Anda di halaman 1dari 5

2.

Di balik Akhlak Para Ulama

Setelah Imam Ibnul Jama’ah –rahimahullah- dalam kitabnya mengucapkan


basmallah pada pembukaan kitabnya, beliau melanjutkan dengan
bershalawat dan salam kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. 

Kenapa para Ulama Bershalawat?


Karena ini adalah metode para ulama dalam membuka buku dan risalah
mereka. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam As Sakhowi –
rahimahullah.  (Alqoulul Badii'; 413)

Karena mereka ingin meraih keutamaan dan tulisan mereka diberkahi ALLAH
Subhanahu wa Ta’ala. 

Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

“Barangsiapa yang bershalawat kepada diriku satu kali saja ikhlas dari lubuk
hatinya, maka Allah ta’ala akan bershalawat kepada dirinya 10 shalawat, lalu
Allah akan tinggikan kedudukannya 10 derajat, lalu Allah memberikan 10
kebaikan buatnya, lalu Allah akan hapuskan 10 dosanya.” (HR. An-Nasai fi
'Amalil Yaum; No.64).

Demikian sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa


Sallam, bahwa diucapkannya shalawat harus dari lubuk hati, harus mengerti
dan harus mentadabburinya.

Lalu apa Makna Shalawat?

Para ulama membahas apa arti shalawat dan ada beberapa pendapat
tentang masalah ini, wallahu a’lam bishshowab:

1. Shalawat adalah rahmat (Abdullah bin Abbas -radhiAllahu’anhu; Imam


Ad Dohhak -rahimahullah). 
2. Maghfiroh, ampunan dari Allah (Al Imam Ad Dohhak dan Al Imam
Muqootil – rahimakumullah )
3. Arti shalawat adalah: “Pujian Allah kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam di hadapan malaikat-Nya sebagai bentuk pengagungan kepada
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, memperlihatkan kedudukan,
ketinggian, kehormatan Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” (Al Imam
Abul ‘Aaliyah, Al Imam Ar Robi bin Anas, Al Imam Al Kholil bin Ahmad,
dikuatkan Al Imam Ibnu Hajar & Al Imam Ibnul Qoyyim –
rahimakumullah).
(Ref: Fathul baari, 11/155-156; Fadhlus Shalati 'alan Nabi, 41; Shahih Al-
Bukhari & Fathul Baari, 8/532; Alqoul Badii',19; Huququn Nabi, 2/508).

Dan ketika kita mengatakan pandangan yang ketiga yang paling kuat, maka
ini mencakup pandangan pertama dan kedua . Demikiannya secara otomatis
ALLAH Ta’ala merahmati Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Karena
bagaimana mungkin ALLAH Ta’ala memuji dan memuliakan seseorang
sedangkan ALLAH Ta’ala membenci orang tersebut?

Puji Menunjukkan Sayang, Simpati & Cinta

Ketika kita bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kita
sedang meminta agar ALLAH Ta’ala memuji Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
di hadapan para malaikat sebagai simbol kasih sayang ALLAH Ta’ala kepada
Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Jalaaul Afham; 78)

Adapun salam, kita mendoakan agar ALLAH Ta’ala memberikan keselamatan


kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu pertanyaannya;

“Akankah Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam butuh shalawat dari kita?”

Jawabnya, Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak butuh, namun kita


diperintahkan oleh Allah Ta’ala untuk beradab kepada sang Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam dan bershalawat sebagaimana dalam firman-Nya:

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai


orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah
salam penghormatan kepadanya.” (QS: Al Ahzab: 56)
Shalawat adalah adab. Kita sudah diberikan berbagai macam kebaikan oleh
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam agar diselamatkan ALLAH Ta’ala di dunia
dan akhirat.  Tunaikanlah hak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan salah
satu hak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah bershalawat dan
mengucapkan salam kepada Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Itulah makna shalawat untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Adapun


untuk kita, makna shalawat untuk kita adalah rahmat. (Fathul Baari; 11/156).

Para ulama mengatakan bahwa akan disebutkan juga di hadapan malaikat.


Inilah alasannya kenapa Imam Ibnu Jama’ah –rahimahullah dan ulama yang
lain semangat untuk bershalawat karena mereka ingin agar mereka
dirahmati oleh ALLAH Ta’ala.

Setelah Bersholawat, Memuji Allah Ta’ala


Setelah bersholawat untuk Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Imam ibnu
Jama'ah –rahimahullah kemudian melanjutkan tulisannya dengan memuji
Allah Ta’ala dengan mengatakan:

“Segala puji bagi Allah Yang Maha Baik, Maha Penyayang, Maha Luas Ilmu.”

Ini konsep para ulama, yaitu bersyukur kepada ALLAH.

Al Imam Abu Hanifah –rahimahullah- pernah menjelaskan apa kunci beliau


mendapatkan ilmu yang luas:

“Sesungguhnya aku mendapatkan ilmu seperti ini kuncinya itu adalah memuji
Allah dan bersyukur kepada Allah ta’ala. Setiap aku memahami sebuah perkara,
sebuah ayat, aku mengerti fiqih dari masalah tersebut, maka aku selalu
mengucapkan Alhamdulillah, ternyata ilmuku bertambah.” (Ta'limul Muta'allim;
107)

Dan ini bukanlah hal yang mengherankan, ALLAH Ta’ala yang menjanjikan:

“… Jika kalian bersyukur, maka aku akan tambah...” (QS: Ibrahim: 7) 
Sudahkah kita bersyukur kepada ALLAH Subhanahu wa Ta’ala ketika
mendapatkan ilmu? Allah Ta’ala yang menyuruh kita untuk bersyukur,
bergembira, berbahagia ketika mendapatkan ilmu. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surat Yunus ayat 58:

“Katakanlah: "Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya (Al Quran) hendaklah


dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih
baik dari apa yang mereka kumpulkan". (QS: Yunus: 58)

Prioritas untuk Adab


Lalu Imam Ibnul Jama’ah –rahimahullah- melanjutkan tulisannya pada
kitabnya dengan menjelaskan bahwa diantara hal yang harus di prioritaskan
oleh para pemilik akal sehat khususnya di waktu muda dan sangat layak
untuk diperjuangkan adalah adab yang mulia. 

Dan orang yang paling berhak, yang paling layak memiliki adab yang mulia
adalah ahli ilmu. 

Ucapan ini selaras dengan ulama lain seperti Al Imam Hammad bin Salamah
–rahimahullah:

“Wajib bagi penuntut ilmu hadits untuk menjadi orang yang adabnya paling
sempurna, rendah hati, tawadhu, yang paling semangat ibadahnya, dan yang
paling jarang labil dan marah.” (Aljami' li Akhlaqir Rowi; 1/78).

Al Imam Abu ‘Aashim –rahimahullah- menyatakan:

“Barangsiapa yang mempelajari hadits-hadits Nabi ini, maka dia telah


mempelajari hal yang paling tinggi dari dunia, maka wajib menjadi manusia
yang terbaik di lingkungannya.”  (Aljami' li Akhlaqir Rowi;  1/78)

Tak pelak akan memunculkan pertanyaannya, “bagaimana bisa? Ada apa di


balik perubahan akhlak mereka? Kenapa mereka harus menjadi orang yang
paling tawadhu, yang paling baik akhlaknya? Apa penyebabnya?”
Jawabnya, mari kita simak penjelasan Imam Ibnu Jama'ah -rahimahullah:

Karena ilmu mereka tentang akhlak dan adab-adab Beliau Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam serta tentang perjalanan hidup para ulama dari ahlil bait Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, para sahabat dan ilmu mereka terhadap akhlak
para ulama. 

Karena mereka mempelajari dan berinteraksi, akhirnya mereka terpengaruh.

Al Imam Hammad –rahimahullah menyampaikan alasan yang sama:

“Karena mereka senantiasa mendengar hadits-hadits tentang betapa baiknya


Adab, shiroh Rasul - Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para ulama.”

Dan itu persis ucapan dari Al Imam Abu ‘Aashim –rahimahullah:

“Karena selama ini anda mempelajari hadits dan hadits adalah hal yang paling
tinggi di dunia.”

Ternyata karena mereka selalu mendengar, melihat dan mempelajari


Alquran dan tuntunan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan penuh
keikhlasan.

Anda mungkin juga menyukai