Anda di halaman 1dari 4

ANALISIS KASUS KEWARGANEGARAAN GANDA

(Diajukan sebagai salah satu tugas kewargnegaraan)

Deden Ruhiat

31616011

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA
BANDUNG
2017
Kasus kewarganegaraan Ganda Dari Artikel dengan Judul “Satu Anak
Dua Negara”

Sejumlah perempuan yang menikah dengan warga negara asing menuntut pemerintah
segera mensahkan Undang-Undang Kewarganegaraan Ganda Terbatas Bagi Anak-anak.
Bulan April ini Auk Murat,Sophia Latjuba dan Anne J. Cotto tengah harap-harap cemas.
Mereka menunggu realisasi pemerintah yang bisa menenteramkan hati mereka yang waswas
akan status anak. Ketiga artis itu hanyalah sedikit orang dari sekian banyak perempuan
Indonesia yang menikah dengan warga negara asing (WNA).

Karena berprofesi sebagai artis, media menyorot mereka. Namun sesungguhnya tidak
hanya perempuan warga negara Indonesia (WNI) berprofesi artis yang menikah dengan pria
WNA. Selama ini, menurut sistem kewarganegaraan di Indonesia, anak yang lahir dari ayah
WNA secara otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Dalam banyak kasus, si ibu
yang WNI seringkali kesulitan mendapat hak asuh atas anaknya tersebut.

Inilah yang diperjuangkan Auk Murat dan teman-temannya di KPC Melati (Keluarga
Perkawinan Campuran Melalui Tangan Ibu). Berbagai kantor pemerintahan dan juga gedung
wakil rakyat sudah mereka datangi, guna meminta perubahaan Undang-Undang (UU) Nomor
62/1958 tentang Kewarganegaraan. “UU tersebut sudah seharusnya diadakan perubahan,”
ujarnya, saat diundang DPR untuk masalah ini, Februari lalu. Seperti ditulis majalah Gatra, ia
demikian gigih memperjuangkan hak asuh anaknya yang masih di bawah umur, Nicola dan
Tantiana, hasil pernikahannya dengan seorang pria WNA.

Dalam perjuangannya tersebut, Auk juga mendapatkan dukungan dari sejumlah


wanita senasib, guna mengubah UU yang mengatur status warga negara seorang anak yang
lahir dari bapak WNA. Menurutnya, anak adalah salah satu dari kelompok rentan yang harus
dan wajib, bagi negara untuk melindungi mereka, sehingga mereka dapat meraih masa depan
tanpa keterbatasan.

Auk, 35, mantan peragawati era 90-an yang kini menjadi perancang sepatu itu
menyadari bahwa birokrasi yang harus dilalui tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Misi kami, hati nurani kami berkata sampai perjuangan ini bisa kami lihat hasilnya,”
katanya. Senada dengan Auk, artis sinetron Anne J. Cotto juga menginginkan UU
Kewarganegaraan Ganda Terbatas untuk anak-anak perkawinan campuran itu segera
disahkan. Sampai saat ini, ia mengaku belum siap untuk memiliki anak karena hukum yang
berlaku untuk kewarganegaraan sang anak, menjadikan Anne berpikir ulang untuk memiliki
momongan. Segera disahkan, Kewarganegaraan ganda terbatas artinya bagi anak-anak yang
masih di bawah umur diberi kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau
ibunya.

Ia baru akan menentukan pilihan definitif pada saat mencapai usia dewasa. Keinginan
Auk dan teman-temannya di KPC Melati nampaknya akan membuahkan hasil. Karena
menurut kabar yang beredar, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan menandatangani
Undang-Undang ini pada bulan April ini. Pada 1 Februari lalu, Panja DPR menyetujui untuk
memasukkan usul kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak-anak hasil perkawinan
perempuan WNI dengan pria WNA ke dalam revisi Undang-Undang No. 62 Tahun 1958.
DPR memang sedang melakukan pembahasan atas perubahan Undang-Undang tentang
Kewarganegaraan itu di tingkat Panja. Anggota Panja Prof. Rustam E. Tamburaka berjanji
akan terus memperjuangkan sistem kewarganegaraan ganda terbatas hingga ke tahap
pembahasan yang lebih tinggi. “Anak yang dilahirkan itu adalah anak-anak ibu juga,” ujar
anggota Fraksi Partai Golkar itu. Selain itu, penentuan batas usia dewasa sempat menjadi
pembahasan yang cukup dilematis, apakah 18 atau 21 tahun.

Penentuan batas usia penting karena menyangkut waktu penentuan pilihan


kewarganegaraan bagi anak hasil perkawinan campuran, apakah akan ikut ayah atau
ibunya.Guru besar hukum perdata internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia Zulfa
Djoko Basuki mengakui sistem hukum Indonesia masih menggunakan parameter yang
berbeda-beda tentang kedewasaan. Apalagi tiap negara bisa saja menggunakan ukuran yang
berbeda. Di Jerman, misalnya, seseorang baru bisa memilih salah satu kewarganegaraannya
lima tahun setelah dewasa. Jadi, sekitar usia 23 tahun. Usia itu dianggap sudah matang bagi
seseorang menentukan pilihan kewarganegaraan. Berkaitan dengan perkawinan campuran,
Prof. Zulfa menyarankan untuk mengacu kepada Konvensi PBB tentang hak anak.RH (Berita
Indonesia 12)***

Analisis :

Dari hasil analisa saya mengenai artikel di atas mengenai penuntutan hak asuh atas
anak hasil dari perkawinan campuran dengan warga asing, dan juga pengajuan usul
kewarganegaraan ganda terbatas bagi anak hasil perkawinan campuran. Contohnya seperti
pada kasus Auk Murat dan teman-temannya di KPC Melati (Keluarga Perkawinan Campuran
Melalui Tangan Ibu), serta Sophia Latjuba dan Anne J. Cotto.
Berbagai kantor pemerintahan dan juga gedung wakil rakyat sudah mereka datangi,
guna meminta perubahaan Undang-Undang (UU) Nomor 62/1958 tentang
Kewarganegaraan.Bulan April ini Auk Murat,Sophia Latjuba dan Anne J. Cotto tengah
menunggu keputusan dari pemerintah tentang perubahan Undang-Undang tersebut.

Karena selama ini, menurut sistem kewarganegaraan di Indonesia, anak yang lahir
dari ayah WNA secara otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Dalam banyak kasus,
si ibu yang WNI seringkali kesulitan mendapat hak asuh atas anaknya tersebut. Segera
disahkan Kewarganegaraan ganda terbatas artinya bagi anak-anak yang masih di bawah umur
diberi kesempatan untuk memperoleh kewarganegaraan dari ayah atau ibunya. Ia baru akan
menentukan pilihan definitif pada saat mencapai usia dewasa. (18 atau 21 tahun)

Anda mungkin juga menyukai