kepala, nyeri otot dan adanya kelemahan fisik.
Pielonefritis disebabkan oleh infeksi bakteri pada daerah ginjal. Ketika tubuh
terinfeksi maka salah satu reaksi dari tubuh ialah peningkatan suhu tubuh akibat
adanya infeksi yang masuk kedalam tubuh. Akibat dari peradangan tersebut juga
dapat mengakibatkan nyeri pada pinggang, otot dan kelemahan fisik.
5
5. Pada pemeriksaan urin didapat urin berwarna keruh atau hematuria dengan bau
yang tajam, selain itu juga adanya peningkatan sel darah putih.
Hematuria terjadi akibat ginjal yang tidak mampu menyaring darah secara optimal
sehingga darah yang seharusnya tidak dialirkan ke seluruh tubuh dikeluarkan lewat
urin. Serta, peningkatan sel darah putih terjadi dikarenakan tubuh sedang bereaksi
untuk melawan bakteri atau virus yang menginfeksi organ tubuh tertentu.
b. Pielonefritis kronis
Pielonefritis kronis terjadi akibat infeksi yang berulang-ulang, sehingga kedua
ginjal perlahan-lahan menjadi rusak. Tanda dan gejala:
1. Adanya serangan pielonefritis akut yang berulang-ulang biasanya tidak mempunyai
gejala yang spesifik.
Biasanya pielonefritis kronik jarang terprediksi sehingga gejala yang muncul tetap
sama seperti gejala sebelumnya bahkan hamper sama dengan gejala pielonefritis
akut.
2. Adanya keletihan.
Keletihan diakibatkan karena tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), dan darah yang
terdapat di dalam tubuh merupakan darah hasil metabolisme yang tidak tersaring
dengan baik oleh ginjal.
6
sehingga merasakan haus yang berlebihan, urine yang dikeluarkan pun dalam
jumlah yang melebihi intake dan banyak mengandung protein yang disebut
proteinuria. Bukan hanya air dan elektrolit, darah pun tidak tersaring secara
sempurna, sehingga darah yang dialirkan ke seluruh tubuh hanya sedikit sehingga
dapat mempengaruhi fungsi organ yang lama kelamaan dapat memicu terjadinya
anemia.
5. Kesehatan pasien semakin menurun, pada akhirnya pasien mengalami gagal ginjal.
Kesehatan klien akan semakin menurun diakibatkan oleh gejala-gejala tambahan.
Apabila tidak segera diatasi, maka dapat menimbulkan beberapa komplikasi.
Komplikasi yang sering terjadi yakni gagal ginjal.
7
2. Urinalisis
Merupakan pemeriksaan yang paling sering dikerjakan pada kasus-kasus urologi.
Pemeriksaan ini meliputi uji makroskopik dengan menilai warna, bau, dan berat jenis
urine, uji kimiawi meliputi pemeriksaan derajat keasaman/PH, protein, dan gula
dalam urine, uji mikroskopik mencari kemungkinan adanya sel-sel, cast (silinder),
atau bentukan lain di dalam urine. Pada pasien yang menderita pielonefritis saat
pemeriksaan urinalisis ditemukan adanya piuria, bakteriuria (terdapat bakteri di dalam
urine), dan hematuria (terkandung sel-sel darah merah di dalam urine).
4. BUN
Terlalu banyak atau terlalu sedikit urea yang tertinggal dalam darah bisa
mencerminkan kondisi ginjal. Kadar urea dalam darah bisa diukur lewat tes blood
urea nitrogen (BUN), untuk melihat seberapa banyak kehadiran nitrogen urea di
dalam darah. Tes BUN seringnya ditujukan untuk orang-orang yang mengalami
penyakit ginjal, atau yang berisiko tinggi mengalaminya
5. Creatinin
Pengukuran tes kreatinin bisa dikatakan sebagai cerminan dari proses metabolisme
tubuh secara umum. Oleh karena massa otot tubuh cenderung sama setiap harinya,
maka kadar kreatinin juga relatif sama dan tidak berubah. Jika hasil uji kreatinin Anda
tergolong tinggi, tidak selalu berarti bahwa fungsi ginjal sedang terganggu. Pasalnya,
ada beberapa kondisi yang bisa meningkatkan jumlah kreatinin dalam tubuh untuk
sementara waktu.
6. Serum Electrolytes
Elektrolit merupakan mineral yang membawa muatan listrik, contohnya kalsium,
klorida, magnesium, fosfat, kalium (potasium), dan natrium (sodium). Pemeriksaan
elektrolit sangat penting dilakukan agar pasien tidak mengalami kekurangan elektrolit
didalam tubuh.
8
7. Biopsi ginjal
Biopsi ginjal adalah prosedur diagnostik yang dilakukan dengan cara pengambilan
sampel berukuran kecil dari ginjal untuk melihat dan menilai kondisi jaringan organ
tersebut melalui mikroskop, yang akan digunakan untuk mendiagnosa ada atau
tidaknya penyakit pada organ tersebut, juga dikenal dengan nama biopsi renal. Biopsi
ginjal dapat membantu untuk memantau perkembangan dari penyakit ginjal yang
sudah ada, atau untuk menentukan pilihan perawatan yang paling tepat untuk
mengobati kondisi yang dialami pasien.
8. Pemeriksaan IVP
Intravenous Pyelography (IVP) atau dikenal denganIntra Venous Urography atau
urografi adalah foto yang dapat menggambarkan keadaan sistem urinaria melalui
bahan kontras radio-opak. Pencitraan ini dapat menunjukkan adanya kelainan anatomi
dan kelainan fungsi ginjal. Hasil pemeriksaan PIV pada pasien pielonefritis terdapat
bayangan ginjal membesar dan terdapat keterlambatan pada fase nefrogram.
2.7. Komplikasi
Ada tiga komplikasi penting dapat ditemukan pada pielonefritis akut (Patologi
Umum & Sistematik J. C. E. Underwood, 2002: 669)
1. Nekrosis papila ginjal.
Sebagai hasil dari proses radang, pasokan darah pada area medula akan terganggu dan
akan diikuti nekrosis papila guinjal, terutama pada penderita diabetes melitus atau pada
tempat terjadinya obstruksi.
2. Fionefrosis.
Terjadi apabila ditemukan obstruksi total pada ureter yang dekat sekali dengan ginjal.
Cairan yang terlindung dalam pelvis dan sistem kaliks mengalami supurasi, sehingga
ginjal mengalami peregangan akibat adanya pus.
3. Abses perinefrik.
Pada waktu infeksi mencapai kapsula ginjal, dan meluas ke dalam jaringan perirenal,
terjadi abses perinefrik.
Komplikasi pielonefritis kronis mencakup penyakit ginjal stadium akhir (mulai dari
hilangnya progresifitas nefron akibat inflamasi kronik dan jaringan parut), hipertensi,
9
dan pembentukan batu ginjal (akibat infeksi kronik disertai organisme pengurai urea,
yang mangakibatkan terbentuknya batu) (Brunner&Suddarth, 2002: 1437).
10
2.9. Pencegahan
Untuk membantu perawatan infeksi ginjal, berikut beberapa hal yang harus dilakukan:
1. minumlah banyak air (sekitar 2,5 liter ) untuk membantu pengosongan kandung
kemih serta kontaminasi urin.
2. Perhatikan makanan (diet) supaya tidak terbentuk batu ginjal
3. banyak istirahat di tempat tidur
4. terapi antibiotika
Untuk mencegah terkena infeksi ginjal adalah dengan memastikan tidak pernah
mengalami infeksi saluran kemih, antara lain dengan memperhatikan cara
membersihkan setelah buang air besar, terutama pada wanita. Senantiasa membersihkan
dari depan ke belakang, jangan dari belakang ke depan. Hal tersebut untuk mencegah
kontaminasi bakteri dari feses sewaktu buang air besar agar tidak masuk melalui vagina
dan menyerang uretra. Pada waktu pemasangan kateter harus diperhatikan kebersihan
dan kesterilan alat agar tidak terjadi infeksi.
Tumbuhan obat atau herbal yang dapat digunakan untuk pengobatan infeksi
ginjal mempunyai khasiat sebagai antiradang, antiinfeksi, menurunkan panas, dan
diuretik (peluruh kemih). Tumbuhan obat yang dapat digunakan, antara lain :
1. Kumis kucing (Ortthosiphon aristatus)
2. Meniran (Phyllanthus urinaria)
3. Sambiloto (Andrographis paniculata)
4. Pegagan (Centella asiatica)
5. Daun Sendok (Plantago major)
6. Akar alang-alang (Imperata cyllindrica)
7. Rambut Jagung (Zea mays)
8. Krokot (Portulaca oleracea)
9. Jombang (Taraxacum mongolicum)
10. Rumput mutiara(Hedyotys corymbosa)
11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PYLONEFRITIS
3.1. PENGKAJIAN
1. Identitas Klien
Anak wanita dan wanita dewasa mempunyai insidens infeksi saluran kemih yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pria.
2. Riwayat penyakit
a. Keluhan utama : Nyeri punggung bawah dan disuria
b. Riwayat penyakit sekarang : Masuknya bakteri kekandung kemih sehingga
menyebabkan infeksi
c. Riwayat penyakit dahulu : Mungkin px pernah mengalami penyakit seperti ini
sebelumnya
d. Riwayat penyakit keluarga : ISK bukanlah penyakit keturunan
3. Pola fungsi kesehatan
a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan : Kurangnya pengetahuan kx tentang
pencegahan
b. Pola instirahat dan tidur : Istirahat dan tidur kx mengalami gangguan karena gelisah
dan nyeri.
c. Pola eminasi : Kx cenderung mengalami disuria dan sering kencing
d. Pola aktivitas : Akativitas kx mengalami gangguan karena rasa nyeri yang kadang
datang
4. Pemeriksaan fisik
a. Tanda-tanda vital
a. TD : normal / meningkat
b. Nadi : normal / meningkat
c. Respirasi : normal / meningkat
d. Temperatur : meningkat
b. Data focus
e. Inpeksi : Rrekuensi miksi b (+), lemah dan lesu, urin keruh
f. Palpasi : Suhu tubuh meningkat
12
3.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Menurut (SDKI, 2017, hal. 166) diagnosa keperawatan pielonefritis yang muncul antara lain :
Objektif
Gelisah
13
Pola eliminasi berubah
Postur tubuh berubah
Iritabilitas
Kondisi Klinis Terkait :
Penyakit kronis
Keganasan
Distres psikologis
Kehamilan
(SDKI, 2017, hal. 166)
2. Hipertermia
Definisi : suhu tubuh meningkat diatas rentang normal tubuh.
Penyebab :
Dihidrasi
Terpapar lingkungan panas
Proses penyakit (misalnya : infeksi, kanker)
Ketidaksesuaian pakaian dengan suhu lingkungan
Peningkatan laju metabolisme
Respon trauma
Aktifitas berlebihan
Penggunaan inkubator
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif
(Tidak tersedia)
Objektif
Suhu tubuh diatas nilai normal
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif
(Tidak tersedia)
Objektif
Kulit merah
Kejang
14
Takikardi
Takipnea
Kulit terasa hangat
Kondisi Klinis Terkait :
Proses infeksi
Hipertiroid
Stroke
Dehidrasi
Trauma
Prematuritas
(SDKI, 2017, hal. 284)
15
Enuresis
Objektif
Distensi kandung kemih
Berkemih tidak tuntas (hesitancy)
Volume residu urin meningkat
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif
(Tidak tersedia)
Objektif
(Tidak tersedia)
4. Hipervolemia
Definisi : Peningkatan volume cairan intravaskular, interstisial, dan/atau intraselular.
Penyebab :
Gangguan mekanisme regulasi
Kelebihan asupan cairan
Kelebihan asupan natrium
Gangguan aliran balik vena
16
Efek agen farmakologis ( misalnya : kortikosteroid, chlorpropamide, tolbutamide,
vinchristine, tryptilinescarbamazepine)
Gejala dan Tanda Mayor :
Subjektif
Ortopnea
Dispnea
Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND)
Objektif
Edema anasarka dan/atau edema perifer
Berat badan meningkat dalam waktu singkat
Jugular Venous Pressure (JPV) dan/atau Central Venous Pressure (CVP)
Refleks hepatojugular positif
Gejala dan Tanda Minor :
Subjektif
(Tidak tersedia)
Objektif
Distensi vena jugularis
Terdengar suara napas tambahan
Hepatomegali
Kadar Hb/Ht tutun
Oliguria
Intake lebih banyak dari output (balans cairan positif)
Kongesti paru
Kondisi Klinis Terkait :
Penyakit ginjal : gagal ginjal akut/kronis, sindrom nefrotik
Hipoalbuminemia
Gagal jantung kongestif
Kelainan hormon
Penyakit hati ( misalnya : sirosis, asites, kanker hati)
Penyakit vena perifer ( misalnya : varises vena, trombus vena, plebitis)
Imobilitas
(SDKI, 2017, hal. 62)
17
3.3. INTERVENSI
1. Diagnosa: Gangguan Rasa Nyaman
Intervensi Utama :
1) Manajemen Nyeri
Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik atau emosional yang
berkaitan dengan kerusakan jaringan atau fungsional dengna onset mendadak atau
labat dan berintensitas ringan hingga berat dan konstan.
a. Observasi
Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
Identifikasi skala nyeri
Identifikasi respon nyeri non verbal
Identifikasi faktor yang memperberat dan memperingan nyeri
Identifikasi pengetahuan dan keyakinan tentang nyeri
Identifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas hidup
Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
Monitor efek samping penggunaan analgetik
b. Terapeutik
Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis.
TENS, hypnosis, akupresur, terapi musik, biofeedback, terapi pijat, aroma
terapi, teknik imajinasi terbimbing, kompres hangat/dingin, terapi
bermain)
Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri (mis. Suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
Fasilitasi istirahat dan tidur
Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
c. Edukasi
Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
Jelaskan strategi meredakan nyeri
Anjurkan memonitor nyri secara mandiri
18
Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
2) Pengaturan Posisi
Menempatkan bagian tubuh untuk meningkatkan kesehatan fisiologis dan/atau
psikologis
a. Observasi
Monitor status oksigenasi sebelum dan sesudah mengubah posisi
Monitor alat traksi agar selalu tepat
b. Terapeutik
Tempatkan pada matras, tempat tidur teraupetik yang tepat
Tempatkan pada posisi teraupetik
Tempatkan objek yang sering digunakan dalam jangkauan
Tempatkan bel atau lampu panggilan dalam jangkauan
Sediakan matras yang kokoh/padat
Atur posisi tidur yang disukai, jika tidak kontraindikasi
Atur posisi untuk mengurangi sesak (mis. semi fowler)
Atur posisi yang meningkatkan drainase
Posisikan pada kesejajaran tubuh yang tepat
Imobilisasi dan topang bagian tubuh yang cedera dengan tepat.
Tinggikan bagian tubuh yang sakit dengan tepat
Imobilisasi dan topang bagian tubuh yang cedera dengan tepat.
Tinggikan bagain tubuh yang sakit dengan tepat
Tinggikan anggota gerak 20o atau lebih di atas level jantung
Tinggikan tempat tidur bagian kepala
Berikan bantal yang tepat pada leher
Berikan topangan pada area ederna (mis. bantal dibawah lengan dan
skrotum)
Posisikan untuk mempermudah ventilasi/perfusi (mis. tengkurap/good
lung down)
19
Motivasi melakukan ROM aktif atau pasif
Motivasi terlibat dalam perubahan posisi, sesuai kebutuhan
Motivasi terlibat dalam perubahan posisi, sesuai kebutuhan
Hindari menempatkan stump amputasi pada posisi fleksi
Hindari posisi yang menimbulkan ketegangan pada luka
Meminimalkan gesekan dan tarikan saat mengubah posisi (ubah posisi
setiap 2 jam)
Ubah posisi dengan teknik log roll
Pertahankan posisi dan integritas traksi
Jadwalkan secara tertulis untuk perubahan posisi
c. Edukasi
Informasikan saat akan dilakukan perubahan posisi
Ajarkan cara menggunakan postur yang baik dan mekanika tubuh yang
baik selama melakukan perubahan posisi.
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian premedikasi sebelum mengubah posisi, jika perlu
3) Terapi Relaksasi
Menggunakan teknik peregangan untuk mengurangi tanda dan gejala
ketidaknyamanan seperti, nyeri, ketegangan otot, atau kecemasan.
a. Observasi
Identifikasi penurunan tingkat energy, ketidakmampuan berkonsentrasi
ataugejala lain yang mengganggu kemampua kognitif.
Identifikasi teknik relaksasi tang pernah efektif digunakan
Identifikasi kesediaan, kemampuan, dan penggunaan tekniksebelumnya.
Periksa ketegangan otot, frekuensi nadi, tekanan darah, dan suhu sebelum
dan sesudah latihan.
Monitor respons terhadap terapi relaksasi
b. Terapeutik
Ciptakan lingkungan tenang dan tanpa gangguan dengan pencahayaan dan
suhu, ruang nyaman, jika memungkinkan
Berikan informasi tertulis tentang persiapan dan prosedur teknik relaksasi
20
Gunakan pakaian longgar
Gunakan nada suara lembut dengan irama lambat dan berirama
Gunakan relaksasi sebagai strategi penunjang dengan analgetik atau
tindakan medis lain, jika sesuai
c. Edukasi
Jelaskan tujuan, manfaat, batasan, dan jenis relaksasi yang tersedia (mis.
Music, meditasi, napas dalam, relaksasi otot progresif)
Jelaskan secara rinci intervensi relaksasi yang dipilih
Anjurkan mengambil posisi nyaman
Anjurkan rileks dan merasakan sensasi relaksasi
Anjurkan sering mengulangi atau melatih teknik yang dipilih
Demonstrasikan dan latih teknik relaksasi (mis. Napas dalam, peregangan,
atau imajinasi terbimbing)
2. Diagnosa: Hipertermia
Intervensi Utama :
1) Manajemen Hipertemia
Mengidentifikasi dan mengelola peningkatan suhu tubuh akibat disfungsi
termoregulasi
a. Observasi
Identifkasi penyebab hipertermi (mis. dehidrasi terpapar lingkungan panas
penggunaan incubator)
Monitor suhu tubuh
Monitor kadar elektrolit
Monitor haluaran urine
Monitor komplikasi akibat hipertermia
b. Terapeutik
Sediakan lingkungan yang dingin
Longgarkan atau lepaskan pakaian
Basahi dan kipasi permukaan tubuh
Berikan cairan oral
21
Ganti linen setiap hari atau lebih sering jika mengalami hiperhidrosis
(keringat berlebih)
Lakukan pendinginan eksternal (mis. selimut hipotermia atau kompres
dingin pada dahi, leher, dada, abdomen,aksila)
Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
Berikan oksigen, jika perlu
c. Edukasi
Anjurkan tirah baring
d. Kolaborasi
Kolaborasi cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
2) Regulasi Temperatur
Mempertahankan suhu tubuh dalam rentang normal
a. Observasi
Monitor suhu bayi sampai stabil ( 36.5 C -37.5 C)
Monitor suhu tubuh anak tiap 2 jam, jika perlu
Monitor tekanan darah, frekuensi pernapasan dan nadi
Monitor warna dan suhu kulit
Monitor dan catat tanda dan gejala hipotermia dan hipertermia
b. Terapeutik
Pasang alat pemantau suhu kontinu, jika perlu
Tingkatkan asupan cairan dan nutrisi yang adekuat
Bedong bayi segera setelah lahir, untuk mencegah kehilangan panas
Masukkan bayi BBLR ke dalam plastic segera setelah lahir ( mis. bahan
polyethylene, poly urethane)
Gunakan topi bayi untuk memcegah kehilangan panas pada bayi baru lahir
Tempatkan bayi baru lahir di bawah radiant warmer
Pertahankan kelembaban incubator 50 % atau lebih untuk mengurangi
kehilangan panas Karena proses evaporasi
Atur suhu incubator sesuai kebutuhan
Hangatkan terlebih dahulu bhan-bahan yang akan kontak dengan bayi
(mis. seelimut,kain bedongan,stetoskop)
22
Hindari meletakkan bayi di dekat jendela terbuka atau di area aliran
pendingin ruangan atau kipas angin
Gunakan matras penghangat, selimut hangat dan penghangat ruangan,
untuk menaikkan suhu tubuh, jika perlu
Gunakan kasur pendingin, water circulating blanket, ice pack atau jellpad
dan intravascular cooling catherization untuk menurunkan suhu
Sesuaikan suhu lingkungan dengan kebutuhan pasien
c. Edukasi
Jelaskan cara pencegahan heat exhaustion,heat stroke
Jelaskan cara pencegahan hipotermi karena terpapar udara dingin
Demonstrasikan teknik perawatan metode kangguru (PMK) untuk bayi
BBLR
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antipiretik jika perlu
23
Anjurkan ke kamar mandi/toilet, jika perlu
4. Diagnosa : Hipervolemia
Intervensi Utama :
1) Manajemen Hipervolemia
Mengidentifikasi dan mengelola kelebihan volume cairan intravaskuler dan
ekstraseluler serta mencegah terjadinya komplikasi
a. Observasi
Periksa tanda dan gejala hypervolemia
Identifikasi penyebab hypervolemia
24
Monitor status hemodinamik, tekanan darah, MAP, CVP, PAP, PCWP,
CO jika tersedia
Monitor intaje dan output cairan
Monitor tanda hemokonsentrasi ( kadar Natrium, BUN, hematocrit, berat
jenis urine)
Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma
Monitor kecepatan infus secara ketat
Monitor efek samping diuretik
b. Terapeutik
Timbang berat bada setiap hari pada waktu yang sama
Batasi asupan cairan dan garam
Tinggikan kepala tempat tidur 30-40 derajat
c. Edukasi
Anjurkan melapor jika haluaran urine <0.5 ml/kg/jam dalam 6 jam
Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari
Ajarkan cara mengukur dan mencatat asupan dan haluaran cairan
Ajarkan cara membatasi cairan
d. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian diuritik
Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic
Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy
2) Pemantauan Cairan
Mengumpulkan dan menganalisis data terkait pengaturan keseimbangan cairan
a. Observasi
Monitor frekuensi dan kekuatan nadi
Monitor frekuensi nafas
Monitor tekanan darah
Monitor berat badan
Monitor waktu pengisian kapiler
Monitor elastisitas atau turgor kulit
Monitor jumlah, waktu dan berat jenis urine
25
Monitor kadar albumin dan protein total
Monitor hasil pemeriksaan serum (mis. Osmolaritas serum, hematocrit,
natrium, kalium, BUN)
Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis. Frekuensi nadi meningkat, nadi
teraba lemah, tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor
kulit menurun, membrane mukosa kering, volume urine menurun,
hematocrit meningkat, haus, lemah, konsentrasi urine meningkat, berat
badan menurun dalam waktu singkat)
Identifikasi tanda-tanda hypervolemia 9mis. Dyspnea, edema perifer,
edema anasarka, JVP meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojogular
positif, berat badan menurun dalam waktu singkat)
Identifikasi factor resiko ketidakseimbangan cairan (mis. Prosedur
pembedahan mayor, trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi
intestinal, peradangan pankreas, penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi
intestinal)
b. Terapeutik
Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
Dokumentasi hasil pemantauan
c. Edukasi
Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
26
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Pielonefritis merupakan infeksi bakteri piala ginjal, tubulus, dan jaringan interstisial
dari salah satu atau kedua ginjal. Bakteri mencapai kandung kemih melalui uretra dan
naik ke ginjal. Meskipun ginjal menerima 20% - 25% curah jantung, bakteri jarang
mencapai ginjal melalui darah, kasus penyebaran secara hematogen kurang dari 3%.
Escherichia coli (bakteri yang dalam keadaan normal ditemukan di usus besar)
merupakan penyebab dari 90% infeksi ginjal diluar rumah sakit dan penyebab dari 50%
infeksi ginjal di rumah sakit. Infeksi biasanya berasal dari daerah kelamin yang naik ke
kandung kemih. Pada saluran kemih yang sehat, naiknya infeksi ini biasanya bisa dicegah
oleh aliran air kemih yang akan membersihkan organisme dan oleh penutupan ureter di
tempat masuknya ke kandung kemih
4.2. Saran
Saran kami dalam makalah ini semoga para pembaca bisa lebih memahami isi
darimakalah ini dan dapat menerapkannya dalam melakukan asuhan keperawatan dan
membandingkan dengan referensi lainnya.
5.
27
DAFTAR PUSTAKA
Parsudi, Imam A. (1999). Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Jakarta: FKUI
Tessy Agus, Ardaya, Suwanto. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Infeksi Saluran
Kemih. Edisi: 3. Jakarta: FKUI.
28