Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kecelakaan Lalu Lintas


2.1.1 Definisi
Kecelakaan lalu lintas adalah suatu kejadian yang secara sengaja maupun tidak

yang dapat mengakibatkan cedera, kehilangan nyawa dan properti. Kecelakaan lalu

lintas menyebabkan buruknya efek ekonomi pada masyarakat kita. Kecelakaan lalu

lintas juga mengakibatkan tingginya korban dan cenderung menjadi masalah paling

serius di seluruh dunia (Agbeboh & Osarumwense, 2013).

2.1.2 Epidemiologi

Menurut WHO, setidaknya ada 1,24 juta kematian di dunia akibat kecelakaan di

jalan, dimana salah satu penyebabnya adalah tingginya konsumsi masyarakat

terhadap pemakaian kendaraan-kendaraan bermotor. Sekitar 60% kematian di jalan

raya adalah korban dengan usia 15-44 tahun, dimana 77 % dari seluruh korban adalah

pria (WHO, 2013)

2.1.3 Penyebab dan Faktor Resiko

Ada lebih dari satu faktor yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas.

Faktor yang berkontribusi untuk menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas

umumnya dikelompokkan menjadi tiga, yaitu berdasarkan lingkungan, faktor

pengemudi, dan juga karena kendaraan yang digunakan. Ketiga faktor ini biasanya

saling berhubungan satu sama lain.

1.) Faktor Lingkungan


Kecelakaan lalu lintas dan faktor lingkungan dalam hal ini terkait jalan sangat

berhubungan kuat. Desain dan rancangan jalan yang baik akan mendorong lancarnya

laju kendaraan dan lalu lintas. Teknologi yang semakin berkembang membantu

kenyamanan dan keamanan dalam berlalu lintas serta dapat mengurangi frekuensi

terjadinya kecelakaan. Penerangan dan permukaan jalan yang buruk sering menjadi

penyebab utama terjadinya kecelakaan, disamping juga oleh karena cuaca atau iklim

yang buruk. Kecelakaan sering juga terjadi pada saat jalanan berkabut atau pada saat

musim hujan, dimana hal tersebut dapat menghalangi pandangan pengemudi dalam

berkendara. Terakhir, pemisahan jalur untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda

dewasa ini dianggap penting untuk meminimalisir terjadinya kecelakaan lalu lintas.

2) Faktor Kendaraan

Kendaraan juga menjadi faktor penyebab terjadinya kecelakaan lalu lintas,

walaupun kejadian kecelakaan akibat faktor kendaraan tidak terlalu besar. Biasanya

kecelakaan terjadi akibat adanya kerusakan dari lampu, rem, ataupun setir yang tidak

diperiksa sebelum perjalanan. Oleh karena itu pengecekan sebelum bepergian

sangatlah penting guna meminimalisir kejadian kecelakaan di jalan raya, serta

melakukan pengecekan rutin untuk setiap kendaraan yang dimiliki.

3) Faktor Pengemudi

Kelalaian atau kesalahan pengemudi menjadi penyebab terbesar terjadinya

kecelakaan lalu lintas. Hal-hal yang berkontribusi dalam terjadinya kecelakaan akibat

kesalahan pengemudi antara lain pengalaman pengemudi, kondisi fisik seperti

kelelahan, emosi yang tidak stabil, usia, jenis kelamin, kemampuan penglihatan dan

lain-lain (Norman, 1962)


2.1.4 Karakteristik

1) Tipe tabrakan

Tipe tabrakan ini berhubungan dengan mekanisme kejadian kecelakaan lalu lintas

yang terjadi. Tipe tabrakan yang dominan terjadi pada kecelakaan lalu lintas antara

lain :

a. menabrak orang (pejalan kaki),

b. tabrak depan-depan,

c. tabrak depan-belakang,

d. tabrak depan-samping,

e. tabrak samping-samping,

f. tabrak belakang-belakang,

g. tabrak benda tetap di badan jalan,

h. kecelakan sendiri /lepas kendali.

2) Keterlibatan pengguna jalan

Keterlibatan pengguna jalan dalam kecelakaan lalu lintas ini dikelompokkan sesuai

dengan pengguna jalan, antara lain :

a. pejalan kaki,

b. mobil penumpang umum,

c. mobil angkutan barang,

d. bus,

e. sepeda motor,

f. kendaran tak bermotor (sepeda, becak, kereta dorong, dsb)

2.2 Femur
2.2.1 Anatomi

Femur merupakan tulang paling panjang yang ada di dalam tubuh manusia dari

bagian hip sampai lutut. Tulang femur sangat mudah terkena injury ataupun cedera

baik oleh karena kecelakaan lalu lintas berkendara, terjatuh, atau olahraga. Tulang

femur terdiri dari batang tebal panjang yang disebut diafisis dan dua ujung yang

disebut epifisis. Di sebelah proksimal dari epifisis terdapat metafisis dan di antara

epifisis dan metafisis terdapat daerah tulang rawan yang tumbuh, yang disebut

lempeng epifisis. Pada diafisis (femoral shaft) terdapat lengkungan anterior fisiologi

yang dapat bertambah pada kondisi-kondisi patologis, seperti displasia fibrosa atau

Paget disease. Bagian luar femur terdiri dari 3 permukaan yaitu bagian anterior,

lateral, dan medial. Bagian anterior terdiri dari tensor fasciae latae, iliacus dan psoas,

arteri dan vena femoral, nervus femoral, dan lateral femoral cutaneous nerve. Bagian

medial terdiri dari otot adduktor (gracilis, adductor longus, adductor brevis, adductor

magnus, pectineous) dan otot obturator externus. Pada femur juga terdapat bagian

yang bernama greater dan lesser trochanter (Salminen, 2005). Antara greater dan

lesser trochanter dapat dibuat garis imajiner yang disebut garis intertrochanteric,

dimana ini sangat penting untuk klasifikasi dari fraktur femur.

Terdapat banyak otot, pembuluh darah, saraf, ligamen, dan tendon di sekitar

femur. Pembuluh darah pada femur terdiri dari medial femoral circumflex artery,

lateral femoral circumflex artery, dan arteri ligamentum teres, dimana bagian medial

merupakan yang paling penting (Monge dan Lieberman, 2006). Jadi apabila terdapat

injury pada bagian femur kemungkinan akan menyebabkan perdarahan hebat,

kerusakan saraf, ligamen, dan juga tendon.


Gambar 2.1 : Tampilan anatomi femur
(Basic Human Anatomy, Guide 4 : Skeletal System)

2.2.2 Definisi Fraktur

Fraktur yang sering kita kenal sebagai patah tulang adalah terputusnya

kontinuitas jaringan tulang yang ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya
(Smeltzer & Bare, 2000). Fraktur sendiri dapat terjadi pada semua usia dan yang

paling beresiko adalah orang lanjut usia dan orang-orang yang bekerja membutuhkan

keseimbangan. Sedangkan fraktur femur adalah diskontinuitas dari femoral shaft

yang bisa terjadi akibat trauma secara langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari

ketinggian), dan biasanya lebih banyak dialami laki laki dewasa. Apabila seseorang

mengalami fraktur pada bagian ini, pasien akan mengalami perdarahan yang banyak

dan dapat mengakibatkan penderita mengalami syok. (Reeves, Roux, Lockhart,

2001).

2.2.3 Epidemiologi Fraktur Femur

Insiden fraktur femur pada wanita adalah fraktur terbanyak kedua (17,0 per

10.000 orang per tahun) dan nomer tujuh pada pria (5,3 per orang per tahun). Puncak

distribusi usia pada fraktur femur adalah pada usia dewasa (15 - 34 tahun) dan orang

tua (diatas 70 tahun) (Kouris dkk, 2012) (Meybodi dkk, 2013).

2.2.4 Etiologi Fraktur Femur

Tulang bersifat relatif rapuh namun cukup mempunyai kekuatan untuk menahan

tekanan sekalipun tulang femur yang merupakan salah satu tulang paling kuat dan

panjang yang ada di tubuh kita. Fraktur femur dapat terjadi karena:

1) Trauma

Trauma yang paling sering menyebabkan fraktur femur adalah trauma akibat

kecelekaan lalu lintas, seperti kecelakaan motor, mobil, ataupun pejalan kaki

yang tertabrak. Trauma lainnya juga bisa akibat terjatuh dari suatu ketinggian.

2) Kelemahan abnormal pada tulang (fraktur patologis)


Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal, tulang yang rapuh pada

penderita osteoporosis, kanker, atau mengalami infeksi

3) Kelelahan/tekanan berulang-ulang

Fraktur dapat terjadi akibat peningkatan drastis dari tingkat latihan atau

aktivitas.

4) Kekerasan akibat tarikan otot

Fraktur akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa

pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, atau kombinasi dari

ketiganya, dan penarikan

2.2.5 Patofisiologi Fraktur

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk

menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang diserap

tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau

terputusnya kontinuitas tulang. Fraktur terjadi bila terdapat interupsi dari kontinuitas

tulang, yang diamana akan menyebabkan cedera jaringan di sekitar ligamen, otot,

tendon, pembuluh darah, dan saraf. Tulang yang rusak ini akan mengakibatkan

periosteum pembuluh darah pada korteks dan sumsum tulang serta jaringan lemak

rusak yang akan berakibat pada perdarahan, hematom, dan jaringan nekrotik. Daerah

femur merupakan tempat pembuluh darah besar, sehingga apabila mengalami cedera

berupa fraktur akan mengakibatkan perdarahan yang hebat. Terjadinya jaringan

nekrotik mengakibatkan adanya respon inflamasi berupa vasodilatasi dan saat itu

tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera (Wu dkk,

2013)
2.2.6 Klasifikasi Fraktur Femur

a. Berdasarkan hubungan dengan lingkungan luar

1) Fraktur tertutup

Fraktur ini terjadi bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan

dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa

komplikasi

2) Fraktur terbuka

Fraktur ini terjadi bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia

luar karena adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka ini dapat menimbulkan

berbagai komplikasi.

b. Berdasarkan letak, garis patah, jumlah garis patah, pergeseran fragmen

1) Proximal Fracture

Intertrochanteric Fractures

Fraktur ini terjadi di daerah transisi tulang antara femoral neck dan femoral

shaft. Fraktur ini kemungkinan melibatkan greater dan lesser trochanter. Tulang

transisi terdiri dari tulang kortikal dan trabekular, yang dimana ini berfungsi sebagai

kekuatan untuk menahan beban. Klasifikasi untuk intertrochanteric fracture ini

berdasarkan stabilitas pola fraktur dan penurunan stabilitas. Pada tahun 1949, Evans

membagi menjadi standard oblique fracture pattern dan reverse oblique fracture

pattern.

Femoral Neck Fractures

Fraktur ini terjadi diantara ujung permukaan artikular dari femoral head dan

daerah intertrochanter. Fraktur ini merupakan intrakapsular, dan cairan sinovial


panggul kemungkinan berperan dalam pemulihannya. Pengobatan juga dipengaruhi

oleh gangguan pasokan darah pada daerah fraktur pada femoral head. Kehilangan

pasokan darah ini meningkatkan resiko nonunion pada daerah fraktur dan resiko

nekrosis avaskular pada femoral head. Femoral neck fracture ini diklasifikasikan

berdasarkan klasifikasi Garden. Ada empat tipe klasifikasi Garden. Garden tipe I

ditandai dengan perpindahan minimal dan tidak sempurna dan berdampak femoral

head miring ke arah posterolateral. Garden tipe II ditandai dengan fraktur sempurna

namun tidak terjadi perpindahan. Garden tipe III memiliki ciri fraktur sempurna dan

sebagian terjadi perpindahan. Garden tipe IV ditandai dengan perpindahan sempurna

dan antar tulang tidak berhubungan.


Gambar 2.2 : Klasifikasi Garden pada fraktur proksimal femur
(Department of Orthopaedics and Traumatology and the Department of Pediatric
Surgery, University of Helsinki)

Subtrochanteric Fractures

Fraktur ini terjadi diantara lesser trochanter dan isthmus dari diafisis femur.

Fraktur ini lebih sedikit dibandingkan femoral neck dan intertrochanteric fractures.

Sistem klasifikasi subtrochanteric fracture ini berhubungan dengan perkembangan

pengobatan terbaru. Sistem klasifikasi dahulu didasarkan pada lokasi dari fraktur dan

jumlah fragmen fraktur. Sistem Russel-Taylor berdasarkan kontinuitas dari lesser

trochanter dan fraktur mencapai posterior greater trochanter dan fossa piriformis.

Menurut sistem ini, fraktur terdiri dari 2 tipe, dimana dapat dibedakan pada dasar dari

penggunaan intramedullary nail. Fraktur tipe I tidak mencapai fossa piriformis, closed

intramedullary nailing mempunyai keuntungan dari meminimalisir kelainan

pembuluh darah fragmen. Sebaliknya, fraktur tipe II termasuk greater trochanter dan

fossa piriformis.

Greater Trochanter Fractures

Greater trochanter merupakan daerah perpotongan dari gluteus maximus dan

gluteus minimus dan daerah perpotongan antara piriformis, obturator internus, dan

gemelli muscles. Terdapat 2 tipe dari fraktur freater trochanter ini. Yang pertama dan

paling sering adalah avulsi apofisis greater trochanter femur, yang terjadi pada pasien

dengan tulang yang immature. Fraktur ini biasanya terjadi karena kontraksi otot

panggul lateral rotator yang kuat dan biasanya mengalami sedikit perpindahan. Tipe

kedua dari fraktur greater trochanter biasanya terjadi pada pasien lansia yang

osteoporosis dan terjadi akibat trauma langsung, seperti jatuh. Fraktur ini biasanya
mengalami perpindahan yang minimal, tetapi bagian dari tulang melekat ke otot

piriformis dapat mengalami perpindahan yang nyata (Evans dan McGrory, 2002).

2. Fraktur Diafisis

Simple Fracture

Pada fraktur ini terdapat satu fraktur yang menyebabkan dua potongan/fragmen

dari fraktur tersebut setelah terjadinya reduksi. Fraktur ini dapat berupa spiral,

oblique, dan transverse.

Wedge Fracture

Fraktur kompleks dengan sepertiga fragmen, dimana setelah reduksi ada

beberapa kontak langsung diantara dua fragmen utama. Fraktur ini bisa spiral,

bending, dan multifragmentary.

Complex Fracture

Fraktur dengan satu atau lebih fragmen intermediate dimana tidak terjadi kontak

antara fragmen utama setelah reduksi. Fraktur kompleks ini bisa spiral, segmental,

atau iregular.
Gambar 2.3 : Fraktur Diafisis
(Orthopaedic Associates of Portland, hlm. 30-38)

3. Distal Femur Fractures

Ekstraartikular

Fraktur ini ditandai dengan tidak adanya perpindahan fraktur yang mencapai

permukaan artikular.

Partial

Fraktur ini ditandai dengan adanya komponen artikular yang terlibat,

meninggalkan bagian lain yang menempel ke meta-/diafisis.

Complete Articular

Fraktur ini ditandai dengan permukaan artikular yang terlibat, fraktur metafisis

memisahkan komponen artikular dari diafisis secara sempurna (Audige dkk, 2005).
Gambar 2.4 : Fraktur Distal Femur
(Elseiver Journal)

2.2.7 Diagnosis Fraktur Femur

1) Klinis

Diagnosis klinis dari fraktur femur biasanya terlihat jelas, nyeri, deformitas,

bengkak, dan pemendekan dari tungkai. Pemeriksaan fisik wajib dilakukan, karena

kebanyakan fraktur terjadi akibat trauma cepat dan luka yang berhubungan biasanya.

Pemeriksaan ortopedi terhadap ekstremitas secara keseluruhan harus dilakukan secara

sistematis dan lengkap. Panggul dan pinggul diperiksa apakah ada nyeri tekan,

bengkak atau ekimosis. Ketika pinggul tidak dapat digerakkan secara sadar oleh

pasien, palpasi pada daerah paha dan pantat sangatlah penting. Meskipun luka

neurovaskular jarang berhubungan dengan fraktur tertutup, pemeriksaan preoperatif

lengkap untuk kerusakan saraf dan pembuluh darah sebaiknya dilakukan. Owing

sampai nyeri berat dan spasme biasanya terjadi berbarengan dengan fraktur femur,

kekuatan motorik dari otot dibawah lutut kemungkinan berkurang. Pemeriksaan

preoperatif secara hati-hati dari stabilitas hemodinamik pasien sangat penting,

meskipun ada tidaknya luka yang berhubungan. Nadi distal harus dipalpasi dan status

sirkulasi harus dievaluasi. Pemeriksaan angiografi disarankan pada luka yang

berhubungan dengan paling tidak ada satu gejala berat (defisiensi nadi atau iskemik

neurologi) atau dua gejala ringan (hematom, perdarahan, hipotensi, index

malleobrachial lebih kecil dari 1.

2) Pemeriksaan Radiografi
Sebelum pemeriksaan radiologi dari femur dikerjakan, pada ekstremitas harus

dilakukan traksi longitudinal dan splinting untuk meminimalisir soft tissue injury

pada tungkai. Pemeriksaan awal adalah dengan radiografi AP dari panggul dan AP

lateral dari lutut dan seluruh femur untuk mendeteksi adanya keretakan longitudinal

dari fragmen proksimal dan distal. Apabila terjadi fraktur, dapat terlihat garis

radiolusen pada tulang kortikal dan garis sklerotik di tulang spons. Pada kebanyakan

kasus, CT Scan tidak lebih sensitif dibanding radiografi konvensional untuk

mendeteksi luka dari tulang. Garis fraktur tertentu, seperti longitudinal dan spiral

lebih jelas terlihat pada CT Scan. Skintigrafi digunakan metode diagnostik untuk luka

akibat kelelahan tulang dimana sensitivitasnya mendekati 100 persen. MRI dengan

klasifikasi spesifik untuk fraktur sama sensitifinya, namun lebih sensitif

dibandingkan skintigrafi dan sangat akurat digunakan pada 3 minggu pertama

(Salminen, 2005).

Anda mungkin juga menyukai